Anda di halaman 1dari 23

PENCIPTAAN SUASANA RELIGIUS

DI SEKOLAH

Makalah

Dibuat dengan Tujuan Memenuhi Tugas Kelompok Psikologi Perkembangan


Program Studi Pendidikan Agama Islam
Pada Fakultas Tarbiyah & Keguruan
Institut Agama Islam As’adiyah

Disusun Oleh :

Kelompok 9/PAI 9-A:

FAJRIN 17310039
SURIADI

DOSEN PENGAMPU :

Muhammad Haderawi, S.Ag., M.Pd.I

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS’ADIYAH SENGKANG
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahir Rahmanir Rahim


Alhamdulillah, marilah kita panjatkan segala puji syukur kita kehadirat
Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat dan anugrah-Nya kepada kita
semua. Tentu dengan nikmat dan anugerah itu, kita masih diperkenankan untuk
tetap hidup dalam keadaan sehat, dan yang terpenting kita masih ditetapkan dalam
iman dan islam.
Shalawat Allah semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW, karena
beliaulah yang membimbing kita hingga berada di jalan kebenaran dari jalan yang
gelap gulita. Juga bagi keluarga, para sahabat, dan para umatnya yang setia
mengikuti petunjuk dan tuntunan beliau hingga hari kebenaran tiba.
Atas terselesaikanya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah andil dalam penyusunan makalah ini. Tidak kalah
pentingnya, rasa sayang dan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda yang
senantiasa mendo’akan dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalaha. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah ini. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
umumnya bagi para pembaca.

Sengkang, Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Sikap Religius Manusia ............................................................. 3
B. Suasana Religius dan/atau Agamis ........................................... 7
C. Urgensi Penciptaan Suasana Religius di Sekolah ..................... 12
D. Model-model Penciptaan Suasana Religius di Sekolah ............ 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 19
A. Kesimpulan ............................................................................... 19
B. Saran........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian
manusia itu biasanya dikenal dengan istilah “fitrah”. Fitrah tersebut
menjadikan diri manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus
dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci pula kepada sesamanya. Berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadis, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah
yang antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah berahklak, fitrah
kebenaran, dan fitrah kasih sayang.
Dalam masyarakat yang bertipe orde moral, komunitas kehidupan dan
mekanismenya masih amat terikat oleh bernagai norma baik buruk yang
bersumber dari tradisi (adat) tertentu sehingga disana banyak dijumpai
sejumlah pantangan (tabu) yang dalam beberapa hal dapat mengganggu proses
penciptaan suasana religius dan agamis.
Keberagaman atau religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk
hati nurani” pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang
lain, karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas
(termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Dan
krna itu pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama
yang tampak formal, resmi. sutjamoko juga mengatakan bahwa keberangaman
manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas budaya
masing-masing yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sikap religius manusia?
2. Bagaimana suasana religius dan/atau agamis?
3. Bagaimana urgensi penciptaan suasana religius di sekolah?
4. Apa model-model penciptaan suasana religius di sekolah?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sikap religius manusia.
2. Untuk mengetahui suasana religius dan/atau agamis.
3. Untuk mengetahui urgensi penciptaan suasana religius di sekolah.
4. Untuk mengetahui model-model penciptaan suasana religius di sekolah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sikap Religius Manusia


Pada dasarnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian
manusia itu biasanya dikenal dengan istilah “fitrah”. Fitrah tersebut
menjadikan diri manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus
dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci pula kepada sesamanya. Sifat dasar
kesucian itu biasanya dikenal dengan istilah “hanifiyah”. Karena manusia
memiliki sifat dasar hanifiyah maka ia memiliki dorongan naluri ke arah
kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hinifiyah itu terdapat
dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang kemudian
disebut dengan istilah “hati nurani”, artinya bersifat nur atau cahaya. Oleh
sebab itu, jika ada orang yang berbuat jahat atau menipu pada orang lain atau
sesama saudaranya sendiri maka ia sering disebut dengan istilah “tidak punya
hati nurani”.
Fitrah dan hanafiyah yang dimiliki manusia merupakan kelanjutan dari
perjanjian antara manusia dan tuhan, yaitu suatu perjanjian atau ikatan janji
antara manusia, sebelum ia lahir ke dunia, dengan Tuhan. Dalam perjanjian
tersebut manusia telah menyatakan bahwa ia akan mengikuti Tuhan Allah
sebagai pelindung dan pemelihara (Rabb) satu-satunya bagi dirinya. Hal ini
tercermin dalam dialog antara Tuhan dengan ruh manusia, sebagaimana
disbutkan dalam Al-Qur’an, surat Al-A’raf ayat 172. “... bukankah aku ini
Tuhanmu? Kemudian ruh manusia itu menjawab: Benar, kami telah
menyaksikan”.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar menyebutkan bahw ayat
tersebut mengandung pengertian manusia itu telah diciptakan oleh Allah atas
fitrah islam, serta di dalam jiwa manusia itu telah disiapakan Allah gharizah
iman. Sedangkan Prof. Dr. N. Drijarkara S.J. dalam bukunya percikan filsafat
menyabutkan bahwa suara Tuhan itu terekam dalam jiwa manusia berupa
suara hati nurani manusia.

