Pada bagian yang pertama ini kita akan membiacarakan tentang beberapa kaidah bahasa yang
ada hubungannya dengan Ushul Fiqih
A. AL KHOS
1. Definisinya
Menurut Bahasa
َ ُِالن ب
Sesuatu yang sendiri, seperti : كذَا ٌ صف َّ اخ َت
ْ (seseorang itu mengkhusukan diri dengan
demikia).
* Menurut istilah
Yaitu setiap kata yang dibuat untuk menunjukkan satu buah makna secara tersendiri.
Macam-macamnya
hukumnya
Yaitu bahwa khosh itu menunjukkan kepada makna yang dibuat oleh redaksi katanya secara
qoth’i. Ini selama tidak ada dalil lain yang mentakwilkan kekhususannya.
contoh-contohnya
,ْ حلَ ْف ُت
a. Firman Allah dalam kafarat sumpah : م َ ُم إِذَا َ ك َك َّفا َر ُة أَ ْي
ْ مانِك َ ِة أَيَّا ٍم َذل
ِ َصيَا ُم ثَاَل ث
ِ ج ْد َف ْ َن ل
ِ َم ي َ َف
ْ م
(Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
(Al Maidah : 89)
b. Hadits tentang nishob zakat : “ …….. Di dalam setiap empat puluh ekor kambing itu zakatnya
adalah seekor kambing”.
Cabang cabang dari AL KHOS
A. MUTLAQ
1. Definisinya
Yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada jenisnya.
2. Hukumnya
Tetap berlaku pada kemutlakannya selama tidak ada qoid (ikatan) dan maknanya
penunjukkannya adalah bersifat qoth’i (pasti).
3. contoh-contohnya
Nash ini tidak menjelaskan keadaan budak itu muslim atau tidak.
b. dengan qoid
Washiat pada nash itu adalah mutlak yang disebutkan qoidnya pada sebuah hadits yang masyhur
pada kisah Sa’ad bin Abi Waqqosh : “Sepertiga dan sepertiga itu adalah banyak”.
B. MUQAYYAD
1. Definisinya
Yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada jenisnya dengan
memberikan ikatan kepadanya dengan suatu sifat tertentu, dengan pengertian bahwa yang selain
makna yang diikat itu adalah dianggap sebagai mutlak.
2. Hukumnya
Wajib mengamalkan sesuai dengan petunjuk dari ikatan itu, selama tidak ada dalil yang lainnya.
3. Pada kafarat
Pada kafarat pembunuhan yang salah Allah berfirman : ة ٍ َير َر َقب
ٍ ة ُم ْؤ ِم َن ْ ( َف َتmaka (wajib atasnya)
ُ ح ِر
memerdekakan seorang budak yang muslim). (An Nisa’ : 92). Maka ikatan keimanan itu adalah
wajib diamalkan.
KEBERADAAN SUATU LAFADZ YANG MUTLAK DAN PADA WAKTU ITU JUGA
MUQAYYAD
1. Jika hukum mutlak dan muqayyad itu adalah sama demikian juga sebab hukumnya
a. Contohnya
1) Yang Mutlak
2) Yang Muqayyad
b. Hukumnya
Keadaan hukum yang sama yaitu haram. Dan sebabnya adalah sama, yaitu kemudlaratan yang
timbul akibat meminum darah. Maka di sini yang mutlak itu dianalogkan kepada yang
muqayyad.
a. Contohnya
1) Yang Mutlak
Catatan : Kemutlakan pada ayat ini disebutkan qoidnya pada perbuatan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, yaitu memotong sampai siku-siku.
