Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan Ilmu Qira‟at secara umum perlu
kiranya penulis memberikan definisi tentang Ilmu Qira‟at. Secara etimologi, lafazh qira‟at
merupakan bentuk masdar dari qara‟a yang berarti “bacaan”. Yang dimaksudkan di sini
dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira'at ini. Imam Al-Zarkasyi
penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat
qira‟at. Adapun menurut Al-Dimyathi, sebagaimana dikutip oleh „Abdul Hâdî al-Fadli,
ِ ْ ك والتَّثس ِك ِ
ِ ِْ ف و
ِ َّات والت ِ ُ اختِ ََل ِ ِ ِع ْلم يثعلَم ِمْنو اَِّ َثفا ُق النَّاقِثلِْي لِ ِكت:الْ ِقراءات
ْي ْ َ ْثح ِريْ َ َاْلثْثب َ ف فَ ْثه ٍم ِف ا ْْلَ ْذ ْ اب هللا ََعثَ َاَل َوَ َْ ُ ُ ُْ ٌ ُ َ َ
ِ ُ اْلب َد ِال و ََ ِِْه ِمن حي ِ ِ َ ِوالْ َفص ٍِ والْوص ٍِ و ََ ِْ َذل
الس َم ِاع
ّ ث ْ َ ْ ْ َ ْ ِْ ك م ْن َىْيثئَة النُّثطْ ِق َو ْ َ ََْ ْ َ
Artinya: “Qira'at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-
Qur‟an, baik yang disepakati maupun yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, seperti
hadzf (membuang huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn
(memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl
1[1] Badruddîn Muhammad bin „Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhân fî „Ulûm Al-Qur‟an, jilid I,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 318.
2[2] „Abdul Hâdî al-Fadli, Al-Qirâ‟ât al-Qur'âniyyah, (Beirut: Dâr al-Majma‟ al-„Ilmi, 1979),
h. 63.
(menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra
pendengaran.”
Imam Syihâbuddîn al-Qusthullânî mengemukakan pendapat yang senada dengan al-
Artinya: “Ilmu Qira‟at adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al-Qur‟an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut
kepada para perawinya.”
Disamping itu, ada ulama yang mengaitkan definisi qira'at dengan mazhab atau imam
qira'at tertentu selaku pakar qira'at yang bersangkutan dan atau yang mempopulerkannya.
Artinya: “Qira‟at adalah satu madzhab/cara tertentu dari beberapa madzhab cara
mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur‟an yang dipilih oleh salah seorang imam qira‟at yang
berbeda dengan madzhab lainnya.”
3[3] Syihâbuddîn al-Qusthullânî, Lathâif al-Isyârât li Funûn al-Qirâ'ât, (Kairo: t.p., 1972), h.
170.
4[4] Ibnu al-Jazari, Munjid al-Muqri‟în wa Mursyid al-Thâlibîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1980), h. 3
5[5] Mannâ‟ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (t.tp.: Maktabah al-Ma‟arif,
1421 H/ 2000 M), cet. III, h. 171.
Sedangkan Muhammad „Alî al-Shâbûni mengemukakan definisi qira'at sebagai
berikut: 6[6]
ِ ِ ِ ِ ِ اْلم ِ ب ِم ْن َم َذ ِاى
ِ ب النُّثطْ ِق ِمن الْ ُقر ِأن ي ْذى ِ
ف ََْيثَرهُ ِِف النُّطْ ِثق ُ َ ِْ ب بِثو
ُ ثام م َن ْالَئ َّثمة الْ ُقَّراء َم ْذ َىبًثا ُُيَثال ُ َ َ ْ َ ٌ َم ْذ َى:ات
ُ َالْقَراء
صلَّى هللاُ َعلَْي ِثو َو َسثلَّ َم ِ ِ ِ ِ ِ ِِبلْقر ِأن الْ َك ِريث ِم وِىي ثَثابِتثةٌ بِثأ
َ َسانْيثد َىا ا ََل َر ُس ْول هللا
َ َ َ َ ْ ُْ
Artinya: “Qira'at ialah suatu mazhab/cara tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur‟an yang
masing-masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan
sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.”
