Anda di halaman 1dari 10

AD-DHOHIH DAN BENTUK BENTUKNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Mata Kuliah Ushul Fiqh A

Dosen Pengampu :

Bapa H. M. Syarif Dibaj, lc. M.sy

Oleh Kelompok 10 :

NAMA NIM
Ahmad Rajuli : 22.11.1398
Muhammad Firnanda : 22.11.1414
Tsuaibatul Aslamiah : 22.11.1394

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA

FAKULTAS SYARIAH PROGRAM STUDI

HUKUM KELUARGA ISLAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmatnya sehingga kami dapat merasakan menimba ilmu di Institut Agama Islam
Darussalam dan kami dapat membuat makalah yang membahas ‘AD-DHOHIR
dan BENTUK BENTUKNYA‘. Shalawat serta salam kepada baginda nabi besar
Muhammad SAW yang telah membawa kabar gembira untuk kita semua dan
semoga kita mendapatkan syafa’atnya di hari akhir nanti.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas struktur mata kuliah
Ushul Fiqh A oleh Bapa H. M. Syarif Dibaj, lc. M.sy dalam kesepakatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,


baik dalam segi penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karna itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita, Aamiin.
Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Wassalamulaikum Wr. Wb

Martapura, 15 Mei 2023

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Pengertian Ad-Dhohir .......................................................................... 2


B. Bentuk-Bentuk Pembentukan Hukum Dhohir ..................................... 3
C. Contoh Lafadz Dhohir .......................................................................... 4

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 6

A. Simpulan............................................................................................... 6
B. Saran ..................................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 7

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa atau
lafdhiyyah dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dipahami atau
maknawiyyah. Sedangkan yang lafdhiyyah itu sendiri terbagi menjadi dua
juga yaitu yang jelas petunjuknya yang kemudian disebut dengan dhohirud
dalalah dan yang samar petunjuknya yaang kemudian disebut dengan
khofiyud dalalah. Dhohirud dalalah sendiri sebagai sebuah lafadh yang
petunjuknya memberikan arti secara jelas dan tidak tergantung kepada yang
lainnya untuk memahaminya terbagi menjadi empat macam, yaitu Dzahir,
Nash, Mufassar dan Muhkam.
Keempat pembagian dalam lafadh dhohirud dalalah tadi merupakan
pembagian secara berurutan dari lafadh yang jelas atau terang petunjuknya
sampai kepada yang paling jelas atau paling terang petunjuknya. Tingkatan
lafadz yang mempunyai dalalah dzahir sampai muhkam mempunyai status
dan ketentuan hukum sendiri-sendiri. Setelah dalam makalah sebelumnya
diterangkan tentang dzahir dan nash maka sangat perlu diketahui tentang
dua tingkatan selajutnya, yaitu mufassar dan muhkam. Selain itu juga perlu
diketahui tentang ketentuan hukumnya apabila dalalah yang satu dengan
yang lainnya bertentangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ad-Dhohir?
2. Bagaimana Bentuk-Bentuk Contoh Ad-Dhohir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Ad-Dhohir.
2. Untuk Mengetahui Bentuk-Bentuk Contoh Ad-Dhohir.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ad-Dhohir
Dhohir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:
.‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬
Artinya: “Keragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah
satunya adalah lebih jelas.”1
Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna,
tetapi tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya
lebih jelas atau lebih menonjol pada lafazd tersebut dari pada makna lainnya.

Al-Bazdawi memberikan defenisi dhohir sebagai berikut:


‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬.
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi
pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”2

Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:


‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأ ّمل‬.
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri
tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”3

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dhohir
itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung
kepada petunjuk lain.

1
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 119.
2
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152.
3
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 363.

2
Mengutip dari kitab Syarah Al Waraqat penjelasan dhohir ialah:
‫(الظاهر ما احتمل أمرين أحدهما أظهار من األخر) كاأل سد في رأيت اليوم أسدا فإنه ظاهر في‬
ّ ‫الحيوان المفترس‬
‫الن المعنى الحقيقي محتمل للرجال الشجاع بدله‬
Artinya: “Lafadz dhahir adalah lafadz yang memiliki dua kemungkinan makna,
dimana salah satunya lebih jelas dibanding yang lain. Seperti lafadz ‫ األسد‬dalam
contoh: ‫( َرأيْت اليَ ْومَ أسَد‬aku melihat singa hari ini). Lafadz ini tergolong dhahir yang
menunjukkan arti hewan buas, karena makna hakikinya memungkinkan diartikan
laki-laki pemberani, sebagai pengganti makna pertama.”

Hukum yang jelas itu wajib diamalkan menurut sesuatu yang tampak jelas
dari padanya. Selama tidak ada dalil yang menghendaki mengamalkan selain
hukum yang tampak jelas itu. Karena asal sesuatu itu adalah tidak
memalingkan lafazh dari lahirnya, kecuali bila ada dalil yang menghendaki hal itu.
Dan bahwasannya hukum yang jelas itu juga mungkin menerima ta’wil. Artinya
memalingkan asal itu dari lahirnya, dan menghendaki arti lain dari padanya. Maka
jika yang tampak itu umum, mungkin bisa ditakhsis, dan jika mutlak, mungkin bisa
diberi ikatan dan jika hakikat, mungkin bisa terjadi bahwa yang di maksud dengan
itu adalah makna majasi. Dan takwilan yang lain-lain.4
Hukum yang jelas itu bisa menerima naskh (penghapusan). Artinya bahwa
hukum yang jelas itu pada masa terutusnya Muhammad SAW. dan pada masa
pembentukan hukum, sah dinashkh, dan disyariatkan hukum baru yang
menggantikannya, selama hukum itu tergolong hukum far’iyyah al-
juz’iyyah (bagian dari masalah-masalah cabang), dimana hukum-hukum itu bisa
berubah lantaran perubahan kepentingan (mashlahah) da bisa menerima naskh.5

B. Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dhohir

4
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet, 8, hlm. 258-259.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 259.