2) Yang Muqayyad
Firman Allah : ِم َرافِق ْ ُم َوأَ ْي ِديَك
َ ُم إِلَى ا ْل ْ هك
َ جو
ُ سلُوا ُو َّ م إِلَى ال
ِ ْصاَل ِة َفاغ ْ م ُت َ ( يَاأَيُّ َها الَّ ِذHai
ْ ين َءا َم ُنوا إِذَا ُق
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku). (Al maidah : 6)
b. Hukumnya
Di sini yang mutlak itu diamalkan sesuai dengan kemutlakannya dan yang muqayyad itu
diamalkan sesuai pada tempatnya masing-masing.
a. Contohnya
1) Yang Mutlak
2) Yang Muqayyad
b. Hukumnya
Kami perhatikan bahwa hukum itu berbeda. Yang pertama mengusap dan yang kedua
membasuh. Tetapi sebabnya sama, yaitu hendak mendirikan shalat. Maka berdasarkan hal itu
maka masing-masing dari keduanya diamalkan sesuai dengan kemutlakan dan kemuqayayadanya
masing-masing.
a. Contoh-contohnya
1) Yang mutlak
2) Yang muqayyad
b. Hukumnya
1) Madzhab Hanafi
Yang mutlak diamalkan sesuai dengan kemutlakannya seperti yang disebutkan dan yang
muqayyad diamalkan sesuai dengan kemuqayadannya seperti yang disebutkan.
2) Jumhur
1. Definisinya
Yaitu suatu kata yang dibuat untuk meminta suatu perbuatan dari atas ke bawah
1. Permasalahan ini diperselishkan dari sisi bahwa makna-makna perintah itu dari sisi hakekat
atau majaz. Dan masing-masing memiliki dalilnya. Adapaun yang kami tarjih adalah pendapat
jumhur bahwa perintah yang mutlak itu menunjukkan kepada kewajiban. Maka makna ini adalah
hakekat padanya dan majaz pada makna yang lainnya. Karena itulah tidak dialihkan kepada
selain kewajiban kecuali jika ada qorinah (sebab lain yang mengiringi). Dan dalil-dalilnya adalah
banyak.
Sesungguhnya perintah itu menunjukkan kepada kemubahan. Ini banyak disebutkan di dalam
syari’at. Diantaranya adalah firman Allah : صطَا ُدوا ْ حلَ ْل ُت
ْ م َفا َ ( َوإِذَاapabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu). (Al Maidah : 2), yang disebutkan setelah
pengharaman berburu pada firman Allah : مٌ ح ُر ْ ص ْي ِد َوأَ ْن ُت
ُ م َّ ح ِل ّي ال
ِ ( َغ ْي َر ُمdengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji).(Al Maidah : 1). Maka jadilah
perintah untuk berburu itu untuk menunjukkan kemubahan.
Ini diperselisihkan di kalangan para ulama. Dan yang rajih –wallaahu a’lam- adalah perincian
seperti berikut :
boleh mengakhirkan sampai akhir waktu. Dan mengerjakannya dengan segera adalah lebih baik,
berdasarkan firman Allah : ُم ْ ار ُعوا إِلَى َم ْغ ِف َر ٍة ِم
ْ ن َربِ ّك ِ سَ ( َوDan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu). (Ali Imran : 133)
Yaitu bahwa mengerjakan perintah yang diperintahkan seperti yang dikehendaki oleh perintah
itu, maka pekerjaan itu adalah sah.
1. Contohnya
Barangsiapa yang mencari air kemudian dia tidak menemukannya dan menunaikan shalat dengan
tayamum, kemudian dia menemukan air pada waktu itu sebelum waktu shalat habis, maka shalat
itu tidak menjadi batal, karena dia telah melakukan shalat sesuai dengan yang diperintahkan oleh
Allah pada firmannya : موا
ُ م ْ َ( َفلKemudian kamu tidak menemukan air, maka
َّ َم تَجِ ُدوا َما ًء َف َتي
bertayamumlah). (An Nisa’ : 43)
1. Definisinya
1. Menurut bahasa adalah larangan
2. Menurut istilah adalah permintaan untuk tidak melakukan perbuatan dari atas ke bawah
dengan kata (shighah) yang menunjukkan kepadanya.
Yaitu dengan َ الnahi (larangan) dan dengan pewanti-wantian dengan kata : ك
َ إيَّاdan semisalnya
serta dengan ungkapan yang redaksinya menunjukkan larangan dan pengharaman.
