MAKALAH
Dibuat Menjadi Bahan Presentasi Serta Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Qawaid al-
Tafsir” Semester 5 Tahun Akademik 2021
Oleh :
Kelompok 1
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Dialah yang jika tidak
karena kehendak-Nya tidak mungkin sesuatu, dimana pun dan dalam keadaan bagaimana
pun, mendapatkan pertolongan serta atas izin Allah, Alhamdulillah kami dapat
menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, ialah Nabi yang senantiasa menjadi
teladan bagi siapapun tanpa memandang zaman.
Sebelumnya terima kasih kepada pihak-pihak yang telah ikut berkontribusi dalam
makalah ini, baik dari segi penyusunan maupun ilmu. Kami menyadari bahwa makalah kami
ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak yang perlu dibenahi. Oleh karena itu,
kami akan sangat menghargai kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian
guna menyempurnakan makalah ini. Terima kasih.
Kelompok II
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN.......................................................................................................................2
A. Definisi Wadhih Al-Dalalah.........................................................................................2
B. Tingkatan Lafal dari Segi Kejelasannya.....................................................................2
a. Nash............................................................................................................................2
b. Dzhahir.......................................................................................................................3
c. Mufassar.....................................................................................................................3
d. Muhkam.....................................................................................................................4
C. Urgensi Mempelajari Kaidah Wadhih Al-Dalalah....................................................5
BAB III
PENUTUP.................................................................................................................................7
A. Kesimpulan....................................................................................................................7
B. Saran...............................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................8
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab agung yang dikaruniakan oleh Allah SWT sebagai
pedoman ummat Islam di muka bumi ini. Begitu juga dengan hadits, sebagai penjelas
dari bentuk Al-Quran yang masih bersifat global. Maka, perlunya memahami nas-
nash yang terkandung di dalamnya sebagai peninjau hukum bagi kehidupan kita.
Fuqaha’ menyebutkan, “Min aladzdzil fiqh fahmu istid-laalaat an-nusuush.”,
bahwa termasuk dari nikmatnya ilmu fiqih adalah memahami dalil-dalil nash. Oleh
sebab itu, besarnya perhatian ulama’ dalam memahami beberapa kaidah, diantaranya
Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah, sehingga dapat meganalisa dan memahami
dalil-dalil nash yang ada, sehingga menjadi sesuatu yang sangat urgen di kalangan
para ulama’ dalam memahami hukum fiqh.
Kaidah Ushuliyyah Al-Lughawiyyah berperan penting di dalam memahami
nash-nash syar’i. Berbagai macam dari kalangan ulama’ dalam memaknai dan
memberikan tingkatan Kaidah Ushuliyyah al-Lughawiyyah, akan tetapi seluruhnya
merujuk kepada satu makna, yaitu memahami suatu nash berdasarkan apa yang
dikehendaki syariat. Dengan begitu, penulis ingin memaparkan istilah di dalam
pembahasan ini sebagaimana yang diperincikan oleh ulama’ Hanafiyah, yang pada
umumnya sepadan dengan keadaan masa kini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Wadhih al-Dalalah?
2. Bagaimana Kaedah-Kaedah dari Wadhih al-Dalalah?
3. Apa urgensi dari mempelajari Kaedah Wadhih al-Dalalah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi dari Wadhih al-Dalalah.
2. Untuk mengetahui Kaedah-Kaedah dari Wadhih al-Dalalah.
3. Untuk mengetahui urgensi dari mempelajari Kaedah Wadhih al-Dalalah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Wadhih Al-Dalalah
Wadhih al-Dalalah atau al-Lafdziyyah maknanya adalah kejelasan dalil atau
kejelasan lafadz. Menurut ahli ushul Wadhih al-Dalalah merupakan suatu nash atau
lafadz yang jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya sendiri
tanpa bergantung kepada faktor eksternal.1 Yang artinya lafadz itu sudah dapat
dipahami maknanya tanpa bantuan dari penjelasan lain, sehingga taklif yang
dikehendaki dalam lafadz itu dapat dilaksanakan.
Hukum daripada wadhih al-dalalah adalah seluruh nash yang terdapat pada
wadhih al-dalalah wajib diamalkan dengan apa yang terdapat di dalam istilah wadhih
al-dalalah. Meskipun begitu, nash-nash tersebut tidak sah untuk ditakwil kecuali
dengan dalil yang sah.2
1
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz Fii Ushul al-Fiqh, hal. 175.
2
Abdullah bin Yusuf Al-Judai, Tafsir Ushul Fiqh, hal. 293.
3
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 199.
2
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan
nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan untuk perspektif orang-
orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dengan jelas hanya
melalui ungkapan keseluruhan ayat tersebut tanpa perlu ada bantuan
penjelasan lain.
b. Dzhahir
Secara etimologis, dzahir yaitu sesuatu yang jelas ()الواضح. Sedangkan
secara terminologis, yaitu:
هو في أحدهما أظهرbما احتمل معنيين
“Lafal yang memiliki dua kemungkinan makna, namun salah satu
diantara keduanya lebih jelas.”
Adapun menurut istilah, menurut jumhur ulama ushul fiqh antara lain
seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Subki (w. 771 H) dari kalangan
Syafi’iyyah yaitu,
“Lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke
tingkat zhanny (dugaan keras).”
Maksudnya yaitu yang dimaksud dengan makna zhahir dari suatu lafal
adalah makna yang cepat ditangkap dari mendengarkan lafal itu, meski tidak
menutup kemungkinan adanya sedikit pengertian lain selain pengertian yang
cepat ditangkap tersebut.
Sebagai contohnya, dalam QS. An-Nisa (4): 3,
4
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz Fii Ushul al-Fiqh, hal. 175.
3
c. Mufassar
Mufassar ialah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas
dan perinci tanpa ada kemungkinan untuk dipalingkan kepada pengertian lain
(ta’wil).5
Secara terminologis, mufassar yaitu:6
ما دل بنفسه على معناه المفصل تفصيال ال يبقى معه احتمال للتأويل
“Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang
terinci, yang tidak mungkin ditakwil.”
Sebagai contohnya, terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur (24): 4,
5
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 205.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 166.
4
“Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan kepada maknanya, yang
tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya secara jelas,
dan sama sekali tidak mengandung takwil, yaitu tidak menghendaki arti lain
yang bukan dari zahirnya. Karena ia dijelaskan dan ditafsiri dengan
penafsiran yang tidak membuka kemungkinan pentakwilan baginya. Juga
tidak menerima nash pada masa kerasulan dan pada masa fatrah tanzil
(kekosongan waktu) dan tidak juga sesudahnya. Ini karena hukum yang dapat
digali dari lafadz tersebut adakalanya berupa hokum asasi seperti kaidah-
kaidah pokok agama yang tidak menerima penggantian.”7
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah bahwasanya nash syar’i
atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam
melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna
yang dipahami dari ibaratnya dan huruf-hurufnya, akan tetapi terkadang pula ia
menunjukkan berbagai makna yang dipahami dari isyaratnya, dari dalalah-nya, dan
dari iqtidha’-nya. Setiap makna dari makna-maknanya yang dipahami dengan salah
satu dari cara-cara tersebut maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh
nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya.
Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga
7
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hal. 168.
5
dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash tersebut, dengan salah
satu cara yang diakui menurut Bahasa.
Untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang terkandung dalam lafadz nash,
baik secara harfiyah maupun secara maknawiyah maka sebagai seorang faqih harus
mengerti tata cara pemahaman lafadz itu, yaitu dengan cara mempelajari konsep
dalalah yang telah disusun oleh ulama ushuliyyah.
Pembahasan tentang dalalah ini juga termasuk dalam salah satu cara
mempertajam sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin, bahwa untuk mengetahui
sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup
dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan
isyarat disebut dengan berpikir secara dalalah.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tentang kaidah wadhih al-dalalah di atas, dapat disimpulkan
beberapa poin berikut ini.
1. Wadhih al-Dalalah atau al-Lafdziyyah maknanya adalah kejelasan dalil atau
kejelasan lafadz. Menurut ahli ushul Wadhih al-Dalalah merupakan suatu nash
atau lafadz yang jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya
sendiri tanpa bergantung kepada faktor eksternal. Yang artinya lafadz itu
sudah dapat dipahami maknanya tanpa bantuan dari penjelasan lain, sehingga
taklif yang dikehendaki dalam lafadz itu dapat dilaksanakan.
2. Ada empat tingkatan kaidah wadhih al-dalalah antara lain:
a. Nas. Secara etimologi nas berarti mengangkat sesuatu sehingga menjadi
tampak atau terang. Beberapa contoh penggunaan dalam kalimat. Sebelum
menjelaskan makna terminologisnya, perlu dikemukakan bahwa nas yang
dimaksud di sini bukanlah sebagaimana pemakaian yang lebih lazim
dikenal, yaitu berupa dalil syara’ seperti ayat al-Quran atau matan hadis
dan bukan pula dalam arti fiqh mazhab yaitu qaul (pendapat) seorang
mazhab yang dijadikan dasar untuk melakukan ijtihad bagi pengikutnya,
tapi tentu saja dalam koridor pembahasan lafaz dari segi kejelasan artinya.
b. Dzahir adalah suatu lafaz yang menunjukkan suatu dengan rumusan lafaz
itu sendiri tanpa menunggu qarīnah yang ada di luar lafaz itu sendiri,
namun mempunyai kemungkinan di takhṣīṣ, di ta’wīl dan di naskh.
c. Mufassar adalah lafaz yang menunjukkan pada sebuah ketentuan hukum
secara jelas tanpa membuka peluan sama sekali untuk dita’wil, ditakhsis,
akan tetapi terkadang menerima naskh pada masa risalah. Sedangkan
d. Muhkam menurut Muhammad Adib Salih adalah lafaz yang menunjukkan
maknanya sendiri secara jelas dan pasti, serta tidak sedikit pun
mengandung kemungkinan untuk dita’wil, ditakhsis dan dinaskh baik
pada masa rasul, apalagi setelah wafatnya
3. Adapun urgensi dalam mempelajari kaidah wadhih al-dalalah ini adalah
Untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang terkandung dalam lafadz nash,
7
baik secara harfiyah maupun secara maknawiyah maka sebagai seorang faqih
harus mengerti tata cara pemahaman lafadz itu, yaitu dengan cara mempelajari
konsep dalalah yang telah disusun oleh ulama ushuliyyah. Pembahasan
tentang dalalah ini juga termasuk dalam salah satu cara mempertajam sistem
berpikir. Menurut Amir Syarifuddin, bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak
mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan
menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan
isyarat disebut dengan berpikir secara dalalah.
B. Saran
8
DAFTAR PUSTAKA
https://tafsirweb.com/6132-quran-surat-an-nur-ayat-4.html
https://tafsirweb.com/1535-quran-surat-an-nisa-ayat-3.html
http://mba4yunanakeabiumi.blogspot.com/2016/09/wadhih-ad-dalalah.html?m=1
http://zulymaratul.blogspot.com/2018/05/lafal-yang-ditinjau-dari-segi.html?m=1
Khalaf, Abdul Wahab, Uṣāl al Fiqh, Kairo: Daar al- Qalam, 1978.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Zuh}aili, Wah}bah al, Uṣӣl al Fiqh al Islāmī, Cet. II, Damaskus: Dar al Fikr, 2001.