3
Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dalam diri manusia terdapat
berbagai macam fitrah yang antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah
berahklak, fitrah kebenaran, dan fitrah kasih sayang.1[1]
1. Fitrah Agama
Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf: 172 dinyatakan bahwa fitrah
beragama sudah tertanam kedalam jiwa manusia semenjak dari alam
arwah dahulu, yaitu sewaktu ruh manusia belum ditiupkan oleh Allah ke
dalam jasmaninya. Pada waktu itu, Allah bertanya kepada ruh-ruh
manusia: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” kemudian ruh-ruh manusia itu
menjawab: “Benar, kami telah menyaksikan.” (Q.S. Al-A’raf: 172)
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam diri manusia sudah ada
fitrah untuk beragama. Fitrah agama yang ada dalam diri manusia itu ialah
fitrah beragama Islam.
2. Fitrah Suci
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa yang membuat manusia
menjadi kotor adalah dosa. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur’an surat Al-Muthafifin ayat 14, yang artinya: “Tidak sekali-kali tidak,
bahkan kotor (tertutup) hati mereka karena dosa-dosa yang mereka
kerjakan”.
Ayat tersebut ditafsirkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan
sabdanya: “Bahwasanya seorang mukmin apabila mengerjakan satu dosa
timbulah satu titik hitam dihatinya, tetapi jika dia bertobat, menarik diri
dari dosa tersebut dan meminta ampun kepada Allah, sucilah kembali
hatinya itu, dan jika ditambahinya terus dosanya itu hingga tertutup
olehnya hatinya, itulah yang disebut “Rona” yang disebutkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an Al-Karim. “ (H.R. Ahmad).
Berdasarkan hadis tersebut dapat dikatakan bahwa menurut islam,
manusia yang belum atau tidak berdosa adalah suci. Manusia baru akan
berdosa apabila ia sudah baligh kemudian melanggar hukum Allah.

11[1] Muhaimin, paradigma pendidikan islam, (Bandung: Rosdakarya, 2002), hal


281

4
Sehubungan dengan ini, Nabi Saw bersabda: “yang bebas dari hukum itu
ada tiga golongan, yaitu anak-anak hingga baligh, orang tidur hingga ia
bangun, dan orang gila hingga ia sembuh.” (H.R. Abu Dawud & Ibnu
Majah).
3. Fitrah Berakhlak
Ajaran Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa nabi
Muhammad Saw diutus (oleh Allah) kepada manusia adalah untuk
menyampurnakan moral/akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya: “Aku
diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang baik mulia.”
(H.R. Bukhari, Hakim, Baihaqi)
Hadis tersebut memberi pengertian bahwa pada mulanya manusia
sudah mempunyai fitrah bermoral/berakhlak, sedangkan Nabi Saw diutus
oleh Allah adalah untuk menyempurnakan atau mengembangkannya.
Allah juga menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dalam sebaik-
baik kejadian (Q.S. At-Tin: 4). Termasuk dalam sebaik-baik kejadian
adalah moralnya. Karena Nabi Muhammad Saw menyatakan,
“sesungguhnya yang sebaik-baik kamu ialah kamu yang sebaik-baik kamu
dalam hal akhlak/moral.” (H.R. Muttafaqun’alaih)
4. Fitrah Kebenaran
Di dalam Al-Qur’an, Allahmenyatakan bahwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mengetahui kebenaran, sebagaimana firman-Nya yang
artinya: “Maka adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui
bahwa itu benar-benar dari Tuhan mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 26).
Karena manusia memiliki fitrah kebenaran maka Allah
memerintahkan kepada manusian untuk menyalesaikan semua persoalan
yang timbul diantara mereka dengan kebenaran, sebagaimana firman-Nya
yang berbunyi: Maka hendaklah kamu beri keputusan diantara manusia
dengan kebenaran.” (Q.S. Shad: 26).
5. Fitrah Kasih Sayang
Menurut Al-Qur’an, dalam diri manusia telah diberi Allah kasih
sayang. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman-Nya yang artinya:

5
“Dan dia jadikan diantara kamu percintaan dan kasih sayang” (Q.S. Ar-
Rum: 21).
Karena manusia memiliki fitrah kasih sayang maka Allah
memerintahkan kepada manusia, supaya saling berpesan dengan kasih
sayang. Sebagaimana firman-Nya: “dan mereka saling berpesan dengan
kasih sayang” (Q.S Al-Balad: 17). Berdasarkan pada ayat-ayat tersebut
maka dapat dikatakan bahwa manusia sudah diberi fitrah kasih sayang
oleh Allah Swt. Dan manusia memang ingin dikasihi serta mengasihi.2[2]
Beberapa fitrah manusia tersebut mendorong manusia untuk melakukan
perjanjian dengan Tuhan. Sebagai konsekuensi dari perjanjian itu, maka
manusia dan jin pun diciptakan oleh Allah dengan kewajiban tunduk dan
menyembah kepada-Nya saja, yaitu menagnut paham ketuhanan yang maha
esa ( agama tauhid). Dari sisni, kita dapat menelaah kembali pandangan dasar
kemanusiaan, yaitu sebagai berikut.
1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primodial dengan Tuhan, yaitu
bahwa manusia, sejak dari kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji
untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orentasi hidupnya.
2. Kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan
tumbuh dalam kesucian jika seandainya tidak ada pengaruh lingkunagn.
3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani ( nurani artinya bersifat
cahaya terang), yang mendorong untuk senantiasa mencari, berpihak, dan
berbuat yang baik dan benar (sifat hanafyah). Jadi, setiap pribadi
mempunyai potensi untuk benar.
4. Karena manusia itu diciptakan sebagai mahluk yang lemah (antara lain,
brpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat
segera) maka setiap pribadinya mempunyai potensi untuk salah karena
“tergoda” oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek. Oleh sebab itu,
manusia dibekali dengan akal-pikiran, kemudian agama, dan terbebani
kewajiban terus-menerus mencari dan memilih jalan hidup yang lurus,
benar dan baik.

2[2] Ibid, hal 282

6
5. Manusia adalah mahluk etis dan moral; dalam arti, bahwa perbuatan baik
buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama
manusia, maupun di akhirat di hadapan Alaah yang maha Esa.
6. Setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di dunia ini, mempunyai hak
dasar untuk memilih dan menentukan sendiri prilaku moral dan etisnya,
tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral
dan etis, dan manusia akan sama drajat dengan mahluk yang lain, jadi
tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.
7. Setiap pribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad.
Oleh sebab itu, barang siapa merugikan seorang pribadi.

B. Suasana Religius dan/atau Agamis


Religiusitas (kata sifat: religius) tidak identik dengan agama. Mestinya
orang yang beragama itu adlah sekaligus orang yang religius juga. Namun
banyak terjadi, orang penganut suatu agama yang gigih, tetapi dengan
bermotivasi dengan atau peningkatan krier.
Ada juga kejadian, menurut anggapan orang luar, seseorang sangat
tekun dan taat melakukan ajaran agamanya secara lahiryah, akan tetapi diluar
pengamatan orang, ia adalah lintah darat, sedangkan didalam rumah tangganya
ia juga kejam dengan istrinya, serta secara diam-diam ia suka berjudi, atau
main serong, dan sebagainya.
Ada hal lain lagi yang perlu diakui, secara lahiryah ia tidak begitu
cermat menaati ajaran-ajaran agamanya, bahkan boleh jadi secara resmi oleh
teman-temanya ia dicap komunis/ateis/kafir. Namun tidak mustahil, orang
yang dicap demikian ternyata memiliki rasa keadilan yang mendalam. Ia cinta
pada yang benar dan benci pada segala kebohongan dan kemunafikan. Ia
perasa yang halus, peka terhadap getaran-getaran sedih orang lain, dan suka
menolong. Ia banyak merenung tentang hakikat hidup dan mencari dengan
tekun serta kritis terhadap liku-liku perangkap penipuan pada dirinya maupun
masyarakat sekelilingnya.