3
Yang dimaksud dengan hukum dhohir adalah dalam hal bagaimana kita
boleh atau harus berpegang pada makna yang dhohir, dan dalam keadaan
bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti dhohir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dhohir
sebagai berikut:
.‫الظاهردليل شرعي يجب اتباعه اال ايد ان يدل الدليل على خال فىه‬
Artinya: “Dhohir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil
yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dhohir nya lah yang dipakai sebagai dalil
dan yang wajib kita ikuti.6

C. Contoh Lafadz Dhohir

Firman Allah SWT:


ّ ِ ‫س ٰذَلِكَ ِبأَنَّه ۡم قَال ٓواْ ِإنَّ َما ۡٱل َب ۡيع مِ ۡثل‬
ْ‫ٱلر َب ٰوا‬ ّ ِ ‫طن مِ نَ ۡٱل َم‬ َ ٰ ‫ش ۡي‬
َّ ‫ٱلر َب ٰواْ َال َيقومونَ ِإ َّال َك َما َيقوم ٱلَّذِي َيت َ َخبَّطه ٱل‬ ّ ِ َ‫ٱلَّذِينَ َي ۡأكلون‬
ٓ
َ‫عادَ فَأ ْو ٰلَئِك‬ ِ ‫ف َوأَمۡ ر ٓهۥ إِلَى َّ ه‬
َ ‫ٱلل َو َم ۡن‬ َ َ‫سل‬ َ ‫ظة ِ ّمن َّربِِّۦه فَٱنت َ َه ٰى فَلَ ۥه َما‬ ِّ َّ‫ٱّللهَّ ۡٱلبَ ۡي ََّعَّ َوحَر ََّم‬
َ ‫ٱلربَ ٰواَّۚ فَ َمن َجا ٓ َءهۥ َم ۡو ِع‬ َّ ََّّ‫َوأَحَل‬
٢٧٥ َ‫ار ه ۡم فِي َها ٰ َخلِدون‬ ِ ‫أَصۡ ٰ َحب ٱل َّن ه‬

Artinya: “orang-orang yang makan (mengaambil) riba tidak dapt berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata)
berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba


dan untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari dhohir
lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.7

6
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 121.
7
Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 172.

4
Kaidah yang berlaku disini adalah, wajib mengamalkan pengertian dhohir
dari suatu ayat atau hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memalingkannya
kepada pengertian yang lain. Jika ada qarinah yang menunjukkan
pengertian lain, lafal dhohir bisa di ta’wil (dipalingkan pengertian lafal itu dari
maknanya yang dhohir kepada makna lain yang tidak dhohir atau tidak cepat dapat
ditangkap.8

Firman Allah SWT:


‫إن خِ ْفت ْم َّاال ت َ ْع ِدل ْوا فَ َواحِ دَة‬
ْ َ‫ع ف‬ َ ‫اب لَك ْم مِ نَ النِّسآءِ َمثْنى َو ث‬
َ ‫لث َو ربا‬ َ ‫ط‬َ ‫فَا ْن ِكح ْوا َما‬
Artinya: “Maka kawinilah perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang
saja.”(QS 4 : 3).

Pada dhohirnya diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan yang


halal karena ini pengertian yang spontan difahamkan dari lafadz, Maka nikahilah
olehmu perempuan-perempuan yang kamu senangi, tanpa memerlukan qarinah.
Bukan maksud pokok pembicaraan ayat. Maksudnya yang asli ialah mencukupkan
jumlah empat atau seorang sebagaimana yang dikemukakan di atas.

8
Satria Effendi, M. Zein, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 224.

5
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian dhahir secara lughat adalah jelas. Dan secara istilah adalah
lafadz yang memiliki dua kemungkinan makna, dimana salah satunya
lebih jelas menurut akal daripada yang lain. Atau dikatakan dalam kitab
lain, lafadz yang menunjukkan pada makna aslinya (wadla’) secara
dhanni (dugaan), serta ada kemungkinan makna lain. Faktor yang
menjadikan makna lebih.jelas secara akal adalah wadla' (peletakan
lafadz atas makna tertentu)
2. Contoh bentuk dhohir seperti contoh ‫ رأيـت اليوم أسدا‬di atas. Atau faktor
dominannya penggunaan arf, contoh lafadz ‫الغائط‬yang menunjukkan
makna perkara (kotoran) yang keiuar dari manusia. Makna ini lebih
rajih (unggul) secara urf daripada makna tempat yang cekung di atas
muka bumi (makna marjuh).

B. Saran
Penulis menyadari dalam makalah yang dibuat banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan jauh dari kesempurnaan. Karena kami dalam langkah belajar, kami
manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Penulis insya allah akan
merevisi makalah dengan mengikuti sumber yang berkomitmen tinggi, dilain waktu
penulis menginginkan penilaian, saran berupa dukungan kepada pembaca
mencakup penjabaran makalah yang telah diuraikan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Basiq Djalil, 2010, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta : Kencana Prenada Media

Group, cet. 1

Rachmat Syafe’i, 2007, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, 2009, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:

Amzah.

Abdul Wahhab Khallaf, 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Muhmmad Abu Zahrah, 1994, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Satria Effendi, M. Zein, 2009, Ushul fiqh, Jakarta: Kencana.

Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan, 2013, Syarah Al- Waraqat

penjelasan dan tanya jawab ushul fiqh, Lirboyo: Santri salaf press.

Anda mungkin juga menyukai