Masalah ini diperselisihkan dan yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa larangan itu untuk
menunjukkan makna pengharaman. Ini adalah makna yang hakikat yang merupakan maknanya
secara bahasa dan tidak digunakan pada makna yang lainnya kecuali dengan jalur majaz. Dan
qorinahlah yang menunjukkan makna pengalihan itu.
Yang rajih dari pendapat-pendapat tentang hal ini adalah bahwa larangan itu menunjukkan
tuntutan ketersegaraan dan pengulang-ulangan. Karena kerusakan itu tidak dapat ditinggalkan
kecuali dengan menahan diri dengan segera dan untuk selama-lamanya.
a. sesuatu yang dilarang karena dzat perbuatan itu sendiri, sehingga larang itu berpengaruh
kepada hakikat perbuatan itu sendiri
1) Contohnya
2) Hukumnya
Perbuatan itu dianggap rusak (fasid) dan batal, sehingga kedudukannya sama dengan sesuatu
yang tidak ada.
1. jika larangan itu tidak tertuju kepada dzat perbuatan itu, tetapi kepada sesuatu yang berdekatan
dengannya
1) Contohnya
2) Hukumnya
Perbuatan itu memiliki akibat yang telah ditentukan oleh syari’at dengan diiringi kemakruhan,
karena dilarang oleh syari’at
1. jika larangan itu tertuju kepada beberpa syarat dari perbuatan yang harus ada bagi perbuatan
itu, bukan kepada dzat perbuatan itu.
1) Contohnya
2) Hukumnya
Jumhur berpendapat bahwa pebuatan itu adalah fasid dan bathal. Dan Madzhab Hanafi
membedakan antara ibadah dan mu’amalah.
1. Kata ditinjau dari sisi jelas atau samar dilalahnya kepada makna
2. Macam-macamnya
1. Yang jelas dilalahnya (dimulai dari yang paling samar kemudan yang lebih kuat dan
seterusnya)
a. Dzahir
1) Definisinya
b) Maknanya menurut istilah adalah yang jelas maknanya dengan sendirinya dan yang
dikehendaki adalah tidak dimaksud secara orisinil dalam konteks kalimat.
c) Praktek
ِ م أَاَّل تَ ْع ِدلُوا َف َوا
Allah berfirman : ح َد ًة ِ ْع َفإِن
ْ خ ْف ُت َ سا ِء َم ْث َنى َوثُاَل ثَ َو ُربَا
َ ّن ال ِن ْ اب لَك
َ ُم ِم َ َحوا َما ط
ُ َِفا ْنك
(maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja).An Nisa’ : 3)
v Maksudnya adalah kebolehan poligami sampai empat wanita ketika dapat berbuat adil kepada
mereka.
2) Hukumnya
a) boleh jadi maknanya dialihkan dari dzahirnya seperti jika ada dalil yang mengkhususkan, jika
dzahir itu berupa kata yang umum atau disebutkan qoidnya jika kata yang dzahir itu adalah
muttlak.
b) Wajib mengamalkan maknanya yang dzahir selama tidak ada dalil yang mengharuskan
pengalihan makna darinya.
c) Nasakh dari dilalah ini diterima hanya masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.
1. Nash
1) Definisinya
Yaitu sesuatu yang dengan kata dan bentuknya menunjukkan kepada sutu makna dan makna itu
adalah yang dimaksud secara orisinil dalam konteks kalimat itu.
2) Contohnya
3) Hukumnya
b) Makna nash itu adalah merupakan maksud yang asli (orisinil) dalam konteks kalimat
1) Definisinya
b) Menurut istilah adalah sesuatu yang lebih jelas daripada nash dan dengan sendirinya
menunjukan kepada makna yang terperinci kepada suatu sisi yang tidak mengandung
penakwilan. Ini dapat dinaskh hanya pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.
2) Contohnya
Maka kata ( َكافَّةsemuanya) itu menghilangkan kemungkinan adanya takhsish dari kata “orang-
orang kafir” itu.
3) Hukumnya
Wajib mengamalkannya seperti yang dijelaskan rinciannya dan seperti apa yang ditunjukkanya
secara qoth’i.
