Anda di halaman 1dari 12

Makalah Umi Stit Ulwy Istinbath Dan Kaidah-kaidahnya

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang ”Teori Istinbath Dan Kaidah-Kaidahnya”
ini. Makalah ini merupakan tugas yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata
kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad
SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran
beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan
dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan,
dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah
di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita
semua, khususnya bagi penulis sendiri.

Mojokerto , 29 September 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………...1

Daftar Isi…………………………………………………………………… 2

BAB I

1.1      Latar Belakang………………………………………………………... 3

1.2      Rumusan Masalah………………………………………….................. 3

1.3      Tujuan………………………………………………………………….3

BAB II

2.1   Pengertian Istinbath……………………………………………….……4

a.       Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata ………………………...…..5

b.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna ………………….…..…..7

2.2  Kaidah-kaidanya……………………………………………….….…....9

a. Kesatu……………………………………………….……...……...10

b. Kedua……………………………………………….………...…...11

c. Ketiga………………………………………………….………......12

BAB III

3.1   Kesimpulan…………………………………….……………………..11
.
3.2   Saran……………………………………………….………………....11

3.3 Daftar Pustaka……………………………………….…………….....11


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis
(kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum
yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu
terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan penalaran.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah
ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya
yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum.
Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu
dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang
muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-
Qur’an atau Sunnah.
Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan
terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-
masing individu yang berkepentingan secara jelas.
Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak diperlukan
karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum. Dalam makalah
ini akan dibahas teori istinbath dan istidlal yang digunakan dala studi hukum islam.

B.     Rumusan Masalah


1. Apa pengertian istinbath dan istidlal ?
2. Bagaimana teori istinbath dan istidlal ?
3. Apa saja kaidah-kaidah istinbath ?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian istinbath dan istidlal.
2.      Untuk mengetahui teori istinbath dan istidlal.

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Teori Istinbath

1.      Pengertian Istinbath

Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar
dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti
istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama
dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.
Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut
istinbath.
Upaya istinbath  tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang
tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah,
sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan
oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui
pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau
ijtihad adalah sebagai berikut :
a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
masalah hukum.
b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah
hukum.1[1]
c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam
menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
d.      Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath
hukum.
e.       Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan
sanggup mempertanggungjawabkannya.
f.       Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa
Arab, dll.[3]

1[1]             [1]Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm.25

[2]
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 110-118

[3]
Ibid, Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan,….hlm. 29
2.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa
diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.[4] Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-
Qur’an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks tersebut ditulis dalm
bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.
Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga
yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa
pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapapun, jenis kelamin
apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan pernyataan khusus mengandung
pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat
bahwa pernyataan hukum yang khusus bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang
lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa
pembatasan dan ada pula yang dibatasi.[5]
Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang
mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada
pembatasan yang mempersempit pengertiannya.
Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun
terbatas. Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi
bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya.
Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat
yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi
pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata
yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya.
Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan
larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya. [6]
Perintah menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk
ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya
penentangannya akan mendapatkan dosa.

2.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna

Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada empat
teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa
makna terjemah (‘ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah al-nash), analisa kata
kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa relevansi makna (iqtidla’ al-nash).
2
[2]Untuk menerapkan keempat teknik analisa tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan
ayat 23 surat al-Nisa’ yang bisa diterjemahkan:

2[2] [4] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hlm. 203.
“Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian….”. Ternyata, terjemahan
ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah, orang laki-laki
diharamkan atas ibunya dan putrinya?’. Agar bisa dipahami perlu tambahan kata yang relevan
pada penggalan ayat diatas. Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya,
sehingga kata yang relevan sebagai tambahan adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan
analisa relevansi makna. (istidla’ al-nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti
menambahi ayat Al-Qur’an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja.
Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas
kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.
Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki
dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini merupakan hasil
analisa makna terjemah (‘ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas lagi, maka muncul banyak
kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan analisa pengembangan makna (dilalah al-
nash). Kata kunci dari penggalan ayat tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika
keharaman itu disertai dengan kata kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya
dan kerusakan bila hukum haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata
kunci “(isyarah al-nash).

