Anda di halaman 1dari 16

WADHIH DAN MUBHAM

DI

OLEH :

KELOMPOK 2

DILLA ASYIFA 21231280


HAZIFAH HANUM 21231283
PUTRI PASYA HUMAIRA 21231293

DOSEN PEMBIMBING : FUAD, M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL HILAL SIGLI

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

‫علَ ْيكُ ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َركَات ُه‬


َ ‫سالَ ُم‬
َّ ‫ال‬
Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Atas

berkat rahmat yang sangat melimpah yang tidak ada henti-hentinya, kami

mengucapkan rasa syukur terhadap-Nya. Karena berkat rahmat-Nya yang penuh

dengan kenikmatan membuat kami untuk memiliki semangat dan ide dalam

menyelesaikan makalah kami.

Dan ucapan terima kasih terhadap bapak Fuad, M.A yang telah memberikan

amanah terhadap kami untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Wadhih dan
Mubham”.

Serta dengan rendah hati kami memohon kritik dan saran dari pembaca apabila

terdapat hal yang yang ganjil, agar ke depannya kami bisa lebih baik dalam membuat

karya tulis. Sebab kesempurnaan hanya milik sang pencipta. Dan juga kami

mengucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusuan

makalah ini.

Demikian yang bisa kami ucapkan, kami berharap makalah yang kami buat

member manfaat kepada pembaca, dan bernilai ibadah disisi Allah Swt. Wallahul

Muaffieq Ila Aqwamith Thariq.

Keuniree, 08 Mei 2022

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Pengertian Wadhih dan Ghairu Wadhih (Mubham) ............................... 3


B. Macam-Macam Lafadz Wadhih ............................................................. 4

C. Macam-Macam Lafadz Ghairu Wadhih (Mubham) ................................ 7

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12

A. Kesimpulan ........................................................................................... 12

B. Saran .................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Metodologi fikih dikenal dengan ilmu ushul fikih, ushul fikih dan fikih

merupakan bagian dari bahan ajar atau bidang studi bagi peserta didik di madrasah

maupun di perguruan tinggi. Materinya mencangkup metodologi ushul fikih dan

penerapannya dalam materi fikih ibadah dan muamalah yang diliputi dengan

berbagai pendapat dan argumen yang berbeda-beda dari para ulama, dan saat ini

cukup berkembang di Indonesia.

Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji meteri fikih, hendaknya ia telah

mengkaji ilmu ushul fikih terlebih dahulu, sehingga ia dapat mengetahui alasan

ulama menetapkan suatu hukum fikih juga agar tujuan mempelajari ushul fikih ini

tercapai, yaitu terhindar dari sifat taklid atau sifat ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar

ia mengikuti. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang istinbath (cara

pengambilan hukum). Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syariah, dan segi penyelesaian

beberapa dalil yang bertentangan.

Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengambil hukum dari Alquran dan

As Sunah, yaitu pendekatan lafadz (thuruq lafdziyah) yang sering disebut istinbat

dan pendekatan makna (thuruq ma’nawiyah) disebut juga istidlal.

Pada makalah ini, kami akan membahas mengenai “Lafadz yang Ditinjau Dari

Segi Kejelasan maknanya, yaitu lafadz Wadhih dan Ghairu Wadhih (Mubham).”

1
2

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian lafadz wadhih dan ghairu wadhih (mubham)?


2. Sebutkan macam-macam lafadz wadhih?
3. Sebutkan macam-macam lafadz ghairu wadhih (mubham)??

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari lafadz wadhih dan ghairu wadhih

(mubham)?.

