Anda di halaman 1dari 13

KEJELASAN DALALAH DAN TINGKATANNYA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Ushul Fiqh II

Dosen Pengampu: Khoirun Nasik, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh:

1. Ali Fikri Hidayat (190711100044)


2. Osla Nur Auditia (190711100059)
3. Nur Sapputra (190711100111)
4. Sherly Olivya Ningtyas (190711100120)

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

FAKULTAS KEISLAMAN

PRODI HUKUM BISNIS SYARIAH

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “Kejelasan Dalalah dan
Tingkatannya”.

Makalah ini telah dibuat berdasarkan informasi yang kami peroleh dari
berbagai sumber pembelajran, baik dari media cetak maupun internet. Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bangkalan, 3 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................... 1
C. TUJUAN PEMBAHASAN.................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2
A. AD DHOHIR ....................................................................................... 2
B. AN NASH ............................................................................................ 3
C. AL MUFASSAR .................................................................................. 5
D. AL MUHAKKAM/MUHKAM ........................................................... 6
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 9
KESIMPULAN ......................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber utama bagi umat Islam. Maka
sumber tersebut harus dapat menjadi sebuah pegangan dimanapun, kapanpun,
dan dalam kondisi apapun. Karena persoalan yang dihadapi oleh umat
Muslim selalu berkembang dan berbeda antara daerah satu dengan daerah
yang lainnya. Disinilah dibutuhkan pemahaman yang komprehensif untuk
menyelesaikan persoalanpersoalan yang muncul.
Usaha untuk memahami agama Islam melalui kedua sumbernya (al
Qur’an dan al Sunnah) telah dilakukan oleh umat Islam sejak zaman dahulu
sampai sekarang. Pemahaman atas naṣ/teks dapat berdasarkan atas petunjuk
kebahasaan, dapat juga berdasarkan atas petunjuk maqāṣid syarī’ah. Salah
satu upaya memahami naṣ untuk menemukan aturan (hukum) di dalamnya,
dapat melalui pemahaman dari petunjuk kebahasaan atau disebut dengan
dalālah lafżi.
Salah satu cara atau metode untuk memahami Naṣ al Qur’an dan al
Sunnah yaitu melalui pemahaman kebahasaan. Bahasa yang digunakan dalam
nash al Qur’an dan al Sunnah sebagai petunjuk (dalālah) adalah bahasa Arab.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Ad Dhohir ?
2. Apa yang dimaksud dengan An Nash ?
3. Apa yang dimaksud dengan Al Mufassar ?
4. Apa yang dimaksud dengan Al Muhakkam ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ad Dhohir
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan An Nash
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Al Mufassar
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Al Muhakkam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. AD DHOHIR
Dhahir yaitu suatu lafal yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada satu
pengertian asal tanpa membutuhkan faktor lain di luar lafal itu. Pengertian
dhahir tersebut wajib diamalkan sesuai dengan arti yang ditunjukkan oleh
lafal bila tidak ada dalil lain yang menta’wilkannya. Karena menurut
Hanafiyah Dhahir itu adalah merupakan lapangan yang bisa digunakan
ta'wil.1
Menurut al-Bazdawi, ad-dhahir adalah suatu nama bagi seluruh
perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafaz itu
sendiri. Sedangkan menurut as-Sarakhsi, ad-dhahir adalah sesuatu yang
dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan terlebih dahulu.
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami ad-dhahir
tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari
rumusan lafaz itu sendiri. Akan tetapi lafaz itu tetap mempunyai
kemungkinan lain.2
Contoh żahir yang dapat ditampilkan di sini misalnya firman Allah
SWT.

‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ه‬


‫الربوا‬ ‫َوا َ َح َّل ه‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Petunjuk (Dalālah) ayat di atas sangat jelas, yaitu mengenai halalnya


jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafaz itu sendiri
tanpa memerlukan qarīnah lain. Kedua lafaz al bay’ dan al riba merupakan
lafaz ‘āmm yang memungkinkan untuk di takhṣīṣ.3

1
Afidah Wahyuni, “Teori Tafsir dlam Perspektif Kebahasaan: Terminologi Tafsir, Ta’wil dan Ta’lil”,
Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 4 No. 2, 2016, Hlm. 236.
2
Khoirun Nasik dan Ahmad Musadad, Ushul Fiqh II: Metodologi Istinbat Hukum Ekonomi dan
Bisnis Syariah (Batu: Literasi Nusantara), 2020, hal. 48.
3
Yassirly Amrona Rosyada, “Dalalah: Upaya Menemukan Hukum”, Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum, Vol. 2 No. 2, 2017, Hlm. 125.

2
Diantarakunci memahami ad-dhahir ini adalah ia bukan pemahaman
susunan katanya dan masih memungkinkan untuk takwil. Pemahaman
susunan kata maksudnya mirip dengan teori ‘ibarah an-nash yang pertama.
Sedangkan takwil adalah menjelaskan dalalah menggunakan dalil yang
kualitasnya dhanni dan ra’yu. Artinya, lafaz dalalah yang ad-dhair masih
membuka peluang untuk dilakukan takwil.
Kedudukan lafaz ad-dhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk
lafaz itu, sepanjang tidak ada dalil yang menakhsisnya, menakwilnya, atau
menasakhnya.4

B. AN NASH

Naṣ menurut bahasa adalah raf’u al say’ atau munculnya sesuatu yang
tampak. Secara istilah naṣ adalah suatu lafaz yang menunjukkan hukum
dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai
kemungkinan di takhṣīṣ dan di ta’wil yang memungkinkannya lebih lemah
daripada kemungkinan yang terdapat dalam lafaz ẓahir, selain itu ia juga
dapat di naskh.

Naṣ mempunyai dalālah yang jelas sebagaimana ẓahir. Pemahaman


maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar ṣighatnya. Demikian juga
makna naṣ tidak memerlukan penelitian, akan tetapi bisa langsung dipahami
dengan ṣighat-nya. Naṣ lebih jelas daripada ẓahir. Sebab menjadi lebih
jelasnya naṣ dari ẓahir adalah disebabkan qarīnah yang terdapat dalam kalam.

Contoh naṣ yang dapat ditampilkan di sini misalnya firman Allah SWT.
Surat al Baqarah ayat 275;

‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ه‬


‫الربوا‬ ‫َوا َ َح َّل ه‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

4
Khoirun Nasik dan Ahmad Musadad, op. cit. hlm 49.

3
Petunjuk (dalālah) naṣ ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan
antara jual beli dan riba. Naṣ di sini lebih jelas dari ẓahir karena ada qarīnah
yang lain, yaitu firman Allah SWT.

‫ذَلكَ بأَنَّ ُه ْم قَالُوا إنَّ َما ْالبَ ْي ُع مثْ ُل ه‬


‫الر َبا‬

“sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”

Qarīnah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks


ayat ‫ واحل هللا البيع وحرم الربا‬adalah menafikan persamaan antara jual beli dan
riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap
orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut.

Adanya qarīnah inilah yang menjadikan naṣ sebagai tujuan utama dari
pengucapannya, bukan pengertian yang ditunjukkan oleh redaksi dalam
ẓahir-nya.5

Kata kunci dari teori nash adalah maksud diambil dari tujuan susunan
kata dan masih membuka ruang untuk dilakukan takwil. Pada tataran takwil
jual beli yang umum masih bisa ditakwil dengan takhsis, karena sebagaimana
yang kita maklumi bahwa tidak semua jual beli itu dihalalkan.

Pengertian ini diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum.


Disini nash lebih memberi kejelasan daripada dhahir (halalnya jual beli dan
haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicara bukan dari rumusan
bahasa.

