Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“ ISTINBAT”
Disusun untu melengkapi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih”

Dosen pengampu: Bpk. Eko Purnomo.M.Hum

Disusun oleh:

Anisa Nuraini Homsa

(213106700005)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBNU CHALDUN JAKARTA

1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya hambatan selalu mengiringi namun atas bantuan,
dorongan dan bimbingan dari orang tua, dan teman teman yang tidak bisa saya sebutkan satu
per satu akhirnya semua hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya untuk para pembaca dan tidak
lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam
kosa kata maupun isi dari keseluruhan makalah ini. Sebagai penulis sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
kebaikan kami untuk kedepannya.

Ciledug, 24 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG……..………………………………………………………………………..4
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………….4
C. TUJUAN PENULISAN……………………………………………………………………………4

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTINBATH………………………………………………………………………5
B. METODOLOGI ISTINBATH BUKUM BERDASARKAN NASH……………………..6
C. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN KEBERADAAN TEKS PADA TAHAPAN
INTERPRETASI…………………………………………………………………………………….7
D. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN IMPLEMENTASI TEKS PADA TAHAPAN
INTERPPRESTASI………………………………………………………………………………….9
E. ISTINBATH HUKUM BERDASAKAN PETUNJUK TEKS TERHADAP
INTERPRETASI MELALUI KEJELASAN ATAU KETIDAK JELASAN MAKNA TEKS
BESERTA KUALIFIKASINYA…………………………………………………………………..9
F. PEMBAGIAN LAFAD DALAM MENCARI PETUNJUK MAKNA………………….10
G. HURUF-HURUF YANG MENJADI PETUNJUK DALAM PENCARIAN MAKNA
TEKS…………………………………………………………………………………………………11

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN………………………………………………………………………………………12

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis
(kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi
hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya.
Karena itu terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya
diperlukan penalaran.

Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah


ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi
adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa
prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum
ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-
hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan
ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.

Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan
terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan
kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas. Bagi seseorang
yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fiqih mutlak diperlukan karena ia
merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian istibnath ?
2. Apa metodologi istinbath hukum berdasarkan nash ?
3. Apa pembagian lafaz dalam mencari petunjuk makna ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian istinbath.
2. Mengetahui metode istinbath hukum berdasarkan nash.
3. Mengetahui pembagian lafaz mencari petunjuk makna.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTINBATH
Secara bahasa, kata istinbat berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang
berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Dengan
demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh
pakar hukum (fiqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab
persoalan-persoalan yang terjadi.

Pengertian istinbat hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia
diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.Secara
bahasa, kata dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak
dapat dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk.Menurut ahli ushul fiqih dalil
adalah sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum
syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.

Tujuan istinbat hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan
mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-
kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash,
mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah
sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fiqih dalam menentukan
hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas
perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan
sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli
ushul fiqih.

Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad
Bin ‘Ali al-Fayumi (w. 770 H) ahli bahasa arab dan fiqih upaya menarik hukumnya dari Al-
Quran dan sunnah dengan jalan ijtihad.

Ayat-Ayat Al-Quran dalam menunjukan pengertiannya menggunakan berbagai cara,


ada yang tegas da nada yang tidak tegas, ada yang melalui aerti bahasanya dan ada pula
yang melalui maksud hukumnya. Disamping itu disatu kali terdapat pula perbenturan
antara satu dalil dengan lain yang memerlukan penyelesaian. Ushul Fiqih menyajikan
berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung
dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi
kebahasaan , segi maqasid (tujuan) syariah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang
bertentangan.

B. METODOLOGI ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN NASH


Kata istinbath (‫ )االستنباط‬secara bahasa bermakna mengeluarkan. Hal ini sebagaimana
diutarakan oleh Amir al-Hajj al-Hambali dalam kitabnya, Al-Taqrir Wa Al-Takhbir. Beliau
menyatakan sebagai berikut:

“Jejak lafaz intinbath memiliki pengertian mengeluarkan dan yang semisalnya,


memberika isyarat terhadap segala sesuatu dalam kaitanya dengan hukum-hukum yang
dikeluarkan dari nash -nash melalui proses kesukaran dan kesulitan karena
bertambahnya kelelahan. Sebagaimana yang terjadi, sesungguhnya penggunaan yang
banyak secara bahasa untuk mengeluarkan air dari sumur dan mata air; dimana
kelelahan merupakan suatu hal yang biasa terjadi”.