7
Agama lebih merujuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan
atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-
peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi-organisasi
sosial keagamaan dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan
Keberagaman atau religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk
hati nurani” pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang
lain, karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas
(termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam si pribadi manusia. Dan
karna itu pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama
yang tampak formal, resmi. Sikap religius seperti berdiri khitmat dan rukuk
secara khusyuk. Yang dicari dan diharapkan untuk anak-anak kita adalah
bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama
baik, namun sekaligus orang yang mendalam cita rasa religiusitasnya, dan
yang menyinarkan damai murni karenafitrah religiusnya, meskipun barangkali
dalam bidang keagamaannya kurang patuh. Itu dibandingkan dengan orang
yang hebat keagamaannya, tetapi ternyata itu cuma kulit luarnya saja.
Sedangkan kehidupan sesungguhnya serba tipuan semu. Suasana yang
demikian itu dapat dicermati dalam berbagai tipe masyarakat. Ada beberpa
tipe masyarakat, yaitu : tipe masyarakat orde moral, tipe masyarakat kerabat
sentris.3[3]
1. Tipe Masyarakat Orde Moral
Dalam masyarakat yang bertipe orde moral, komunitas kehidupan
dan mekanismenya masih amat terikat oleh bernagai norma baik buruk
yang bersumber dari tradisi (adat) tertentu sehingga disana banyak
dijumpai sejumlah pantangan (tabu) yang dalam beberapa hal dapat
mengganggu proses penciptaan suasana religius dan agamis.
Keberadaan masyarakat tipe ini, sebagaian besar dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang statis, apatis serta sikap curiga terhadap hal-hal
baru yang berbeda dalam adat sehingga mereka terlena dalam buaian
tradisi dari waktu ke waktu, tanpa ada kesadaran dan keinginan untuk

3[3] Ibid, hal. 287

8
menggantinya dengan kebiasaan yang lebih masuk akal serta lebih
bermanfaat, kondisi lain yang juga mempengaruhinya, menurut
koentjaraningrat adalah masih berlakunya penghormatan yang berlebihan
terhadap individu-individu ahli adat, misalnya sebagai satu-satunya tempat
maminta nasehat. Kondisi demikian dapat menghamabat terciptanya
suasana agamis dan religius. Yang sering muncul adalah suasana adat.
2. Tipe Masyarakat Kerabat Sentris
Salah satu karakteristik dari masyarakat tipe ini adalah pola dasar
mekanisme kehidupan dan kepemimpinannya ditentukan oleh sistem
kekerabatan yang ada semata-mata, tanpa ada alternatif lainnya, dan juga
tidak mempertimbangkan segi yang lain. Dalam hal ini siapa yang menjadi
pengganti seorang pemimpin misalanya, disana berlaku prinsip keturunan
yang ketat. Atau bisa pula dikatakan, faktor norma tradisilah yang
menentukan seseorang menjadi pemimpin, dan bukan faktor prestasi atau
kemampuan yang lain. Dalam masyarkat tipe kerabat sentris ini, walaupun
sudah tersentuh moderenisasi, namun peranan pemimpin nonformal
biasanya masih kuat sekali. Terdapat prinsip bahwa pemimpin di pedesaan
dapat memegang tampuk kepemimpinannya selama ia mampu serta
bijaksana, tanpa diperlukan pembatasan waktu tertentu. Ini sesungguhnya
merupakan cerminan dari pernah atau masih adanya masyarakat tipe
kerabat sentris di sebagian komunitas bangsa Indinesia. Dengan demikian,
peranan seorang pemimpin benar-benar menentukan dan kehadiranya juga
benar-benar diakui, ditaati, dihormati dan disegani, bahkan dapat
dikatakan tanpa ada reserve, sehingga jadilah ia seorang pemimpin
karismatik yang bukan saja dirinya amat dicintai rakyat, tetapi sekaligus
juga dicintai keluarga serta kerabat dekatnya sering mendapat perlakuan
yang sama.
Dalam masyarakat tipe seperti ini, berbagai adat kebiasaan atau
tradisi yang diwarisi turun-temurun dari nenek moyang, biasanya
dipelihara dengan baik dan dilestarikan. Suasana dalam masyarakat tipe ini
biasanya yang lebih dominan adalah suasana kekerabatan dan

