Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU QIRA'AT

ILMU QIRA’AT DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

A. Definisi Ilmu Qira’at

Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan Ilmu Qira‟at secara umum perlu

kiranya penulis memberikan definisi tentang Ilmu Qira‟at. Secara etimologi, lafazh qira‟at

merupakan bentuk masdar dari qara‟a yang berarti “bacaan”. Yang dimaksudkan di sini

adalah perbedaan-perbedaan dalam membaca Al-Qur‟an.

Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang

dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira'at ini. Imam Al-Zarkasyi

misalnya, mengemukakan pengertian qira'at sebagai berikut: 1[1]

‫ف َوَثْ ِقْي ٍٍ َو ََ َِِِْْا‬


ٍ ‫ف أَو َكْي ِفيتِها ِمن ََتْ ِفْي‬
ِ ِ ِ ِ ُ ‫والْ ِقراءات ِىي اختِ ََل‬
ْ َ َ ْ ‫ف أَلْ َفاظ الْ َو ْح ِي الْ َم ْذ ُك ْوِر ِِف كتَابَة ا ْْلُُرْو‬ ْ َ ُ ََ َ
Artinya: “Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (Al-Qur‟an) dalam hal penulisan
hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tatsqîl, dan lain-
lain.”
Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkasyi berpendapat bahwa qira‟at sebagai sistem

penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat

qira‟at. Adapun menurut Al-Dimyathi, sebagaimana dikutip oleh „Abdul Hâdî al-Fadli,

mengemukakan definisi qira‟at sebagai berikut:2[2]

ِ ْ ‫ك والتَّثس ِك‬ ِ
ِ ِْ ‫ف و‬
ِ َّ‫ات والت‬ ِ ُ ‫اختِ ََل‬ ِ ِ ‫ ِع ْلم يثعلَم ِمْنو اَِّ َثفا ُق النَّاقِثلِْي لِ ِكت‬:‫الْ ِقراءات‬
‫ْي‬ ْ َ ْ‫ثح ِري‬ْ َ َ‫اْلثْثب‬ َ ‫ف فَ ْثه ٍم ِف ا ْْلَ ْذ‬ ْ ‫اب هللا ََعثَ َاَل َو‬َ َْ ُ ُ ُْ ٌ ُ َ َ
ِ ُ ‫اْلب َد ِال و ََ ِِْه ِمن حي‬ ِ ِ َ ِ‫والْ َفص ٍِ والْوص ٍِ و ََ ِْ َذل‬
‫الس َم ِاع‬
ّ ‫ث‬ ْ َ ْ ْ َ ْ ِْ ‫ك م ْن َىْيثئَة النُّثطْ ِق َو‬ ْ َ ََْ ْ َ
Artinya: “Qira'at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-
Qur‟an, baik yang disepakati maupun yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, seperti
hadzf (membuang huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn
(memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl

1[1] Badruddîn Muhammad bin „Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhân fî „Ulûm Al-Qur‟an, jilid I,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 318.

2[2] „Abdul Hâdî al-Fadli, Al-Qirâ‟ât al-Qur'âniyyah, (Beirut: Dâr al-Majma‟ al-„Ilmi, 1979),
h. 63.
(menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra
pendengaran.”
Imam Syihâbuddîn al-Qusthullânî mengemukakan pendapat yang senada dengan al-

Dimyathi sebagai berikut: 3[3]

‫ ِم ْن‬،ٍ‫ص ِث‬ ِ ِْ ‫ف و‬ ِ ْ ‫ و‬،‫اب‬ ِ ِ ِ ُّ ِ ِ ‫ف ِمْنثهم اَِّ َثفاقُثهم و‬ ِ ِ


ْ ‫ص ِثٍ َوالْ َو‬
ْ ‫ َوالْ َف‬،‫اْلثْثبَات‬ َ ‫اْلَ ْذ‬ َ ‫اخت َثَلفُث ُه ْم ِف اللغَثة َو ْاْل ْعَر‬
ْ َ ُْ ْ ُ ُ ‫ علْ ٌم يثُ ْعَر‬:‫ات‬
ُ َ‫الْقَراء‬
ٍ‫ث النَّث ْق ِث‬
ُ ‫َحْي‬
Artinya: “Qira'at yaitu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli
qira'at (tentang cara-cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur‟an), seperti yang menyangkut
aspek kebahasaan, i‟râb, hadzf, itsbât, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara
periwayatan.”
Imam Ibnu al-Jazari. (w. 833 H) memberikan definisi Ilmu Qira‟at dalam kitabnya

“Munjid al-Muqri‟in” adalah sebagai berikut :4[4]

‫اختِ ََلفُث َها َم ْع ُزِّوا لِنَاقِلِ ِو‬ ِ ِ ِ ُ ‫ِعلْم يثعر‬


ْ ‫ف بِو َكْيفيَةُ النُّطْ ِق ِِبَلْ َفاظ الْ ُق ْرءَ ِان َو‬َْ ُ ٌ

Artinya: “Ilmu Qira‟at adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al-Qur‟an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut
kepada para perawinya.”

Disamping itu, ada ulama yang mengaitkan definisi qira'at dengan mazhab atau imam

qira'at tertentu selaku pakar qira'at yang bersangkutan dan atau yang mempopulerkannya.

Misalnya al-Qaththân merumuskan definisi qira‟at sebagai berikut:5[5]

ِ ِ ِ ِ ‫آن ي ْذىب بِِو إِم‬ ِ ِ ‫ب ِم ْن َم َذ ِاى‬ ِ


.ُ‫ف ََْيثَره‬ ٌ َ ُ َ َ ‫ب النُّطْ ِق ِِف الْ ُق ْر‬
ُ ‫ام م َن ْالَئ َّمة الْ ُقَّراء َم ْذ َىبًا ُُيَال‬ ٌ ‫ َم ْذ َى‬:‫ات‬
ُ َ‫الْقَراء‬

Artinya: “Qira‟at adalah satu madzhab/cara tertentu dari beberapa madzhab cara
mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur‟an yang dipilih oleh salah seorang imam qira‟at yang
berbeda dengan madzhab lainnya.”

3[3] Syihâbuddîn al-Qusthullânî, Lathâif al-Isyârât li Funûn al-Qirâ'ât, (Kairo: t.p., 1972), h.
170.