Dari apa yang disampaikan oleh Amir al-hajj, memberikan pengertian bahwa proses
istinbath (mengeluarkan) hukum, bukanlah perkara yang gampang dan mudah. Tetapi
proses mengeluarkan hukum syara’ itu dengan usaha yang serius sampai dalam batas
tertentu yang disertai dengan kepayahan dan keletihan.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Amir al-hajj, Wahbah al-Zuhaili


mengungkapkan bahwa pokok dari ushul fiqh adalah istinbath hukum yaitu
mengeluarkan hukum syara’ dari dalil-dalil. ( ‫)استنباط أالحك ام الش رعية العملية من ٔادلتها التفص يلية‬
yang rinci Istinbath merupakan proses mengeluarkan hukum syara’ dari nash dengan
menjaga redaksi nash. Ini artinya jalan istinbath adalah dengan menggunakan metode
kebahasaan (bayani). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Sulami, sebagai berikut:

”Dengan metode istibath maksudnya adalah mengeluarkan segenap kemampuan untuk


menemukan hukum syara’ dengan menjaga teks-teks fiqh, atau menjaga nash -nash
syara’ yang menunjukkan kepada hukum secara jelas”.

Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin , bahwa metode intinbath adalah metode
lafdhiyah yaitu pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari Alqur’an dan al-
sunnah. Menurut Amir Syarifudin , ada dua metode dalam pemahaman hukum Islam,
yaitu metode pemahaman hukum Islam berangkat melalui pemahaman secara langsung
dari teks (nash ) yang disebut dengan metode lafdhiyah; dan melalui pemahaman secara
tidak langsung dari alqur’an dan al-Sunnah, yang kemudian disebut dengan metode
maknawiyah.

Oleh karena itulah, proses intinbath hukum (penggalian hukum) dari al-quran dan al-
sunnah melibatkan dan memerlukan kaidah kaidah kebahasaan sabagai instrument
untuk sampai pada pemahaman yang benar. Kaidah bahasa disini tentunya adalah
kaidah-kaidah bahasa Arab, yang merupakan bahasa kitab suci ini diturunkan dan
menjadi bahasa pengantar nabi ketika menyampaikan risalah suci ini kepada manusia,
yang kemudian dikenal dengan Sunnah.

Menurut Zuhri , bahwa persoalan kebahasan dalam konteks relasi lafaz-makna,


merupakan persoalan epistimologi yang terletak pada logika bahasa (mantiq al-lughah)
dan problematika pembuktian (al-dilalah). Kemudian Zuhri memberikan penjelasan
tentang yang dimaksudkan dengan logika bahasa dan al-dilalah, sebagai berikut:

Logika bahasa adalah aturan penalaran yang terbagnun dalam wacana tatabahasa
Arab (nahwu), baik itu tentang asal mula bahasa maupun konsekuensi persoalan
pemaknaan yang kemudian timbul. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan al-dilalah
adalah implikasi-implikasi yang diberikan oleh teks sebagai akibat dari suatu
pemaknaan.

Secara ringkas, Zuhri kemudian menyimpulkan bahwa episteme bayani yang menjadi
dasar atau sumber pengetahuan adalah teks atau al-nash di mana dalam proses metode
penggalianya kemudian menjadi suatu ilmu-ilmu keislaman, seperti nahwu, saraf,
balaghah, fiqh-ushul fiqh , tafsir-ilmu tafsir, hadits-ilmu hadits, dan bahkan ilmu kalam.

C. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN KEBERADAAN TEKS PADA TAHAPAN


INTERPRETASI
Dalam menjalankan agama di dalam kehidupan berulama menetapkan beberapa
kaidah dan istinbath hukum, yaitu:
1. Dalam bidang ibadah semuanya dilarang kecuali yang disuruh.
2. Dalam bidang mu’amalat semuanya dibolehkan kecuali yang dilarang.

Seorang ustadz harus mengetahui bahaya merujuk Al-Qur’an semata-mata secara


tekstual tanpa memperhatikan kondisi dan situasi serta latar belakang turunnya suatu
ayat. Dikalangan fuqaha terdapat konsesus yang membagi hukum Islam dalam 2
kategori, yakni:
1) Hukum yang berhubungan dengan ibadah murni.
2) Hukum yang berhubungan dengan kemasyarakatan.

Menurut Islam perbedaan pendapat selama tidak mengenai masalah akidah dan
hukum dasar agama adalah sesuatu yang wajar, hal seperti ini tidak boleh menjadi
sebab timbulnya perpecahan sesama umat Islam, karena semua fuqaha mengambil
hukumnya dari sumber yang telah disepakati bersama. Para ahli ushul fiqih menyatakan
bahwa kesempurnaan kandungan Al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam 3 hal berikut:

1) Teks rinci (Juz’i) yang dikandung Al-Qur’an.


2) Teks global (Kully) yang mengandung berbagai kaidah dan criteria umum ajaran-
ajaran Islam menyerahkan sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya
sesuai dengan tujuan yang dikehendari syara’ serta sejalan dengan kemaslahatan
umat manusia di segala tempat dan zaman.
3) Memberikan peluang kepada sumber-uber hukum Islam lainnya untuk menjawab
persoalan kekinian melalui berbagai metode yang dikembangkangan para ulama
seperti melalui sunnah Rasul, ijma’ qiyas, istihan, maslahah, istishab.

Wiayah penalaran hukum dan penafsiran ini biasanya dikenal dengan istihad, tidak
mencakup seluruh tindakan hukum diluar wilayah ini. Dengan tegas menyatakan hukum
banyak kasus kepastian khoti yang dihasilkan oleh teks-teks tidak memperlihatkan
interpretasi apapun. Beberapa kasus dalam hal ini adalah larangan-larangan dengan
keputusan tekstual atas perzinahan komo seksual, konsumsi minuman, penggabungan
juga beberapa kasus diluar wilayah kasus yang menjadi consensus sebuah perangkat
persetujuan yang menghasilkan kepastian.

Persyaratan yang harus dilalui seseorang dalam mengistinbatkan hukum sebagian


besar persyaratan ini berkaitan dengan akumulasi keahlian dalam banyak bidang, yakni:

1) Ia harus memiliki pemahaman yang memadai atau sekitar 500 ayat Al-Qur’an, ia
tidak harus hafal tetapi harus ia bagaimana mengeluarkan secara efisien dan cepat
ketika ia membutuhkan.
2) Ia harus benar-benar mengetahui hadis-hadis yang relevan dengan hukum-hukum
dan harus menguasai teknis-teknis kritisme hadis sehingga ia benar mengkaji
potensitas menilai epistemic dari hadis yang ia butuhkan.
3) Ia harus menguasai bahasa Arab sehingga memahami kompleksitas permasalahan
yang dikandungnya, diantaraya pemakaian metaforis umum dank has, perkataan
tegas dan samar-samar.
4) Ia harus mengetahui tentang Nasekh-Mansukh, sehingga ia tidak berfikir atas dasar
ayat atau hadis yang di naskh.
5) Ia harus betul-betul menguasai semua tingkatan produser daari penarikan
kesimpulan.
6) Ia harus mengetahui kasus, yang telah menjadi konsensus. Sebab ia tidak boleh
membuka kasus yang telah menjadi kesepakatan, akan tetapi ia tidak diharuskan
untuk mengetahui semua kasus hukum subtantif.

D. ISTINBATH HUKUM BERDASARKAN IMPLEMENTASI TEKS PADA TAHAPAN


INTERPPRESTASI
Istinbâth adalah menggali hukum syara‟ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash(teks)al-Qurân atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum
yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus.Sasaran hukum dalam
pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan
khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada
empat teknik analisis untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum
yaitu analisis makna terjemah („ibârah nash), analisis pengembangan makna (dilalâh al-
nash), analisis kata kunci dari suatu pernyataan “(isyârah al-nash), dan analisis relevansi
makna (istidhâ‟ al-nash).

E. ISTINBATH HUKUM BERDASAKAN PETUNJUK TEKS TERHADAP


INTERPRETASI MELALUI KEJELASAN ATAU KETIDAK JELASAN MAKNA
TEKS BESERTA KUALIFIKASINYA
 Secara bahasa (Istinbath) memiliki arti menciptakan, mengeluarkan atau menarik
sebuah kesimpulan.
 Sedangkan menurut istilah, (Istinbath) memiliki arti suatu kegiatan yang
dilakukan pekar fiqih atau hukum untuk menggunakan suatu dalil yang dijadikan
dasar dalam menarik sebuah kesimpulan untuk menjawab sebuah persoalan
atau menyelesaiakan permasalahan.
 Sedangkan (Istinbath al Hakam), adalah suatu cara yang dikeluarkan atau
dilakukan oleh pakar hukum unruk mengungkapkan suatu dalil hukum untuk
menjawab persoalan yang terjadi.

Hukum Istinbath bertujuan untuk menetapkan sebuah hukum pada setiap


perbuatan umat atau pekataan mukallaf dengan menggunakan kaidah-kaidah yang
berlaku dalam sumber hukum Islam. Dengan hukum Istinbath ini maka hukum Islam
akan mengalami perkembangan sesuai dengan pola piker masyarakat luas. Oleh
sebab itu hukum Istinbath dapat menjawab persoalan yang ada tanpa terpaku oleh
waktu.

F. PEMBAGIAN LAFAD DALAM MENCARI PETUNJUK MAKNA


1) Kaidah ushul bahasa dalam menetapkan makna
Manhaj Al-Qur’an didalam menerangkan makna-makna petunjuk adalah manhajnya
umat yang menerangkan kepada mereka wahyu diturunkan. Al-Qur’an tidak memakai
mufradat, struktur, dan ilustrasi yang tidak diketahui oleh masyarakat Arab. Tidak
didapatkan dalam Al-Qur’an kalimat yang tidak dipakai oleh mayarakat Arab , ataupun
struktur kalimat yang sulit dipahami oleh masyarakat Arab secara keseluruhan. Karena
itu seseorang yang hendak memahami nash dan menggali hukum yang terkandung
didalamnya harus menguasai bahasa Arab. Lebih jauh lagi ia harus memahami detail-
detail idiom (ibarah) dalam bahasa Arab beserta pengertiannya.

2) Lafadz dari segi kejelasan artinya


 Dzahir
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara
langsunhtanpa ada kesamaran, atau dzahir adalah lafadz yang jelas
maknanya tana memerlukan qorinah untuk menafsikannya, atau
menjelaskan maksudnya. Makna jelas dengan hanya mendengarkan bunyi
lafadznya , sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan
makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar,
akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat
dan mengandung kemungkinan adanya takwil.
 Nash
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah: lafadz yang mempunyai derajat
kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari
muttakalim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud
dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan
takhsis.
 Muffasar
Al Sarkhisi member definisi: Nama bagi sesuatu yang terbuka dikenal dengan
secara terbuka dlam bentuk yang tidak ada kemugkinan mengandung makna
lain.
Abdul Wahab Khalaf memberi definisi: Suatu lafadz yang dengan sighotnya
sendiri member petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya
sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.
Al Uddah memberi definisi: Suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari
lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.
Dari definisi yang dipaparkan menjadi jelas bagi kita bhwa hakikat lafadz
muffasar itu:
a) Penunjukannya terhadap makna jelas sekali.
b) Penunjukannya itu hanya dai lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah
dari luar.
c) Karena tentang jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin
ditawakilkan.
 Al Muhakkam
Muhakam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang
memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengeriannya, tidak
menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan
ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya naskh.

G. HURUF-HURUF YANG MENJADI PETUNJUK DALAM PENCARIAN MAKNA


TEKS
Al-huruf al-muqatta‘ah, maka dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat
dalam memaknai al-huruf al-muqatta’ahkarena tidak ditemukan penjelasan tentang
huruf huruf tersebut, baik dari Rasulullah atau dari al-Qur’an itu sendiri. Sementara al-
Huruf al-Muqatta‘ah memberikan pesan kepada manusia tentang kemukjizatan bahasa
al-Qur’an yang terdiri dari huruf huruf hijaiyah yang digunakan oleh orang Arab dalam
kesehariannya, meskipun demikan, mereka tetap tidak mampu untuk membuat yang
serupa dengan al-Qur’an.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang
bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan
hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus
mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat
teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu
analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu
pernyataan, dan analisa relevansi makna. Secara garis besar metode istimbat dapat
dibagi  kepada syari’ah dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.adapun
metode-metodenya adalah.  Ta’arud dan tarjih,penetapan hukum melalui maqasaid
syari’ah,dan istimbat dari segi bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
A.Haji, Jazuli, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqih. Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2013

al-‘Anziy , Abdullah bin Yusuf bin Isa bin Ya’qub al-jadi’, Taisir Ilm

Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Muassasat al-riyan lithaba’ah, wa alnasr wa al-tauzi’, 1997)

Anda mungkin juga menyukai