1. Muhkam
1) Definisinya
b) Menurut istilah adalah kata yang dilalahnya kepada makna sudah jelas dengan sendirinya
dengan kejelasan yang lebih kuat daripada mufassar dan tidak dapat ditakwilkan dan tidak dapat
dinasakh.
2) Cantoh-contohnya
b) Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Jihad itu tetap berlangsung sampai hari
kiamat”.[1]
3) Hukumnya
Wajib mengamalkannya
2. Yang samar dilalahnya (dimulai dari yang paling samar kemudan yang lebih kuat dan
seterusnya)
a. Khofi
1) Definisinya
Yaitu suatu kata yang dilalahnya kepada maknanya adalah jelas, tetapi kesesuaian maknanya
terhadap beberapa personil maknanya adalah ada sisi kesulitan dan kesamarannya yang
membutuhkan pemikiran.
2) Prakteknya
Nash hadits : “Pembunuh itu tidak mewarisi”.[2] Maka dilalahnya pada dzahirnya adalah jelas.
Tetapi prakteknya terhadap pembunuh tertentu adalah ada sedikit kesamaran, karena
kemungkinan kata itu maksudnya adalah pembunuhan yang sengaja dan yang tidak sengaja.
Karena itulah para fuqoha’ berselisih pendapat tentang pewarisan pembunuh yang salah.
3) Hukumnya
Wajib melakukan kajian dan pemikiran pada sesuatu yang baru yang menyebabkan kesamaran
itu para penerapan kata itu kepada beberapa personilnya.
b. Musykil
1) Definisinya
a) Menurut bahasa masuknya sesuatu pada sesuatu yang lain yang sepadan dan semisal
dengannya.
b) Menurut istilah adalah yaitu suatu nama untuk sesuatu yang serupa …….
2) Contoh-contohnya
Yaitu kata-kata yang musyratarak, karena sesungguhnya kata itu secara bahasa dibuat untuk
menunjukkan lebih dari satu makna, seperti firman Allah : ن ثَاَل ثَ َة ق ُُرو ٍء ِ ن بِأَ ْن ُف
َّ س ِه َ ص ُ مطَلَّق
ْ ََّات يَ َت َرب ُ َوا ْل
(Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru). (AL Baqoroh :
228)
3) Hukumnya
c. Mujmal
1) Defisnisinya
2) Sebabnya
ِ ( ا ْلقHari kiamat).
b) Karena keterasingan kata yang digunakan seperti pada firman Allah : َار َعة
c) Pemindahan kata dari maknanya menurut bahasa kepada maknanya menurut istilah
3) Hukumnya
Tawaqquf (berhenti) sampai adanya penjelasan dari syari’at yang dapat menghilangkan
kemujmalannya dan menyingkap maknanya.
A. Maksudnya adalah metode-metode penunjukan (dilalah) suatu kata kepada suatu makna
a. maksudnya
yaitu yang suatu dilalah dari duatu kata yang langsung dipahami oleh akal untuk pertama kalinya
dari bentuk (shighoh) kata itu sendiri.
b. contohnya
Maka ungkapan yang disebutkan oleh kata-kata itu menunjukkan pengharaman membunuh jiwa.
a. maksudnya
yaitu penunjukkan suatu kata kepada suatu makna yang tidak dimaksud oleh konteks kalimatnya,
tetapi makna itu merupakan keharusan dari makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat itu.
b. Contohnya
Firman Allah : ُم َ ِث إِلَى ن
ْ سائِك ِ ُم لَ ْيلَ َة ال
ُ صّيَا ِم ال َّر َف ْ ل لَك ِ ( ُأDihalalkan bagi kamu pada malam hari
َّ ح
bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu). (Al Baqoroh : 187)
i. yang ditunjukkan oleh dilalah ibarat nash adalah kebolehan bercampur dengan istri sampai
bagian terakhir dari malam
ii. sahnya puasa seseorang yang pada waktu pagi hari masih dalam keadaan junub. Makna inilah
yang merupakan keharusan dari konteks itu. Karena pemberian kelonggaran bercampur sampai
bagian terakhir dari waktu mengharuskan adanya dua buah sifat yang berkumpul pada seseorang
yang berpuasa, yaitu sifat junub dan sifat puasa.
