Anda di halaman 1dari 14

URGENSI ILMU QIRÂ’ÂT DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

Makalah ini Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Qirâ’ât

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Umi Khusnul Khatimah, M.Ag

Disusun oleh:

Maryani NIM 220410973

Nurhasanah Nasution NIM 220410981

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

TAHUN AJARAN 1441 H/2020 M


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian Qirâ’ât dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, adalah salah satu disiplin
keilmuan yang tidak bisa diabaikan. Seorang ahli tafsir akan menemukan sejumlah
kendala jika tidak memiliki pemahaman yang baik tentang qirâ’ât. Sebab, kemungkinan
terjadinya perbedaan makna ayat Al-Qur’an cukup sering terjadi qirâ’ât yang satu dengan
yang lainnya. Demikian halnya dengan ilmu fikih, seorang ahli fikih pasti memahami
cukup baik perbedaan qirâ’ât dalam Al-Qur’an, karena perbedaan ini terkadang
berdampak pada istinbath hukum. Artinya memahami atau setidaknya mengenal qirâ’ât
adalah suatu hal yang penting, bukan hanya karena qirâ’ât merupakan suatu keilmuan
tersendiri, namun yang tidak klah penting adalah karena ilmu ini memungkinkan orang
yang memahaminya bisa menjjelaskan beberapa keilmuan yang terkait.

B. Ruang Lingkup Pembahasan


1. Pengertian Qirâ’ât
2. Pengertian Tafsir
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan qirâ’ât mutawâtir
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan qirâ’ât syâdzdzah
5. Urgensi qirâ’ât dalam menafsirkan Al-Qur’an
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qirâ’ât

Secara bahasa, kata qirâ’ât merupakan jama’ dari qirâ’âh yang berasal dari kata(‫) َقَرأ‬.

Dari kata tersebut lahir kata ‫ قِ َراءَ ًة‬dan ‫ قُرآنًا‬yang berarti membaca.1 Sedangkan menurut

terminologi ‘ulûm Al-Qur’an, kata qirâ’ât didefinisikan secara beragam oleh para
ulama.2 Ibn al-Jazary (w.833/1429) mengemukakan:
‫اختِاَل فِ َها بِ َع ْج ِز النَّاقِ ِل‬ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ3
ِ ‫القراء‬
ْ ‫ات ع ْل ٌم بِ َكْيفيَّات أ ََداء ال َكل َمات ال ُقرأَ نيَة َو‬
ُ ََ

“Qirâât adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara melafazhkan beberapa
kosa kata Al-Qur’an dan perbedaan kosa kata tersebut yang dinisbatkan kepada orang
yang meriwayatkan”.

Ibn al-Jazary tidak hanya menganggap qirâ’ât sebagai sistem penulisan dan ragam
artikulasi lafazh, tetapi juga sebagai disiplin ilmu yang independen, dan menyetujui
bahwa sumber keberagaman qirâât bukan hasil ijtihad melainkan disandarkan pada
keterangan riwayat.4 Selanjutnya Imam al-Zarkasyi merumuskan definisi qirâ’ât sebagai
‫ف َوَتثْ ِقْي ِل َو َغرْي ِرمِه َا‬
ِ ‫ف أَو َكْي ِفيَّتِها ِمن خَت ْ ِفْي‬
ْ َ
ِ ِ ِ ِ ُ ‫ ِهى اختِاَل‬5
ْ ‫ف ألْ َفاظ الْ َو ْح ِى الْ َم ْذ ُك ْو ِر ىِف كتَابَة احْلُُر ْو‬ ْ َ

“Qirâ’ât adalah perbedaan beberapa lafazh wahyu (Al-Qur’an) dalam hal penulisan
huruf maupun cara artikulasinya, baik secara tahkfif (membaca tanpa tasydid), tatsqîl
(membaca dengan tasydid), atau lain sebagainya”.

