Anda di halaman 1dari 4

Agama dalam Pusaran Kepentingan

Syamsul Arif Galib (Tribun Timur, 12 Mei 2017)

Agama sering dipandang sebagai salah satu perekat sosial.


Masyarakat bumi yang begitu beragam suku, budaya hingga
Negara dapat disatukan dalam sebuah keluarga besar yang
kita sebut agama. Seseorang akan merasa bagian dari orang
lain jika memiliki kesamaan agama. Teks-teks suci dengan
jelas menyebutkan bahwa mereka yang seagama adalah
saudara. Dalam konteks Islam, Q.S. Al-Hujurat; 10,
menyebutkan: “Innama al mu’minuna Ikhwah.”

Ingatan saya kembali ke akhir tahun 2010. Saat itu saya


mengunjungi Los Angeles, California. Menjelang kepulangan,
bersama dengan teman, kami menyempatkan diri untuk membeli
cinderamata. Saya lalu mengunjungi sebuah toko yang ternyata
milik seorang Muslim. Melihat teman saya yang memakai hijab
(kerudung), sang pemilik toko langsung mengatakan bahwa kami
adalah saudaranya. Kamipun mendapatkan “harga saudara.” Jauh
lebih murah dibanding harga normal yang diberikan kepada orang
lain.

Apa yang terjadi saat itu mungkin dapat menjadi bukti bagaimana
agama mengikat banyak orang berada dalam sebuah keluarga
besar. Agama mempersaudarakan orang-orang yang bahkan
belum pernah bertemu sebelumnya.

Meski berbuat baik adalah kewajiban semua orang. Namun


dorongan sesama agama dapat menjadikan keinginan untuk
berbuat baik tersebut jauh lebih kuat. Kesamaan agama seringkali
menjadi alasan seseorang untuk menolong mereka yang
kesusahan (dalam hal ini yang seagama), karena dengan
menolong mereka sama dengan menolong saudara sendiri.

Maka tidak mengherangkan jika kemudian serangan terhadap


negara Islam yang dilakukan oleh Barat, meskipun merupakan
persoalan politik dan kepentingan namun seringkali disalah artikan
sebagai serangan Barat terhadap Islam. Ketika Amerika menyerang
Afghanistan dan Irak, jutaan Ummat Islam di seluruh dunia turun ke
jalan melakukan protes terhadap Amerika. Faktor kesamaan agama
dan perasaan bersaudara ini menjadi salah satu alasan yang
melandasinya.

Agama dan Kepentingan

Sayangnya, fungsi agama sebagai perekat sosial terkadang


menjadi kabur atau mungkin dilupakan oleh banyak orang. Faktor
kepentingan seringkali mengaburkan posisi agama sebagai perekat
sosial ataupun penanda persaudaraan. Mereka yang seagama
sekalipun, bahkan dalam banyak kasus terlihat bertikai dan saling
membunuhi saudaranya.

Tragedi di Karbala di mana Hussein bin Ali bin Abi Thalib menjadi
martir bersama para pengikutnya adalah kasus dimana sekelompok
orang yang menamakan dirinya Muslim rela membantai sesamanya
yang juga merupakan Muslim. Perang Saudara di masa Bani
Ummayah di tahun 600-an hingga 700-an hingga meletusnya
Revolusi yang menjadi penanda munculnya Daulah Abbasyiah pun
diwarnai oleh pembantaian sesama ummat Muslim. Ada ribuan
masyarakat Muslim yang meninggal di saat tersebut. Dan kini,
gerakan ISIS yang muncul di Timur Tengah seakan menjadi
sejarah berulang tentang Muslim yang membunuh sesamanya
Muslim demi memenuhi ambisi dan kepentingannya. Konflik antar
ummat seagama ini tidak hanya terjadi dalam Islam semata, konflik
antar sesama pemeluk agama juga terjadi di dalam agama-agama
lainnya. Di Irlandia Utara, konflik kepentingan juga menjadikan
sesama penganut Kristiani berperang dan saling membunuh.
Dalam skup yang lebih kecil, kita dapat menyaksikan itu disekeliling
kita. Bagaimana sesama ummat Islam bisa saling membenci, saling
menjatuhkan dan saling memusuhi karena perbedaan kepentingan
yang dianut masing-masing individu atau kelompok.

Kepentingan terhadap sesuatu hal seringkali membuat kita yang


Muslim lupa akan makna persaudaraan sesama Muslim. Begitu
besarnya pengaruh kepentingan hingga konflik kepentingan bahkan
bisa mengaburkan posisi agama sebagai perekat sosial. Seseorang
tak lagi melihat orang lain sebagai saudaranya meski merupakan
pemeluk agama yang sama. Persaudaraan tidak lagi dibangun di
atas dasar persaudaraan segama namun dibangun di atas dara
kepentingan sesaat.

Hal yang lebih parah lagi jika agama kemudian dibawa-bawa dan
digunakan dalam sebuah konflik kepentingan. Mereka yang jelas-
jelas seagama bahkan dianggap bukan bagian dari agama hanya
karena perbedaan yang dimiliknya. Kita bahkan dipertontonkan
oleh laku kelompok tertentu yang merasa jauh lebih relijius
dibanding kelompok lainnya hanya karena pilihan politik yang
diambilnya. Kadar keimanan seseorang diukur oleh siapa tokoh
politik yang dipilihnya.

Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta yang baru saja berakhir


menunjukkan kepada kita bagaimana agama masih sering
digunakan untuk kepentingan kalangan tertentu. Perbedaan
preferensi politik menjadikan sekelompok muslim mengkafirkan
saudaranya kelompok Muslim yang lain. Lebih sakit lagi melihat
ada muslim yang bahkan mendoakan saudaranya muslim untuk
medapatkan musibah, disusahkan hidupnya, dipanjangkan
penyakitnya, hingga tak disembuhkan penyakitnya, hanya karena
perbedaan pilihan politik. Parah.

Karena konflik kepentingan, fungsi agama sebagai perekat sosial


dilupakan dan semboyang bahwa “Innama al mu’minuna Ikhwah,”
hanyalah sebuah semboyang semata yang nir makna.

Pertanyaannya sekarang, kapan orang-orang beragama merasa


bahwa orang yang beragamanya adalah saudaranya? Mungkin
jawabnya, di saat manusia beragama tidak lagi diliputi nafsu
kepentingan. Karena ketika syahwat kepentingan itu berkuasa,
saudara seagama yang dianggap saudara itu, tidak lagi terlihat
sebagai saudara.

Wallahu A’lam bi as-Sawwab.

Anda mungkin juga menyukai