4[4] Ibnu al-Jazari, Munjid al-Muqri‟în wa Mursyid al-Thâlibîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1980), h. 3

5[5] Mannâ‟ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (t.tp.: Maktabah al-Ma‟arif,
1421 H/ 2000 M), cet. III, h. 171.
Sedangkan Muhammad „Alî al-Shâbûni mengemukakan definisi qira'at sebagai

berikut: 6[6]

ِ ِ ِ ِ ِ ‫اْلم‬ ِ ‫ب ِم ْن َم َذ ِاى‬
ِ ‫ب النُّثطْ ِق ِمن الْ ُقر ِأن ي ْذى‬ ِ
‫ف ََْيثَرهُ ِِف النُّطْ ِثق‬ ُ َ ِْ ‫ب بِثو‬
ُ ‫ثام م َن ْالَئ َّثمة الْ ُقَّراء َم ْذ َىبًثا ُُيَثال‬ ُ َ َ ْ َ ٌ ‫ َم ْذ َى‬:‫ات‬
ُ َ‫الْقَراء‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِثو َو َسثلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِِبلْقر ِأن الْ َك ِريث ِم وِىي ثَثابِتثةٌ بِثأ‬
َ ‫َسانْيثد َىا ا ََل َر ُس ْول هللا‬
َ َ َ َ ْ ُْ
Artinya: “Qira'at ialah suatu mazhab/cara tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur‟an yang
masing-masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan
sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.”
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas,

nampak bahwa qira'at Al-Qur‟an berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui al-simâ‟ dan al-

naql. Adapun yang dimaksud dengan al-simâ‟ adalah bahwa qira'at Al-Qur‟an itu diperoleh

melalui cara langsung mendengar dari bacaan Nabi saw. sedangkan yang dimaksud dengan

al-naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira'at Al-Qur‟an itu

dibacakan di hadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya.

Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan pokok yaitu: Pertama :

Ilmu Qira‟at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur‟an dari segi cara

pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di

balik teks-teks Al-Qur‟an. Ilmu Qira‟at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk

mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur‟an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf,

baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idghâm, iqlâb, ikhfâ‟,

izhhâr dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para

sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain selain Al-Qur‟an, seperti membaca

teks hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur‟an. Dengan

demikian Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan tathbîq (praktik) membaca. Mungkin banyak

orang yang mengerti teori Ilmu Qira‟at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai

6[6] Muhammad „Alî al-Shâbûni, Al-Tibyân fî „Ulûm al-Qur‟ân, (t.tp: t.p, 1980), h. 219.
mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu

al-Jazari dalam “THayyibah al-Nasyr”:

‫ضةٌ ْام ِر ٍئ بَِف ِّك ِو‬ ِ ‫ْي ََث ْركِ ِو‬


َ ‫اَّْل ِرََي‬ َْ ‫س بَثْيثنَوُ َوبَث‬
َ ‫َولَْي‬
Artinya: “Hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang dengan ilmu qira‟at
adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan bacaan).”

Kedua : Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan “Arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi

karena Al-Qur‟an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum

yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa Arab. Maka cara

pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur‟an juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan

kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al-Qur‟an harus

menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu

dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang

qari‟/qari‟ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur‟an secara tepat,

seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah a‟jamiyyah”nya atau aksen

„ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu membaca Al-

Qur‟an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang

diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyûkh

al-Qurrâ‟.

Ketiga : Ilmu Qira‟at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given

(sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar Ilmu

Qira‟at) ke syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi

Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir yang tugasnya menganalisa teks-teks Al-

Qur‟an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk

kepada hadis nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang

mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-
Qur‟an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan

walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa ditolelir dan bisa

diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira‟at yang sama sekali tidak menerima adanya

perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa diterima jika betul-

betul berasal dari nabi. Imam al-Syâthibi berkata dalamkitabnya “Hirz al-Amâni” :7[7]

‫ضا ُمتَ َك ِّف ًَل‬ ِّ ‫ثك َما فِْي ِو‬


َ ‫الر‬
ِ ِ ٍ َ‫َوَما لِِقي‬
َ َ‫اس ِِف الْقَراءَة َم ْد َخث ث ُثٍ فَ ُد ْون‬

Artinya:“Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu
qira‟at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira‟at.”

Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira‟at, maka Al-Qur‟an masih tetap dalam

orisinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira‟at.

Keempat : Ilmu Qira‟at sangat terkait dengan Rasm Mushhaf Utsmâni karena setiap bacaan

harus selalu mengacu kepada Mushhaf Al-Qur‟an yang telah mendapatkan persetujuan dan

ijma‟ para sahabat nabi pada masa penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin „Affân atau

mushhaf yang sesuai dengan rasm Utsmâni.

B. Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at

Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di

turunkannya qira‟at, yaitu ada yang mengatakan qira‟at mulai di turunkan di Mekah

bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an. Ada juga yang mengatakan qira‟at mulai di turunkan

di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mul11ai banyak orang yang masuk Islam

dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini

mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira‟at

memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an, akan tetapi

ketika di Mekah qira‟at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek,

7[7] Al-Syâthibi, Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Nafîs, 1407 H),
h. 55
hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira‟at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di

Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang

bermacam-macam dan dialek yang berbeda.8[8]

Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira‟at

berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira‟at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa

pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :

1. Qira‟at Pada Masa Nabi.

2. Qira‟at Pada Masa Sahabat dan Tabi‟in.

3. Munculnya Komunitas Ahli Qira‟at.

4. Kodifikasi Ilmu Qira‟at.

5. Terbentuknya Qira‟at Sab‟ah.

6. Penyederhanaan Perawi Imam Qira‟at Sab‟ah

1. Qira’at Pada Masa Nabi

Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai puak-

puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arabia.

Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur

Jazirah Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah

Barat Jazirah Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal

di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek

tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara

yang berbeda pula.

Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau

mengucapkan huruf „a menjadi huruf „ê‟ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin

8[8] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân Al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm,
(Riyâdh: t.p., 2004), cet. XII,I h. 344.
meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf

yang dikenal dengan sebutan “Idghâm”. Imam Ibnu Qutaibah al-Dînawari

menjelaskan,sebagaimana dinukil oleh Ibnu al-Jazari, tentang beragamnya dialek kabilah-

kabilah Arab:

“Allah telah memberikan kemudahan bagi nabiNya dan memerintahkan kepadanya agar
memperbolehkan setiap suku Arab yang menjadi umatnya bisa membaca Al-Qur‟an dengan
bahasa dan dialeknya masing-masing. Suku Hudzail hanya mampu membaca ) ‫ْي‬ ٍ ْ ‫( َع ََّّت ِح‬
ٍ ْ ‫( َح ََّّت ِح‬, orang dari suku Asad mengucapkan :) ‫ ( َِ ْعلَم ْو َن و َِ ْعلَم و َِسوُّد و أَََلْ إِ ْع َه ْد إِلَْي ُك ْم‬,(
semestinya : )‫ْي‬ َْ ُ َ ُ
dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi‟il mudlâri‟), orang dari suku Tamim akan
membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada
melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh :) ‫ض الْ َماء‬ ِ ِ
َ ‫ ( قْي ٍَ ََلُْم َو َْي‬dengan “isymâm” (yaitu men-
dlammah-kan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat meng-kasrah-kan
keduanya, mereka juga membaca : ) ‫َّت‬ ْ ‫اعتُثنَا ُرد‬
َ‫ض‬ َ ِ‫ ( ب‬dengan meng-isymam-kan Ro‟nya yaitu
mencampurkan suara kasrah dengan dlammah.” 9[9]

Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-

bentuk dialek suku-suku Arab:

“Sebagian kabilah membaca lafazh : ) ‫( َعلَْي ِه ْم و فِْي ِه ْم‬yang berkasrah Ha‟, dengan men-dlammah-
kan Ha‟, suku lain membaca :) ‫( ( َعلَْي ِه ُم ْو و ِمْنث ُه ُم ْو‬sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu
kabilah membaca : ) ‫ َو َخلَ ْوا إِ ََل‬. ‫ قُ ٍْ أ ُْو ِح َي‬. ‫ ( قَ ْد أَفْثلَ َح‬dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat
hamzah kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian).
Satu kabilah membaca :) ‫ و ُدنْثيَا‬، ‫وعْي َسى‬ ِ ، ‫ ( موسى‬dengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) . Ada
َ ُْ
ِ ِ
yang membaca : ‫خبْيثًرا بَصْيثًرا‬dengan membaca tarqîq (menipiskan) bunyi Ro‟nya. Ada juga yang
َ
َّ ‫ الطَّ ََل ُق‬dengan menebalkan bunyi lamnya.”
membaca : ُ‫الص ََلة‬,

Ibnu Qutaibah juga berkata bahwa seandainya setiap kelompok dari mereka (orang

Arab) harus menjauhkan diri dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, maka akan

terasa berat bagi mereka yang terdiri dari anak-anak, anak muda dan orang tua. Kecuali

setelah berjuang keras. Oleh sebab itu Allah memberikan keringanan bagi mereka untuk

membaca Al-Qur‟an dengan bahasa (dialek) yang sesuai dengan apa yang mudah bagi

mereka, sebagaimana Allah juga memberikan keringanan dalam pelaksanaan hukum Islam.

9[9] Ibnu al-Jazari, Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, juz 1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), h. 33.
Demikianlah keadaan dialek suku-suku Arab pada saat Al-Qur‟an diturunkan. Bisa

dibayangkan bagaimana nabi Muhammad saw. mensosialisasikan Al-Qur‟an kepada

masyarakat Arab pada saat itu. Bukan itu saja, umat nabi Muhammad terdiri dari berbagai

macam kalangan dan status sosial yang beragam, ada orang awam yang tidak bisa membaca

dan menulis atau yang disebut “ummi”, ada orang tua yang tidak cakap lagi mengucapkan

kata-kata dengan tegas dan jelas, ada anak kecil dan lain sebagainya. Sementara nabi

mempunyai beban yang berat untuk mensosialisasikan Al-Qur‟an kepada mereka. Al-Qur‟an

merupakan kitab suci yang disamping bertujuan untuk memberikan hidayah atau petunjuk

kepada segenap umat manusia, terutama umat Islam, Al-Qur‟an juga sebuah kitab bacaan

yang perlu dibaca. Nama Al-Qur‟an diartikan sebagai bacaan atau sesuatu yang dibaca. Oleh

karena itu pada saat malaikat Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-

Qur‟an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada

malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril

memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan.

Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:

َّ ‫يٍ َعلَْي ِو‬


َّ ‫السَلَمُ فَث َق َال إِ َّن‬ ِِ ٍ ِ ِ َ ‫ َكا َن ِعْن َد أ‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬- ‫َِّب‬ ٍ ‫ُب بْ ِن َك ْع‬
ِ
‫اَّللَ ََيُْم ُرَك‬ ُ ‫ فَأ َََتهُ ج ْْب‬- ‫ قَ َال‬- ‫َضاة بَِِن َ َفار‬ َّ ‫ب أ‬
َّ ِ‫َن الن‬ َّ ‫َع ْن أ‬
‫ ُُثَّ أ َََتهُ الَّْانِيَ َة‬.» ‫ك‬ ِ ‫اَّلل معافَاَو وم ْغ ِفرَو وإِ َّن أ َُّم َِّت ْلَ َُ ِط‬ ٍ
َ ‫يق َذل‬
ُ َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ََّ ‫َسأ َُل‬ ْ ‫ فَث َق َال « أ‬.‫ك الْ ُق ْرآ َن َعلَى َح ْرف‬
َ ُ‫أَ ْن َث ْقَرأَ أ َُّمت‬
ِ ‫اَّلل معافَاَو وم ْغ ِفرَو وإِ َّن أ َُّم َِّت ْلَ َُ ِط‬ ِ ْ ‫ك الْ ُقرآ َن َعلَى َحرفَث‬ َّ ‫فَث َق َال إِ َّن‬
‫ك‬
َ ‫يق َذل‬
ُ َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ََّ ‫َسأ َُل‬ ْ ‫ْي فَث َق َال « أ‬ ْ ْ َ ُ‫اَّللَ ََيْ ُم ُرَك أَ ْن َث ْقَرأَ أ َُّمت‬
ِ ٍ ‫اَّلل َيْمرَك أَ ْن ََث ْقرأَ أ َُّمتك الْ ُقرآ َن علَى ثََلَثَِة أ‬ ِ ِ
َّ ‫َسأَ ُل‬
ُ‫اَّللَ ُم َعافَاََوُ َوَم ْغفَرََو‬ ْ ‫ فَث َق َال « أ‬.‫َح ُرف‬
ْ َ ْ َُ َ ُ ُ َ ََّ ‫ ُُثَّ َجاءَهُ الَّْالَْ َة فَث َق َال إ َّن‬.»
ٍ ‫ف فَأَُِّيَا حر‬
ٍ ‫اَّلل َيْمرَك أَ ْن ََث ْقرأَ أ َُّمتك الْ ُقرآ َن علَى سبثع ِة أَحر‬ ِ ِ َّ ُ‫ ُُثَّ جاءه‬.» ‫ك‬ ِ ‫وإِ َّن أ َُّم َِّت ْلَ َُ ِط‬
‫ف‬ َْ ُْ َ َْ َ ْ َ ُ َ ُ ُ َ ََّ ‫الراب َع َة فَث َق َال إ َّن‬ ََ َ ‫يق ذَل‬
ُ َ
[10]10)‫مسلم‬ ‫ (رواه‬.‫َصابُوا‬ ِ
َ ‫قَثَرءُوا َعلَْيو فَث َق ْد أ‬