Selanjutnya definisi qirâ’ât menurut az-Zarqani adalah sebagai berikut:


ِ ِ ِّ ‫اق‬
ُ‫الر َوايَات َوالطُُّرق َعْنه‬ ِّ ‫ب إِلَْي ِه إِ َم ٌام ِم ْن أَئِ َّم ِة الْ ُقَر ِاء خُمَالًِفا بِِه َغْي ُرهُ ىِف النُّطْ ِق بِالْ ُق ْراٰ ِن الْ َك ِرمْيِ َم َع‬
ِ ‫الت َف‬
ُ ‫ب يَ ْذ َه‬
ٌ ‫َم ْذ َه‬
‫ف أ َْم يِف ْ نُطْ ِق َهْيئَاهِتَا‬
ِ ‫سواء أَ َكانَت ٰه ِذ ِهالْمخالََفةُ يِف نُطْ ِق احْل رو‬6
ْ ُُ ْ َُ ْ ٌ ََ

1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), cet.14, h. 1101. Lihat juga al-‘Allâmah ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Mesir: Dâr al-Hadîs, 2003), Juz. 7,
h. 283
2
Romlah Widayati, dkk. Ilmu Qirâ’ât 1,(Tangerang: IIQ Jakarta Press, 2015), cet. 2, h.3
3
Ibn al-Jazary, Munjid al-Muqri’În wa Mursyid al-Thâlibin, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah,
1980), h.3
4
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, (Tangerang: Transpustaka,
2015), cet.1, h. 14
5
Badruddin Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, 1391), jilid.1, h. 318
6
Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qur’an, (tt.p.: t.p., t.t.), jilid. 1,
h.410
“Suatu madzhab yang dianut seorang imam qirâât yang berbeda dengan lainnya dalam
pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik
perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-
bentuknya.”

Selanjutnya definisi qirâ’ât menurut al-Shâbûnî adalah sebagai berikut:

‫ص َّل اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ‫ب النُّطْ ِق قِى الْ ُقراٰ ِن ي ْذهب بِِه إِمام ِمن اأْل َئِ َّم ِة بِأ‬
ِ ‫ب ِم ْن َم ْذ َه‬
َ ‫َسانْيد َها إِىَل َر ُس ْول اهلل‬ ٌ ‫َم ْذ َه‬
7
َ َ ٌَ ُ َ َ ْ
“Qirâ’ât adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang
imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw.”
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa definisi qirâ’ât yaitu ilmu yang
membahas tentang ragam qirâ’ât yang dinisbatkan kepada Imam qirâ’ât berikut aspek-
aspek perbedaan bacaan dan implikasinya, periwayatan maupun kedudukannya, serta
peranannya dalam menafsirkan Al-Qur’an.8

B. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ta’fil” artinya menjelaskan, menyingkap, dan
menerangkan makna makna rasional kata. At tafsir dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul ‘arab dinyatakan, kata al-fasr
berarti menyingkap seuatu yang tertutup. Sedangkan at-tafsîr berrati menyingkap
maksud suatu lafadz yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
)33( ‫َح َس َن َت ْف ِس ًريا‬ َ َ‫ك مِب َثَ ٍل إِاَّل ِجْئن‬
ْ ‫اك بِاحْلَ ِّق َوأ‬ َ َ‫َواَل يَأْتُون‬

“Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling
baik. (QS. Al-Furqon: 33)

Di sini tafsir berarti penjelasan dan perinciannya. Di antara kedua kata itu, kata at-
tafsîr yang paling banyak dipergunakan. Ibnu Abbas mengartikan “wa ahsana tafsîra”
dalam ayat di atas sebagai lebih baik perinciannya (tafasila). Menurut ar-Raghib, kata at-
tafsîr dan as-safr adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafadznya, tapi yang
pertama untuk menunjukkan arti menampakkan (mendzahirkan) makna yang abstrak,
sedangkan makna yang kedua untuk menampakkan benda kepada pengelihatan mata.

Untuk tafsir secara istilah, Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz A l-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah-
7
Muhammad ‘Alî al-Shabuni, al-Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390),
h. 223
8
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 15
masalah hukumnya, baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta
tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang
melengkapinya. sedangkan menurut Az-Zarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami
Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah, menerangkan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.

C. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirâ’ât mutawâtir


Qirâ’ât mutawâtir adalah qirâ’ât yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi (mata
rantai sanad) yang cukup banyak pada setiap tingkatan (dari masa ke masa) dari awal
sampai akhir, yang bersambung hingga Rasulullah Saw.9 Contohnya ialah sebagai
berikut:

..... َ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم إِ َّن اللَّه‬


ِ ‫يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫أَو اَل مستُم النِّساء َفلَم جَتِ ُدوا ماء َفَتي َّمموا‬
َ ُ َ ًَ ْ ََ ُ َْ ْ
)٤۳( ‫ورا‬ ً ‫َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُف‬
Pada ayat tersebut terdapat perbedaan bacaan antara para Imam qirâ’ât, yaitu sebagai
berkut:
a. Pada lafal ‫س تُ ْم‬
ْ ‫اَل َم‬Imam Nâfi’, Ibnu Katsîr, Abû ‘Amr, Ibnu ‘Âmir, dan ‘Âshim
membacanya dengan ‘alif’ yaitu menjadi ‫ستُ ُم‬
ْ ‫اَل َم‬,
b. sementara Hamzah dan al-Kisâî membacanya dengan membuang huruf ‘alif’ yaitu

menjadi ‫ستُ ْم‬


ْ ‫لَ َم‬. Adapun redaksinya dalam kitab qirâ’ât adalah sebagai berikut:
10

"‫ َو َقَرأَ مَحَْزةُ والْ ِك َسائِى بِغَرْيِ أَلِ ٍف‬,‫اص ٍم بِاأْل َلِ ِف‬
ِ ‫اَل مستُم" َقرأَ نَافِ ٍع وابن َكثِ ٍ وأَبوعم ٍر وابن ع ِام ٍر وع‬11
َ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ ‫َ ْ ُ رْي‬ َ ْ َْ
Al-Qurthubî menjelaskan bahwa lafal ‫س تُ ْم‬
ْ ‫ اَل َم‬yang dibaca tanpa ‘alif’ (‫)لَ َم ْس تُ ْم‬
mempunyai tiga makna, yaitu pertama bermakna jâma’tum (berjima’), kedua bermakna
bâsyartum (bersenang-senang atau meraba-raba). Adapun pendapat yang diriwayatkan

dari Muhammad bin Yazîd, ia berkata bahwa ‫س تُ ْم‬


ْ ‫ اَل َم‬bermakna qabaltum (mencium),
sedangkan ‫س تُ ْم‬
ْ ‫ لَ َم‬bermakna ghasyaitum (memeluk) atau masastum (menyentuh).
12

Apabila seorang pembaca membacanya dengan salah satu bacaan tersebut, maka hal itu
dibenarkan karena sesuai dengan makna keduanya.
9
Ahmad Fathoni. Kaidah Qirâ’ât Tujuh,(Tangerang: Yayasan Bengkel Metode Maisura, 2016), h. 5
10
Abi ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr al-Qurthûbî, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, h.
199
11
Syauqi, Kitab al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât li Ibn Mujahid, h. 224
12
Al-Qurthûbî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Ahmad Khotib, h.529
D. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirâ’ât Syâdzdzah
Qirâ’ât Syâdzdzah adalah qirâ’ât yang tidak mempunyai sanad yang shahih atau
qirâ’ât yang tidak memenuhi tiga syarat yang sah untuk dapat diterima sebagai suatu
qirâ’ât.13 Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
ِ ِ ِ ٍ ‫ أَيَّاما مع ُد‬.....
َ ‫يضا أ َْو َعلَى َس َف ٍر فَع َّدةٌ م ْن أَيَّ ٍام أ‬
‫ُخَر‬ ً ‫ودات فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر‬
َ َْ ً
Menurut Abu Hayyân terdapat dua perbedaan qirâ’ât pada redaksi ayat ini, yaitu