2. Untuk mengetahui macam-macam lafadz wadhih.


3. Untuk mengetahui macam-macam lafadz ghairu wadhih (mubham)?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadhih dan Ghairu Wadhih (Mubham)

Dalam ilmu ushul fikih dalalah atau sering disebut dengan dilalah lafadz nash

adalah suatu yang sangat penting ketika melakukan istinbat hukum. 1 Dilihat dari segi

keberadannya dalalah lafadz nash dapat dibedakan kepada beberapa macam ,baik

dari jelas dan tidak jelasnya. Dalalah nash terdiri dua macam sebagai berikut:

1. Dalalah nash yang jelas maknanya (wadhih)

Lafadz Wadhih adalah lafadz yang jelas maknanya, maksud dari lafadz yang

jelas adalah lafadz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa

memerlukan penjelasan dari luar. Lafadz yang jelas juga biasa disebut dengan

zhahirud, maksud dari zhahirud adalah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna

yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri, artinya untuk memahami makna

dari lafadz itu tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.

2. Dalalah nash yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih)

Lafadz Ghairu wadhih adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maksud dari

lafadz yang tidak jelas maknanya lafadz yang belum jelas penunjukkannya

terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafadz itu.

Lafadz yang tidak jelas juga biasa disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud

dalalah adalah lafadz yang penunjukannya kepada makna yang bukan dikehendaki

oleh sighat itu sendiri, melainkan karena tergantung kepada sesuatu dari luar.

Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar dikarenakan adanya kekaburan pada

1
Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014), hal. 305.
3
4

lafadznya. Kekaburan lafadz itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan dan

ijtihad.

Lafadz yang tidak terang artinya (ghairu wudhu al-ma’na), ialah lafadz yang

tidak dapat diketahui artinya, lafadz itu baru dapat diketahui maksudnya bila ada

penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz

mubham.2 Sehingga lafadz mubham sama dengan lafadz ghairu wadhih.

B. Macam-Macam Lafadz Wadhih

Bagian-bagian dalam wadhih menurut Hanafiyah sebagai berikut.

1. Nash

Secara terminologis, nash yaitu membuka (‫ )الكشف‬dan menjelaskan (‫)الظهور‬.

Ulama ushul memberikan definisi nash yaitu:3

‫ما دل على معناه داللة ال تحتمل التأويل‬


“Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada
kemungkinan untuk ditakwil.”

Contohnya terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 275:

ِّ ‫َو أ َ َحلَّ هللاُ ال َبي َع َو َح َّر َم‬


‫الر َبواقلى‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara

jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang

menganggapmya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat

tersebut tanpa perlu ada bantuan penjelasan lain.

2
Amir Syafifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 101.
3
Iyad bin Nami As-Sulmi, Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu, (Riyad: Dar al-
Fikr, Tth), hal. 266.
4
5

2. Zhahir

Secara etimologis, zhahir yaitu sesuatu yang jelas (‫)الواضح‬. Sedangkan secara

terminologis, yaitu:

‫ما احتمل معنيين هو في أحدهما أظهر‬


“Lafal yang memiliki dua kemungkinan makna, namun salah satu diantara
keduanya lebih jelas.”

Menurut jumhur ulama ushul fikih, antara lain seperti dikemukakan Ibnu al-

Subki (w. 771 H), ahli ushul fikih dari kalangan Syafi’iyah, berarti lafal yang

menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat Dhanni (dugaan keras).

Artinya, yang dimaksud dengan zhahir dari suatu lafal adalah makna yang cepat

ditangkap dari mendengarkan lafal itu, namun masih ada sedikit kebolehjadian

pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap. Contohnya terdapat pada QS.

Adz Dzariyat: 47:

‫س َمآ َء َبنَينَا هَا ِّبأَيد‬


َّ ‫َوال‬
”Dan Kami telah membangun langit dengan tangan-tangan.”

Zhahir perkataan tangan adalah anggota yang terkenal, dan bisa menerima

makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat itu baru boleh difungsikan bilamana

didukung oleh dalil seperti akan dijelaskan nanti dalam pembahasan takwil. Menurut

ulama ushul fikih, kaidah yang berlaku disini adalah setiap lafal zhahir harus

dipegang makna zhahir-nya itu selama tidak ada petunjuk bahwa maksud

pembicaraan adalah makna yang tersembunyi. 4

3. Mufassar

Secara terminologis, mufassar yaitu:


4
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 221.
5
6

‫ما دل بنفسه على معناه المفصل تفصيال ال يبقى معه احتمال للتأويل‬

“Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci, yang
tidak mungkin ditakwil.”