9
kekeluargaan sehingga sulit untuk membedakan mana suasana agamis, dan
mana suasana religius, serta mana suasana adat.
Sebaliknya, tradisi lama dan adat yang sudah digeser oleh tradisi dan
budaya modern atau proses modernisasi juga belum menjamin mampu
menciptakan suasana religius dan agamis. Elizabeth Lukas, seorang
logoterapi kodang, mencatat salah satu prestasi penting dari proses
modernisasi di dunia barat, yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu
trdisi yang serba menghambat, sekaligus berhasil meraih kebebasan dalam
hampir semua bidang kehidupan. Prestasi tersebut, antara lain meliputi:
Pertama, tradisi orang tua untuk menjodohkan anak-anaknya atas
dasar pertimbangan ssosial-ekonomi telah berhasil dihilangkan dan diganti
dengan kebebasan anak untuk menentukan pilihan atas dasar pertimbangan
dan keinginan sendiri. Tetapi data atas statistik menunjukan angka
perceraian makin lama makin tinggi.
Kedua, kaum wanita berhasil mengembangkan karier profesional
diluar fungsi tradisional mereka sebagai istri dan ibu semata-mata.
Ketiga, kebebasan seks dan peluang luas untuk melakuknnya
ternyata menjadikan fungsi hubungan seks bukan sebagai ungkapan cinta
kasih, melainkan sebagai tuntutan dan keharusan untuk berhasil meraih
puncak kenikmatan.
Keempat, pola asuh yang menanamkan kemandirian dan kebebasab
pada anak-anak seakan-akan membuka luas ambang kesrbabolehan
(permissiveness).
Kelima, pembebasan diri dari aturan-aturan estetika seni tradisional
mengakibatkan seni modern makin sulit dipahami dan dihayati karna
ungkapan estetisnya makin “tidak berbentuk”.
Keenam, asas-asas dan tuntunan keagamaan yang makin rasional
makin sering berubah-ubah seiring dengan mendangkalnya proses
penghayatan.
Sesuai dengan akar kata “logos” yang dalam bahasa yunani berarti
meaning (makna) dan juga spiritualing (keruhanian) maka logoterapi

10
adalah aliran psikologi/psikiatri yang mengakui adanya dimensi
keruhanian disamping dimensi-dimensi ragawi, kejiwaan, dan lingkungan
sosial budaya, serta berangaapan bahwa kehendak untuk hidup bermakna
merupakan dambaan utama manusia untuk meraih kehidupan yang
duhayati bermakna dengan jalan menemukan sumber-sumber makna hidup
dan merealisasikannya.
Hidup yang bermakna dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan
tiga nilai kehidupan. Yaitu sebagai berikaut :
a. Pertama, Creative Values
b. Kedua, Experiental Values
c. Ketiga, Attitudinal Values
Creative Values (nilai-nilai kreatif): bekerja dan berkarya serta
melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada
pekerjaan. Sebenarnya, pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang dapat
memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengmbangkan makna
hidup. Makna hidup bukan terletak pada pekerjaan, melainkan pada sikap
dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaanya.
Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi
lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
Experiental Values (nilai-nilai penghayatan), meyakini dan
menghayati kebenaran, kebijakan, keindahan, keimanan, dan nilai-nilai
lain dianggap berharga. Dalam hal ini cinta kasih merupakan nilai yang
sangat penting dalam mengembangkan hidup bermakna. Mencintai
seseorang berarti menerima sepenuhnya keadaan orang yang dicintai
seperti apa adanya serta benar-benar memahami kepribadianya dengan
penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi, seseorang akan
merasakan hidupnya sarat dengan pengalaman-pengalaman penuh makna
dan membahagiakan.
Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap), menerima dengan tabah dan
mngambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari
lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal, tetapi tak berhasil