yang pertama Imam qirâ’ât tujuh membacanya dengan rafa’ (ٌ‫)فَعِ َّدة‬. Dan yang kedua yaitu

qirâ’ât lain, (Abu Hayyân tidak menyebut nama Imam qirâ’âtnya), membaca dengan

nashab (‫)فَعِ َّد ًة‬, bermakna ً‫ َّدة‬L‫ ْمهٌ ِع‬L‫ص‬


ُ َ‫( فَ ْالي‬maka berpuasalah beberapa hari). Qirâ’ât yang

kedua ini statusnya adalah syâdzdzah.14


Perbedaan tersebut membawa implikasi terhadap penafsiran ayat, pada qirâ’ât
pertama yang membaca rafa’ mem[punyai makna “Maka wajib bagi mereka berpuasa
pada hari-hari yang lain”. Menurut Ibnu Hayyân, berdasarkan zhahir makna dari qirâ’ât
ini adalah bagi orang sakit dan musafir mereka wajib melaksanakan puasa pada hari-hari
lain sebanyak mereka sakit dan musafir. Karena redaksi ayat tidak menjelaskan apakah
orang tersebut berbuka atau tidak, maka seandainya mereka tetap puasa, puasanya tidak

sah. Adapun qirâ’ât kedua yang membaca nashab (‫)فَعِ َّد ًة‬, Ibnu Hayyân menafsirkan lagi

melalui pendekatan kebahasaan dengan menganalisa sisi gramatikalnya. Yaitu sebagai


berikut:
ُ َ‫فَ ْالي‬
a. Kedudukan i’rabnya sebagai maf’ul sedang fa’ilnya tidak tampak, yaitu ً‫ص ْمهٌ ِع َّدة‬
(maka puasalah beberapa hari).
b. Sebagai mudhâf ilaih sedang mudhâfnya tidak disebut, bila ditampakkan yaitu “fa
shaum iddah ma afthara” (maka berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan)
c. Kedudukannya sebagai syarat, adapun jawabnya mahdzûf, yaitu ‫فَ اَْم ِط ْر فَعِ َّد ًة‬

(berbukalah kemudian puasalah pada hari lain).


Berdasarkan qirâ’ât ini, maka dapat memberikan pemahaman bahwa orang sakit dan
musafir boleh tidak puasa dan wajib mengqadha puasanya sebanyak hari-hari yang
ditinggalkan pada hari lain. Qirâ’ât ini mendukung pendapat mayoritas ulama tentang
kebolehan memilih berpuasa atau tidak bagi orang yang sakit dan musafir, dengan
13
Ahmad Fathoni. Kaidah Qirâ’ât Tujuh, h. 5
14
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 178
menggantinya pada hari yang lain. Menurut Ibnu Hayyân, qirâ’ât syâdzdzah di sini
memberikan penjelasan atau dijadikan hujjah dalam memahami maksud dari qirâ’ât
mutawâtirah.15

E. Urgensi Qirâ’ât dalam menafsirkan Al-Qur’an


Perbedaan qirâ’ât dapat berimplikasi terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga perbedaan qirâ’ât tersebut dapat membentuk pemahaman atau bahkan
keyakinan setiap muslim. Setidaknya ada sepuluh pola jika dikaitkan dengan peran atau
fungsi qirâ’ât terhadap penafsiran Al-Qur’an yang diantaranya:
1) Takhyîr
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka kaum muslimin dapat
memilih qirâ’ât yang tafsirnya mereka anggap sesuai dengan keadaan dan kondisi
keimanan seperti perbedaan qirâ’ât dalam membaca surah al-Fâtiḥah sebagai berikut:
)4( ‫ك َي ْوِم الدِّي ِن‬
ِ ِ‫مل‬
َ
“Raja yang menguasai/memiliki hari Pembalasan.” (QS. Al-Fâtiḥah [1]: 4)
ِ ِ‫)مال‬.
Imam ‘Âṣim dan al-Kisâî membacanya dengan mâd, yaitu mâliki (‫ك‬ َ
Sedangkan semua imam lainnya tidak memanjangkannya yaitu membacanya dengan
ِ ِ‫ )مل‬Abd. Muin Salim mengatakan bahwa yang hatinya lebih ke kekuasaan
malik .(‫ك‬ َ
ِ ِ‫ )مل‬Sedangkan yang
maka lebih khusyuk jika membaca mâliki dengan lafal malik .(‫ك‬ َ
ِ ِ‫)مل‬16
hatinya lebih ke kekayaan akan lebih khusyuk dengan lafal mâliki .(‫ك‬ َ

2) Bayân lafẓ al-garīb aw al-mubham.


Adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat dapat membantu menjelaskan arti
lafadz yang maknanya masih samar-samar seperti pada surah. al-Baqarah berikut ini:

‫ض ُم ْسَت َقٌّر َو َمتَاعٌ إِىَل‬ ٍ ‫ض ُك ْم لَِب ْع‬ ِِ ‫مِم‬


ِ ‫ض َع ُد ٌّو َولَ ُك ْم يِف اأْل َْر‬ ُ ‫َخَر َج ُه َما َّا َكانَا فيه َو ُق ْلنَا ْاهبِطُوا َب ْع‬
ْ ‫فَأ ََزهَّلَُما الشَّْيطَا ُن َعْن َها فَأ‬
)36( ‫ني‬ ٍ ‫ِح‬
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari
Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi
15
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 178-180

16
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 56
musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan
hidup sampai waktu yang ditentukan". (Qs. Al-Baqarah [2]: 36)
Semua membacanya dengan fa azallahumā kecuali Hamzah membacanya
dengan faazallahumâ. Kedua qirâ’ât ini merupakan qirâ’ât yang mutawâtir. Dari
kedua qiraat itu diketahui bahwa yang dimaksud “Adam dan Hawa digelincirkan dari
surga” adalah bahwa keduanya dijauhkan dari surga secara material maupun
immaterial. Adam dan Hawa secara lahir maupun batin hilang dari surga gara-gara
Iblis.17

3) Sabab wa musabbab
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, dapat mengetahui adanya
hubungan sebab-akibat antara suatu perkara dengan perkara lainnya dalam Al-
Qur’an, seperti yang termaktub dalam surah al-Baqarah sebagai berikut:
)37( ‫يم‬ ٍ ‫فَتلَقَّى آدم ِمن ربِِّه َكلِم‬
ِ َّ ‫ات فتَاب علَي ِه إِنَّه هو الت ََّّواب‬
ُ ‫الرح‬ ُ َُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS, Al-Baqarah [2]: 37)
Ibnu Katsîr membaca lafazh âdam dengan naṣab (‫آد َم‬
َ ) dan rafa’ pada lafazh
ٍ ‫) َكلِم‬. Sedangkan selain Ibnu Katsîr membacanya sebagaimana yang
kalimât (‫ات‬ َ
ٍ ‫ فَتلَقَّى آدم ِمن ربِِّه َكلِم‬. Jika dibaca tidak seperti qirâ’ât
termaktub dalam mushaf, yakni‫ات‬ َ َ ْ َُ
Ibnu Katsîr, maka tafsirnya adalah “sebab Adam menerima kalimat dari Allah, maka
Allah mengampuninya”. Sedangkan jika dibaca seperti qirâ’ât Ibnu Kasir maka
tafsirnya menjadi “sebab Allah mengampuni Adam, maka Adam menerima beberapa
kalimat dari-Nya”.18

4) Isyârah laṭhîfah
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka ditemukanlah isyarat
yang halus di dalam sebuah ayat. Isyarat ini merupakan hal yang tersirat dan
tersembunyi, yang hanya ditangkap dan dipahami oleh yang terpilih, yakni para
ulama, khususnya mufasir. Salah satu contohnya dapat dicermati dan diamati pada
surah al-Baqarah berikut:
17
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 56
18
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 57
‫اعةٌ َواَل ُي ْؤ َخ ُذ ِم ْن َها َع ْد ٌل َواَل ُه ْم‬ ِ
ٌ ‫َو َّات ُقوا َي ْو ًما اَل تَ ْج ِزي َن ْف‬
ٍ ‫س َع ْن َن ْف‬
َ ‫س َش ْيئًا َواَل ُي ْقبَ ُل م ْن َها َش َف‬
)48(‫ص ُرو َن‬ َ ‫ُي ْن‬
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak
dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima
syafa'at. dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 48)
Ibnu Katsîr dan Abû ‘Amr membacanya tuqbalu (‫ل‬ ُ َ‫)ُت ْقب‬, sedangkan Ibn Âmir,
Hamzah, al-Kisâî, dan Nâfi’ membacanya yuqbalu(‫بَل‬
ُ ‫ ) ُي ْق‬. Pada dasarnya, bacaan
pertamalah yang berlaku, sesuai dengan qirâ’ât Âṣīm sebagai qirâ’ât yang standar
karena mengikuti lafal syafâ’ah yang muannaṡ. Di sisi lain, qirâ’ât yang lain juga
tetap benar karena ada fâṣil. Jika dibaca yuqbalu, maka ada isyarat yang tersirat di
situ bahwa jika syafaat dipisahkan (fāṣil) dari Nabi Muḥammad saw. (dalam artian
tidak mau membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw), maka ia tidak akan
mendapat bantuan dan syafaat dari Nabi Muḥammad saw.19

5) ‘Am wa khash
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka dapat diketahui
hubungan atau pengaruh umum-khusus antara kedua qiraat yang berbeda tersebut,
seperti dalam kasus dalam surah al-Baqarah berikut ini:
ِ
...... )85( ...... ‫وه ْم َو ُه َو حُمََّر ٌم َعلَْي ُك ْم‬
ُ ‫اد‬ َ ‫َوإ ْن يَأْتُو ُك ْم أ‬
ُ ‫ُس َارى ُت َف‬
“.....Tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka,
padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu.....” (QS. Al-Baqarah [2]: 85)
Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, dan Ibnu ‘Âmir membacanya dengan tafdūhum (

‫دو ُه ْم‬
ْ ‫)َت ْف‬. Sedangkan Nâfi’, âṣim, dan al-Kisâî membacanya dengan tufâdûhum (‫وه ْم‬
ُ ‫اد‬
ُ ‫)ُت َف‬.
Qirâ’ât kedua merupakan qirâ’ât standar yang banyak dituturkan oleh umat Islam di

penjuru dunia pada masa kini. Tufâdûhum (‫وه ْم‬


ُ ‫اد‬
ُ ‫ )ُت َف‬artinya melepaskan tawanan dan
melepaskan tawanan dan mengambil tebusan sebagai gantinya, ini adalah penafsiran

umum. Sedangkan jika dibaca tafdūhum (‫دو ُه ْم‬


ْ ‫ )َت ْف‬artinya membayar untuk menebus
tawanan, imi tafsir yang khusus.20

6) Tanawwu al-ibādah
19
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 57
20
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 57
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka umat Islam dapat
mengetahui keberagaman cara melaksanakan ibadah. Hal ini seperti yang terkandung
dalam surah al-Māidah berikut ini:
ِ ‫وامسحوا بِرء‬.....
)6( .... ‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل الْ َك ْعَبنْي‬ُُ ُ َ ْ َ
“....Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki....”(QS. Al-Mâidah [5]: 6)
Nâfî, Ibn ‘Amir, al-Kisâî, dan ‘Ashim riwayat Hafsh membacanya wa
arjulakum. Sedangkan Ibn Katsîr, Hamzah, Abû ‘Amr, dan ‘Ashim membacanya wa
arjulikum. Perbedaan ini berimplikasi pada variasi cara berwudu.21