Kejelasan lafal mufassar ini ada kalanya disebabkan lafal itu sendiri yang telah

menuntaskan penjelasannya. Misalnya, dalam suatu lafal telah ada penjelasan berupa

jumlah tertentu, yang tidak mungkin lagi ditambah atau dikurangi. 5 Contohnya

terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur (24): 4:

‫ت ث ُ َّم لَم يَأْتُوا بِّأَربَعَ ِّة شُ َهدَآ َء فَا ْ ْج ِّلد ُ ث َ َمنِّينَ َجلدَة‬ َ ‫َوالَّذِّينَ يَر ُمونَ ال ُمح‬
ِّ َ‫صن‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbiat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera...”

Kalimat “delapan puluh kali dera” merupakan lafal yang mufassar, karena

merupakan jumlah tertentu, tak lebih dan tak kurang.

4. Muhkam

Secara terminologis, muhkam yaitu: 6

‫ما دل على معناه الذي ال يقبل ابطاال وال تبديال بنفسه دالله واضحة ال يبقى معها احتمال للتأويل‬
“Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin
menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas
dengan sendirinya.”

Contohnya terdapat dalam QS. An-Nur (24): 24:

‫َو َال ت َقبَلُواْ لَ ُهم شَ َهدَة أَبَدا‬


“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik.”

5
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 165.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syahab
al-Ahzar, 1990), hal. 168.
6
7

Kata “‫( ”أَبَدا‬selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat di atas menunjukkan

bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selama-lamanya, dalam arti

tidak dapat dicabut.

C. Macam-Macam Lafadz Ghairu Wadhih (Mubham)

Bagian-bagian dalam ghairu wadhih ad-dalalah sebagai berikut:

1. Khafi

Secara terminologis, khafi yaitu:7

‫ ولكن في انتباق معناه على بعض األفراد نوع غمود وخفاء‬،‫اللفظ الذي يدل معناه داللة ظاهرة‬
‫تحتاج إزالته إلى نظر وتأمل‬
“Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas, tetapi
dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaan
yang membutuhkan kepada analisa dan pemikiran.”

Lafal khafi jelas, namun dalam berbagai kasus timbul kesamaran. Kesamaran

ini muncul karena adanya kasus-kasus yang mempunyai suatu nama khusus yang

berlainan dengan yang disebutkan dengan lafalnya. Tambahan, kekurangan, atau

penamaan yang berbeda menyebabkan kesamaran dan keserupaan. 8 Contohnya

terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 38:

َ ‫َّارقَةُ فَق‬
.....‫طعُوا أي ِّديَ ُه َما‬ ِّ ‫َّار ُق َوالس‬
ِّ ‫َوالس‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya....”

Lafal “‫َّار ُق‬


ِّ ‫ ”الس‬itu sendiri sebenarnya cukup jelas, yaitu ‘orang yang

mengambil harta yang bernilai milik orang lain dari tempat penyimpanannya

secara sembunyi-sembunyi’. Penerapan hukuman terhadap pencuri dengan arti

tersebut juga jelas. Namun lafal “‫َّار ُق‬


ِّ ‫ ”الس‬itu mempunyai satuan arti (afrad)

7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, …, hal, 170.
8
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 174.
7
8

banyak, yakni pencopet, perampok, pencuri, dan lain sebagainya yang mempunyai

kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan pencuri dalam arti di atas.

Apakah sanksi potong tangan diperlakukan terdapat semua satuan arti itu. Di

sinilah timbul kesamaran tersebut.