3.      Kaidah-kaidanya

PERTAMA : KATA DITINJAU DARI REDAKSI PENUNJUKKANNYA KEPADA SUATU


MAKNA
A.    AL KHOS,
َ ِ‫ُالن ب‬
Definisinya, menurut bahasa sesuatu yang sendiri, seperti : ‫كذَا‬ ٌ ‫صف‬ َّ ‫اخ َت‬
ْ (seseorang itu
mengkhusukan diri dengan demikia). Menurut istilah yaitu setiap kata yang dibuat untuk
menunjukkan satu buah makna secara tersendiri.
Macam-macamnya
1.      khosh syakhsyi (khusus perorangan), seperti nama-nama manusia : Zaid, Muhammad..
2.      khosh nau’i (khusus dari sisi macamnya) seperti kata : ‫ل‬
ٌ ‫ج‬
ُ ‫( َر‬orang laki-laki) yaitu bahwa kata ini
digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu laki-laki yang telah melewati masa kecilnya.
3.      khash jinsi (khusus dari sisi jenisnya) seperti kata : ‫سان‬
َ ِ‫( اإلن‬manusia), yaitu bahwa kata ini
dibuat untuk menunjukkan satu buah hakekat, yaitu hewan yang berbicara.
4.      Yaitu kata-kata yang dibuat untuk menunjukkan kepada hal-hal yang bersifat maknawiyah,
bukan kepada dzat, seperti ilmu, kebodohan dan lain-lain.
Hukumnya, yaitu bahwa khosh itu menunjukkan kepada makna yang dibuat oleh redaksi
katanya secara qoth’i. Ini selama tidak ada dalil lain yang mentakwilkan kekhususannya.
contoh-contohnya

[5]
Ibid hal 205
[6]
Ibid hal 206
ْ ‫حلَ ْف ُت‬
a.       Firman Allah dalam kafarat sumpah : ‫م‬ َ ‫ُم إِذَا‬ َ ‫ك َك َّفا َر ُة أَ ْي‬
ْ ‫مانِك‬ َ ِ‫ة أَيَّا ٍم َذل‬
ِ َ‫صيَا ُم ثَاَل ث‬ ْ َ‫ن ل‬
ِ ‫م يَجِ ْد َف‬ َ ‫َف‬
ْ ‫م‬
(Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
(Al Maidah : 89)
b.      Hadits tentang nishob zakat : “ …….. Di dalam setiap empat puluh ekor kambing itu zakatnya
adalah seekor kambing”.
Cabang cabang dari AL KHOS

1.      Mutlaq
Definisinya, yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada
jenisnya. Hukumnya, tetap berlaku pada kemutlakannya selama tidak ada qoid (ikatan) dan
maknanya penunjukkannya adalah bersifat qoth’i (pasti). contoh-contohnya :
a.       Dengan tanpa qoid (ikatan)
Firman Allah : ‫اسا‬ َ ‫ل أَنْ يَ َت‬
َّ ‫م‬ ِ ‫ن َق ْب‬ ْ ‫ة ِم‬ٍ َ‫ير َر َقب‬
ُ ‫ح ِر‬ْ ‫ما َقالُوا َف َت‬ َ ِ‫ودونَ ل‬
ُ ‫م يَ ُع‬
َّ ‫م ُث‬
ْ ‫سائِ ِه‬
َ ِ‫ن ن‬ ِ ‫ين ُيظَا‬
ْ ‫ه ُرونَ ِم‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
(Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur). (Al Mujadilah : 3)
Nash ini tidak menjelaskan keadaan budak itu muslim atau tidak.
b.      Dengan qoid
Firman Allah : ّ‫َار‬ َ
ٍ ‫ن َغ ْي َر ُمض‬ ٍ ‫صى بِ َها أ ْو َد ْي‬ َ ‫ة ُيو‬ٍ َّ‫صي‬ ِ ‫ن بَ ْع ِد َو‬ْ ‫( ِم‬sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(An Nisa’ : 12)
Washiat pada nash itu adalah mutlak yang disebutkan qoidnya pada sebuah hadits yang masyhur
pada kisah Sa’ad bin Abi Waqqosh : “Sepertiga dan sepertiga itu adalah banyak”.