10[10] Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûri, Shahîh Muslim, juz 2, (Beirut: Dâr al-Jîl, t.t), Bab
Bayân Anna al-Qur’ân ‘alâ Sab’ati Ahruf, hadis no. 1943, h. 203.
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat
Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca
Al-Qur‟an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan
kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali
dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi
menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril
datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa
Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang mereka baca,
mereka sudah benar.”

Hadis tersebut sangat masyhur di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih

dari 20 sahabat. „Abd al-SHabûr Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur‟an” menyebutkan

bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang

meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas

dha‟îf” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkualitas shahîh. Syahin

menggolongkan hadis ini ke dalam hadis yang mutawâtir. 11[11] .

Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab‟atu Ahruf” sebagaimana yang

tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh,

apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para

ulama tentang makna Sab‟atu Ahruf :

a. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam

bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua

bagian:

1) Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur‟an. Di

antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû „Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa‟lab, dan

masih banyak yang lainnya. 12 [12] Menurut pendapat ini, Al-Qur‟an diturunkan kepada

Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap

11[11] Syahin, ‘Abd al-Shabur, Târikh Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’alim al-Tsaqafiyyah, Dâr al-I’tishâm,
1998 M/1418 H), h.56

12[12] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, (Beirut:
Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1988), h. 170
sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu

bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman.13[13] Namun ada

juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy,

Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî‟ah, dan Sa‟ad bin Bakr.14[14]

2) Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam

Al-Qur‟an terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-

Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara „Umar

bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira‟at Al-Qur‟an. Adapun redaksi hadis

tersebut adalah sebagai berikut:

‫حدثنا أبو اليمان أخْبان شعيب عن الزىري قال أخْبين عروة بن الزبْ عن حديث املسور بن خمرمة وعبد الرمحن‬
‫ مسعت ىشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان ِف حياة‬:‫بن عبد القاري أهنما مسعا عمر بن اخلطاب يقول‬
‫رسول هللا صلى هللا عليو و سلم فاستمعت لقراءَو فإذا ىو يقرؤىا على حروف كْْة َل يقرئنيها رسول هللا صلى‬
‫هللا عليو و سلم فكدت أساوره ِف الصَلة فانتظرَو حَّت سلم فلببتو فقلت من أقرأك ىذه السورة اليت مسعتك َقرأ‬
‫؟ قال أقرأنيها رسول هللا صلى هللا عليو و سلم فقلت لو كذبت فوهللا إن رسول هللا صلى هللا عليو و سلم َلو‬
‫أقرأين ىذه السورة اليت مسعتك فانطلقت بو إَل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم أقوده فقلت َي رسول هللا إين‬
‫ فقرأىا‬. ) ‫مسعت ىذا يقرأ سورة الفرقان على حروف َل َقرئنيها وإنك أقرأَين سورة الفرقان فقال ( َي ىشام أقرأىا‬
‫ فقرأهتا اليت‬. ) ‫ ُث قال ( اقرأ َي عمر‬. ) ‫القراءة اليت مسعتو فقال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم ( ىكذا أنزلت‬
‫ ُث قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم ( إن‬. ) ‫أقرأنيها فقال رسول هللا صلى هللا ع ليو و سلم ( ىكذا أنزلت‬
[15]15) ‫القرآن أنزل على سبعة حروف فاقرؤوا ما َيسر منو‬
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Abû al-Yamân, telah mengabarkan kepada kami
Syu‟aib, dari al-Zuhrî ia berkata: telah mengabarkan kepada kami „Urwah bin al-Zubair,
dari riwayat al-Miswar bin Makhramah dan „Abdurrahmân bin „Abd al-Qâri bahwa
keduanya telah mendengar „Umar bin al-Khaththâb berkata: “Aku telah mendengar Hisyâm

13[13] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 158

14[14] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 158

15[15] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jilid IV, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr al-Yamâmah, 1987),
Kitâb Fadhâil al-Qur’ân, Bâb Man Lam Yara ba’sa an Yaqûl Sûrah al-Baqarah wa Sûrah Kadzâ wa
Kadzâ, no. hadis 4754, h. 1923
bin Hakîm bin Hizâm membaca surah al-Furqân ketika Rasulullah saw. masih hidup. Aku
menyimak bacaannya, ternyata banyak sekali bacaan yang berbeda dengan yang telah
disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Hampir saja aku memegang kepalanya untuk
aku bunuh ketika dia sedang shalat. Namun aku menunggunya sampai salam. Maka aku
bertanya kepadanya: „Siapa yang mengajarkan kepadamu surah yang aku dengar tadi?‟
Hisyâm menjawab: „Rasulullah saw. yang mengajarkannya kepadaku.‟ Aku berkata: „Demi
Allah, kamu berkata bohong karena sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri yang
mengajarkan kepadaku surah yang aku dengar darimu tadi.‟ Kemudian aku pergi sambil
menggandengnya ke hadapan Rasulullah saw. Lalu aku berkata:‟ Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mendengar lelaki ini membaca surah al-Furqân dengan versi yang
tidak engkau ajarkan kepadaku. Sungguh engkau telah mengajarkan surah al-Furqân
kepadaku.‟ Rasulullah saw.pun bersabda: „Wahai Hisyâm, bacalah surah itu!‟ maka Hisyâm
membaca surah tersebut seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah saw. bersabda:
„Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah saw. bersabda: „Bacalah
wahai „Umar!‟ Akupun membaca surah itu seperti yang beliau ajarkan kepadaku. Ternyata
Rasulullah saw. bersabda: „Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah
saw. bersabda: „Sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh huruf. Maka bacalah yang
mudah menurut kalian!‟”

