Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MUTA’ALLIQAT FI’IL
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Balaghah I

Dosen Pembimbing :
NAFISA FUADAH, M.Pd

Disusun Oleh :
Abdul Wahid (2021020008)
Amrosi (2021020010)

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB


MATA KULIAH ILMU BALAGHAH I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AHMAD SIBAWAYHIE
BESUKI – SITUBONDO
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat
menyelesaikan Makalah ini. Penyusunan Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hadist Tarbawy. Selain itu tujuan dari penyusunan Makalah ini juga untuk
menambah wawasan tentang pengetahuan secara meluas.
Dalam menyelesaikan Makalah ini, Kami telah banyak mendapatkan bantuan dan
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Bpk. NAFISA FUADAH, M.Pd selaku Dosen mata kuliah Ilmu Balaghah I yang
telah memberikan tugas mengenai makalah ini sehingga pengetahuan kami dalam
penyusunan Makalah ini semakin bertambah.
2. Kedua orang tua kami, yang senantiasa memberikan do’a serta dukungan baik
moril maupun materil.
3. Teman-teman kami yang telah memberikan semangat dan dukungan sehingga kami
dapat menyelesaikan Makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan Makalah ini masih banyak kekurangan baik di
dalam penulisan maupun penyusunan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna memperbaiki kesalahan dimasa yang akan datang.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Besuki, 05 Desember 2021


Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Muta’alliqat Fiil..............................................................................2


B. Kedudukan Ma’mul.........................................................................................3
C. Membuang Maf’ûl Bih dan sesamanya............................................................4
D. Mendahulukan Maf’ûl bih dan sesamanya.......................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................... 7
B. Saran................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya, kalimat (kalâm) itu terdiri dari “umdât (musnad ilaih) dan
takmilat (musnad). Jika terdapat selain dua unsur itu, unsur ketiga ini disebut
qayyid (penjelas), namun selain shilat dan mudlaf ilaih. Jika kata fi‟il hendak
dijadikan sebagai unsur kalimat (Kalâm), harus melengkapi dengan unsur-unsur di
atas dan beberapa lainnya jika dibutuhkan. Penjelas (qayyid) yang dimaksud dalam
hal ini, adalah beberapa kata (ma‟mul) yang berhubungan dengan dan
menyempurnakan pengertian fi‟il, seperti maf‟ûl bih, maf‟ûl lah, maf‟ûl fih,
maf‟ûl muthlaq, al-hal, tamyiz, dharf dan jar majrur. Persoalan yang dibahas dalam
hal ini adalah, kedudukan ma‟mul, membuang dan mendahulukan maf‟ûl dan
sesamanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Muta’alliqat Fiil ?
2. Bagaimana Kedudukan Ma’mul ?
3. Bagaimana Cara Membuang Maf’ûl Bih dan sesamanya ?
4. Bagaimana Cara Mendahulukan Maf’ûl bih dan sesamanya ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Muta’alliqat Fiil.
2. Untuk Mengetahui Kedudukan Ma’mul.
3. Untuk Mengetahui Membuang Maf’ûl Bih dan sesamanya.
4. Untuk Mengetahui Mendahulukan Maf’ûl bih dan sesamanya.

1
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muta’alliqat Fiil


Muta’alliqat bil fi’li adalah Ma’mul-ma’mul yang berhubungan dengan fi’il.
Ma'mul adalah suatu kata/kalimat yg huruf akhirnya berubah menjadi rofa’.nashob,
jazm dan jer dengan sebab di pengaruhi oleh amil secara langsung.
Contoh
‫كان مح ّمد قائما‬
‫ظنت مح ّمدا قائما‬
Seperti yang telah dijelaskan dalam ilmu nahwu tentang bagaimana
merofa’kan, menashobkan, menjazmkan dan memajrurkan. Dalam bahasa arab
rofa’ berarti dhommah, nashob berarti fathah, jazm berarti sukun dan jer berarti
mengksrohkan, Yang terangkum dalam bab i’rob. Merofa’kan (mendhomahkan)
dijelaskan bahwa ada 2 sebab mengapa dalam kalimat itu bisa berharokat
dhommah, yang pertama beruba jama’ mudzakar saalim, yang kedua berupa
asmaaul khamsa. Menashobkan (menfathahkan) ) dijelaskan bahwa, ada 4 sebab
mengapa dalam kalimat itu bisa berharokat dhomah. yang pertama kalimat itu
berupa isim mufrod, kedua berupa jama’ taksir (hurufnya bisa berkurang bisa
bertambah),yang ketiga berupa jama’ muannas saalim, yang terakhir berupa fiil
mudhorek(aamilun nashbi). Menjazmkan (mensukunkan) apabila ada (laa) annafyii
atau untuk larangan seperti contoh ‫رب الخمر‬LL‫ ال يش‬Memajrurkan (mengkasrohkan)
dijelaskan bahwa ada 3 sebab mengapa dalam kalimat itu bisa berharokat kasroh
yang pertama yaitu berupa isim mufrod, yang kedua berupa jama’ taksir, dan yang
ketiga berupa jama’ muannas saalim.