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas,
nampak bahwa qira'at Al-Qur‟an berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui al-simâ‟ dan al-
naql. Adapun yang dimaksud dengan al-simâ‟ adalah bahwa qira'at Al-Qur‟an itu diperoleh
melalui cara langsung mendengar dari bacaan Nabi saw. sedangkan yang dimaksud dengan
al-naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira'at Al-Qur‟an itu
Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan pokok yaitu: Pertama :
Ilmu Qira‟at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur‟an dari segi cara
pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di
balik teks-teks Al-Qur‟an. Ilmu Qira‟at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk
baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idghâm, iqlâb, ikhfâ‟,
izhhâr dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para
sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain selain Al-Qur‟an, seperti membaca
teks hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur‟an. Dengan
demikian Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan tathbîq (praktik) membaca. Mungkin banyak
orang yang mengerti teori Ilmu Qira‟at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai
6[6] Muhammad „Alî al-Shâbûni, Al-Tibyân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (t.tp: t.p, 1980), h. 219.
mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu
Kedua : Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan “Arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi
karena Al-Qur‟an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum
yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa Arab. Maka cara
pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur‟an juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan
kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al-Qur‟an harus
menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu
dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang
qari‟/qari‟ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur‟an secara tepat,
seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah a‟jamiyyah”nya atau aksen
„ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu membaca Al-
Qur‟an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang
diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyûkh
al-Qurrâ‟.
Ketiga : Ilmu Qira‟at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given
(sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar Ilmu
Qira‟at) ke syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir yang tugasnya menganalisa teks-teks Al-
Qur‟an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk
kepada hadis nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang
mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-
Qur‟an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan
walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa ditolelir dan bisa
diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira‟at yang sama sekali tidak menerima adanya
perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa diterima jika betul-
betul berasal dari nabi. Imam al-Syâthibi berkata dalamkitabnya “Hirz al-Amâni” :7[7]
Artinya:“Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu
qira‟at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira‟at.”
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira‟at, maka Al-Qur‟an masih tetap dalam
Keempat : Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan Rasm Mushhaf Utsmâni karena setiap bacaan
harus selalu mengacu kepada Mushhaf Al-Qur‟an yang telah mendapatkan persetujuan dan
ijma‟ para sahabat nabi pada masa penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin „Affân atau
turunkannya qira‟at, yaitu ada yang mengatakan qira‟at mulai di turunkan di Mekah
bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an. Ada juga yang mengatakan qira‟at mulai di turunkan
di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mul11ai banyak orang yang masuk Islam
dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini
mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira‟at
memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an, akan tetapi
ketika di Mekah qira‟at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek,
7[7] Al-Syâthibi, Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Nafîs, 1407 H),
h. 55
hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira‟at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di
Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira‟at
berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira‟at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa
Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai puak-
Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur
Jazirah Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah
Barat Jazirah Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal
di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek
tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau
mengucapkan huruf „a menjadi huruf „ê‟ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin
8[8] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân Al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm,
(Riyâdh: t.p., 2004), cet. XII,I h. 344.
meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf
kabilah Arab:
“Allah telah memberikan kemudahan bagi nabiNya dan memerintahkan kepadanya agar
memperbolehkan setiap suku Arab yang menjadi umatnya bisa membaca Al-Qur‟an dengan
bahasa dan dialeknya masing-masing. Suku Hudzail hanya mampu membaca ) ْي ٍ ْ ( َع ََّّت ِح
ٍ ْ ( َح ََّّت ِح, orang dari suku Asad mengucapkan :) ( َِ ْعلَم ْو َن و َِ ْعلَم و َِسوُّد و أَََلْ إِ ْع َه ْد إِلَْي ُك ْم,(
semestinya : )ْي َْ ُ َ ُ
dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi‟il mudlâri‟), orang dari suku Tamim akan
membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada
melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh :) ض الْ َماء ِ ِ
َ ( قْي ٍَ ََلُْم َو َْيdengan “isymâm” (yaitu men-
dlammah-kan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat meng-kasrah-kan
keduanya, mereka juga membaca : ) َّت ْ اعتُثنَا ُرد
َض َ ِ ( بdengan meng-isymam-kan Ro‟nya yaitu
mencampurkan suara kasrah dengan dlammah.” 9[9]
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-
“Sebagian kabilah membaca lafazh : ) ( َعلَْي ِه ْم و فِْي ِه ْمyang berkasrah Ha‟, dengan men-dlammah-
kan Ha‟, suku lain membaca :) ( ( َعلَْي ِه ُم ْو و ِمْنث ُه ُم ْوsementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu
kabilah membaca : ) َو َخلَ ْوا إِ ََل. قُ ٍْ أ ُْو ِح َي. ( قَ ْد أَفْثلَ َحdengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat
hamzah kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian).