a. maksudnya
yaitu penunjukkan suatu kata bahwa suatu hukum yang disebutkan itu juga tetap kepada hukum
yang didiamkan karena kesamaanya di dalam illat hukumnya yang dapat dipahami dengan hanya
memahami bahasa, tanpa melakukan penyelidikan yang detail dna ijtihad.
b. contohnya
ٍّ ما ُأ
Firman Allah : ف َ ل لَ ُه
ْ ( فَاَل تَ ُقMaka janganlah kamu berkata : “Ah” kepada keduanya).
Ø yang ditunjukkan oleh dilalah ibarat nash adalah pengharaman untuk mengatakan “ah” kepada
kedua orang tua.
Ø mafhum muwafaqohnya adalah pengharaman memukul dan mencela. Hukum yang didiamkan
ini adalah lebih keras daripada yang disebutkan itu.
a. Maksudnya
Yaitu suatu ungkapan yang merupakan tambahan dari yang disebutkan di dalam nash dan
syaratnya adalah harus disebutkan di awal agar memiliki faedah dan mengharuskan tetapnya
suatu hukum.
b. Contohnya
1. Definisinya
1. Contoh-contohnya
َ َك أ
Firman Allah : ح ًدا َ ُّم َرب
ُ ِظلْ ( َواَل َيDan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun). (Al Kahfi :
49). Demikian juga kata جل ُ ( َرorang laki-laki). Karena kata ini mencakup keseluruhan personil
yang dapat layak dicakup oleh makna yang ditunjukkannya.
1. Kata ل
ٌّ ُكdaan م ْيع
ِ ج
َ
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap pemimpin itu bertanggung jawab
kepada yang dipimpinnya”.[1]
1. Kata tunggal yang dimasuki الmakrifat yang menunjukkan keumuman (istighroq) atau yang
diidlafahkan
Contoh kata makrifat yang menunjukkan makna umum adalah firman Allah : َسان ْ َوا ْل َع
َ ص ِر إِنَّ اإْل ِ ْن
س ٍر ُ ( لَ ِفيDemi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian). (Al
ْ خ
‘Ashr : 1 – 2)
1. Isim-isim maushul
Contohnya firman Allah : م نَا ًرا ْ ما يَ ْأ ُكلُونَ فِي ُبطُونِ ِه ً ظ ْل
َ َّما إِن َ ين يَ ْأ ُكلُونَ أَ ْم َوا
ُ ل ا ْليَ َتا َمى َ إِنَّ الَّ ِذ
َ َصلَ ْون
س ِعي ًرا ْ َسي
َ ( َوSesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)).(An Nisa’ : 10)
َ َك ْي, ن
1. Semua kata-kata pertanyaan seperti ف َ أ ْي, َما, ن
ْ َم
Contoh-contohnya :
ْ َخ ْي ٍر َي ْعل
Firman Allah : م ُه اللَّ ُه َ ن
ْ (( َو َما تَ ْف َعلُوا ِمDan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya). (Al Baqoroh : 197)
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Washiat itu tidak boleh kepada ahli waris”.[2]
1. Kata nakirah dalam konteks larangan atau kalimat negatif, seperti firman Allah : ل َعلَى َ َواَل ُت
ِّ ص
َ
ات أبَ ًدا
َ م َم
ْ ح ٍد ِم ْن ُه َ
َ ( أDan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang
mati di antara mereka). (At Taubah : 84)
1. sedikitnya jamak
Maka yang dijadikan sebagai pedoman adalah –berbeda dengan Ibnu Abbas- bahwa dua orang
itu masuk ke dalam hukum yang disebutkan oleh ayat itu.
1. Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk pada Khitab yang ditujukan kepada
ummatnya
Menurut jumhur adalah bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam hal itu.
