Anda di halaman 1dari 9

Syubhat Hawla’ Al-Qur’an : Dosen Pengampu :

Tugas Kelompok 12 Dr. H. Masyhuri Putra, Lc. M.Ag

SYUBHAT SEKITAR KESALAHAN BAHASA DALAM AL-QUR’AN


(BAGIAN 7)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur pada
mata kuliah “Syubhat Hawla’ Al-Qur’an”

Disusun Oleh :

Chintya Khairunnisa (12030221543)


Salma Hanni Khalilah Nasution (12030223610)
Wigel Aridel (12030221221)

KELAS 6F
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 1444H / 2023M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kita
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Syubhat Hawla’
Al-Qur’an. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Baginda Agung Rasulullah
SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Adapun makalah ini telah penulis selesaikan dengan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. H. Masyhuri Putra, Lc.
M.Ag . Sebagai dosen pengampu dan juga kepada teman-teman yang telah membantu penulis
dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyususan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada
dan lapang tangan terbuka penulis membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi
saran dan kritik kepada sehingga kami dapat memperbaiki makalah Syubhat Hawla’ Al-Qur’an
ini. Penulis mengharapkan semoga dari makalah yang berjudul “Syubhat Sekitar Kesalahan
Bahasa Dalam Al-Qur’an (Bagian 7)” ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
membantu pembaca dalam proses pembelajaran dan pengetahuan kita semua. Aamiin..

Pekanbaru, 09 Juni 2023

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan menggunakan
bahasa Arab. Bahasa Arab al-Qur’an bukanlah bahasa Arab biasa, akan tetapi bahasa
Arab dengan keindahannya yang luar biasa sehingga tidak ada yang dapat
menandinginya. Sangatlah wajar jika bahasa al-Qur’an tidak ada yang menandinginya,
sebab ia bukanlah sebuah karya manusia, akan tetapi merupakan kalam Tuhan yang
Maha Agung. Disini, al-Qur’an sangat mempengaruhi bahasa dan sastra Arab. Setelah al-
Qur’an turun, para sastrawan berlomba-lomba untuk membuat karya yang bisa
mengalahkan al-Qur’an, akan tetapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Al-Qur’an
tetap menjadi kalam agung yang tidak tertandingi.1
Al-Qur’an juga merupakan sumber ajaran Islam pertama dan utama menurut
keyakinan umat Islam dan diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah. Al-Qur’an adalah
kitab suci yang di dalamnya terdapat firman-firman Allah yang disampaikan oleh
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah secara berangsur-angsur
yang bertujuan menjadi petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupannya agar mendapatkan
kesejahteraan di dunia dan akhirat.2
Bahasa Al-Qur’an telah melampaui standar kefasihan (fashahah) dan mencapai
puncak keindahan (balaghah) di tengah-tengah kaum yang kala itu memiliki pujangga-
pujangga besar dan orator-orator ulung. Dalam hal ini, al-Qur’an telah menghimpun
segala aspek dari disiplin balaghah, mencakup segala hal dalam disiplin bayan dan
fashahah. Keterkaitan erat antara al-Qur’an dan bahasa Arab ini menjadikan kaum
Muslimin berusaha sekuat tenaga di seluruh dunia untuk menyatukan bahasa yang mulia
ini, menuliskannya serta menyusun kaidah-kaidahnya. Dengan begitu, pemeliharaan
bahasa ini menjadi mudah berkat kegigihan tersebut. Para ulama bahasa sekuat tenaga
berjuang mematahkan setiap upaya permusuhan yang dilakukan setiap orang yang ingin
mencerabut bahasa ini dari akarnya. Demikian pula, para ulama juga menempuh semua
cara untuk memelihara bahasa ini dari kepunahan. Mereka menyusun kaidah dan syarat-

1
Ida Latifatul Umroh, Keindahan Bahasa Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Bahasa dan Sastra Arab
Jahily, hlm 49.
2
Ajahari, Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018, hlm 1.

