DI
OLEH :
KELOMPOK 2
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
berkat rahmat yang sangat melimpah yang tidak ada henti-hentinya, kami
dengan kenikmatan membuat kami untuk memiliki semangat dan ide dalam
Dan ucapan terima kasih terhadap bapak Fuad, M.A yang telah memberikan
amanah terhadap kami untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Wadhih dan
Mubham”.
Serta dengan rendah hati kami memohon kritik dan saran dari pembaca apabila
terdapat hal yang yang ganjil, agar ke depannya kami bisa lebih baik dalam membuat
karya tulis. Sebab kesempurnaan hanya milik sang pencipta. Dan juga kami
makalah ini.
Demikian yang bisa kami ucapkan, kami berharap makalah yang kami buat
member manfaat kepada pembaca, dan bernilai ibadah disisi Allah Swt. Wallahul
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metodologi fikih dikenal dengan ilmu ushul fikih, ushul fikih dan fikih
merupakan bagian dari bahan ajar atau bidang studi bagi peserta didik di madrasah
penerapannya dalam materi fikih ibadah dan muamalah yang diliputi dengan
berbagai pendapat dan argumen yang berbeda-beda dari para ulama, dan saat ini
mengkaji ilmu ushul fikih terlebih dahulu, sehingga ia dapat mengetahui alasan
ulama menetapkan suatu hukum fikih juga agar tujuan mempelajari ushul fikih ini
tercapai, yaitu terhindar dari sifat taklid atau sifat ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar
ia mengikuti. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang istinbath (cara
pengambilan hukum). Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syariah, dan segi penyelesaian
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengambil hukum dari Alquran dan
As Sunah, yaitu pendekatan lafadz (thuruq lafdziyah) yang sering disebut istinbat
Pada makalah ini, kami akan membahas mengenai “Lafadz yang Ditinjau Dari
Segi Kejelasan maknanya, yaitu lafadz Wadhih dan Ghairu Wadhih (Mubham).”
1
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
(mubham)?.
PEMBAHASAN
Dalam ilmu ushul fikih dalalah atau sering disebut dengan dilalah lafadz nash
adalah suatu yang sangat penting ketika melakukan istinbat hukum. 1 Dilihat dari segi
keberadannya dalalah lafadz nash dapat dibedakan kepada beberapa macam ,baik
dari jelas dan tidak jelasnya. Dalalah nash terdiri dua macam sebagai berikut:
Lafadz Wadhih adalah lafadz yang jelas maknanya, maksud dari lafadz yang
jelas adalah lafadz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa
memerlukan penjelasan dari luar. Lafadz yang jelas juga biasa disebut dengan
zhahirud, maksud dari zhahirud adalah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna
yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri, artinya untuk memahami makna
dari lafadz itu tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.
Lafadz Ghairu wadhih adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maksud dari
lafadz yang tidak jelas maknanya lafadz yang belum jelas penunjukkannya
terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafadz itu.
Lafadz yang tidak jelas juga biasa disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud
dalalah adalah lafadz yang penunjukannya kepada makna yang bukan dikehendaki
oleh sighat itu sendiri, melainkan karena tergantung kepada sesuatu dari luar.
1
Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014), hal. 305.
3
4
lafadznya. Kekaburan lafadz itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan dan
ijtihad.
Lafadz yang tidak terang artinya (ghairu wudhu al-ma’na), ialah lafadz yang
tidak dapat diketahui artinya, lafadz itu baru dapat diketahui maksudnya bila ada
penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz
1. Nash
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara
jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang
menganggapmya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat
2
Amir Syafifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 101.
3
Iyad bin Nami As-Sulmi, Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu, (Riyad: Dar al-
Fikr, Tth), hal. 266.
4
5
2. Zhahir
Secara etimologis, zhahir yaitu sesuatu yang jelas ()الواضح. Sedangkan secara
terminologis, yaitu:
Menurut jumhur ulama ushul fikih, antara lain seperti dikemukakan Ibnu al-
Subki (w. 771 H), ahli ushul fikih dari kalangan Syafi’iyah, berarti lafal yang
menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat Dhanni (dugaan keras).
Artinya, yang dimaksud dengan zhahir dari suatu lafal adalah makna yang cepat
ditangkap dari mendengarkan lafal itu, namun masih ada sedikit kebolehjadian
pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap. Contohnya terdapat pada QS.
Zhahir perkataan tangan adalah anggota yang terkenal, dan bisa menerima
makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat itu baru boleh difungsikan bilamana
didukung oleh dalil seperti akan dijelaskan nanti dalam pembahasan takwil. Menurut
ulama ushul fikih, kaidah yang berlaku disini adalah setiap lafal zhahir harus
dipegang makna zhahir-nya itu selama tidak ada petunjuk bahwa maksud
3. Mufassar
ما دل بنفسه على معناه المفصل تفصيال ال يبقى معه احتمال للتأويل
“Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci, yang
tidak mungkin ditakwil.”
Kejelasan lafal mufassar ini ada kalanya disebabkan lafal itu sendiri yang telah
menuntaskan penjelasannya. Misalnya, dalam suatu lafal telah ada penjelasan berupa
jumlah tertentu, yang tidak mungkin lagi ditambah atau dikurangi. 5 Contohnya
ت ث ُ َّم لَم يَأْتُوا بِّأَربَعَ ِّة شُ َهدَآ َء فَا ْ ْج ِّلد ُ ث َ َمنِّينَ َجلدَة َ َوالَّذِّينَ يَر ُمونَ ال ُمح
ِّ َصن
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbiat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera...”
Kalimat “delapan puluh kali dera” merupakan lafal yang mufassar, karena
4. Muhkam
ما دل على معناه الذي ال يقبل ابطاال وال تبديال بنفسه دالله واضحة ال يبقى معها احتمال للتأويل
“Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin
menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas
dengan sendirinya.”
5
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 165.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syahab
al-Ahzar, 1990), hal. 168.
6
7
bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selama-lamanya, dalam arti
1. Khafi
ولكن في انتباق معناه على بعض األفراد نوع غمود وخفاء،اللفظ الذي يدل معناه داللة ظاهرة
تحتاج إزالته إلى نظر وتأمل
“Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas, tetapi
dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaan
yang membutuhkan kepada analisa dan pemikiran.”
Lafal khafi jelas, namun dalam berbagai kasus timbul kesamaran. Kesamaran
ini muncul karena adanya kasus-kasus yang mempunyai suatu nama khusus yang
َ َّارقَةُ فَق
.....طعُوا أي ِّديَ ُه َما ِّ َّار ُق َوالس
ِّ َوالس
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya....”
mengambil harta yang bernilai milik orang lain dari tempat penyimpanannya
7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, …, hal, 170.
8
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 174.
7
8
banyak, yakni pencopet, perampok, pencuri, dan lain sebagainya yang mempunyai
kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan pencuri dalam arti di atas.
Apakah sanksi potong tangan diperlakukan terdapat semua satuan arti itu. Di
umum dan khusus yang menjadi landasan hukum. Cara tersebut dapat
lafal atau mempersempit dengan mengacu ‘illat atau alasan hukum yang terdapat
2. Musykil
، وال توجد قرائن خارجية تبين ما يراد منه،اللفظ الذي ال تدل صيغته بنفسها على المراد منه
“Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya, tetapi dapat
diketahui melalui qarinah (indikasi) luar yang menjelaskan maksudnya.”
Beda antara khafi dan musykil: kesamaran pada musykil datang dari lafal itu
sendiri, sedangkan kesamaran pada khafi datang dari luar lafal, sementara lafalnya
musytarak, yaitu lafal yang menunjukkan dua makna atau lebih secara bergantian,
9
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 176.
10
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 328.
11
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 177.
8
9
tanpa ada penunjukkan pada salah satu makna tertentu. Selanjutnya, untuk
pada susunan kalimatnya, atau dalil lain di luar lafal itu. Contohnya dalam QS. al-
Lafal “ ”قُ ُروءpada ayat di atas mempunyai makna ganda, yaitu haid dan suci.
Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karena lafal tersebut
lafal musykil.
3. Mujmal
Secara etimologis mujmal yaitu ( والموع المبهمsesuatu yang tidak jelas dan
إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره,ما يتوقف فهم المراد منه على غيره
“Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain.
Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya, atau kadarnya.”
Menurut Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) mujmal berarti lafal yang tidak jelas
Bayan.
Al-Bazdawi dalam kitab Ushul Fiqh nya mendefinisikan bahwa mujmal, ialah
ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang
dimaksud diantara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang
dimaksud tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus
9
10
Dari sini terlihat dengan jelas perbedaan mujmal dengan musykil, dan khafi,
yakni mujmal tidal mungkin diketahui rinciannya dari lafalnya sendiri atau
melalui penafsiran ijtihad fikih semata. 12 Contohnya, firman Allah dalam QS. al-
bagaimana tata cara dan sifat shalat. Dan perintah zakat masih bersifat mujmal,
4. Mutasyabih
واستأثر، وال توجد قرائن خارجية تبينه،اللفظ الذي ال تدل صيغته بنفسها على المراد منه
الشارع بعلمه فلم يفسره
“Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepada
maksudnya itu, dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya,
hanya Allah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa
diinterpretasikan.”
maknanya dan tidak ada jalan bagi pemikiran ulama untuk mengetahuinya. Lafal
semacam ini hanya Allah lah yang mengetahui artinya, misalnya potongan huruf
yang terdapat pada awal surat Alquran dan tidak ada penjelasan yang
12
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), hal. 55.
13
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,…, hal. 175.
14
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 181.
10
11
Alif laam miim, merupakan ayat mutasyabih, tidak diketahui apa maksudnya
dan tidak bisa ditafsirkan, karena yang tahu maksudnya hanyalah Allah SWT.
Ketidak jelasan lafal mutasyabih ini adalah karena shighat nya sendiri tidak
memberikan arti yang dimaksud, tidak pula qarinah yang akan menjelaskan
penjelasan. Dalam hal ini, akal (daya nalar) manusia tidak dapat berbuat sesuatu
15
Mardani, Ushul Fiqh, …, hal 328.
16
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, …, hal 57.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lafal yang jelas maknanya (wadhih) adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu
sesuatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk menjelaskannya. Lafal itu sudah
dapat dipahami maknanya tanpa bantuan penjelasan lain, sehingga taklif yang
lafal yang maknanya masih samar sehingga belum bisa dipahami. Kesamaran itu
timbul dari lafal itu sendiri atau sesuatu di luar lafal itu. Akibatnya lafal
semacam ini tidak bisa diamalkan begitu saja, ia membutuhkan penjelasan lain
B. Saran
Agar dimasa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi, kita harus lebih banyak
belajar dan terus melatih ilmu yang kita peroleh. Kami sadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalamsegi penulisan maupun
susunan kalimatnya. Maka dari itu, sangatlah dibutuhkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Agar penulisan makalah dilain kesempatan bisa jauh
lebih baik lagi. Pesan kami jangan pernah berhenti untuk belajar, karena kunci
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
As-Sulmi, Iyad bin Nami. Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu. Riyad:
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-
Sanusi, Ahmad dan Sohari. Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2015.
Syafifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2012.
13