B.             MUQAYYAD
Definisinya yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada jenisnya
dengan memberikan ikatan kepadanya dengan suatu sifat tertentu, dengan pengertian bahwa
yang selain makna yang diikat itu adalah dianggap sebagai mutlak. Hukumnya wajib
mengamalkan sesuai dengan petunjuk dari ikatan itu, selama tidak ada dalil yang lainnya. Pada
kafarat, pada kafarat pembunuhan yang salah Allah berfirman : ‫ة‬ ٍ َ‫ير َر َقب‬
ٍ ‫ة ُم ْؤ ِم َن‬ ْ ‫( َف َت‬maka (wajib
ُ ‫ح ِر‬
atasnya) memerdekakan seorang budak yang muslim). (An Nisa’ : 92). Maka ikatan keimanan
itu adalah wajib diamalkan.

KEBERADAAN SUATU LAFADZ YANG MUTLAK DAN PADA WAKTU ITU JUGA
MUQAYYAD

1. Jika hukum mutlak dan muqayyad itu adalah sama demikian juga sebab hukumnya
Contohnya :
a.       Yang Mutlak
Firman Allah : ‫ير‬ ِ ‫م ا ْل‬
ِ ‫خ ْن ِز‬ ْ َ‫م ْي َت ُة َوال َّد ُم َول‬
ُ ‫ح‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك‬
َ ‫م ا ْل‬ ْ ‫ح ِرّ َم‬
ُ (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi). (Al Maidah : 3). Maka darah pada ayat itu adalah mutlak
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : ‫م ُه إِاَّل أَنْ يَكُونَ َم ْي َت ًة أَ ْو َد ًما‬ ُ ‫ط َع‬ْ َ‫م ي‬ ِ ‫ح َّر ًما َعلَى طَا‬
ٍ ‫ع‬ َّ َ‫ي إِل‬
َ ‫ي ُم‬ َ ‫ح‬ ِ ‫ج ُد فِي َما ُأو‬ ِ َ‫ُل اَل أ‬ ْ ‫ق‬
‫حا‬
ً ‫س ُفو‬ ‫م‬
ْ َ (Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir). (Al An’am : 145). Maka pada ayat itu disebutkan qoid bagi darah itu yaitu
keadaannya yang mengalir. Hukumnya, keadaan hukum yang sama yaitu haram. Dan sebabnya
adalah sama, yaitu kemudlaratan yang timbul akibat meminum darah. Maka di sini yang mutlak
itu dianalogkan kepada yang muqayyad.
2. Jika mutlak dan muqayyad itu berbeda hukum dan sebabnya
Contohnya :
a.       Yang Mutlak
Firman Allah : ‫ما‬َ ‫ار َق ُة َفا ْقطَ ُعوا أَ ْي ِديَ ُه‬
ِ ‫الس‬ َّ ‫ارقُ َو‬ ِ ‫الس‬
َّ ‫( َو‬Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya). (Al Maidah : 38)
Catatan : Kemutlakan pada ayat ini disebutkan qoidnya pada perbuatan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, yaitu memotong sampai siku-siku.