Satu kabilah membaca :) و ُدنْثيَا، وعْي َسى ِ ، ( موسىdengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) . Ada
َ ُْ
ِ ِ
yang membaca : خبْيثًرا بَصْيثًراdengan membaca tarqîq (menipiskan) bunyi Ro‟nya. Ada juga yang
َ
َّ الطَّ ََل ُقdengan menebalkan bunyi lamnya.”
membaca : ُالص ََلة,
Ibnu Qutaibah juga berkata bahwa seandainya setiap kelompok dari mereka (orang
Arab) harus menjauhkan diri dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, maka akan
terasa berat bagi mereka yang terdiri dari anak-anak, anak muda dan orang tua. Kecuali
setelah berjuang keras. Oleh sebab itu Allah memberikan keringanan bagi mereka untuk
membaca Al-Qur‟an dengan bahasa (dialek) yang sesuai dengan apa yang mudah bagi
mereka, sebagaimana Allah juga memberikan keringanan dalam pelaksanaan hukum Islam.
9[9] Ibnu al-Jazari, Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, juz 1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), h. 33.
Demikianlah keadaan dialek suku-suku Arab pada saat Al-Qur‟an diturunkan. Bisa
masyarakat Arab pada saat itu. Bukan itu saja, umat nabi Muhammad terdiri dari berbagai
macam kalangan dan status sosial yang beragam, ada orang awam yang tidak bisa membaca
dan menulis atau yang disebut “ummi”, ada orang tua yang tidak cakap lagi mengucapkan
kata-kata dengan tegas dan jelas, ada anak kecil dan lain sebagainya. Sementara nabi
mempunyai beban yang berat untuk mensosialisasikan Al-Qur‟an kepada mereka. Al-Qur‟an
merupakan kitab suci yang disamping bertujuan untuk memberikan hidayah atau petunjuk
kepada segenap umat manusia, terutama umat Islam, Al-Qur‟an juga sebuah kitab bacaan
yang perlu dibaca. Nama Al-Qur‟an diartikan sebagai bacaan atau sesuatu yang dibaca. Oleh
karena itu pada saat malaikat Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-
Qur‟an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada
malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril
memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan.
10[10] Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûri, Shahîh Muslim, juz 2, (Beirut: Dâr al-Jîl, t.t), Bab
Bayân Anna al-Qur’ân ‘alâ Sab’ati Ahruf, hadis no. 1943, h. 203.
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat
Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca
Al-Qur‟an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan
kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali
dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi
menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril
datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa
Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang mereka baca,
mereka sudah benar.”