Berdasarkan keterangan hadis di atas, al-Thabari berkesimpulan bahwa yang dimaksud

dengan sab‟atu ahruf adalah perbedaan lafal yang merujuk pada kesamaan makna, bukan

perbedaan makna yang mengakibatkan perbedaan hukum.16[16]

b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab‟atu ahruf adalah tujuh wajah lafal

kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan

oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan bin „Uyainah, „Abdullah bin

Wahb, Ibnu „Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat

hadis, di antaranya adalah hadis berikut:17[17]

ِِ ٍ ٍ َّ‫اى ٍد َع ْن ابْ ِن َعب‬


ِ ‫وروى ورقَاء عن اب ِن أَِِب ََِني ٍح عن ُُم‬
: ‫وان‬ َ ‫اس َع ْن أ َُِب بْ ِن َك ْعب أَنَّوُ َكا َن يَث ْقَرأُ {للَّذ‬
َ ‫ين َآمنُوا انْظُُر‬ َ َْ ْ ْ ْ َ ََ ََ

َ ُ‫وان لِلَّ ِذيْ َن َآمنُوا ْارقُثب‬ ِ ِ ِ َ ُ‫لِلَّ ِذين آمنوا أَم ِهل‬
‫وان‬ ّ ‫وان للَّذيْ َن َآمنُوا أ‬
َ ‫َخ ُر‬ ْ َُ َ ْ
Artinya: “Waraqâ‟ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbâs,
dari Ubai bin Ka‟b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan
beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû
akhkhirûnâ, lilladzîna âmanû urqubûnâ.”

16[16] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah, h. 173-174

17[17] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah, h. 168-169; Lihat juga Muhammad bin
Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid I, (Kairo: Dâr al-Syu’b , 1372 H), h. 42
c. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr

(perintah), nahyu (larangan), wa‟d (ancaman), wa‟îd (janji), jadal (perdebatan), qashash

(cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih,

dan amtsâl.18[18]

d. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh

macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu:19[19]

1) Perbedaan kata benda dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya seperti

ِِ ِِ ِ ِ
jama‟, ta‟nîts, dan tatsniyah. Contoh firman Allah swt. ‫اعو َن‬ َ ‫( َوالَّذ‬Q.S. al-
ُ ‫ين ُى ْم ل ََما َانهت ْم َو َع ْهدى ْم َر‬

Mu‟minûn: 8), dibaca "‫اانهتِِ ْم‬


َ ‫ ِ"ل ََم‬dengan bentuk jama‟ dan dibaca pula "‫ ِ"ل ََمانَتِ ِه ْم‬dengan bentuk

mufrad. Sedangkan rasamnya dalam mushaf adalah "‫"ل ََمنَتِ ِه ْم‬yang memungkinkan kedua

qira‟at itu karena tidak adanya alif yang disukun. Namun kesimpulan akhir kedua macam

qira‟at itu adalah sama karena bacaan dalam bentuk jama‟ diartikan istighrâq (keseluruhan)

yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dalam bentuk mufrad diartikan untuk

jenis yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung

bermacam-macam amanat yang banayak jumlahnya.

2) Perbedaan dari segi i‟rab (harakat akhir kata). Misalnya firman Allah swt. ‫شًرا‬
َ َ‫( َما َى َذا ب‬Q.S.

Yûsuf: 31). Jumhur membacanya dengan nashab karena ‫ َما‬berfungsi seperti ‫ليس‬dan ini

adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Al-Qur‟an diturunkan. Sedangkan

18[18] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 159

19[19] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 159-161


Ibnu Mas‟ûd membacanya dengan rafa‟ "‫شٌر‬
َ َ‫"ما َى َذا ب‬
َ sesuai dengan bahasa Banî Tamîm karena

mereka tidak memfungsikan ‫ َما‬seperti ‫ليس‬.

3) Perbedaan dalam tashrîf, seperti firman-Nya: ‫َس َفا ِرَان‬ ِ


ْ ‫ْي أ‬
َْ ‫(فَث َقالُوا َربثَّنَا َِبع ْد بَث‬Q.S. Saba‟: 19) dibaca

dengan me-nashab-kan ‫ َربثَّنَا‬karena menjadi munâdâ mudhâf dan ‫ َِب ِع ْد‬dibaca dengan bentuk

fi‟il amr (perintah). Lafaz ‫ربُّنا‬dibaca pula dengan rafa‟ sebagai mubtada‟ dan ‫ِبعد‬
َ dengan

membaca fathah huruf „ain sebagai fi‟il madhi yang kedudukannya menjadi khabar. Juga

dibaca ‫بعِد‬
ّ dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf „ain dan me-rafa‟-kan lafaz ‫ربُّنا‬.

4) Perbedaan dalam taqdîm (mendahulukan) dan ta‟khîr (mengakhirkan), baik terjadi pada

ِ ‫(أَفَثلَ ْم يَثْيأ‬Q.S. al-Ra‟d: 31) dibaca juga ‫أفلم َييس‬, maupun yang
huruf seperti dalam firman-Nya ‫َس‬

terjadi pada kata seperti firman-Nya ‫(فَثيَث ْقتُثلُو َن َويثُ ْقتَثلُو َن‬Q.S. al-Taubah: 111) di mana yang

pertama ‫فَثيَث ْقتُثلُو َن‬dimabni-fâ‟ilkan (aktif) dan yang kedua ‫ َويثُ ْقتَثلُو َن‬dimabni-maf‟ulkan (pasif) di

samping dibaca pula dengan sebaliknya, yang pertama dimabni-maf‟ulkan dan yang kedua

dimabni-fâ‟ilkan.

5) Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), seperti firman Allah swt. ‫ف نثُنْ ِش ُزَىا‬ ِ
َ ‫َوانْظُْر إِ ََل الْعظَ ِام َكْي‬

(Q.S. al-Baqarah: 259) yang mana lafaz ‫نثُْن ِش ُزَىا‬dibaca dengan huruf za‟ dan mendhammahkan

nûn di samping dibaca pula dengan huruf ra‟ dan memfathahkan nûn (‫(نثَنْ ِش ُرَىا‬.

6) Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan, misalnya firman Allah swt. ‫أع َّد ََلُْم‬
َ ‫َو‬

ٍ ‫(جن‬Q.S. al-Taubah: 100) dibaca juga ‫ ِمن ََتْتِها ْالَنْثهار‬dengan tambahan ‫ِمن‬,
‫َّات ََتْ ِري ََْتتَث َها ْالَنْث َه ُار‬ َ َُ َ ْ ْ
keduanya merupakan qira‟at mutawâtir. Sedangkan mengenai perbedaan karena adanya

َّ ‫(قَالُوا‬Q.S. al-Baqarah: 116) tanpa huruf


pengurangan, misalnya firman Allah swt. ‫اَتَ َذ هللاُ َولَ ًدا‬

َّ ‫ َوقَالُوا َّاَتَ َذ‬dengan wawu.


wawu, sementara jumhur ulama membacanya ‫اَّللُ َولَ ًدا‬

7) Perbedaan lahjah seperti pembacaan tafkhim dan tarqîq, fathah dan imâlah, izhhar dan

idgham, dan lain-lain. Seperti membaca imâlah dan tidak mengimâlahkan dalam firman-Nya

‫وسى‬ ُ ‫( َوَى ٍْ أَ ََت َك َح ِد‬Q.S. THâhâ: 9) dibaca dengan mengimâlahkan kata ‫أَى‬dan ‫وسى‬
َ ‫يث ُم‬ َ ‫ ُم‬.

Membaca tarqîq ra‟ dalam firman-Nya ‫ْا‬ ِ ِ


ً ‫ َخب ًْا بَص‬, dan membaca tafkhîm huruf lam dalam kata

‫الطَََّل ُق‬.

e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara

harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan

masyarakat Arab.20[20]

f. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut

adalah Qira‟at Sab‟ah.21[21]

Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai pengetian Sab‟atu Ahruf

sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di atas, namun yang jelas makna yang tersirat

dalam hadis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam hal

membaca Al-Qur‟an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih

adalah benar.

20[20] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 161

21[21] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 161


Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril

kepada nabi Muhammad.

Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur‟an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka

memberikan keringanan kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca Al-Qur‟an

mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.

Setelah nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur‟an

dengan tujuh huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga

pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang

lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan

tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur‟an. Namun nabi memberikan penjelasan

kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya. Pengajaran

nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung hingga nabi

meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur‟an dari nabi terus memegang

bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid

mereka.22[22]

2. Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah

dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur‟an kepada para murid-murid mereka. Ada

diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur‟an kepada

murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka‟b (w 30 H), Utsmân bin „Affân (w 35 H),

Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), „Abdullâh bin „Ayyâsy (w 64 H),

„Abdullâh bin „Abbâs (w 68 H), „Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun

diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain.

22[22] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm,
(Riyâdh: t.p., 2004), cet. XIII, h. 344
Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan „Umar bin

Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.

Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur‟an di negeri

lain seperti negeri Iraq adalah „Abdullah bin Mas‟ûd (w 32 H) yang diperintahkan oleh

sahabat „Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur‟an di negeri Kufah. Di Iraq juga ada

sahabat „Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy‟ari (w 44 H) yang ditempatkan di

kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua‟dz bin

Jabal (w 18 H) yang mengajarkan Al-Qur‟an di Palestina. „Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w

34 H) mengajarkan Al-Qur‟an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda‟ (w 32 H)

mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira‟at di

negeri-negeri tersebut diatas.23[23]

Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira‟at oleh para sahabat kepada murid-

murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan

mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-

Ahruf as-Sab‟ah” sebagaimana dijelaskan diatas.

Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi‟in yang juga berperan

dalam penyebaran Ilmu Qira‟at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya

generasi baru dalam bidang Qira‟at.

3. Munculnya Komunitas Ahli Qira’at

Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur‟an dari generasi sahabat dan

Tabi‟in adalah munculnya komunitas ahli Qira‟at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari

dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira‟at al-„Asyr” menyebutkan tentang komunitas tersebut.

Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira‟at di negeri-negeri Islam tersebut sebagai

berikut :

23[23] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, h. 345.
Madinah : Ibnu al-Musayyab, „Urwah, Salim, „Umar bin „Abd al-„Aziz, Sulaimân bin Yasar,

„Atha‟ bin Yasar, Mu‟adz bin al-Hârits, „Abdurrahman bin Hurmuz al-A‟raj, Ibnu Syihâb az-

Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.

Mekah : „Ubaid bin „Umair, „Atha‟, THawus, Mujâhid bin Jabr, „Ikrimah, Ibnu Abî

Mulaikah.

Kufah : „Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda‟, „Abidah, „Amr bin Syurahbil,

dan lain lain.

Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja‟, Nasr bin „Âshim, Nashr bin

„Âshim, Yahya bin Ya‟mur dan lain lainnya.

4. Kodifikasi Ilmu Qira’at

Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu

keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad

kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira‟at.

Sebagian ulama muta‟akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku

tentang ilmu qira‟at adalah Yahyâ bin Ya‟mar, ahli qira‟at dari Bashrah. Kemudian di susul

oleh beberapa imam qurrâ‟, diantaranya yaitu :

1. „Abdullah bin „Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa

al-Hijâz wa al-„Irâq.

2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma‟ânî Al-Qur‟an dan kitab Al

Qirâ‟ât.

3. Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)

4. Abû „Amr bin al-„Alâ‟ (w. 156 H)

5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)

6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)

7. Hârûn bin Mûsâ al-A‟ûr (w. 170 H)


8. „Abdul Hamîd bin „Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)

9. „Alî bin Hamzah al-Kisâ‟i (w. 189 H)

10. Ya‟qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)

11. Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ‟ât.24[24]

Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-

macam qira‟at dalam satu kitab adalah Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan

dua puluh lima orang ulama ahli qira‟at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-

imam Qira‟at Sab‟ah).25[25]

Agaknya penulisan qira‟at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai

kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira‟at.

Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira‟at semakin marak.

Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan

Imam Lima, Ismâ‟îl bin Ishâq al-Maliki ( w 282 H) yang menghimpun 20 bacaan Imam,

Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain

lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira‟at semakin meningkat dari tahun ke tahun

dan dari abad ke abad.

5. Terbentuknya Qira’at Sab’ah

Banyaknya qira‟at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya

rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang

menyebabkan sebagian ahli qira‟at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira‟at

mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama :

24[24] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu,
Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Tawbah, 2000), h. 99-102.

25[25] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, h.
103; Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah, (Riyâdh:
Maktabah al-Rusyd, 2007), h. 19.
harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira‟at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni

dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.26[26]

Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu

Mujâhid (w 324 H) untuk menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling

berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili

bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :

1. Dari Madinah : Imam Nâfi‟ bin Abî Nu‟aim al-Ashfihâni (w 127 H)

2. Dari Mekah : „Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)

3. Dari Bashrah : Abû „Amr al-Bashri (w 153 H)

4. Dari Syam : „Abdullâh bin „Amir al-Syâmi (w. 118 H)

5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : „Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin

Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan „Alî bin Hamzah al-Kisâ‟i (w 189 H).

Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria

tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab‟ah” yaitu : harus ahli

26[26] Teks baitnya adalah sebagai berikut:

‫احتِ َماْلً ََْي ِوي‬ ِ


ْ ‫َوَكا َن ل َّلر ْس ِم‬ * ‫َوُك ٍُّ َما َوفَ َق َو ْج َو ََْن ِو‬

‫َلثَةُ اْل َْرَكا ُن‬ ِ َ‫ف‬


َ َّْ‫هذ ِه ال‬ * ‫ص َّح إِ ْسَن ُاد َىا الْ ُقْرآ ُن‬
َ ‫َو‬

ُ‫ُش ُذ ْو َذه‬ * ‫ث ُيََْت ٍُّ ُرْك ٌن أَثْبِ ِت‬


ُ ‫َو َحْي‬

“Setiap Qirâat apabila sesuai dengan kaidah nahwi * Sesuai dengan rasm
Utsmani

Memiliki sanad Shahih maka wajib diakui ke-Al-Quran-annya * Inilah tiga rukun yang harus
dipenuhi

Sekiranya tidak dipenuhi tiga syarat tersebut * Maka ia dianggap syadz”

Lihat: Ibnu al-Jazari,. Thayyibah al-Nasyr fi al-Qirâat al-‘Asyr, (Madinah: Maktabah Dâr al-Huda,
1421/2000), Cet. 2, h. 32
dalam bidang qira‟at, mengetahui qira‟at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang

periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :

“Diantara para ahli Al-Qur‟an ada yang tahu tentang seluk beluk I‟râb, qira‟at, bahasa,
mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira‟at yang syâdz, mampu
memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para
penghafal Al-Qur‟an pada setiap negeri kaum muslimin.”27[27]

Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang

terkenal yaitu “Al-Sab‟ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada

yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid

dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan

penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira‟at yang diriwayatkan dari tujuh imam

tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan

bahwa Qira‟at Sab‟ah adalah sab‟atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu

menurut Abû „Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu

kurang dari tujuh imam qira‟at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah

Abû „Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain

sebagainya.28[28]

6. Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah

Pada kitab “al-Sab‟ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap

Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira‟at

kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa‟id, Abû „Amr al-Dânî (w. 444 H)

menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira‟at Tujuh menjadi dua pada setiap

Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan

menghafal materi qira‟at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah

27[27] Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid, Al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1400 H), h.
45.

28[28] T. M. Hasby Al-Siddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 138.
bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap

Imam bisa kita lihat pada kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk

setiap Imam adalah sebagai berikut :

1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Nâfi‟

2. Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Ibnu

Katsîr

3. Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Abû

„Amr

4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam

Ibnu „Âmir

5. Syu‟bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam „Âshim

6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira‟at dari Imam Hamzah

7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ‟i (w. 246 H), meriwayatkan qira‟at dari

Imam Al-Kisâ‟i.29[29]

Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang

demikian besar dari para ahli qira‟at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari

kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira‟at Sab‟ah

yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah.

Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh

al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair

Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira‟at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab

yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah

ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira‟at. Sampai sekarang

29[29] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân. h. 182-184.


nazham ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami

ilmu qira‟at.

C. Macam-macam Qira’at

Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira‟at menjadi enam macam:

1. Mutawâtir, yaitu qira‟at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak

mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan

sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw. 30 [30] Para

ulama maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira‟at yang berkedudukan

mutawâtir adalah qira‟at yang sah dan resmi sebagai qira‟at Al-Qur‟an.31[31] Ia sah

dibaca di dalam maupun di luar shalat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira‟at

yang tujuh itu mutawâtir.32[32]

2. Masyhûr, yaitu qira‟at yang shahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir,

sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan

para ahli qira‟at dan tidak terdapat cacat. 33[33] Para ulama menyebutkan bahwa

qira‟at semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira‟at masyhûr adalah

qira‟at yang dipopulerkan oleh Abû Ja‟far bin Qa‟qa‟ dan Ya‟qûb al-Hadhrami, yaitu

lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz „imârata dibaca „amarata,34[34] yang kedua

bacaan ini terdapat dalam surat al-Tawbah ayat 19.

30[30] Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), h. 77.

31[31] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh,
(Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.), h. 42-43.

32[32] Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, h. 179.

33[33] Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an., h. 77.

34[34] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran, h. 44.