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : ‫ق‬ِ ِ‫م َراف‬ َ ‫ُم إِلَى ا ْل‬ ْ ‫ُم َوأَ ْي ِديَك‬ْ ‫هك‬َ ‫جو‬ ُ ‫سلُوا ُو‬ َّ ‫م إِلَى ال‬
ِ ْ‫صاَل ِة َفاغ‬ ْ ‫م ُت‬ َ ‫( َياأَيُّ َها الَّ ِذ‬Hai
ْ ‫ين َءا َم ُنوا إِذَا ُق‬
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku). (Al maidah : 6). Hukumnya, di sini yang mutlak itu
diamalkan sesuai dengan kemutlakannya dan yang muqayyad itu diamalkan sesuai pada
tempatnya masing-masing.
4.      Jika hukumnya berbeda dan sebabnya sama
Contohnya
a.       Yang Mutlak
ْ ‫ُم َوأَ ْي ِديك‬
Firman Allah : ‫ُم ِم ْن ُه‬ ْ ‫هك‬ِ ‫جو‬ ُ ‫حوا بِ ُو‬ َ ‫ص ِعي ًدا طَ ِي ّبًا َفا ْم‬
ُ ‫س‬ َ ‫موا‬ َّ َ‫( َف َتي‬maka bertayamumlah dengan
ُ ‫م‬
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu). (Al Maidah : 6)
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : ‫ق‬
ِ ِ‫م َراف‬ َ ‫ُم إِلَى ا ْل‬ْ ‫ُم َوأَ ْي ِديَك‬
ْ ‫هك‬َ ‫جو‬ُ ‫سلُوا ُو‬ِ ْ‫صاَل ِة َفاغ‬ َّ ‫م إِلَى ال‬ ْ ‫م ُت‬ َ ‫( َياأَيُّ َها الَّ ِذ‬Hai
ْ ‫ين َءا َم ُنوا إِذَا ُق‬
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku). (Al maidah : 6). Hukumnya, kami perhatikan bahwa hukum
itu berbeda. Yang pertama mengusap dan yang kedua membasuh. Tetapi sebabnya sama, yaitu
hendak mendirikan shalat. Maka berdasarkan hal itu maka masing-masing dari keduanya
diamalkan sesuai dengan kemutlakan dan kemuqayayadanya masing-masing.
5.      Jika hukumnya sama dan sebabnya berbeda
Contoh-contohnya :
a.       Yang mutlak, firman Allah tentang kafarat Dzihar : ‫اسا‬ َ ‫ل أَنْ يَ َت‬
َّ ‫م‬ ِ ‫ن َق ْب‬ ٍ َ‫ير َر َقب‬
ْ ‫ة ِم‬ ْ ‫ َف َت‬maka (wajib
ُ ‫ح ِر‬
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur). (Al
Mujadilah : 3)
b.      Yang muqayyad, kafarat Pembunuhan yang salah : ‫ة‬ ٍ َ‫ير َر َقب‬
ٍ ‫ة ُم ْؤ ِم َن‬ ْ ‫( َف َت‬maka (wajib atasnya)
ُ ‫ح ِر‬
memerdekakan seorang budak yang muslim). (An Nisa’ : 92).
Hukumnya
a.       Madzhab Hanafi, yang mutlak diamalkan sesuai dengan kemutlakannya seperti yang disebutkan
dan yang muqayyad diamalkan sesuai dengan kemuqayadannya seperti yang disebutkan.
b.      Jumhur, yang mutlak dianalogkan kepada yang muqayyad.
KEDUA : PERINTAH (AL AMR)