Nash memiliki kedudukan hukum yang sama dengan dhahir, yaitu


wajib diamalkan petunjuknya atau dalalahnya sepanjang tidak ada dalil yang
menakwilkan, menakhsiskan atau menasakhnya. Perbedaan antara dhahir dan
nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh pada lafaz nas lebih
sedikit peluangnya daripada dhahir. Oleh sebab itu, apabila ada pertentangan
antara lafaz dhahir dengan lafaz nash, maka lafaz nash lebih didahulukan
pemakaiannya daripada dhahir.6

5
Yassirly Amrona Rosyada, op. cit. hlm. 125-126.
6
Khoirun Nasik dan Ahmad Musadad, op. cit. hlm. 50.

4
C. AL MUFASSAR
Al-Mufassar, yaitu nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan arti yang
sangat terperinci, yang tidak ada kemungkinan takwil baginya. Diantaranya
yaitu jika bentuk nash itu sendiri telah menunjukkan dalalah (isyarat) yang
jelas kepada makna yang terinci, dan dalam bentuk nash itu sendiri
terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan menghendaki arti
lainnya.7
Dengan ditempatkannya mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia
lebih jelas dari dua lafaz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang
mufassar, diantaranya:
1. Mufassar adalah lafaz yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
dengan tegas dan jelas, sehingga petunjukkan itu tidak mungkin untuk di
ta’wil dan di takhṣīṣ, tetapi dapat di naskh ketika masa Rasulullah.
2. Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi: Suatu lafaz yang dengan
ṣighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu
terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz
tersebut.
Dari definisi yang dipaparkan tersebut, dapat ditarik kejelasan, bahwa
hakikat lafaz mufassar itu:
a. Penunjukannya terhadap makna jelas sekali,
b. Penunjukannya itu hanya dari lafaz sendiri tanpa memerlukan qarinah dari
luar,
c. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin
ditakwilkan.
Contohnya firman Allah tentang zina:
‫الزاني فَاجْ لد ُوا ُك َّل َواح ٍد هم ْن ُه َما مئَةَ َج ْلدَ ٍة‬
َّ ‫الزانيَةُ َو‬
َّ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera”

7
Salmi Abbas, “Implikasi Dalil Qath’i Zhanni Dalam Penerapan Hukum”, Jurnal Media Hukum,
Vol. XXIV No. 1, 2014. Hlm. 198.

5
ُ ‫صنَات ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بأ َ ْربَعَة‬
‫ش َهدَاء فَاجْ لدُو ُه ْم ث َ َمانينَ َج ْلدَة‬ َ ْ‫َوالَّذينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُمح‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”
Masing-masing lafaz yaitu ‫ مئة‬dan ‫ ثمانين‬merupakan lafaz mufassar
karena ia adalah bilangan tertentu. Lafaz tersebut tidak mengandung
pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT.
َ‫ّللاَ َم َع ْال ُمتَّقين‬
َّ ‫َوقَاتلُواْ ْال ُم ْشركيْنَ كَآفَّة َك َما يُقَاتلُو َن ُك ْم كَآفَّة َوا ْعلَ ُمواْ أَ َّن‬
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa”
Lafaz musyrikīn pada ayat tersebut pada mulanya dapat ditakhṣīṣ,
namun dengan adanya kalimat ‫ كافة‬menafikan kemungkinan adanya takhṣīṣ.8
Jadi petunjuk dari mufassar ini sudah rinci dan tidak menerima takwil,
tetapi masih memungkinkan tafsir. Tafsir adalah menjelaskan dalil dengan
dalil qath’i. Atau memalingkan makna kepada makna yang lain karena
adanya dalil yang qath’i, baik al-Quran ataupun hadis. Berarti mufassar ini
dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama asalnya sudah jelas. Dan yang
kedua menjadi jelas setelah ditafsir.
Hukum mufassar wajib diamalkan secara qath’i sepanjang tidak ada
dalil yang menasakhnya. Lafaz mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya
dari ad-dhahir, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan
hanya bisa dinasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan demikian, dalalah mufassar lebih kuat dari pada dalalah dhair
dan nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara mufassar dengan
dalalah nash dan dhahir, maka dalalah mufassar harus didahulukan.9

D. AL MUHAKKAM/MUHKAM
Muḥkām menurut bahasa diambil dari kata aḥkama yang berarti atqana,
yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah suatu lafaz yang

8
Yassirly Amrona Rosyada, op. cit. hlm. 127.
9
Khoirun Nasik dan Ahmad Musadad, op. cit. hlm. 51-52.

6
menunjukkan makna dengan Dalalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak
mempunyai kemungkinan di ta’wil, di takhṣīṣ, atau di naskh.10
Muhkam adalah suatu lafal yang menunjukan maksud yang sudah jelas,
tidak menerima ta'wil dan takhsis, juga tidak dimansukhkan. Masalah-
masalah yang termasuk dalam kelompok muhkam ini adalah hukum-hukum
pokok dalam agama yang tidak mengalami perubahan, baik di bidang ibadah,
aqidah, atau jinayah.11
Muḥkām menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-
derajat kejelasan lafaz. Muḥkām menunjukkan makna yang jelas dan tidak
ada kemungkinan ta’wil, takhṣīṣ dan naskh. Contohnya adalah firman Allah
SWT dalam:
َّ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ ََل إلَهَ إ ََّل‬
ُ‫ّللا‬
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah”
‫ّللاُ أ َ َحد‬
َّ ‫قُ ْل ه َُو‬
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”
‫ى منَ ْال َميهت‬
َّ ‫ْصر َو َمن ي ُْخر ُج ْال َح‬ َ ‫س َمآء َواْ ْْل َ ْرض أَ َّمن َي ْملكُ اْلس َّْم َع َواْ ْْلَب‬ َّ ‫قُ ْل َمن َي ْر ُزقُ ُكم همنَ اْل‬
َ‫ّللاُ َفقُ ْل أ َ َف ََل تَت َّ ُقون‬ ‫َوي ُْخر ُج ْال َم هيتَ منَ ْال َح ه‬
َ َ‫ى َو َمن يُدَ هب ُر ْاْل َ ْم َر ف‬
َّ َ‫س َيقُولُون‬
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang
mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”.
Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”12
Sehubungan dengan lafaz muhkam itu tidak bisa dinasakh, maka
muhkam itu terbagi menjadi dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghairu dzat.
Kerena terkadang nasakh itu bisa dari nas itu sendiri atau dari luar nas.
Dalalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh
dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu,

10
Yassirly Amrona Rosyada, loc. cit.
11
Afidah Wahyuni, loc. cit.
12
Yassirly Amrona Rosyada, op. cit. hlm. 128.

7
dalalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dalalah yang disebut
diatas. Dengan sendirinya, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil
di atas, maka yang harus didahulukan adalah dalalah muhkam.13

13
Khoirun Nasik dan Ahmad Musadad, op. cit. hlm. 53.

8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dhahir yaitu suatu lafal yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada satu
pengertian asal tanpa membutuhkan faktor lain di luar lafal itu. Naṣ menurut
bahasa adalah raf’u al say’ atau munculnya sesuatu yang tampak. Secara
istilah naṣ adalah suatu lafaz yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang
diambil menurut alur pembicaraan. Al-Mufassar, yaitu nash itu sendiri sudah
bisa menunjukkan arti yang sangat terperinci, yang tidak ada kemungkinan
takwil baginya. Muhkam adalah suatu lafal yang menunjukan maksud yang
sudah jelas, tidak menerima ta'wil dan takhsis, juga tidak dimansukhkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Salmi. 2014. “Implikasi Dalil Qath’i Zhanni Dalam Penerapan Hukum”,
Jurnal Media Hukum. XXIV(1)

Nasik, Khoirun dan Ahmad Musadad. 2020. Ushul Fiqh II: Metodologi Istinbat
Hukum Ekonomi dan Bisnis Syariah. Batu: Literasi Nusantara.

Rosyada, Yassirly Amrona. 2017. “Dalalah: Upaya Menemukan Hukum”. Jurnal


Ilmu Syari’ah dan Hukum. 2(2)

Wahyuni, Afidah. 2016. “Teori Tafsir dlam Perspektif Kebahasaan: Terminologi


Tafsir, Ta’wil dan Ta’lil”. Jurnal Ilmu Syariah. 4(2).

10

Anda mungkin juga menyukai