Hadis tersebut sangat masyhur di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih
dari 20 sahabat. „Abd al-SHabûr Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur‟an” menyebutkan
bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang
meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas
dha‟îf” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkualitas shahîh. Syahin
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab‟atu Ahruf” sebagaimana yang
tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh,
apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua
bagian:
1) Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur‟an. Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû „Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa‟lab, dan
masih banyak yang lainnya. 12 [12] Menurut pendapat ini, Al-Qur‟an diturunkan kepada
Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap
11[11] Syahin, ‘Abd al-Shabur, Târikh Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’alim al-Tsaqafiyyah, Dâr al-I’tishâm,
1998 M/1418 H), h.56
12[12] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, (Beirut:
Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1988), h. 170
sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu
bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman.13[13] Namun ada
juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy,
2) Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam
Al-Qur‟an terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-
Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara „Umar
bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira‟at Al-Qur‟an. Adapun redaksi hadis
حدثنا أبو اليمان أخْبان شعيب عن الزىري قال أخْبين عروة بن الزبْ عن حديث املسور بن خمرمة وعبد الرمحن
مسعت ىشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان ِف حياة:بن عبد القاري أهنما مسعا عمر بن اخلطاب يقول
رسول هللا صلى هللا عليو و سلم فاستمعت لقراءَو فإذا ىو يقرؤىا على حروف كْْة َل يقرئنيها رسول هللا صلى
هللا عليو و سلم فكدت أساوره ِف الصَلة فانتظرَو حَّت سلم فلببتو فقلت من أقرأك ىذه السورة اليت مسعتك َقرأ
؟ قال أقرأنيها رسول هللا صلى هللا عليو و سلم فقلت لو كذبت فوهللا إن رسول هللا صلى هللا عليو و سلم َلو
أقرأين ىذه السورة اليت مسعتك فانطلقت بو إَل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم أقوده فقلت َي رسول هللا إين
فقرأىا. ) مسعت ىذا يقرأ سورة الفرقان على حروف َل َقرئنيها وإنك أقرأَين سورة الفرقان فقال ( َي ىشام أقرأىا
فقرأهتا اليت. ) ُث قال ( اقرأ َي عمر. ) القراءة اليت مسعتو فقال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم ( ىكذا أنزلت
ُث قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم ( إن. ) أقرأنيها فقال رسول هللا صلى هللا ع ليو و سلم ( ىكذا أنزلت
[15]15) القرآن أنزل على سبعة حروف فاقرؤوا ما َيسر منو
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Abû al-Yamân, telah mengabarkan kepada kami
Syu‟aib, dari al-Zuhrî ia berkata: telah mengabarkan kepada kami „Urwah bin al-Zubair,
dari riwayat al-Miswar bin Makhramah dan „Abdurrahmân bin „Abd al-Qâri bahwa
keduanya telah mendengar „Umar bin al-Khaththâb berkata: “Aku telah mendengar Hisyâm
15[15] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jilid IV, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr al-Yamâmah, 1987),
Kitâb Fadhâil al-Qur’ân, Bâb Man Lam Yara ba’sa an Yaqûl Sûrah al-Baqarah wa Sûrah Kadzâ wa
Kadzâ, no. hadis 4754, h. 1923
bin Hakîm bin Hizâm membaca surah al-Furqân ketika Rasulullah saw. masih hidup. Aku
menyimak bacaannya, ternyata banyak sekali bacaan yang berbeda dengan yang telah
disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Hampir saja aku memegang kepalanya untuk
aku bunuh ketika dia sedang shalat. Namun aku menunggunya sampai salam. Maka aku
bertanya kepadanya: „Siapa yang mengajarkan kepadamu surah yang aku dengar tadi?‟
Hisyâm menjawab: „Rasulullah saw. yang mengajarkannya kepadaku.‟ Aku berkata: „Demi
Allah, kamu berkata bohong karena sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri yang
mengajarkan kepadaku surah yang aku dengar darimu tadi.‟ Kemudian aku pergi sambil