Definisinya, yaitu suatu kata yang dibuat untuk meminta suatu perbuatan dari atas ke
bawah. Contoh-contoh bentuk kata perintah. Bentuk kata kerja perintah
Firman Allah : ‫س‬ِ ‫م‬ ْ ‫الش‬
َّ ِ ‫صاَل َة لِ ُدل‬
‫ُوك‬ َّ ‫م ال‬ ِ ِ‫( أَق‬Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir).
(Al Isra’ : 78)
Fi’il Mudlari’ yang bersambung dengan lamul amri
Firman Allah : ‫م ُه‬ ُ َ‫الش ْه َر َف ْلي‬
ْ ‫ص‬ َّ ‫م‬ ُ ‫ش ِه َد ِم ْن ُك‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬َ ‫ َف‬Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu). (Al
Baqoroh : 185). Kalimat berita yang dimaksudnya memerintah, bukan untuk memberitahukan
Firman Allah : ‫ضا َع َة‬َ ‫م ال َّر‬َّ ِ‫ن أَ َرا َد أَنْ ُيت‬ ْ ‫م‬
َ ِ‫ن ل‬ ِ ‫ن َكا ِملَ ْي‬ِ ‫ح ْولَ ْي‬
َ ‫ن‬ ُ ‫ن أَ ْواَل َد‬
َّ ‫ه‬ َ ‫ض ْع‬ ُ ‫( َوا ْل َوالِ َد‬Para ibu
ِ ‫ات ُي ْر‬
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan). (Al Baqoroh : 233)
Permasalahan ini diperselishkan dari sisi bahwa makna-makna perintah itu dari sisi
hakekat atau majaz. Dan masing-masing memiliki dalilnya. Adapaun yang kami tarjih adalah
pendapat jumhur bahwa perintah yang mutlak itu menunjukkan kepada kewajiban. Maka makna
ini adalah hakekat padanya dan majaz pada makna yang lainnya. Karena itulah tidak dialihkan
kepada selain kewajiban kecuali jika ada qorinah (sebab lain yang mengiringi). Dan dalil-
dalilnya adalah banyak.
1.      Perintah setelah larangan
2.      Madzhab Hambali, Maliki dan Dzahiri
Sesungguhnya perintah itu menunjukkan kepada kemubahan. Ini banyak disebutkan di
dalam syari’at. Diantaranya adalah firman Allah : ‫صطَا ُدوا‬ ْ ‫م َفا‬ ْ ‫حلَ ْل ُت‬َ ‫( َوإِذَا‬apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu). (Al Maidah : 2), yang disebutkan setelah
pengharaman berburu pada firman Allah : ‫م‬ ٌ ‫ح ُر‬ ْ ‫ص ْي ِد َوأَ ْن ُت‬
ُ ‫م‬ َّ ‫ح ِل ّي ال‬ ِ ‫( َغ ْي َر ُم‬dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji).(Al Maidah : 1). Maka jadilah
perintah untuk berburu itu untuk menunjukkan kemubahan.
1. Sebagian Madzhab Hambali dan Hanafi
Yaitu untuk menghilangkan larangan dan mengembalikan perbuatan kepada keadaannya
sebelum adanya larangan. (ini adalah pendapat yang rajih). Banyak pengikut Madzhab Hanafi,
perintah itu menunjukkan kewajiban. Perintah menunjukkan ketersegeraan (faur) atau
kelonggaran waktu (tarakhi). Ini diperselisihkan di kalangan para ulama. Dan yang rajih –
wallaahu a’lam- adalah perincian seperti berikut :
2. Dibatasi dengan waktu
Waktu yang luas, boleh mengakhirkan sampai akhir waktu. Dan mengerjakannya dengan
segera adalah lebih baik, berdasarkan firman Allah : ‫ُم‬ ْ ‫ن َربِ ّك‬ ْ ‫ار ُعوا إِلَى َم ْغ ِف َر ٍة ِم‬
ِ ‫س‬َ ‫( َو‬Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu). (Ali Imran : 133). Waktu yang sempit, tidak
boleh diakhirkan, seperti puasa Ramadlan.
3. Tidak dibatasi dengan waktu
Contohnya adalah kafarat-kafarat. Ini adalah kelonggaran waktu dalam menunaikannya,
walaupun bersegera menunaikannya adalah lebih utama. Perintah itu menunjukkan keshahihan
Maknanya, yaitu bahwa mengerjakan perintah yang diperintahkan seperti yang dikehendaki oleh
perintah itu, maka pekerjaan itu adalah sah.
Contohnya ;
Barangsiapa yang mencari air kemudian dia tidak menemukannya dan menunaikan shalat
dengan tayamum, kemudian dia menemukan air pada waktu itu sebelum waktu shalat habis,
maka shalat itu tidak menjadi batal, karena dia telah melakukan shalat sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah pada firmannya : ‫موا‬ُ ‫م‬ ْ َ‫( َفل‬Kemudian kamu tidak
َّ َ‫م تَجِ ُدوا َما ًء َف َتي‬
menemukan air, maka bertayamumlah). (An Nisa’ : 43)

KETIGA : LARANGAN (AN NAHY)

Definisinya, menurut bahasa adalah larangan. Menurut istilah adalah permintaan untuk
tidak melakukan perbuatan dari atas ke bawah dengan kata (shighah) yang menunjukkan
kepadanya. Bentuk-bentuk kalimatnya (shighah). Yaitu dengan َ ‫ ال‬nahi (larangan) dan dengan
pewanti-wantian dengan kata : ‫ك‬ َ ‫ إيَّا‬dan semisalnya serta dengan ungkapan yang redaksinya
menunjukkan larangan dan pengharaman. Yang ditunjukkan oleh larangan. Masalah ini
diperselisihkan dan yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa larangan itu untuk menunjukkan
makna pengharaman. Ini adalah makna yang hakikat yang merupakan maknanya secara bahasa
dan tidak digunakan pada makna yang lainnya kecuali dengan jalur majaz. Dan qorinahlah yang
menunjukkan makna pengalihan itu.
Ketersegeraan (al faur) dan pengulang-ulangan (at tikrar). Yang rajih dari pendapat-
pendapat tentang hal ini adalah bahwa larangan itu menunjukkan tuntutan ketersegaraan dan
pengulang-ulangan. Karena kerusakan itu tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan menahan diri
dengan segera dan untuk selama-lamanya. Apakah larangan itu menunjukkan kerusakan (fasid).
Ini harus diperinci.
  i.      sesuatu yang dilarang karena dzat perbuatan itu sendiri, sehingga larang itu berpengaruh
kepada hakikat perbuatan itu sendiri
Contohnya
a) Menjual sesuatu yang tidak ada
b) Sholat dengan tanpa wudlu
Hukumnya, perbuatan itu dianggap rusak (fasid) dan batal, sehingga kedudukannya sama dengan
sesuatu yang tidak ada.
ii.      Jika larangan itu tidak tertuju kepada dzat perbuatan itu, tetapi kepada sesuatu yang berdekatan
dengannya
Contohnya
a) larangan jual beli pada waktu adzan untuk shalat Jum’at.
b) Shalat di tanah yang rampasan (ghosob)
Hukumnya, perbuatan itu memiliki akibat yang telah ditentukan oleh syari’at dengan diiringi
kemakruhan, karena dilarang oleh syari’at
iii.      Jika larangan itu tertuju kepada beberpa syarat dari perbuatan yang harus ada bagi perbuatan
itu, bukan kepada dzat perbuatan itu.
Contohnya :
a) berpuasa pada hari raya
b) jual beli dengan tidak memnuhi syarat
Hukumnya, jumhur berpendapat bahwa pebuatan itu adalah fasid dan bathal. Dan Madzhab
Hanafi membedakan antara ibadah dan mu’amalah.
BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat
umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum
adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui
makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna,
analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna.
Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses
pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi yang kedua, Ijma’
menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat
dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya  terdapat dalam teks
suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang
keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran
yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas
dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan,
istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf, syar’u man qablana, dan madzhab al-shahabi.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI
Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press
http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf pada tanggal 18 Maret 2012

http://stituluwiyahadhim.blogspot.co.id/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_29.html

Anda mungkin juga menyukai