1. Definisinya
Yaitu membatasi keumuman kepada beberapa personilnya. Dan dalil yang menunjukkan
kepadanya disebut mukhsahshish (yang mengkhususkan)
1. Perbedaan antara takhshish) dan nasakh.
1) Nasakh adalah menghapus hukum setelah hukum itu tetap. Dan takhshish adalah menjelaskan
bahwa sesuatu yang lafadznya umum itu kadang-kadang maksudnya adalah sebagian.
2) Nasakh itu tertuju kepada setiap personil, sedangkan takhshish itu hanya tertuju kepada
sebagian personil.
Catatan :
Nasakh itu akdang-kdang berupa pengecuali sebagian dan kadang-kedang seluruhnya, sedangkan
takhsish itu tidak terjadi kecuali hanya pengecualian sebagiannya saja.
3) Nasakh itu menunjukkan bahwa yang dinasakh itu sudah dikehendaki sebelum adanya nasakh.
4) Takhsish itu boleh dengan menggunakan dalil akal dan naqal. Sedangkan nasakh itu tidak
boleh kecuali dengan menggunakan dalil naqal saja.
1. Macam-macam takhshish
a) Defnisinya
Yaitu takhsish yang berdiri sendiri dan bukan merupakan bagian dari kalimat yang mengandung
kata yang umum
b) Bentuk-bentuknya
i) Pembicaraan yang sempurna dengan dirinya sendiri yang disebutkan dengan kata yang umum
itu.
Contohya :
َ ن أَيَّا ٍم ُأ
Dan takhsishnya : خ َر َ ضا أَ ْو َعلَى
ْ س َف ٍر َف ِع َّد ٌة ِم ً ن َكانَ َم ِري
ْ ( َو َمdan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain)(AL baqoroh : 185)
ii) Pembicaraan yang sempurna dengan dirinya sendiri yang terpisah dengan nash yang umum
Contohnya :
م ْي َت ُة ُ ت َعلَ ْيك
َ ُم ا ْل ْ ح ِرّ َم
ُ (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai). (Al Maidah : 3) ini adalah umum
untuk setiap bangkai.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Dia adalah suci airnya dan halal bangkainya”,
yaitu mengkhususkan bangkai ikan laut dari keumuman.
iii) Akal
Akal dapat menjadi dalil takhsish terhadap seluruh nash-nash yang mengandung taklif syari’at
yang hanya boleh dilakukan oleh para ahli ijtihad. Syari’at menegaskan dalil akan ini, seperti
pada firman Allah : صاَل َة ُ ( َوأَنْ أَقِيdan agar kalian mendiirkan shalat). (Al An’am : 72).
َّ موا ال
Perintah yang umu ini dikhususkan anak-anak kecil dan orang-orang yang gila.
a) Definisinya
Yaitu takhsish yang merupakan bagian dari ungkapan nash yang mengandung kata yang umum.
Jadi pembicaran itu tidak sempurna dengan dirinya sendiri.
b) Bentuk-bentuknya
i) Istitsna’ (pengecualian)
v Definisinya
Yaitu ungkapan kata yang merupakan bagian dari kalimat dan kata itu tidak dapat berdiri sendiri
yang dengan kata-kata pengecualian itu menunjukkan bahwa yang ditunjukkan oleh ungkapan
itu tidak dikehendaki. Dan pengecalian (istitsna’) itu disyaratkan harus bersambung dengan
sesuatu yang dikecualikan (mustatsana minhu).
v Contohnya
iii) Syarat
v Definisinya
Yaitu sesuatu yang disyaratkan itu tidak ada tanpa dengannya dan keberadaannya tidak
mengharuskan keberadaan sesuatu yang disyaratkan.
ْ إنsyarthiyah, ن ْ َم, إ َذdan إ َّماberdasarkan firman Allah : م ْ خيَانَ ًة َفا ْنبِذْ إِلَ ْي ِه
ِ ن َق ْو ٍم َّ خا َف
ْ ن ِم َ ََوإِ َّما ت
ين ن
َ ِِ َئ ا خلْ ا ح ي اَل
َُّ ُ ِب ه َّ لال إ ء
ٍ
ََّ َ ِنا وس ىَ لعَ (Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat). (Al Anfal : 58)
v Contohnya
1. Dilalah (penunjukkan) dari kata yang umum, apakah bersifat qoth’i (pasti) atau dzanni
(dugaan) ?