Selanjutnya cara untuk menghilangkan kesamaran lafal yang khafi adalah

pembahasan, pengkajian yang serius guna mengungkapkan maksud-maksud

umum dan khusus yang menjadi landasan hukum. Cara tersebut dapat

memperluas jangkauan dalalah hukum. Cara tersebut dapat memperluas dalalah

lafal atau mempersempit dengan mengacu ‘illat atau alasan hukum yang terdapat

di dalamnya. Bagaimana juga tinjauan yang lebih luas tentang kemaslahatan

umum haruslah menjadi bahan pertimbangan seorang pengkaji dan peneliti di

bidang ini, di samping kemaslahatan yang bersifat khusus. 9

2. Musykil

Secara terminologis, musykil yaitu:10

،‫ وال توجد قرائن خارجية تبين ما يراد منه‬،‫اللفظ الذي ال تدل صيغته بنفسها على المراد منه‬
“Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya, tetapi dapat
diketahui melalui qarinah (indikasi) luar yang menjelaskan maksudnya.”

Beda antara khafi dan musykil: kesamaran pada musykil datang dari lafal itu

sendiri, sedangkan kesamaran pada khafi datang dari luar lafal, sementara lafalnya

sendiri jelas tanpa perlu bantuan qarinah, atau dalil lain. 11

Sebab kemusykilan lafal musykil adalah keberadaan lafal itu sebagai

musytarak, yaitu lafal yang menunjukkan dua makna atau lebih secara bergantian,

9
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 176.
10
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 328.
11
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 177.
8
9

tanpa ada penunjukkan pada salah satu makna tertentu. Selanjutnya, untuk

mengetahui maksudnya diperlukan adanya dalil berupa qarinah yang terdapat

pada susunan kalimatnya, atau dalil lain di luar lafal itu. Contohnya dalam QS. al-

Baqarah (2): 228:

‫طلَّقَتُ يَت ََربَّصنَ ِّبأَنفُ ِّس ِّه َّن ثَلَثَةَ قُ ُروءج‬


َ ‫َوال ُم‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru.”

Lafal “‫ ”قُ ُروء‬pada ayat di atas mempunyai makna ganda, yaitu haid dan suci.

Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karena lafal tersebut

lafal musykil.

3. Mujmal

Secara etimologis mujmal yaitu ‫( والموع المبهم‬sesuatu yang tidak jelas dan

menggabungkan). Sedangkan secara terminologis, mujmal yaitu:

‫ إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره‬,‫ما يتوقف فهم المراد منه على غيره‬
“Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain.
Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya, atau kadarnya.”

Menurut Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) mujmal berarti lafal yang tidak jelas

pengertiannya sehingga nuk memahaminya memerlukan penjelasan dari luar al-

Bayan.

Al-Bazdawi dalam kitab Ushul Fiqh nya mendefinisikan bahwa mujmal, ialah

ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang

dimaksud diantara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang

dimaksud tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus

ditafsiri, diteliti, dan dipikir secara mendalam.

9
10

Dari sini terlihat dengan jelas perbedaan mujmal dengan musykil, dan khafi,

yakni mujmal tidal mungkin diketahui rinciannya dari lafalnya sendiri atau

melalui penafsiran ijtihad fikih semata. 12 Contohnya, firman Allah dalam QS. al-

Baqarah (2): 43:

َّ ‫واالزكَوة َ َو ْر َكعُوا َم َع‬


َ‫الر ِّكعِّين‬ َّ ‫َو أَقِّي ُموا ال‬
َّ ُ ‫صلَوة َ َو َءات‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-


orang yang ruku’.”

Perintah shalat diatas masih bersifat mujmal, karena tidak dijelaskan

bagaimana tata cara dan sifat shalat. Dan perintah zakat masih bersifat mujmal,

karena tidak dijelaskan kadarnya.

4. Mutasyabih

Secara terminologis, mutasyabih yaitu: 13

‫ واستأثر‬،‫ وال توجد قرائن خارجية تبينه‬،‫اللفظ الذي ال تدل صيغته بنفسها على المراد منه‬
‫الشارع بعلمه فلم يفسره‬
“Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepada
maksudnya itu, dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya,
hanya Allah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa
diinterpretasikan.”