menggandengnya ke hadapan Rasulullah saw. Lalu aku berkata:‟ Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mendengar lelaki ini membaca surah al-Furqân dengan versi yang
tidak engkau ajarkan kepadaku. Sungguh engkau telah mengajarkan surah al-Furqân
kepadaku.‟ Rasulullah saw.pun bersabda: „Wahai Hisyâm, bacalah surah itu!‟ maka Hisyâm
membaca surah tersebut seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah saw. bersabda:
„Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah saw. bersabda: „Bacalah
wahai „Umar!‟ Akupun membaca surah itu seperti yang beliau ajarkan kepadaku. Ternyata
Rasulullah saw. bersabda: „Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah
saw. bersabda: „Sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh huruf. Maka bacalah yang
mudah menurut kalian!‟”
dengan sab‟atu ahruf adalah perbedaan lafal yang merujuk pada kesamaan makna, bukan
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab‟atu ahruf adalah tujuh wajah lafal
kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan
oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan bin „Uyainah, „Abdullah bin
Wahb, Ibnu „Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat
َ ُوان لِلَّ ِذيْ َن َآمنُوا ْارقُثب ِ ِ ِ َ ُلِلَّ ِذين آمنوا أَم ِهل
وان ّ وان للَّذيْ َن َآمنُوا أ
َ َخ ُر ْ َُ َ ْ
Artinya: “Waraqâ‟ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbâs,
dari Ubai bin Ka‟b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan
beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû
akhkhirûnâ, lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
17[17] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah, h. 168-169; Lihat juga Muhammad bin
Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid I, (Kairo: Dâr al-Syu’b , 1372 H), h. 42
c. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr
(perintah), nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), wa‟îd (janji), jadal (perdebatan), qashash
(cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih,
dan amtsâl.18[18]
d. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
1) Perbedaan kata benda dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya seperti
ِِ ِِ ِ ِ
jama‟, ta‟nîts, dan tatsniyah. Contoh firman Allah swt. اعو َن َ ( َوالَّذQ.S. al-
ُ ين ُى ْم ل ََما َانهت ْم َو َع ْهدى ْم َر
mufrad. Sedangkan rasamnya dalam mushaf adalah ""ل ََمنَتِ ِه ْمyang memungkinkan kedua
qira‟at itu karena tidak adanya alif yang disukun. Namun kesimpulan akhir kedua macam
qira‟at itu adalah sama karena bacaan dalam bentuk jama‟ diartikan istighrâq (keseluruhan)
yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dalam bentuk mufrad diartikan untuk
jenis yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung
2) Perbedaan dari segi i‟rab (harakat akhir kata). Misalnya firman Allah swt. شًرا
َ َ( َما َى َذا بQ.S.
Yûsuf: 31). Jumhur membacanya dengan nashab karena َماberfungsi seperti ليسdan ini
adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Al-Qur‟an diturunkan. Sedangkan
dengan me-nashab-kan َربثَّنَاkarena menjadi munâdâ mudhâf dan َِب ِع ْدdibaca dengan bentuk
fi‟il amr (perintah). Lafaz ربُّناdibaca pula dengan rafa‟ sebagai mubtada‟ dan ِبعد
َ dengan
membaca fathah huruf „ain sebagai fi‟il madhi yang kedudukannya menjadi khabar. Juga
dibaca بعِد
ّ dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf „ain dan me-rafa‟-kan lafaz ربُّنا.
4) Perbedaan dalam taqdîm (mendahulukan) dan ta‟khîr (mengakhirkan), baik terjadi pada
ِ (أَفَثلَ ْم يَثْيأQ.S. al-Ra‟d: 31) dibaca juga أفلم َييس, maupun yang
huruf seperti dalam firman-Nya َس
terjadi pada kata seperti firman-Nya (فَثيَث ْقتُثلُو َن َويثُ ْقتَثلُو َنQ.S. al-Taubah: 111) di mana yang
pertama فَثيَث ْقتُثلُو َنdimabni-fâ‟ilkan (aktif) dan yang kedua َويثُ ْقتَثلُو َنdimabni-maf‟ulkan (pasif) di
samping dibaca pula dengan sebaliknya, yang pertama dimabni-maf‟ulkan dan yang kedua
dimabni-fâ‟ilkan.
5) Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), seperti firman Allah swt. ف نثُنْ ِش ُزَىا ِ
َ َوانْظُْر إِ ََل الْعظَ ِام َكْي
(Q.S. al-Baqarah: 259) yang mana lafaz نثُْن ِش ُزَىاdibaca dengan huruf za‟ dan mendhammahkan
nûn di samping dibaca pula dengan huruf ra‟ dan memfathahkan nûn ((نثَنْ ِش ُرَىا.
6) Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan, misalnya firman Allah swt. أع َّد ََلُْم
َ َو
ٍ (جنQ.S. al-Taubah: 100) dibaca juga ِمن ََتْتِها ْالَنْثهارdengan tambahan ِمن,
َّات ََتْ ِري ََْتتَث َها ْالَنْث َه ُار َ َُ َ ْ ْ
keduanya merupakan qira‟at mutawâtir. Sedangkan mengenai perbedaan karena adanya
7) Perbedaan lahjah seperti pembacaan tafkhim dan tarqîq, fathah dan imâlah, izhhar dan
idgham, dan lain-lain. Seperti membaca imâlah dan tidak mengimâlahkan dalam firman-Nya
وسى ُ ( َوَى ٍْ أَ ََت َك َح ِدQ.S. THâhâ: 9) dibaca dengan mengimâlahkan kata أَىdan وسى
َ يث ُم َ ُم.
الطَََّل ُق.
e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara
harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan
masyarakat Arab.20[20]
f. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut
sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di atas, namun yang jelas makna yang tersirat
Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam hal
membaca Al-Qur‟an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih
adalah benar.
Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur‟an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka
Setelah nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur‟an
dengan tujuh huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga
pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang
lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan
tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur‟an. Namun nabi memberikan penjelasan
kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya. Pengajaran
nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung hingga nabi
meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur‟an dari nabi terus memegang
bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid
mereka.22[22]
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah
dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur‟an kepada para murid-murid mereka. Ada
diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur‟an kepada
murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka‟b (w 30 H), Utsmân bin „Affân (w 35 H),
Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), „Abdullâh bin „Ayyâsy (w 64 H),
„Abdullâh bin „Abbâs (w 68 H), „Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun
diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain.
22[22] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm,
(Riyâdh: t.p., 2004), cet. XIII, h. 344
Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan „Umar bin
Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur‟an di negeri
lain seperti negeri Iraq adalah „Abdullah bin Mas‟ûd (w 32 H) yang diperintahkan oleh
sahabat „Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur‟an di negeri Kufah. Di Iraq juga ada
sahabat „Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy‟ari (w 44 H) yang ditempatkan di
kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua‟dz bin
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira‟at oleh para sahabat kepada murid-
murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan
mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi‟in yang juga berperan
Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur‟an dari generasi sahabat dan
Tabi‟in adalah munculnya komunitas ahli Qira‟at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari
Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira‟at di negeri-negeri Islam tersebut sebagai
berikut :
23[23] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, h. 345.
Madinah : Ibnu al-Musayyab, „Urwah, Salim, „Umar bin „Abd al-„Aziz, Sulaimân bin Yasar,
„Atha‟ bin Yasar, Mu‟adz bin al-Hârits, „Abdurrahman bin Hurmuz al-A‟raj, Ibnu Syihâb az-
Mekah : „Ubaid bin „Umair, „Atha‟, THawus, Mujâhid bin Jabr, „Ikrimah, Ibnu Abî
Mulaikah.
Kufah : „Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda‟, „Abidah, „Amr bin Syurahbil,
Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja‟, Nasr bin „Âshim, Nashr bin
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu
keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad
kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira‟at.
Sebagian ulama muta‟akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku
tentang ilmu qira‟at adalah Yahyâ bin Ya‟mar, ahli qira‟at dari Bashrah. Kemudian di susul
1. „Abdullah bin „Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa
al-Hijâz wa al-„Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma‟ânî Al-Qur‟an dan kitab Al
Qirâ‟ât.
11. Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ‟ât.24[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-
macam qira‟at dalam satu kitab adalah Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan
dua puluh lima orang ulama ahli qira‟at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-
Agaknya penulisan qira‟at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira‟at semakin marak.
Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan
Imam Lima, Ismâ‟îl bin Ishâq al-Maliki ( w 282 H) yang menghimpun 20 bacaan Imam,
Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain
lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira‟at semakin meningkat dari tahun ke tahun
rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang
menyebabkan sebagian ahli qira‟at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira‟at
mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama :
24[24] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu,
Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Tawbah, 2000), h. 99-102.
25[25] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, h.
103; Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah, (Riyâdh:
Maktabah al-Rusyd, 2007), h. 19.
harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira‟at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu
berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : „Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin
Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan „Alî bin Hamzah al-Kisâ‟i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria
tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab‟ah” yaitu : harus ahli
“Setiap Qirâat apabila sesuai dengan kaidah nahwi * Sesuai dengan rasm
Utsmani
Memiliki sanad Shahih maka wajib diakui ke-Al-Quran-annya * Inilah tiga rukun yang harus
dipenuhi
Lihat: Ibnu al-Jazari,. Thayyibah al-Nasyr fi al-Qirâat al-‘Asyr, (Madinah: Maktabah Dâr al-Huda,
1421/2000), Cet. 2, h. 32
dalam bidang qira‟at, mengetahui qira‟at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang
periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur‟an ada yang tahu tentang seluk beluk I‟râb, qira‟at, bahasa,
mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira‟at yang syâdz, mampu
memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para
penghafal Al-Qur‟an pada setiap negeri kaum muslimin.”27[27]
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang
terkenal yaitu “Al-Sab‟ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada
yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid
dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan
penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira‟at yang diriwayatkan dari tujuh imam
tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan
bahwa Qira‟at Sab‟ah adalah sab‟atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu
menurut Abû „Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu
kurang dari tujuh imam qira‟at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah
Abû „Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain
sebagainya.28[28]
Pada kitab “al-Sab‟ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap
Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira‟at
kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa‟id, Abû „Amr al-Dânî (w. 444 H)
menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira‟at Tujuh menjadi dua pada setiap
Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan
menghafal materi qira‟at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah
27[27] Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid, Al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1400 H), h.
45.
28[28] T. M. Hasby Al-Siddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 138.
bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap
Imam bisa kita lihat pada kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Nâfi‟
2. Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Ibnu
Katsîr
3. Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Abû
„Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam
Ibnu „Âmir
5. Syu‟bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam „Âshim
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ‟i (w. 246 H), meriwayatkan qira‟at dari
Imam Al-Kisâ‟i.29[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang
demikian besar dari para ahli qira‟at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari
kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira‟at Sab‟ah
yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah.
Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh
Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira‟at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab
yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah
ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira‟at. Sampai sekarang
ilmu qira‟at.
C. Macam-macam Qira’at
1. Mutawâtir, yaitu qira‟at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan
ulama maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira‟at yang berkedudukan
mutawâtir adalah qira‟at yang sah dan resmi sebagai qira‟at Al-Qur‟an.31[31] Ia sah
dibaca di dalam maupun di luar shalat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira‟at
2. Masyhûr, yaitu qira‟at yang shahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan
para ahli qira‟at dan tidak terdapat cacat. 33[33] Para ulama menyebutkan bahwa
qira‟at semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira‟at masyhûr adalah
qira‟at yang dipopulerkan oleh Abû Ja‟far bin Qa‟qa‟ dan Ya‟qûb al-Hadhrami, yaitu
lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz „imârata dibaca „amarata,34[34] yang kedua
30[30] Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), h. 77.
31[31] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh,
(Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.), h. 42-43.
Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira‟at
yang telah disebutkan. Qira‟at semacam ini tidak termasuk qira‟at yang dapat
diamalkan bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa
Nabi membaca rafârifa dan „abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76. 35[35]
4. Syâdz, yaitu qira‟at yang tidak shahîh sanadnya, seperti qira‟at malaka yaumaddîn (al-
Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi‟il mâdhi dan menasabkan yauma.36[36]
5. Mawdhû‟, yaitu qira‟at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira‟at imam Muhammad
bin Ja‟far al-Khuza‟i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâthir ayat 28:
ِِ ِ ِ َ ْإََِّّنَا َُي
ُثشى هللاَ م ْن عبَثاده الْ ُعثلَ َماء
Dia membaca dengan:
ِِ ِ ِ
اء َ ْإََِّّنَا َُي
َ ثشى هللاُ م ْن عبَثاده الْ ُعثلَ َم
Yaitu dengan merafa‟kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-„Ulamâ‟.37[37]
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira‟at sebagai penafsiran, seperti qira‟at
Ibnu „Abbâs:
demikian seorang ahli qira‟at di samping hafal bermacam-macam qira‟at, dituntut juga agar
b. Al-Qirâ‟ât al-„Asyr (Qirâ‟ât „Asyrah): adalah Qira‟at Sab‟ah yang dilengkapi dengan tiga
Imam Qira‟at. Yakni, Qira‟at Ya‟qûb, Qira‟at Khalaf, dan Qira‟at Yazîd bin Qa‟qa‟ (Abu
Ja‟far).