1) Dilalah kata yang umum kepada makna asalnya adalah bersifat qoth’i
2) Dan dilalah kata yang umum kepada masing-masing personilnya adalah bersifat dzanni, yaitu
karena boleh jadi ada suatu dalil yang mengkhususkannya yang tidak kita ketahui. Karena dari
penelitian terhadap nash-nash yang mengandung kata-kata yang umum banyak sekali nash-nash
itu yang dikhususkan.
1. Praktek
1. Kaidah-kaidah
1. Yang diperhatikan adalah keumuman kata, bukan kekhususan sebab. Sesungguhnya turunnay
ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah memiliki
sebab-sebab yang khsusus. Tetapi kata-katanya adalah umum. Maka pada waktu itu wajib
menafsirkan kata-kata itu sesuai dengan keumumannya.
Contohnya :
Air laut yang pertanyaan adalah tentang wudlu. Maka jawabnya adalah : “Dia adalah suci airnya
dan halal bangkainya”. Maka disini tidak dikatakan bahwa air itu hanya boleh digunakan untuk
thaharah dengan wudlu’ saja. Ini selama jawabannya juga tidak bersifat khusus. Karena itulah
Imam Syafi’i berkata : “Sebab itu tidak berbuat apa-apa, tetapi yang dapat berbuat adalah kata-
kata”. Dan contoh yang lainnya adalah ayat tentang li’an yang turun berkenaan dengan satu
sebab yang khusus, yaitu tuduhan Hilal bin Umayyah terhadap istrinya telah berzina. Sedangkan
ayat itu adalah berlaku umum terhadap semua suami istri jika mereka menusuh istrinya telah
berbuat zina.
1. Keumuman dan kehususan itu bertingkat-tingkat. Maka suatu kata itu umum ditinjau dari
tingkat di bawahnya tetapi kata itu lebih khusus dari tingkat di atasnya.
2. Dali yang mengkhususkan itu harus dikaji sebelum mengamalkan dalil yang umum.
Contoh :
Jika ada seorang laki-laki dari ahlul bait yang miskin yang meminta bagian zakat, kemudian
seorang ahli fiqih melihat firman Allah : ينِ ِساك َ ات لِ ْل ُف َق َرا ِء َوا ْل
َ م ُ ص َد َق
َّ ما ال
َ َّ( إِنSesungguhnya zakat-
zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin). At taubah : 60) kemudian dia
berfatwa bahwa lak-laki itu boleh mengambil zakat itu karena keumuman “orang-orang yang
fakir”. Maka fatwa itu adalah salah karena keberadaan hadits yang mengkhususkan, yaitu sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya zakat itu tidak layak bagi keluarga
Muhammad”.[3]
KEDUA : MUSYTARAK
1. DEFINISINYA
Yaitu kata yang dibuat untuk menunjukkan dua buah makna atau lebih dengan berbagai macam
kondisi.
1. CONTOH-CONTOHNYA
1. Yang menunjukkan dua buah makna
Kata ا ْل ُق ْرءdibuat untuk menunjukkan makna suci dan haid yaitu bahwa dari sisi bahasa kata itu
digunakan untuk menunjukkan masa tertentu yang dibiasakan dari dua hal itu.
1. HUKUM MUSYTARAK
Musytarak itu diteliti sehingga ditemukan bahwa musytarak itu terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Musytarak antara makna bahasa dan makna istilah, sehingga yang dijadikan pedoman adalah
makna istilah.
Contohnya adalah : firman Allah : صاَل َة ُ ( َوأَنْ أَقِيdan agar kalian mendiirkan shalat). (Al
َّ موا ال
An’am : 72). Maka yang dimaksud dengan shalat itu adalah shalat menurut istilah syari’at.
1. musyatak bahasa saja. Maka disini harus ditafsirkan kepada satu makna saja.
Maka dengan demikian yang dikehendaki dari musytarak itu hanyalah satu makna saja dan
makna itu diketahui dengan berbagai macam qorinah yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
___________________________________________________________