Lafal mutasyabih merupakan lafal yang sama sekali tidak diketahui

maknanya dan tidak ada jalan bagi pemikiran ulama untuk mengetahuinya. Lafal

semacam ini hanya Allah lah yang mengetahui artinya, misalnya potongan huruf

yang terdapat pada awal surat Alquran dan tidak ada penjelasan yang

menafsirkannya sama sekali, baik dari Alquran maupun Sunah Nabi. 14

12
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), hal. 55.
13
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,…, hal. 175.
14
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, …, hal. 181.
10
11

Bentuk mutasyabih itu ada dua bentuk, yaitu:15

a. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat pada pembukaan

beberapa surah dalam Alquran.Contohnya terdapat dalam surah Al-Baqarah

(2) : 1 : ‫الم‬ “Aliflaammiim.”

Alif laam miim, merupakan ayat mutasyabih, tidak diketahui apa maksudnya

dan tidak bisa ditafsirkan, karena yang tahu maksudnya hanyalah Allah SWT.

b. Ayat-ayat yang secara zahirnya Allah Swt, dengan makhluk-Nya. Misalnya

dalam surah ar-Rahman (55) : 27

‫كر ِّم‬ ِّ ‫َويَبقَى َوجهُ َربِّكَ ذُو ال َجلَ ِّل َو‬


َ ‫اإل‬

“Dan tetap kekal ‘wajahTuhanmu’ yang mempunyai kebesaran dan


kemuliaan.”

Ketidak jelasan lafal mutasyabih ini adalah karena shighat nya sendiri tidak

memberikan arti yang dimaksud, tidak pula qarinah yang akan menjelaskan

maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada

penjelasan. Dalam hal ini, akal (daya nalar) manusia tidak dapat berbuat sesuatu

kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui

kelemahan dan kekurangmampuan manusia. 16

15
Mardani, Ushul Fiqh, …, hal 328.
16
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, …, hal 57.
11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Lafal yang jelas maknanya (wadhih) adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu

pengertian berdasarkan shigat lafal itu sendiri, tanpa ketergantungan pada

sesuatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk menjelaskannya. Lafal itu sudah

dapat dipahami maknanya tanpa bantuan penjelasan lain, sehingga taklif yang

dikehendaki dalam lafal itu dapat dilaksanakan.


2. Lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih atau mubham) adalah suatu

lafal yang maknanya masih samar sehingga belum bisa dipahami. Kesamaran itu

timbul dari lafal itu sendiri atau sesuatu di luar lafal itu. Akibatnya lafal

semacam ini tidak bisa diamalkan begitu saja, ia membutuhkan penjelasan lain

agar pengertiannya menjadi jelas dan dapat dipahami.

3. Bagian-bagian wadhih adalah: a) Nash; b) Zhahir; c) Mufassar; dan d) Muhkam.

4. Bagian-bagian ghairu wadhih ad-dalalah adalah: a) Khafi; b) Musykil; c)

Mujmal; dan d) Mutasyabih.

B. Saran

Agar dimasa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi, kita harus lebih banyak

belajar dan terus melatih ilmu yang kita peroleh. Kami sadari dalam penulisan

makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalamsegi penulisan maupun

susunan kalimatnya. Maka dari itu, sangatlah dibutuhkan kritik dan saran yang

membangun dari pembaca. Agar penulisan makalah dilain kesempatan bisa jauh

lebih baik lagi. Pesan kami jangan pernah berhenti untuk belajar, karena kunci

kesuksesan adalah dengan cara belajar dan terus berusaha.

12
DAFTAR KEPUSTAKAAN

As-Sulmi, Iyad bin Nami. Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu. Riyad:

Dar al-Fikr. Tth.

Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-

Islamiyah Syahab al-Ahzar. 1990.

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.

Romli. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2014.

Sanusi, Ahmad dan Sohari. Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2015.

Syafifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. 2012.

Zein, Satria Efendi M. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai