Syamsul Arif Galib (Tribun Timur, 06 November 2015)
Liberte. Pekik rakyat Prancis yang mengantarkan kekuasaan
feodalisme Raja Louis XVI jatuh di tahun 1789. Liberte yang berarti kemerdekaan, bersama dengan Egalite dan Fraternite yang berarti persaamaan dan persaudaraan menjadi semboyang masyarakat Prancis dalam menggelorakan Revolusi Prancis. Sebuah Revolusi yang mengantarkan masyarakat Prancis pada sistem pemerintahan demokratis, semangat nasionalisme, kebebasan hingga persamaan hak- hak masyarakat yang kemudian tercantum dalam Déclaration des droits de l'homme et du citoyen.
Selang seratus lima puluh enam tahun kemudian, sebuah negeri
yang jaraknya ratusan ribu kilometer dari Prancis juga ikut menggelorakan semangat liberte. Pekik liberte diganti dengan pekik merdeka dan menjadi penyemangat masyarakat melawan kolonialisme. Pekik merdeka bergaung hingga Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya dan menjadi sebuah Negara berdaulat pada tahun 1945. Kemerdekaan itu mengantarkan masyarakat negeri ini sejajar dengan masyarakat bangsa lain. Sebuah kemerdekaan yang diperjuangkan oleh banyak pihak dengan latar belakang berbeda. Termasuk mereka yang berbeda iman dan agama.
Tahun 1965, gonjang-ganjing politik pemerintahan dan
pemberangusan PKI yang dianggap melakukan makar terhadap pemerintah mengantarkan banyak masyarakat Indonesia kehilangan kemerdekaan berimannya. Segala hal yang berbau komunis diberangus dan dihapus. Komunisme yang kala itu dilekakkan dengan ateisme menjadikan mereka yang memilih tidak beriman harus rela dicap PKI yang artinya mereka akan dihukum.
Kebijakan pemerintah yang saat itu sangat anti komunis kemudian
menjadikan pemerintah Indonesia mengharuskan semua masyarakat mencantumkan agama yang dianutnya di KTP sejak tahun 1967. Masalah kemudian muncul karena agama yang diakomodasi oleh Negara hanyalah beberapa agama tertentu. Akibatnya, banyak pemeluk agama yang agamanya tidak diakomodasi Negara mengalami situasi yang dilematis. Pilihan agama mereka tidak ada dalam kartu tanda penduduk, namun jika tidak mencantumkan agama jadilah mereka dicap komunis.
Pada akhirnya, dengan tujuan ‘penyelamatan,’ para penganut
kepercayaan tersebut mencantumkan agama yang bukan agamanya pada kolom KTP. Sebahagian penganut agama lokal memilih menjadi Islam, Kristen atau Hindu. Pun demikian halnya bagi mereka yang tidak ingin beragama. Daripada harus dicap komunis dan PKI yang berarti hidup menderita, maka tak apalah adalah agama dalam kolom KTP.
Pengakuan Negara akan Kemerdekaan Iman
Negara sesungguhnya telah memberikan jaminan kebebasan
beragama bagi penduduknya. Pasal 28E ayat (1) berbunyi; “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” Sedang dalam pasal 29 ayat (2) disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sayangnya, masalah bermula karena negara hanya
mengakomodasi beberapa agama dunia tertentu. Sedang sebahagian yang lainnya tidak diakomodasi oleh Negara. Pengakuan negara terhadap beberapa agama menyebabkan sesat fikir bagi banyak masyarakat Indonesia yang salah dalam melihat agama. Sebahagian menganggap bahwa apa yang disebut agama hanyalah agama yang diakomodasi oleh Negara. Di luar itu bukanlah agama.
Yang paling “tertindas” adalah penganut kepercayaan-kepercayaan
lokal yang justru dianggap bukan agama lalu dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Hal ini terjadi karena frame tentang agama yang terbangun hanya semata agama yang diakui Negara atau agama-agama yang saat ini telembagakan. Masyarakat lokal dengan kepercayaan yang dimilikinya, karena tidak terlembagan maka dianggap bukan sebagai agama. Padahal, jika kita merujuk pada pandangan Emile Durkehim tentang agama, tiga komponen dasar sebuah agama itu adalah kepercayaan, ritus, dan komunitas (pengikut). Bukan terlembagakan atau tidak.
Bukan hanya itu, para penganut agama lokal atau indigenous
religion bahkan dijadikan objek penyebaran agama karena dianggap sebagai masyarakat yang belum beragama. Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri dalam negeri nomor 1 tahun 1979 terkait dengan tatacara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia seakan memberi dukungan akan pandangan seperti itu.
Dalam Bab II tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama
Pasal 4 disebutkan bahwa; “Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain.” Hal itu berarti bahwa penyiaran agama hanya dapat dilakukan kepada kelompok masyarakat yang dianggap tidak memeluk agama. Celakanya, mereka yang seringkali dianggap tidak beragama adalah masyarakat pedalaman yang menganut kepercayaan lokal. Mereka yang beragama dengan caranya sendiri. Beriman bukan dalam bingkai agama yang telah terlembagakan.
Maka isu terhadap penghapusan kolom agama dalam KTP
bukanlah sebuah upaya menghapuskan pengakuan Negara terhadap agama, namun justru diharapkan bahwa dengan tidak adanya kolom agama di KTP dapat memberikan keluasan bagi para penganut kepercayaan lokal untuk tetap mengakui keimanannya dan tidak lagi harus terperangkap secara administrasi dengan menyebutkan agama lain yang bukan agama yang dipercayainya sebagai agama di dalam kartu identitasnya.
Kalaupun kemudian opsi ini ditolak, maka opsi lainnya adalah
kebebasan bagi pemeluk agama untuk menuliskan agama yang diyakininya meskipun agama tersebut tidak termasuk sebagai sebuah agama yang diakomodasi oleh Negara. Sehingga penganut agama lokal pun dapat menuliskan nama keyakinan mereka di dalam KTP. Termasuk pula mereka yang menolak untuk beragama sekalipun untuk tetap bebas memilih tidak beragama dalam kartu identitasnya. Pada akhirnya, kemerdekaan dalam arti yang luas bukan hanya ketika suatu masyarakat terlepas dari penjajahan kolonialis. Kemerdekaan dalam bentuk yang lain adalah kemerdekaan beriman, dimana masyarakat suatu bangsa bisa dengan bebeas memilih keimanan yang diyakininya serta bebas dalam menjalankan ajaran agamanya.