3. Âhâd, yaitu qira‟at yang shahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam

Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira‟at

yang telah disebutkan. Qira‟at semacam ini tidak termasuk qira‟at yang dapat

diamalkan bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa

Nabi membaca rafârifa dan „abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76. 35[35]

4. Syâdz, yaitu qira‟at yang tidak shahîh sanadnya, seperti qira‟at malaka yaumaddîn (al-

Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi‟il mâdhi dan menasabkan yauma.36[36]

5. Mawdhû‟, yaitu qira‟at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira‟at imam Muhammad

bin Ja‟far al-Khuza‟i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâthir ayat 28:

ِِ ِ ِ َ ْ‫إََِّّنَا َُي‬
ُ‫ثشى هللاَ م ْن عبَثاده الْ ُعثلَ َماء‬
Dia membaca dengan:
ِِ ِ ِ
‫اء‬ َ ْ‫إََِّّنَا َُي‬
َ ‫ثشى هللاُ م ْن عبَثاده الْ ُعثلَ َم‬
Yaitu dengan merafa‟kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-„Ulamâ‟.37[37]

6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira‟at sebagai penafsiran, seperti qira‟at

Ibnu „Abbâs:

ٍ َ‫ضثتُم ِمن عرف‬


‫ثات‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ َ‫ثاح أَ ْن ََثْبثتَثغُوا ف‬
ََ ْ ْ ْ َ‫ض ًثَل م ْن َربّ ُك ْم ِف َم َواسم ا ْْلَ ِّج فَثإ َذا أَف‬ ٌ َ‫س َعلَْيث ُك ْم ُجن‬
َ ‫لَْي‬
Kalimat ‫ج‬ ْ ‫ ِِف َم َو ِاس ِم‬adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.38[38]
ِّ َ‫اْل‬
Keempat macam qira‟at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.

Demikianlah uraian ringkas tentang macam-macam qira‟at, sehingga dengan

demikian seorang ahli qira‟at di samping hafal bermacam-macam qira‟at, dituntut juga agar

mampu membuktikan kebenaran qira‟atnya.

Sedangkan klasifikasi qira‟at berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai berikut:

35[35] Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, h.77.

36[36] Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, h.77.

37[37] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran, h. 47.

38[38] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran, h. 47.


a. Al-Qirâ‟ât al-Sab‟ (Qirâ‟ât Sab‟ah): adalah Qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh Tujuh Imam

Qira‟at yang sudah maklum.

b. Al-Qirâ‟ât al-„Asyr (Qirâ‟ât „Asyrah): adalah Qira‟at Sab‟ah yang dilengkapi dengan tiga

Imam Qira‟at. Yakni, Qira‟at Ya‟qûb, Qira‟at Khalaf, dan Qira‟at Yazîd bin Qa‟qa‟ (Abu

Ja‟far).

c. Al-Qirâ‟ât al-Arba‟ „Asyr (Qirâ‟ât Empat Belas): adalah Qira‟at „Asyrah ditambah Qira‟at

empat Imam Qira‟at, yakni Qira‟at Hasan Bashri, Qira‟at Ibnu Muhaishin, Qira‟at Yahyâ al-

Yazîudî, dan Qira‟at al-Syanabudz.

Akan halnya tentang Qira‟at Tujuh, mayoritas ulama menilai sebagai mutawâtirah.

Tentang kemutawâtirannya disebutkan oleh Ibnu al-Subkî:

“Qira‟at Tujuh adalah mutawâtirah yang sempurna kemutawatirannya, yakni

dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. Oleh sekelompok periwayat yang tidak mungkin

mereka bersepakat bohong.”

Akan halnya Qira‟at Sepuluh, sebagian ulama menyatakan bahwa Qira‟at Tiga Imam

selain Imam Tujuh tidak sampai mutawâtirah akan tetapi menurut Jumhur Ulama Qira‟at

mereka mutawâtirah. Bahkan menurut Syaikh „Abd al-Fattâh al-Qâdhî yang menukil

pendapatnya Ibnu al-Jazari di dalam kitab “Munjid al-Muqri‟în” menyatakan:

”Dewasa ini Qirâ‟ât Mutawâtirah selain Qirâ‟ât Sepuluh tidak akan dapat ditemukan,
namun apabila pada masa periode awal Islam tentu masih mungkin didapatkan.”
Adapun Qira‟at Empat Belas, masih menurut Ibnu al-Jazarî sebagai syâdz. Artinya

Qira‟at empat Imam tidak dapat diakui sebagai bacaan Al-Qur‟an yang sah, sebab memiliki

nilai sanad yang syâdz.

D. Perkembangan Qira’at Sab’ah Di Indonesia

Tidak di ketahui secara persis kapan Qira‟at Sab‟ah mulai masuk ke Indonesia. Akan

tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa Qira‟at Sab‟ah masuk ke Indonesia baru pada
sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang

mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat

di Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid

dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira‟at dari Hijaz. Kemudian

sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira‟at ini kepada murid-muridnya. Salah

satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku

tentang qiraat sab‟ah yaitu “Faidh al-Barâkât fî Sab‟i Qirâ‟ât”. Buku ini telah masyhur di

kalangan pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira‟at Sab‟ah.39[39]

Kemudian para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut

pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an) dan IIQ (Institut Ilmu

Al-Qur‟an) yang khusus mengajarkan „Ulumul Qur‟an, termasuk di dalamnya ilmu Qira‟at.

Ilmu Qira‟at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia

dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:

1. Qiraat Sab‟ah adalah sebagian ilmu dari „Ulumul Qur‟an yang wajib di kembangkan dan di

pertahankan eksistensinya.

2. Pembacaan Qira‟at Tujuh di lakukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang

berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli qira‟at).40[40]

Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira‟at dalam bahasa Indonesia,

yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan

PTIQ, yaitu DR. KH. Ahmad Fathoni, MAg. Kitab ini sangat membantu memudahkan

masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira‟at.

39[39] Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret
2002.

40[40] DR. H. Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, (Jakarta: ISIQ, 1992), h. 13.
Barangkali mengingat Qira‟at Sab‟ah sudah mulai dikenal dan memasyarakat di

Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 2 Maret 1983

merekomendasikan bahwa Qira‟at Tujuh wajib dikembangkan eksistensinya. Pada tanggal 23

Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan fatwa mengenai keberadaan Qira‟at

Tujuh, yang substansinya: menghimbau agar para pecinta pembaca Al-Qur‟an tidak

membiasakan pembacaan Al-Qur‟an yang suci itu di dalam upacara atau pertemuan

keagamaan dan lainnya dengan cara Qira‟at Sab‟ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan

cara bacaan yang berlainan ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para

ulama masih banyak yang belum begitu paham tentang hal-ihwal Qira‟at Sab‟pah.

Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada Seleksi Tilawatil Qur‟an

(STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira‟at Al-Qur‟an termasuk salah satu cabang yang

ikut dimusabaqahkan dan terus berjalan sampai sekarang.41[41]

41[41] Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai