“ ISTINBAT”
Disusun untu melengkapi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih”
Disusun oleh:
(213106700005)
1444H/2023M
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya hambatan selalu mengiringi namun atas bantuan,
dorongan dan bimbingan dari orang tua, dan teman teman yang tidak bisa saya sebutkan satu
per satu akhirnya semua hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya untuk para pembaca dan tidak
lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam
kosa kata maupun isi dari keseluruhan makalah ini. Sebagai penulis sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
kebaikan kami untuk kedepannya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG……..………………………………………………………………………..4
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………….4
C. TUJUAN PENULISAN……………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTINBATH………………………………………………………………………5
B. METODOLOGI ISTINBATH BUKUM BERDASARKAN NASH……………………..6
C. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN KEBERADAAN TEKS PADA TAHAPAN
INTERPRETASI…………………………………………………………………………………….7
D. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN IMPLEMENTASI TEKS PADA TAHAPAN
INTERPPRESTASI………………………………………………………………………………….9
E. ISTINBATH HUKUM BERDASAKAN PETUNJUK TEKS TERHADAP
INTERPRETASI MELALUI KEJELASAN ATAU KETIDAK JELASAN MAKNA TEKS
BESERTA KUALIFIKASINYA…………………………………………………………………..9
F. PEMBAGIAN LAFAD DALAM MENCARI PETUNJUK MAKNA………………….10
G. HURUF-HURUF YANG MENJADI PETUNJUK DALAM PENCARIAN MAKNA
TEKS…………………………………………………………………………………………………11
A. KESIMPULAN………………………………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis
(kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi
hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya.
Karena itu terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya
diperlukan penalaran.
Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan
terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan
kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas. Bagi seseorang
yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fiqih mutlak diperlukan karena ia
merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian istibnath ?
2. Apa metodologi istinbath hukum berdasarkan nash ?
3. Apa pembagian lafaz dalam mencari petunjuk makna ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian istinbath.
2. Mengetahui metode istinbath hukum berdasarkan nash.
3. Mengetahui pembagian lafaz mencari petunjuk makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTINBATH
Secara bahasa, kata istinbat berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang
berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Dengan
demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh
pakar hukum (fiqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab
persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbat hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia
diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.Secara
bahasa, kata dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak
dapat dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk.Menurut ahli ushul fiqih dalil
adalah sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum
syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Tujuan istinbat hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan
mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-
kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash,
mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah
sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fiqih dalam menentukan
hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas
perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan
sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli
ushul fiqih.
Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad
Bin ‘Ali al-Fayumi (w. 770 H) ahli bahasa arab dan fiqih upaya menarik hukumnya dari Al-
Quran dan sunnah dengan jalan ijtihad.
Dari apa yang disampaikan oleh Amir al-hajj, memberikan pengertian bahwa proses
istinbath (mengeluarkan) hukum, bukanlah perkara yang gampang dan mudah. Tetapi
proses mengeluarkan hukum syara’ itu dengan usaha yang serius sampai dalam batas
tertentu yang disertai dengan kepayahan dan keletihan.
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin , bahwa metode intinbath adalah metode
lafdhiyah yaitu pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari Alqur’an dan al-
sunnah. Menurut Amir Syarifudin , ada dua metode dalam pemahaman hukum Islam,
yaitu metode pemahaman hukum Islam berangkat melalui pemahaman secara langsung
dari teks (nash ) yang disebut dengan metode lafdhiyah; dan melalui pemahaman secara
tidak langsung dari alqur’an dan al-Sunnah, yang kemudian disebut dengan metode
maknawiyah.
Oleh karena itulah, proses intinbath hukum (penggalian hukum) dari al-quran dan al-
sunnah melibatkan dan memerlukan kaidah kaidah kebahasaan sabagai instrument
untuk sampai pada pemahaman yang benar. Kaidah bahasa disini tentunya adalah
kaidah-kaidah bahasa Arab, yang merupakan bahasa kitab suci ini diturunkan dan
menjadi bahasa pengantar nabi ketika menyampaikan risalah suci ini kepada manusia,
yang kemudian dikenal dengan Sunnah.
Logika bahasa adalah aturan penalaran yang terbagnun dalam wacana tatabahasa
Arab (nahwu), baik itu tentang asal mula bahasa maupun konsekuensi persoalan
pemaknaan yang kemudian timbul. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan al-dilalah
adalah implikasi-implikasi yang diberikan oleh teks sebagai akibat dari suatu
pemaknaan.
Secara ringkas, Zuhri kemudian menyimpulkan bahwa episteme bayani yang menjadi
dasar atau sumber pengetahuan adalah teks atau al-nash di mana dalam proses metode
penggalianya kemudian menjadi suatu ilmu-ilmu keislaman, seperti nahwu, saraf,
balaghah, fiqh-ushul fiqh , tafsir-ilmu tafsir, hadits-ilmu hadits, dan bahkan ilmu kalam.
Menurut Islam perbedaan pendapat selama tidak mengenai masalah akidah dan
hukum dasar agama adalah sesuatu yang wajar, hal seperti ini tidak boleh menjadi
sebab timbulnya perpecahan sesama umat Islam, karena semua fuqaha mengambil
hukumnya dari sumber yang telah disepakati bersama. Para ahli ushul fiqih menyatakan
bahwa kesempurnaan kandungan Al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam 3 hal berikut:
Wiayah penalaran hukum dan penafsiran ini biasanya dikenal dengan istihad, tidak
mencakup seluruh tindakan hukum diluar wilayah ini. Dengan tegas menyatakan hukum
banyak kasus kepastian khoti yang dihasilkan oleh teks-teks tidak memperlihatkan
interpretasi apapun. Beberapa kasus dalam hal ini adalah larangan-larangan dengan
keputusan tekstual atas perzinahan komo seksual, konsumsi minuman, penggabungan
juga beberapa kasus diluar wilayah kasus yang menjadi consensus sebuah perangkat
persetujuan yang menghasilkan kepastian.
1) Ia harus memiliki pemahaman yang memadai atau sekitar 500 ayat Al-Qur’an, ia
tidak harus hafal tetapi harus ia bagaimana mengeluarkan secara efisien dan cepat
ketika ia membutuhkan.
2) Ia harus benar-benar mengetahui hadis-hadis yang relevan dengan hukum-hukum
dan harus menguasai teknis-teknis kritisme hadis sehingga ia benar mengkaji
potensitas menilai epistemic dari hadis yang ia butuhkan.
3) Ia harus menguasai bahasa Arab sehingga memahami kompleksitas permasalahan
yang dikandungnya, diantaraya pemakaian metaforis umum dank has, perkataan
tegas dan samar-samar.
4) Ia harus mengetahui tentang Nasekh-Mansukh, sehingga ia tidak berfikir atas dasar
ayat atau hadis yang di naskh.
5) Ia harus betul-betul menguasai semua tingkatan produser daari penarikan
kesimpulan.
6) Ia harus mengetahui kasus, yang telah menjadi konsensus. Sebab ia tidak boleh
membuka kasus yang telah menjadi kesepakatan, akan tetapi ia tidak diharuskan
untuk mengetahui semua kasus hukum subtantif.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang
bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan
hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus
mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat
teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu
analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu
pernyataan, dan analisa relevansi makna. Secara garis besar metode istimbat dapat
dibagi kepada syari’ah dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.adapun
metode-metodenya adalah. Ta’arud dan tarjih,penetapan hukum melalui maqasaid
syari’ah,dan istimbat dari segi bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
A.Haji, Jazuli, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000
al-‘Anziy , Abdullah bin Yusuf bin Isa bin Ya’qub al-jadi’, Taisir Ilm