2
B. Kedudukan Ma’mul
Penyebutan fi‟il beserta maf‟ûlnya sama dengan penyebutan fi‟il beserta
fâ‟ilnya, dalam hal tujuannya, yaitu al-talabbus (pemakaian fi‟il terhadap fâ‟il atau
maf‟ûl untuk menyempurnakan pengertiannya). Hanya saja pemakaiannya berbeda.
Jika fâ‟il dimaksudkan untuk menerangkan pelaku (subyek) dan maf‟ûl
dimaksudkan untuk menerangkan obyek.
Untuk kalimat yang terdiri dari fi‟il mutaaddi (kata kerja transitif),
terkadang maf‟ûl tidak dapat disebutkan, karena suatu tujuan, sehingga ia seperti
fi‟il lazim (kata kerja intransitif). Tujuan yang dimakasud adalah memberi
pengertian nisbat, yaitu berlakuknya fi‟il hanya sampai pada fâ‟il dan tidak sampai
pada maf‟ûl (dalam bentuk fi‟il mabni ma‟lum: kata kerja bentuk aktif), atau
langsung pada maf‟ûl tanpa menyebut fâ‟il (dalam bentuk fi‟il mabni majhul: kata
kerja bentuk pasif), seperti dalam firman Allah:
ْ َ‫قُ ْل َه ْل ي‬
َ‫ستَ ِوى الَّ ِذيْنَ يَ ْعلَ ُم ْونَ َوالَّ ِذيْنَ اَل يَ ْعلَ ُم ْون‬
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?” (QS. 39: 9).
Ayat itu mestinya berbunyi

Dan firmanNya:

“… dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (QS. 4: 28).


Ayat itu mestinya berbunyi:

3
C. Membuang Maf’ul Bih dan Sesamanya
Beberapa ma’mul yang berhubungan dengan dan menyempurnakan
pengertian fi’il, seperti maf’ûl bih dan sesamanya dapat dibuang, jika terdapat
beberapa tujuan, antara lain:
1. Atta’mim, yaitu memberlakukan afrâd maf‟ûl bih atau yang sesamanya
secara umum. Seperti firman Allah:
‫هّٰللا‬
‫ستَقِ ْي ٍم‬
ْ ‫اط ُّم‬ ِ ‫ي َمنْ يَّش َۤا ُء اِ ٰلى‬
ٍ ‫ص َر‬ ْ ‫س ٰل ِم ۚ َويَ ْه ِد‬
َّ ‫َو ُ يَ ْدع ُْٓو اِ ٰلى دَا ِر ال‬
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (syurga), dan menunjuki
orang-orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”
(QS. 10: 25)
Maf‟ûl bih pada ayat itu, adalah lafazh “an-nas: manusia”
2. Hujnat, yaitu merasa jijik menyebutkannya. Seperti perkataan Aisyah
dalam sebuah hadits:

“Saya mandi bersama Rasulullah saw. pada satu tempat, saya tidak
melihat (farj) nya, dan beliau juga tidak melihat (farj) saya”.

Maf‟ûl bih pada hadits itu adalah lafazh ‫العورة‬: aurat atau farji”

3. Memelihara huruf akhir fashilat. Seperti firman Allah:


َ ‫ ِل اِ َذا‬h‫الض ٰحىۙ َوالَّ ْي‬
‫ا‬hh‫ َك َربُّ َك َو َم‬h‫ا َو َّد َع‬hh‫ ٰجىۙ َم‬h‫س‬ ُّ ‫َو‬
ۗ‫قَ ٰلى‬
“Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila
telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tiada (pula)
membenci (kepadamu)” (QS. 93: 1 – 3).
Ayat terakhir dari tiga ayat di atas mestinya berbunyi:
‫َما َو َّد َع َك َربُّ َك َو َما قَ ٰلك‬
4. Tafhim, yaitu menerangkan sesuatu setelah disamarkan. Seperti firman
Allah: َ‫فَلَوْ َش ۤا َء لَهَ ٰدى ُك ْم اَجْ َم ِع ْين‬
“……maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada
kamu semuanya” (QS. 6: 149).
Jika pada ayat itu disebutkan maf‟ûl bihnya, maka berbunyi:

4
4
5. Ikhtishar, yaitu meringkas. Seperti firman Allah:
‫قَا َل َر ِّب اَ ِرنِ ْٓي اَ ْنظُ ْر اِلَ ْي ۗ َك‬

“……berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)


kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau ……” (QS. 7: 143).

Jika maf‟ûl bih pada ayat itu dilahirkan, akan berbunyi:

5
D. Mendahulukan Maf’ûl bih dan sesamanya
Menurut hukum dasarnya, maf’ul bih harus terletak setelah fi’il dan fa’il.
Namun karena suatu sebab dan tujuan maful bih boleh mendahului fi‟il dan
fa’ilnya. Sebab dan tujuan itu antara lain:
1. Takhshish ( ‫ )تخصيص‬yaitu mengkhususkan maf’ull bih,seperti dalam firman
ْ َ‫ِإيَّا َك نَ ْعبُ ُد َوِإيَّا َك ن‬
Allah: ُ‫ستَ ِعين‬
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan”.
Ayat di atas dimaksudkan sebagai argumentasi dan penolakan terhadap
pendapat yang mengatakan boleh menyembah selain Allah, sehingga dengan
didahulukanya maf’ul bih menjadi batasan bahwa yang wajib disembah
hanyalah Allah.
2. Ihtimam (‫ام‬LL‫)اهتم‬, yaitu menganggap penting terhadap maf’ul bih. Seperti
firman-Nya: َّ ‫) َوَأ َّما ال‬٩( ‫فََأ َّما ا ْليَتِي َم فَاَل تَ ْق َه ْر‬
)١٠( ‫ساِئ َل فَاَل تَ ْن َه ْر‬
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”
Kata ‫ ْاليَتِي َم‬dan ‫اِئ َل‬L ‫الس‬
َّ keduanya maf’ul bih yang didahulukan dengan alasan
sangat penting.
3. Memelihara fashilat (‫)رعاية فاصلة‬, yaitu akhir kata dalam setiap ayat. Seperti
dalam firman Allah:
َ ‫سلَ ٍة َذ ْر ُع َها‬
ْ ‫س ْبعُونَ ِذ َراعًا فَا‬
ُ‫سلُ ُكوه‬ ِ ‫س ْل‬ َ ‫) ثُ َّم ا ْل َج ِحي َم‬٣٠( ُ‫ُخ ُذوهُ فَ ُغلُّوه‬
ِ ‫) ثُ َّم فِي‬٣١( ُ‫صلُّوه‬
“Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian
masukkanlah dia kedalam api neraka yang menyala-nyala, kemudian belitlah
dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta”.
4. Attabarruk (‫)التبرك‬، yaitu untuk tujuan mengambil barakah (faidah), seperti:
ُ‫سا قَ َرْأت‬
ً ‫ِكتَابًا ُمقَ َّد‬
“Buku yang suci telah aku baca”.
5. Attaladud (‫)التلذذ‬, yaitu dengan sebab merasa senang atau menyukai, seperti
perkataan: ُ‫الحبيب قَابلت‬
ُ
“Sang kekasih telah aku temuI”.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muta’alliqat bil fi’li adalah Ma’mul-ma’mul yang berhubungan dengan fi’il.
Ma'mul adalah suatu kata/kalimat yg huruf akhirnya berubah menjadi rofa’.nashob,
jazm dan jer dengan sebab di pengaruhi oleh amil secara langsung.
Penyebutan fi’il beserta maf’ulnya sama dengan penyebutan fi‟il beserta
fa’ilnya, dalam hal tujuannya, yaitu al-talabbus (pemakaian fi‟il terhadap fa’il atau
maf’ul untuk menyempurnakan pengertiannya). Namun dari sisi pemakaiannya
yang berbeda, jika fa’il dimaksudkan untuk menerangkan pelaku (subjek) dan
maf’ul dimaksudkan untuk menerangkan objek.
Beberapa ma’mul yang berhubungan dengan dan menyempurnakan
pengertian fi’il, seperti maf’ûl bih dan sesamanya dapat dibuang, jika terdapat
beberapa tujuan.
Menurut hukum dasarnya, maf’ul bih harus terletak setelah fi’il dan fa’il.
Namun karena suatu sebab dan tujuan maful bih boleh mendahului fi‟il dan
fa’ilnya.

B. Saran
Kami sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini masih sangat banyak
terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah yang akan datang menjadi lebih
baik lagi. Kami harap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menambah
pengetahuan kita.

7
DAFTAR PUSTAKA

al-Jarim, Ali dan Mushthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadlîhah. Mesir:Dar al-


Ma’arif, 1951.

Banna’, Haddam. Al-Balâghah fi ‘Ilm al-Ma’âni. Gontor:Dar alSalam, ttp

Bik, Hifni dkk. Kitâb Qawâ’id al-Lughah al-‘Arâbiyyah. Surabaya:Maktabah


al-‘Ashriyyah, ttp.

Hakim, Taufiqul. 2003. Qaidaty ( Rumus dan Qoidah). Jepara: Al-Falah Offset.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab


Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, 1985.

Anda mungkin juga menyukai