7) Tanawwu al-syarṭ
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka dapat diketahui
perbedaan syarat beribadah. Misalnya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah
sebagai berikut:
)222( ....‫وه َّن َحىَّت يَطْ ُه ْرن‬
ُ ُ‫ َواَل َت ْقَرب‬....
“…Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci...” (QS. al-Baqarah
[2]: 222)
Hamzah, al-Kisâî, dan ‘Ashim riwayat Abû Bakr men-tasydîd-kannya, yaitu

yaththahharna (‫ )يَطَّ َّه ْر َن‬.Sedangkan Ibn Katsîr, Nâfî, Abû ‘Amr, Ibnu ‘Âmir, dan

‘Âshim riwayat Hafsh men-takhfīf-kannya, yaitu yathhurna (‫)يَطْ ُه ْرن‬. Perbedaan

tersebut mengakibat perbedaan syarat menggauli istri.22

8) Tanawwu al-ḥâl
Dengan adanya perbedaan qirâ’ât pada suatu ayat, maka dapat memahami
perbedaan konteks yang diceritakan oleh suatu ayat, seperti surah Al-Baqarah berikut
ini:
)51(.....‫ني لَْيلَة‬ِ ِ
َ ‫وسى أ َْربَع‬
َ ‫َوإ ْذ َو َاع ْدنَا ُم‬
“Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah)
empat puluh malam…” (QS. al-Baqarah [2]: 51)

21
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 57
22
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 58
Abû ‘Amr membaca dengan wâ’adnâ Sedangkan yang lain waadnā (‫) َو َع ْدنَا‬.

Qirâ’ât pertama menekankan objeknya, yaitu sesuatu yang dijanjikan sedangkan


qirâ’ât kedua menekankan pelakunya. Kedua qirâ’ât ini berfungsi saling
melengkapi antara satu sama lain dan tidak bertolak belakang, karena kedua
merupakan qirâ’ât yang mutawatir, sahih yang berasal dari Nabi Muhammad saw.23

9) Tafsîr ba’ḍuhu ‘ala ba’ḍ


Dengan adanya perbedaan qirâ’ât kedua lafal yang berbeda dapat saling
melengkapi (complementary) dan saling menjelaskan antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana di dalam surah at-Takwîr berikut:
ٍ ِ‫ضن‬
)24( ‫ني‬ َ ِ‫ب ب‬
ِ ‫و َما ُهو َعلَى الْغَْي‬
َ َ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang
ghaib.” (QS. At-Takwīr [81]: 24)
ٍ ِ‫ض ن‬
Lafal bi ḍhanîn (‫ني‬ َ ِ‫ )ب‬bermakna bakhil adalah qirâ’ât jumhur. Akan tetapi
terdapat riwayat mutawatir lainnya, yaitu Ibnu Katsîr, Abû ‘Amr, dan al-Kisâî

membacanya dengan bi ẓhanîn ( َ ‫ )بِظَنِنْي‬yang berarti tertuduh . Secara penafsiran dapat

dipahami bahwa Nabi Muhammad saw. bukanlah orang yang bakhil sebagaimana
yang dituduhkan kepadanya.24

10) Ikhtilaf fî mas`alat al-kalâm


Dengan adanya perbedaan qirâ’ât, timbullah perbedaan pandangan antara Ahl
Sunnah wa al-Jamāah dan Mu’tazilah, seperti saat kedua mazhab itu menafsirkan
surah al-Insan berikut:
)20( ‫يما َو ُم ْل ًكا َكبِ ًريا‬ِ ‫وإِذَا رأَيت مَثَّ رأَي‬
ً ‫ت نَع‬
ََْ ََْ َ
“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai
macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (QS. al-Insān [76]: 20)
Qirâ’ât yang mutawâtir membacanya mulkan (‫)م ْل ًكا‬
ُ . Sedangkan qirâ’ât lain
yang tidak mutawâtir membacanya malikan (‫) َملِ ًكا‬. Qirâ’ât pertama mendukung

madzhab Ahl Sunnah wa al-Jamāah yang berkeyakinan bahwa manusia dengan izin-

23
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 58
24
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 58
Nya mampu melihat Allah SWT di akhirat kelak sebagai raja (malik) dari segala raja.
Sedangkan qirâ’ât kedua mendukung pandangan madzhab Muktazilah yang
berpandangan bahwa tidak ada kemampuan bagi manusia untuk melihat Allah SWT.
di dunia maupun di akhirat, yang dapat dilihat hanyalah kekuasan-Nya (mulk) bukan
zat-Nya.25