11
mengatasinya. Mengingat peristiwa tragis tak dapat dielakkan lagi maka
sikap menghadapinyalah yang perlu diubah. Dengan mengubah sikap
diharapkan beban mental akibat musibah mengurang, bahkan mungkin
saja disebut hikmah. Penderitaan memang dapat memberikan makna
apabila dapat mengubah penderita menjadi lebih baik lagi sikapnya.
Optimisme dalam menghadapi musibah ini tersirat dalam ungkapan-
ungkapan seperti “makna dalam derita”.
Untuk menghindari “bias modernisasi” dan mampu mengubah sikap
“positive thinking”, maka kita harus berusaha untuk meningkatkan
kualitas jiwa kita dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih
tinggi.
Ada tiga tahapan yang perlu dilakukan oleh seseorang untuk
meningkatkan kualitas jiwanya.
Pertama, malakukan dzikir atau ta’aluq pada Tuhan, yaitu seseorang
harus berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita
kepada Allah.
Kedua, seseorang secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga
seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya.
Ketiga, Tahaqquq yaitu seseorang harus bisa mengaktualisasikan
kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin atau agamis yang
dirinya sudah “didomonasi” sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam
perilakunya yang serba suci dan mulia.
Dalam trdisi tasawuf yang biasanya banyak mengkaji tentang hati,
berdasarkan pada beberapa ayat Al-Alqur’an dan Hadis yang mngenaskan
bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya
bagai istana dan para abdi dalemnya.4[4]

C. Urgensi Penciptaan Suasana Religius di Sekolah


Berbicara tentang suasana religius merupakan bagian merupakan bagian
dari kehidupan religius yang tampak an untuk mendekati pemahaman kita

4[4] Ibid, hal. 288

12
tentang hal tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang konsep
religiusitas.
Keberagamaan atau religiulitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan manusia. Aktifitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang
melakukan prilaku ritual atau (ibadah) tetapi juga melakukan aktifitas lain
yang didorong oleh kekuatan supra natural. Bukan hanya berkaitan dengan
aktifitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang
tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagaman
seseorang akan meliputi barbagai macam sisi atau dimensi.
Glock & stark (1966) dalam ancok (1995;76) menjelaskan bahwa agama
adalah simbol, sistem keyakinan , sistem nilai, dan sistem prilaku yang
terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan- persoalan yang
dihayati sebagai sebagai yang paling maknawi(ulimate meaning). Menurut
clock dan stark dalam retson (1988), ada lima macam dimensi, yaitu
1. Dimensi keyakinan
2. Dimensi praktek agama
3. Dimensi pengalaman
4. Dimensi pengetahuan agama dan
5. Dimensi pengalaman
Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan
dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentudan
mengakui kebenaran dokrin tersebut.
Kedua, dimensi praktek agama yang mencakup prilaku pemujaan,
ketaatan dan hal-hal yang dilakukanorang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianutnya, praktek-praktek agama memiliki dua bagian
yang penting yaitu ; ritual & ketaatan.
Ketiga, dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan
bahwa fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu, meski tidak dapat jika dikatakan mencapai pengetahuan subjektif dan
lansung mengenai keenyataan terakir bahwa ia akan mencapai suatu kontak
dengan kekuatan supernatural.

13
Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu pada harapan
bahwa orng-orang yang beragama paling tidak dia memiliki sejumlah
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci,dan
tradisi-tradisi
Kelima,dimensi pengalaman atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu
pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, prakrik, pengalaman,
dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Paling tidak memiliki sejumlah
pengetahuan, antara lain mengenai dasar-dasar tradisi. Tradisi memiliki
beberapa fungsi, yang antara lainnya dapat difunsikan sebagai; (1) wadah
expresi keagamaan, dan (2) alat pengikat kelompok.
a. Tradisi sebagai wadah expresi keagamaan
Tradisi dari perwujudan agama memiliki keterkaitan yang erat,
karena itu tradisi dapat dapat dipisahkan begitu saja dari masyarakat
dimana dia dipertahankan, sedangkan mesyarakat juga memiliki hubungan
timbal balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Untuk itu,
menurut Mukti Ali, AGAMA mempengaruhi jalannya masyarakat dan
pertumbuhan masyarakat mempengaruhi terhadap pertumbuhan agama.
Dalam kaitan ini, sutjamoko juga mengatakan bahwa keberangaman
manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas budaya
masing-masing yang berbeda-beda. Dimasyarakat agama, merupakan
establishment yang kuat, dan terkait dalam sistem sosial, politik, ekonomi
masyarakat.
Dengan demikian tradisi memiliki wadah penyalur keagamaan
dalam masyarakat dan hal ini hampir ditemui pada setiap agama, karena
agama menuntut pengalaman secara rutin dari kalangan pemeluknya.
Dalam rangka pengalaman itu, ada tata cara yang sifatnya baku, tertentu,
dan tidak bisa diubah-ubah. Sesuatu yang tidak penah berubah dan terus-
menerus akan terus dilakukandalam prosedur yang sama dari hari ke hari,
bahkan dari masa kemasa, akhirnya identik dengan tradisi. Ini berarti
bahwa tradisi muncul dari amaliah keagamaan baik yang dilakukan oleh
kelompok ataupun keagamaan.

14
Disisi lain, dikalangan mereka yang keagamaannya tergolong 'awan'
sering tidak mengetahui mana yang sesungguhnya ajaran agama, dan mana
yang sekedar tradisi. Bagi orang-orang yang seperti ini, pada saat
menjalankan tradsi, perasaaan mereka sama seperti pada saat mengerjakan
ajaran agama, dan memang itulah agama menurut persepsi mereka,
sebaliknya mereka hanya bisa dan terbiasa menjalankan ajaran agama,
semata-mata dalam hal itu tidak dapat dipisahkan secara utuh dari tradisi
kehidupan yang bersifat rutin.
b. Tradisi sebagai alat pengikat kelompok
Manusia adalah mahluk berkelompok. Hidup berkelompok adalah
suata keniscayaan karena memang tidak ada orang yang mampu
memenuhi segala keperluannya sendirian. Atas dasar ini dimana dan
kapanpun selalu ada upaya untuk menegakkan dan membina ikatan
kelompok, dengan harapan agar menjadi kokoh dan terpelihara
kelestariannya. Adapun cara yang ditempuh, antara lain melalui alat
pengikat, termasuk yang berwujud tradisi.
Fungsi tradisi sebagai alat pengikat kelompok dapat dimaknai bahwa
setiap anggota suatu kelompok, pada umumnya terpanggil untuk
mengembangkan apa yang ada dan menjadi adat kebiasaan bersama,
terutama dihadapan kelompok yang lain, kecenderungan yang seperti ini
bersifat kodrati.
Apa yang ada dan menjadi kebiasaan dalam suatu kelompok,
biasanya berwujud tradisi atau paling kurang mempunyai kaitan erat
dengan tradisi, tradisi tertentu yang sama-sama dipagang atau dibanggakan
itu, menjadi satu/semacam tali pengikat. Semakin kokoh suatu tradisi,
semakin bersemangat masing-masing anggota kelompok untuk merasa
banga dengannya dan semakin kuat dan terjain erat ikatan antara individu-
individu yang ada dalam kelompok tersebut. Dan demikian pula
sebaliknya, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi berfungsi
sebagai alat pengikat kelompok.

15
Disamping itu, tradisi lebih-lebih dikalangan masyarakat yang relatif
tertutup komunikasinya dengan dunia luar dan pengaruh kemajuan-
biasanya ditegakkan dan dipelihara kelestariannya dengan memberikan
sanksi tertentu kepada siapa yang berani melanggarnya. Ini bisa dipahami,
karena bila tidak diberikan sanksi yang demikian, pasti ada yang
melanggarnya satu demi satu sehingga menjadi roboh dan berantakan
tradisi tersebut, dan akhirnya kelopok itupun bubar, untuk itu tradisi perlu
ditegakkan supaya ikatan kelompok terpelihara.
Terdapat beberapa bentuk tradisi, misalnya, bisa berupa norma-
norma. Menurut daya ikatnya norma-norma itu terbagi menjadi cara,
kebiasaan, tata perilaku dan adat istiadat. Dari sini dapat dimengerti bahwa
tradisi berwujud cara-cara mewujudkan suatu kebiasaan-kebiasaan tata
prilaku, dan adat-istiadat tertentu dan dapaat dimiliki oleh suatu kelompok,
tak bisa lain adalah pengikat yang sangat efektif bagi tegak berdirinya
kelompok tersebut. Tanpa adanya tradisi, kelompok menjadi tidak
mempunyai identitas yang khas, bahkan kelestariannya menjadi terancam.
Sedangkan, kebiasaan dan norma-norma itu dapat menyangkut berbagai
aspek kehidupan, misalnya sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan
teknik, seni, filsafat, dan agama; yang kesemuanya dikenal dengan istilah
"cultural universal".

D. Model-Model Penciptaan Suasana Religius di Sekolah


Model adalah sesuatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional.
Karena itu, model penciptaan suasana religius sangat dipengaruhi oleh
stuasidan kondisi tempat dan model itu akan diterapkan beserta penerapan
nilai-nilai yang mendasarinya.
1. Model Struktual
Penciptaan suasana religius dengan model struktual, yaitu
penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya peraturan-
peraturan, pembangunan kesan, baik dari dunia atas kepemimpinan atau
kebijakan suatu lembaga pendidikan atau organisasi tertentu. Model ini

16
biasanya bersifat "top-down", yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas
prakasa atau intruksi dari pejabat atau pemimpin atasan.
2. Model Formal
Penciptaan suasan religius suasana formal, yaitu penciptaan suasana
religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah
upaya manusia untuk mengerjakan masalah-masalah kehidupan akhirat
saja atau kehidupan rohani saja, sehingga pendidikankan agama
dihadapkan dengan pendidikan keagamaan non-keagamaan, pendidkan
keislaman dengan non-keislaman, pendidikan kristen dengan non-kristen,
demikian seterusnya.medel cara penciptaan suasana religius formal
tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan keagamaan yang
lebih berorientasi pada keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap
tidak penting, serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu kegamaan
yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara
sain (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
Model ini biasanya menggunakan cara pendekatan yang bersifat
keagamaan yangbersifat normatif, doktriner, dan absulutis. Peserta didik
diarahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal, memiliki sikap
comitment (keperpihakan), dan dedikasi(pengabdian yang tinggi terhadap
agama yang dipelajarinya). Sementara itu kajian agamayang bersifat
empiris,rasinal, analitis-kritis, dianggap dapat mengoyahkan iman
sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang bersifat normatif
dan dokterin.
3. Model Mekanik
Model mekanik penciptaan suasan religius adalah penciptaan
suasana religius yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri
dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanamdan
pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing
bergerak sesuai fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin
atas bebrapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing

17
menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang
lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi.
Model mekanik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan
agama yang lbih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi
efektif dari pada kognitif dan psikomotor. Artinya dimensi kognitif dan
psikomotor diarahkan untuk penggunaan efektif (moral dan spiritual),
yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya (kegiatan dan kajian-kajian
keagamaannya hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spritual).
4. Model Organik
Penciptaan suasana religius model organik, yaitu penciptaan
suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa
pendidikan agama adalah kesatuan atau sistem (yang terdiri atas
komponen-komponen yang rumit) yang berusaha untuk mengembangkan
pandangan atau semangat hidup agamis. Yang diminifestasikan dalam
sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius.
Model penciptaan suasana religius model organik tersebut
berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang dibangun
dari fundamental doctrins dan fundimental valves yang tertuang dan
terkandung dalam Al-Qur'an dan As-sunnah shahihahsebagai sumber
pokok, kemudian mau dan menerima kontribusi pemikiran dari para ahli
serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu nilai-nilai
ilahi/agama/wahyu didudukan sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai
insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral dan lateral-sekuensial,
tetapi harus berhubungan vertiksl-linier dengan niali ilahi/agama.5[5]

5[5] Ibid, hal. 293

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dalam diri manusia terdapat
berbagai macam fitrah yang antara lain adalah fitrah agama, fitrah suci, fitrah
berahklak, fiTrah kebenaran, dan fitrah kasih sayang. Ada beberpa tipe
masyarakat.
1. Tipe Masyarakat Orde Moral
2. Tipe Masyarakat Kerabat Sentris
Tradisi memiliki beberapa fungsi yaitu
1. Tradisi sebagai wadah expresi keagamaan
2. Tradisi sebagai alat pengikat kelompok
Model adalah sesuatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional.
Karena itu, model penciptaan suasana religius sangat dipengaruhi oleh
stuasidan kondisi tempat dan model itu akan diterapkan beserta penerapan
nilai-nilai yang mendasarinya.
1. Model struktural
2. Model formal
3. Model mekanik
4. Model organik

19
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, dkk, (2002), Paradigma Pendidikan Islam, Bandung; Rosdakarya

20

Anda mungkin juga menyukai