1
syarat penerimaan kesahihan riwayat bahasa, layaknya syarat-syarat yang dibuat untuk
pemeliharaan hadits Nabi.3
Pada makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai syubhat-syubhat
terhadap al-Qur’an. yakni syubhat sekitar ketidak-sesuaian antara fi’il dan fa’il nya, dan
syubhat sekitar men-jazamkan fi’il yang ma’tuhf kepada fi’il yang manshub.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan

BAB II
3
Muhammad Imam Dawud, Bahasa Al-Qur’an yang Menabjubkan Antara Hakikat Mukjizat dan Tuduhan
Kaum Waham, Bandung: YPM Salman ITB, 2019, hlm 21-31.

2
PEMBAHASAN

A. Ketidaksesuaian antara Fi’il dan Fa’il

Para penuding juga mengklaim bahwa al-Qur’ân melanggar kaidah terapan dalam
hal jenis kata, yaitu antara kata kerja (fi’l) dengan subyeknya (fâ’il). Mereka
mencotohkan tudingan itu melalui beberapa ayat, yaitu:

1. Firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah : 275

‫فَ َواَْمُره اِىَل ال ٰلّ ِه‬


ۗ َ‫ۗ فَمن جاۤءه مو ِعظَةٌ ِّمن َّربِّه فَا ْنَت ٰهى َفلَه ما سل‬
َ َ ْ َْ َ َ ْ َ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan nya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.”.

Dalam ayat tersebut, fa’il berupa kata ٌ‫ َم ْو ِعظَة‬yang berbentuk mu’annas sementara
kata kerjanya berbentuk mudzakkar yaitu ُ‫جَاءَه‬. Sedangkan menurut mereka yang benar
itu berbunyi ٌ‫جاءتْهُ َم ْو ِعظَة‬
َ. َ

2. Al-A’raf : 30

Kekeliruan yang serupa menurut mereka juga terdapat dalam ayat ini,

َّ ‫الض ٰللَةُ اِۗن َُّه ُم اخَّتَ ُذوا‬


‫الش ٰي ِطنْي َ اَْولِيَاۤءَ ِم ْن ُد ْو ِن ال ٰلّ ِه َوحَيْ َسُب ْو َن اَن َُّه ْم‬ َّ ‫فَ ِر ْي ًقا َه ٰدى َوفَ ِر ْي ًقا َح َّق َعلَْي ِه ُم‬

‫ُّم ْهتَ ُد ْو َن‬

“Sekelompok (manusia) telah diberi-Nya petunjuk dan sekelompok (lainnya) telah pasti
kesesatan atas mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai
pelindung270) selain Allah. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.”

3
Dalam ayat tersebut, fa’il berupa kata ُ‫الض الَلَة‬
َّ berbentuk mu'annas sementara kata

kerjanya berbentuk muzakkar yaitu kata ‫َق‬


َّ ‫ ح‬. seharusnya yang benar menurut mereka

adalah َّ ‫َّت َعلَْي ِه ُم‬


ُ‫الض الَلَة‬ ْ ‫ َحق‬, seperti yang disebutkan dalam firman Allah pada (QS. An-
َّ ‫َّت َعلَْي ِه‬
Nahl : 36), ُ‫الض ٰللَة‬ ِ
ْ ‫( َۗ ومْن ُه ْم َّم ْن َحق‬dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi
mereka).

3. QS. Hud : 67 dan 94

َ‫صبَ ُح ْوا يِف ْ ِديَا ِر ِه ْم ٰجثِ ِمنْي ۙن‬ َّ ‫َواَ َخ َذ الَّ ِذيْ َن ظَلَ ُموا‬
ْ َ‫الصْي َحةُ فَا‬

“Suara yang menggelegar juga menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati
bergelimpangan di rumah-rumah mereka.”

Dalam ayat tersebut fa’il berupa kata ُ‫الص ْي َحة‬


َّ berbentuk mu’annas, sementara kata

kerjanya berbentuk mudzakkar yakni ‫خ َذ‬


َ َ‫ ا‬. Sedangkan yang benar menurut mereka adalah

َّ ‫ت الَّ ِذيْ َن ظَلَ ُموا‬


ُ‫الصْي َحة‬ ِ ‫واَخ َذ‬, seperti yang disebutkan dalam firman allah di ayat 94 yakni,
َ َ

َّ ‫ت الَّ ِذيْ َن ظَلَ ُموا‬


ُ‫الصْي َحة‬ ِ ‫واَخ َذ‬
َ َ

“Dan suatu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu.”