c. Al-Qirâ‟ât al-Arba‟ „Asyr (Qirâ‟ât Empat Belas): adalah Qira‟at „Asyrah ditambah Qira‟at
empat Imam Qira‟at, yakni Qira‟at Hasan Bashri, Qira‟at Ibnu Muhaishin, Qira‟at Yahyâ al-
Akan halnya tentang Qira‟at Tujuh, mayoritas ulama menilai sebagai mutawâtirah.
dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. Oleh sekelompok periwayat yang tidak mungkin
Akan halnya Qira‟at Sepuluh, sebagian ulama menyatakan bahwa Qira‟at Tiga Imam
selain Imam Tujuh tidak sampai mutawâtirah akan tetapi menurut Jumhur Ulama Qira‟at
mereka mutawâtirah. Bahkan menurut Syaikh „Abd al-Fattâh al-Qâdhî yang menukil
”Dewasa ini Qirâ‟ât Mutawâtirah selain Qirâ‟ât Sepuluh tidak akan dapat ditemukan,
namun apabila pada masa periode awal Islam tentu masih mungkin didapatkan.”
Adapun Qira‟at Empat Belas, masih menurut Ibnu al-Jazarî sebagai syâdz. Artinya
Qira‟at empat Imam tidak dapat diakui sebagai bacaan Al-Qur‟an yang sah, sebab memiliki
Tidak di ketahui secara persis kapan Qira‟at Sab‟ah mulai masuk ke Indonesia. Akan
tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa Qira‟at Sab‟ah masuk ke Indonesia baru pada
sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang
mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat
di Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid
dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira‟at dari Hijaz. Kemudian
sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira‟at ini kepada murid-muridnya. Salah
satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku
tentang qiraat sab‟ah yaitu “Faidh al-Barâkât fî Sab‟i Qirâ‟ât”. Buku ini telah masyhur di
Kemudian para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut
pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an) dan IIQ (Institut Ilmu
Al-Qur‟an) yang khusus mengajarkan „Ulumul Qur‟an, termasuk di dalamnya ilmu Qira‟at.
Ilmu Qira‟at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia
1. Qiraat Sab‟ah adalah sebagian ilmu dari „Ulumul Qur‟an yang wajib di kembangkan dan di
pertahankan eksistensinya.
2. Pembacaan Qira‟at Tujuh di lakukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang
Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira‟at dalam bahasa Indonesia,
yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan
PTIQ, yaitu DR. KH. Ahmad Fathoni, MAg. Kitab ini sangat membantu memudahkan
masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira‟at.
39[39] Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret
2002.
40[40] DR. H. Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, (Jakarta: ISIQ, 1992), h. 13.
Barangkali mengingat Qira‟at Sab‟ah sudah mulai dikenal dan memasyarakat di
Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 2 Maret 1983
Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan fatwa mengenai keberadaan Qira‟at
Tujuh, yang substansinya: menghimbau agar para pecinta pembaca Al-Qur‟an tidak
membiasakan pembacaan Al-Qur‟an yang suci itu di dalam upacara atau pertemuan
keagamaan dan lainnya dengan cara Qira‟at Sab‟ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan
cara bacaan yang berlainan ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para
ulama masih banyak yang belum begitu paham tentang hal-ihwal Qira‟at Sab‟pah.
Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada Seleksi Tilawatil Qur‟an
(STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira‟at Al-Qur‟an termasuk salah satu cabang yang
41[41] Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”.