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perbedaan qiraat Al Qur’an sama sekali tidak mempengaruhi otensitisas dan validitas
Al Qur’a atau memilihn,baik dari segi kodifikasi maupun substansi.Justru dengan adanya
qiraat yang berbeda-beda ini otensitisas Al Qur’an menjadi terbukti secara
otomatis.Sebab Al Qur’an walaupun dapat dibaca dengan segi bacaan yang
bervariasi,tetap tidak terbukti adanya perubahan atau penyelewengan.Qiraat adalah
keistimewaan yang melekat erat dalam jiwa Al Qur’an.Setiap imam qiraat mempunyai
atau memilih qiraah tersendiri untuk diri mereka,merumuskan dan menyepakati qiraah
shahihah.Dan qiraah-qirah yang dipilih oleh masing-masing imam qiraah itu bukanlah

25
Muhammad Irham, Implikasi Perbedaan Qiraat Terhadap Penafsiran Alquran, h. 58
suatu ijtihad seprti yang dilakukan oleh para fuqaha dalam menentukan suatu
hukum.Qiraah-qiraah Al Qur’an itu tidak lebih dari sekedar ketundukan para imam
qiraah kepada Allah dan Rasul-Nya,karena salah satu kriteria qirah shahihah adalah ke-
mutawattiran riwayahnya.Kemutawattiran tersebut menunjukan secara otomatis bahwa
qiraah tersebut dating dari Rasulullah.

Jika disandingkan dengan tafsir Al Qur’an,mempunyai urgensi sendiri,seseorang yang


akan menafsirkan Al Qur’an hendaknya mengetahui seluk beluk suatu ayat yang akan
dijadikan obyek penafsiran termasuk ilmu qiraah.Satu sama lain saling melengkapi
dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an

Perbedaan Qiraat dapat berimplikasi terhadap penafsiran ayat-ayat Al


Qur’an,sehingga perbedaan qiraat tersebut dapat mmbentuk pemahaman atau bahkan
keyakinan setiap muslim.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), cet.14, h. 1101. Lihat juga al-‘Allâmah ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Mesir: Dâr al-Hadîs, 2003), Juz. 7,
h. 283
Romlah Widayati, dkk. Ilmu Qirâ’ât 1,(Tangerang: IIQ Jakarta Press, 2015), cet. 2, h.3
Ibn al-Jazary, Munjid al-Muqri’În wa Mursyid al-Thâlibin, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah,
1980), h.3
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, (Tangerang: Transpustaka,
2015), cet.1, h. 14
Badruddin Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, 1391), jilid.1, h. 318
Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qur’an, (tt.p.: t.p., t.t.), jilid. 1,
h.410
Muhammad ‘Alî al-Shabuni, al-Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390),
h. 223
Romlah Widayati, Implikasi Qirâ’ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 15
Ahmad Fathoni. Kaidah Qirâ’ât Tujuh,(Tangerang: Yayasan Bengkel Metode Maisura, 2016), h. 5
Abi ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr al-Qurthûbî, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, h. 199
Syauqi, Kitab al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât li Ibn Mujahid, h. 224
Al-Qurthûbî, Tafsîr al-Qurthubî, terj. Ahmad Khotib, h.529
Ahmad Fathoni. Kaidah Qirâ’ât Tujuh, h. 5
1
Irham, M. (2020). IMPLIKASI PERBEDAAN QIRAAT TERHADAP PENAFSIRAN
ALQURAN. Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 5(1), 54-61.

Anda mungkin juga menyukai