Terkait seluruh tudingan di atas, pembuat syubhat ini sepertinya masih jahil terhadap
kaidah bahasa Arab yang amat sederhana, yaitu bahwa tidak wajib me-mu‘annats-kan
kata kerja beserta fâ’il-nya kecuali dalam 2 kondisi, yaitu:

1) Pertama, ketika fâ’il berupa dhamir, seperti dalam kalimat: ‫( هن د ق امت‬Hindun


telah berdiri), atau ‫( الشمس طلعت‬matahari telah terbit).

4
2) Kedua, ketika fâ’il berupa mu‘annats yang bersambung dengan fi’il tersebut tanpa

pembatas. Seperti misalnya dalam kalimat: ‫( ق امت هند‬telah berdiri si Hindun),

atau ‫( صاحت الدجاجة‬telah berkokok si ayam).

Adapun jika fâ’il tidak seperti yang disebutkan di atas, maka boleh memilih untuk me-
mu‘annats-kan atau me-mudzakkar-kan fi’il (kata kerja)-nya. Dalam hal ini, sah-sah saja

misalnya: ‫ طلع الشمس‬atau . ‫طلعت الشمس‬.

Pada 3 ayat yang dicontohkan para pembuat syubhat di atas, fâ’il-nya merupakan kata

yang berformat mu‘annats majazi (bukan hakiki, yaitu: َّ ,ٌ‫ َم ْو ِعظَة‬, dan ُ‫الص ْي َحة‬
ُ‫الض الَلَة‬ َّ )
maka sah-sah saja fi’il nya di-mudzakkar-kan atau di-mu‘annats-kan, bahkan meski
antara fi’l dan fa’il tersebut tidak terpisahkan oleh suatu kata pemisah.

B. Menjazamkan Fi’il yang Ma’thuf kepada Fi’il yang Manshub

Q.S. Al-Munāfiqūn : 10

َ‫دَّق‬d‫ص‬ ٍ ۚ ‫م ا ْل َم ْوتُ فَيَقُ ْو َل َر ِّب لَ ْوٓاَل اَ َّخ ْرتَنِ ْٓي اِ ٰلٓى اَ َج ٍل قَ ِر ْي‬dُ ‫ ِمنْ َّما َر َز ْق ٰن ُك ْم ِّمنْ قَ ْب ِل اَنْ يَّْأتِ َي اَ َح َد ُك‬d‫َواَ ْنفِقُ ْوا‬
َّ َ ‫ب فَا‬
َ‫صلِ ِحيْن‬ّ ٰ ‫َواَ ُكنْ ِّمنَ ال‬

“Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum
kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal),
“Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi,
aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.”

Pada ayat ke 10 surat al-munafiqun tersebut, kata akun ‫ اَ ُكن‬memiliki i’rab jazam
(I’rab jazam berarti berubahnya Tanda harakat di akhir kata tersebut menjadi sukun atau
kata pengganti sukun), padahal seharusnya kata tersebut mansub karena ia merupakan

5
ma’thuf (sesuatu yang harus diikuti) kepada fi’il manshub sebelumnya, yaitu ashshaddaqa
َّ َ‫ا‬
‫ص َّدق‬

Terkait tudingan ini, kata akun ‫ اَ ُكن‬yang ber-I’rab jazm dalam ayat di atas
merupakan athaf kepada fi’il yang berstatus jazm (fi mahll jazm). Jadi taqdir kalimatnya
adalah jsfdiphi. Mempertemukan dua jenis fi’il melalui perantara haruf ‘athaf yang mana
salah satunya ber i’rab nasab dengan adanya huruf fa sababiyah (yang menunjukkan
sebab), sedangkan yang lain ber-i’rab jazm karena kedudukannya sebagai jawb syarth,
pertemuan semacam ini merupakan salah satu bentuk keindahan bahasa al-qur’an, sebab
dalam pola kalimat seperti ini terkandung unsur ijaz (peringkasan kalimat) dan baligh
(kedalaman makna), sehingga kandungan maknanya menjadi sempurna melalui kosa kata
yang sesedikit mungkin.

Mempertemukan dua fungsi makna melalui dua fi’il dengan perantara athraf,
menunjukkan dua makna yang berbeda sekaligus: yaitu makna sababiyah dan makna
syarat, keduanya dihimpun dalam kosa kata yang ringkas dan luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai