Anda di halaman 1dari 11

‘Am (‫ )العام‬Dan Khas (‫)اخلاص‬

A. Pengertian ‘Am (‫ )العام‬Dan Lafadz ‘Am (‫)العام‬

Lafadz „Am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai
dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Sumber hukum Islam pun, Al-Qur‟an dan sunnah, dalam banyak hal memakai lafadz
umum yang bersifat universal. Lafadz „am ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna
yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Menurut Imam Asy-Syaukani (W.1250H) dalam kitabnya “Irsyad al-Fuhul”, „Am
adalah:
‫اللّفظ ادلستغرق جلميع ما يصلح لو حبسب وضع واحد دفعة‬
“Lafadz yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak yang tak terbatas yang
dapat meliputi (mengenai) semua yang pantas termasuk dalam arti lafadz itu, sekaligus
tercakup di dalamnya, dengan tak ada yang ketinggalan”.
Sedangkan Syaikh Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:
‫اد َم ْف ُه ْوٍم‬
ِ ‫اق أَفْ ر‬
َ
ِ ‫َّال َعلَى إِ ْستِغْر‬
َ ُ ‫ام ُى َو الَّل ْف‬
ُ ‫ظ الد‬ ُ َ‫اَلْع‬
“‟Am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup
sejumlah objek atau satuan yang banya”.
Sementara itu, Zaki al-Din Sya‟ban mendefinisikan „Am sebagai berikut:
‫ص ٍر ِف َك ِّم يَّ ٍة‬ ِْ َ‫ص ُد ُق َعلَيُ َها َم ْعنَاهُ ِم ْن غ‬
ْ ‫ي َح‬
ِ
ْ َ‫َج يْع ْاْلَفْ َراد الَّ ِت ي‬ َُ َ َ
ِ ‫ضعا و‬
َِ ‫اح ًدا والَّ ِذى ي ْش م ل‬
َ ً ْ ‫ض ْوعُ َو‬ ْ ‫العَامُ ُى َو الَّل ُف‬
ُ ‫ظ ال َْم ْو‬
‫ُمعَيَّ نَ ٍة‬
“„Am ialah suatu lafadz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai
objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Maka yang dimaksud dengan „Am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan
mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “(‫”)الرجال‬, maka lafadz ini meliputi

semua laki-laki. “(‫ ”)اإلنسان‬yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum.
Jadi, semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan
berarti meliputi jenis manusia seluruhnya.

B. Jenis-Jenis ‘Am (‫)العام‬


a) Kullun (‫)كل‬
ّ , jami‟un (‫)َجيع‬, kaffah (‫)كافّة‬, dan ma‟syara (‫)معشر‬.
Contoh kullun:
»‫ص ِاِن فَ َق ْد أ ََب‬ َِّ ‫ول‬َ ‫ ََي َر ُس‬:‫ قَالُوا‬.»‫ إِْلَّ َم ْن أ ََب‬،َ‫« ُكل أ َُّم ِت يَ ْد ُخلُو َن ا ْجلَنَّة‬
َ ‫ َوَم ْن َع‬،َ‫اع ِِن َد َخ َل ا ْجلَنَّة‬
َ َ‫ « َم ْن أَط‬:‫ال‬
َ َ‫اَّلل َوَم ْن ََي َْب ق‬
“Tiap-tiap umatku pasti akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Para shahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Barangsiapa

1
mentaatiku pasti masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku maka dialah orang yang
enggan (tidak mau masuk surga)” (H.R. Bukhari).
ِ ‫س ذَائَِقةُ الْمو‬
‫ت‬ ٍ ‫ُكل نَ ْف‬
َْ
“Tiap-tiap diri merasakan mati” (Q.S. Ali Imran (3): 185).
Contoh jami‟un:
ِ ‫ُى َو الَّ ِذي َخلَ َق لَ ُك ْم َما ِِف ْاْل َْر‬
َِ ‫ض‬
‫َج ًيعا‬
“Dialah (allah) yang menjadikan kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (Q.S. Al-Baqarah
(2) 29).
Contoh kaffah:
‫يا َونَ ِذ ًيرا‬ ِ ِ ‫اك إَِّْل َكافَّةً لِلن‬
ً ‫َّاس بَش‬ َ َ‫َوَما أ َْر َسلْن‬
“Tidak kami utus engkau (hai muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan
peringatan bagi manusia” (Q.S. Saba‟ (34): 28).
Contoh ma‟syara:
‫آَيِِت َويُ ْن ِذ ُرونَ ُك ْم لَِقاءَ يَ ْوِم ُك ْم َى َذا‬ ِ ِ
َ ‫س أَََلْ ََيْت ُك ْم ُر ُس ٌل م ْن ُك ْم يَ ُقصو َن َعلَْي ُك ْم‬ ِْ ‫ش َر ا ْجلِ ِّن َو‬
ِ ْ‫اإلن‬ َ ‫ََي َم ْع‬
”Hai sekalian jin dan manusia! Tidaklah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan
ayat-ku kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini” (Q.S. Al-An‟am (6): 130).
b) Man (‫)من‬, Maa (‫)ما‬, dan Aina (‫ )أين‬pada Majas.
Contoh Man:
‫وءا ُُْي َز بِ ِو‬
ً ‫َم ْن يَ ْع َم ْل ُس‬
“Barangsiapa yang mengerjakan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (Q.S.
An-Nisa‟ (4): 123).
Contoh Maa:
َّ ‫َوَما تُ ْن ِف ُقوا ِم ْن َخ ٍْي يُ َو‬
‫ف إِل َْي ُك ْم َوأَنْ تُ ْم َْل تُظْلَ ُمو َن‬
“Apa-apa yang kamu berikan (belanjakan) berupa kebaikan, maka berfaedah kepada dirimu
sedang kamu tidak akan teraniaya” (Q.S. Al-Baqarah (2): 272).
Contoh Aina:
ٍ‫شيَّ َدة‬ ٍ ‫ت َول َْو ُك ْن تُ ْم ِِف بُ ُر‬
َ ‫وج ُم‬ ُ ‫أَيْ نَ َما تَ ُكونُوا يُ ْد ِرْك ُك ُم ال َْم ْو‬
“di mana juapun tempat tinggalmu, niscaya mati itu akan menimpa dirimu jua, sekalipun
kamu tinggal dalam benteng yang kuat” (Q.S. An-Nisa‟ (4) 78).
c) Man (‫)من‬, Maa (‫)ما‬, Aina (‫)أين‬, dan Mata (‫ )مت‬untuk Istifham (pertanyaan).
Contoh Man:
ِ
‫سنًا‬
َ ‫ضا َح‬ َّ ‫ض‬
ً ‫اَّللَ قَ ْر‬ ُ ‫َم ْن ذَا الَّذي يُ ْق ِر‬
“Siapa yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik” (Q.S. Al-Baqarah (2):
245).
Contoh Maa:
‫َما َسلَ َك ُك ْم ِِف َس َق َر‬
“Apa sebabnya kamu masuk neraka?” (Q.S. Al-Mudatsir (74): 42).

2
Contoh Aina:
‫أَيْ َن تَ ْس ُك ُن؟‬
“Di mana kamu tinggal?”
Contoh Mata:
ِ ‫مت نَصر‬
‫هللا؟‬ ُْ َ َ
“Kapan akan datang pertolongan Allah?”

d) Ayyu (‫)أي‬.
Contoh:

“Siapa saja di antara perempuan yang kawin tanpa seizin walinya, maka perkawinannya batal
(tidak sah)” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
e) Nakirah sesudah nafi (‫)نكرة بعد النفي‬.
Contoh:
ِ
‫ص ُرو َن‬ َ ‫س َش ْي ئًا َوَْل يُ ْقبَ ُل م ْن َها َع ْد ٌل َوَْل تَ ْن َف ُع َها َش َف‬
َ ‫اعةٌ َوَْل ُى ْم يُ ْن‬ ٌ ‫َواتَّ ُقوا يَ ْوًما َْل َذبْ ِزي نَ ْف‬
ٍ ‫س َع ْن نَ ْف‬
“Takutlah kamu akan hari kiamat, hari yang tidak dapat menggantikan suatu diri terhadap
lainnya sedikit juapun, dan tidak diterima daripadanya tebusan dan tidak berguna
pertolongan, sedang mereka tidak pula mendapat pertolongan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 123).
f) Isim Maushul (‫)اسم موصول‬.
Contoh:
‫ادةً أَبَ ًدا‬
َ ‫ني َج ْل َدةً َوَْل تَ ْقبَ لُوا َذلُ ْم َش َه‬ِ ُ ‫ات ُُثَّ ََل َيْتُوا ِِبَرب ع ِة ُشه َداء فَاجلِ ُد‬
ِ َ‫والَّ ِذين ي رمو َن الْمحصن‬
َ ‫وى ْم َثََان‬ ْ َ َ َ َْ َْ َ ُْ ُ َْ َ َ
“Orang-orang yang menuduh perempuan baik berbuat zina, kemudian mereka tidak
mendatangkan empatorang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan jangan kamu
ambil kesaksian mereka selama-lamanya” (QS. An-Nur (24): 4).
g) Idhafah (‫)إضافة‬.
Contoh:
‫وىا‬ َِّ ‫ت‬ َ ‫َوإِ ْن تَعُدوا نِ ْع َم‬
َ ‫ص‬ُ ْ‫اَّلل َْل ُرب‬
“Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah tidak akan terhitung” (Q.S. Ibrahim (14): 34).
h) Alif lam harfiah (‫)ال حرفية‬.
Contoh:
‫ني‬ ِِ ِ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫اَّللَ ُُيب ال ُْم ْقسط‬
“Bahwa sesungguhnya Allah suka kepada orang yang adil” (Q.S. Al-Maidah (5): 42).
‫ني‬ِِ ِ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫اَّللَ ُُيب ال ُْم ْحسن‬
“Allah kasih kepada orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al-Baqarah (2): 195).

3
C. Macam-Macam Lafadz ‘Am (‫ )العام‬Beserta Contoh-Contohnya

Lafadz umum, seperti dijelaskan Mustafa Sa‟id al-Khin, dibagi kepada tiga macam:
a) Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan) atau „Am yang
secara pasti bermaksud keumuman disebut dengan ‘Am Yuradu Bihi Al-‘Am.
Misalnya, ayat 6 Surat Hud:
َِّ ‫ض إَِّْل علَى‬
ٍ َ‫اَّلل ِرْزقُ َها َويَ ْعلَم ُم ْستَ َق َّرَىا َوُم ْستَ ْو َد َع َها ُكلٌّ ِِف كِت‬ ِ
ٍ ِ‫اب ُمب‬
‫ني‬ ُ َ ِ ‫َوَما م ْن َدابٍَّة ِِف ْاْل َْر‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapat penyimpanannya.
Semua tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)” (Q.S. Hud (11): 6).
Yang dimaksud binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh
jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi
adalah Allah yang memberi rezekinya.
b) Lafadz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang
menunjukan makna seperti itu atau „Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai
kekhususan disebut dengan ‘Am Yuradu Bihi Al-Khusus.
Contoh:
َِّ ‫ول‬
‫اَّلل َوَْل يَ ْرغَبُوا ِِبَنْ ُف ِس ِه ْم َع ْن نَ ْف ِس ِو‬ ِ ‫َما َكا َن ِْل َْى ِل ال َْم ِدينَ ِة َوَم ْن َح ْوَذلُ ْم ِم َن ْاْلَ ْعر‬
ِ ‫اب أَ ْن يَتَ َخلَّ ُفوا َع ْن ر ُس‬
َ َ
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang berdiam
disekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul” (Q.S. At-Taubah (9):
120).
Ayat tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-
orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut
menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah
makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
c) Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud
bahwa makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya atau „Am yang
dikhususkan, yaitu al-„am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan
kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di
dalamnya terdapat lafadz-lafadz „am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan
yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya
menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya disebut dengan ‘Am
Makhshush.
Contoh:
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات ي ت ربَّصن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن ثَََلثَةَ قُر‬
‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
“Dan wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru” (Q.S.
Al-Baqarah (2): 228).
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang di talak),
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya itu
atau sebagian cakupannya.

4
Takhsis adalah penjelasan bahwa yang di maksud dengan suatu lafal umum adalah
sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian
dari satuan-satuan yang di cakup oleh lafal umum dengan dalil.
Di antara dalil-dalil pentakhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-Qur‟an, takhsis dengan
sunnah, dan takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis, ke umumannya menjadi
khusus (makna sebagian). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat Al-Quran, dan
hadist mutawatir (hadits yang di riwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin
berbohong), dapat men takhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur‟an.

D. Pengertian Al-Taghlib (‫ )التغليب‬Serta Cakupannya

Lafadz umum („am) mencakup seluruh bagian yang termasuk dibawah jenisnya.
Meskipun demikian, orang Arab dalam kondisi tertentu terkadang menggunakan lafadz
umum agar mencakup bagian-bagian yang lainnya karena adanya hubungan diantara
keduanya dalam bahasa mereka. Ini disebut dengan al-taghlib.
Cakupan Taghlib Memenangkan lafadz muzakkar agar mencakup muannats, yakni
mengunggulkan lafadz (‫ )الرجال‬agar didalamnya mencakup (‫)النساء‬, jika keduanya diseru,

maka dipakai lafadz muzakkar, seperti lafadz (‫ )أوىل اْللباب‬dalam QS. Ali-Imran: 190 yang

juga bermakna (‫)أوْلت اْلابب‬. Lafadz (‫ )آمنوا‬juga begitu. Pengecualian: Apabila suatu seruan
terhadap suatu perbuatan ditujukan khusus bagi laki-laki dengan disertai qarinah (indikator),
maka saat itu tidak terjadi taghlib, seperti pada ayat ‫َييها الذين ءامنوا إذا نودي للصَلة من يوم اجلمعة‬.

Taghlib mencakup seruan bagi orang yang berakal terhadap yang tidak berakal, seperti ‫وربك‬

‫ أعلم دبن ِف السموات واْلرض‬kata (‫)م ْن‬


َ mencakup yang berakal ataupun tidak. Taghlib sifat yang
berakal, seperti ‫ والشمس والقمر رأيتُهم يل ساجدين‬menggunakan kata (‫( )رأيتهم‬seruan bagi yang

berakal) sebagai ganti (‫ )رأيتها‬yang mensifati bulan dan matahari dengan sifat dimiliki yang

berakal karena ada kata ‫ساجدين‬.

E. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan ‘Am (‫)العام‬


1) ‫إذا ورد العام على سبب خاص فالعربة بعموم اللفظ ْل خبصوص السبب‬
“Bila „Am datang karena sebab khas, maka yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan
khususnya sebab”.
Hal tersebut karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah hanya dengan lafal
yang datang dari syar‟i, padahal lafal ini umum. Jika menjumpai suatu hadits Nabi SAW
yang merupakan jawaban atas suatu pernyataan tiba-tiba kita lihat bahwa jawaban itu
menggunakan perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum maka kita tidak usah
mengembalikan pada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini, kita mengambil
kesimpulan hukum dari hadits tersebut.

5
Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW:
‫ضأ دباء البحر؟ فقال صلى هللا عليو‬
ّ ‫ضأان بو عطسنا أ فتو‬
ّ ‫َي رسول هللا إان نركب البحر وحنمل معنا القليل من ادلاء فإن تو‬
)‫احلل ميتتو (رواه الرتمذي‬
ّ ‫ ىو الطهور ماؤه‬:‫وسلم‬
“Hai Rasulullah! Bahwasannya kita ini sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya
membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu dengan air ini, tentu kita aka kehausan,
apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi SAW bersabda, laut itu airnya suci
dan binatangnya halal (dimakan)” (H.R. Tirmidzi).
Jawaban itu seolah-olah diberika karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada
keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun,
sesuai dengan kaidah diatas, maka pengertian jawaban Nabi SAW itu menunjukkan yang
„Am. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena
ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.
2) ‫اخلطاب اخلاص بواحد من اْلمة يفيد العموم حت يدل الدليل على اخلصوص‬
“Khitab khas kepada seseorang dari seluruh umat menunjukkan faedah umum, kecuali ada
dalil menunjukkan khas untuk orang itu saja”.
Kita sering menjumpai khitab yang ditujukan untuk seseorang saja yang berhubungan
dengan suatu kejadian yang dialami oleh orang itu. Dalam hal ini, jika tidak dijumpai adanya
dalil yang menentukan bahwa khitab itu hanya khusus untuk orang yang menerimanya saja,
maka khitab tersebut berlaku untuk umum, sebagaimana Nabi SAW bersabda:
)‫إ ّّنا قويل إلمرأة واحدة كقوىل دلائة امرأة (رواه الرتمذي‬
“Sesungguhnya perkataan yang tertuju kepada seorang wanita, sama seperti perkataanku
terhadap seratus wanita” (H.R. Tirmidzi).
Contohnya sabda Nabi SAW :
)‫قد أنكحتكها دبا معك من القرآن (رواه البخارى ومسلم‬
“Aku telah menikahkan kamu kepadanya (wanita itu) dengan mahar Al-Qur‟an, artinya
dengan mahar mengajar” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Meskipun khitab ini ditujukan kepada seseorang yang sedang melakukan pernikahan
pada masa Nabi SAW. Tetapi khitab ini berlaku pula untuk umum, karena tidak ada dalil
yang mengkhususkan untuk orang itu saja. Dengan demikian, memberi mahar dengan
mangajar Al-Qur‟an, dianggap cukup memenuhi pembayaran mahar yang merupakan
kewajiban bagi orang yang melakukan akad pernikahan.
Lain pula khitab yang ditujukan kepada seseorang, kemudian terdapat dalil
yang menentukan bahwa khitab itu khusus untuk orang yang dituju, misalnya sabda Nabi
SAW yang ditujukan kepada Abu Burdah,tentang kurban dengan anak kambing yang belum
cukup umurnya.
)‫ذبزئك وْل ذبزئ أحدا بعدك (رواه البخارى ومسلم‬
“Kurban itu cukup bagimu, akan tetapi belum dianggap cukup bagi orang lain sesudah
kamu” (H.R Bukhari dan Muslim).
Khitab semacam itu, tidak berlaku untuk orang lain, karena ada dalil yang
mengkhususkan, artinya tidak berlaku terhadap umum.

6
3) ‫ذكر بعض أفراد العام حبكمو ْل خيصصو‬
“Menyebut sebagian satuan lafal „am, tidak berarti mentakhsiskan”.
Kita sering menjumpai dua macam khitab yang menetapkan hukum tentang satu hal.
Khitab pertama menunjukkan umum, sedangkan khitab kedua menunjukkan khusus, yang
isinya merupakan sebagian dari satuan lafal yang menunjukkan umum (khitab pertama).
Apabila khitab kedua mengandung hukum yang sama dengan hukum yang terdapat pada
khitab yang pertama maka khitab kedua itu tidak berarti mentakhsis khitab pertama, yakni
keumuman khitab yang pertama itu tetap berlaku, misalnya:
Sabda Nabi SAW :
)‫أّّيا إىاب دبغ فقد طهر (رواه مسلم‬
“Kulit (bangkai) apa saja yang sudah disamak tentu suci” (H.R Muslim).
Di lain kesempatan Nabi SAW bersabda lagi tentang kulit kambing Maimunah:
)‫دابغها طهورىا (رواه إبن حبان‬
“Disamaknya (kulit kambing Maimunah) adalah menjadikannya suci” (H.R. Ibnu Hibban).
Hadits pertama menyatakan bahwa semua kulit hewan bisa suci apabila disamak,
sedangkan hadits kedua ditujukan pada kulit kambing kepunyaan Maimunah, artinya
menyatakan pengertian khusus, yakni hanya tertuju kepada kulit kambing. Sejalan dengan
kaidah diatas, maka hadits kedua itu tidak berarti menakhsis umumnya hadits pertama.
4) ‫العام بعد التخصيص حجة ِف الباقي‬
“Lafal „am sesudah ditakhsis tetap menjadi hujjah bagi satuan-satuan yang masih tertinggal”.
Dalil „am sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan lain, misalnya Firman Allah
Surat Al-A‟raf (7) ayat 32:

       


“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-
Nya untuk hamba-hamba-Nya?”” (Q.S. Al-A‟raf (7): 32).
Ayat ini menyatakan bahwa semua perhiasan dibolehkan, kemudian ditakhsisnya
cincin emas bagi orang laki-laki dengan hadits Nabi:
‫ يعمد أحدكم إىل مخرة من انر فيجعلها ف يده (رواه‬:‫أ ّن النيب ملسو هيلع هللا ىلص رأى خامتا من ذىب ف يد رجل فنزعو وطرحو وقال‬
)‫مسلم‬
“Bahwasannya Nabi SAW melihat cincin emas ditangan seoarang laki-laki, kemudian beliau
mencabut dan diletakkannya, seraya bersabda, „Dengan sengaja salah seorang diantara kamu
mengambil bara api neraka, maka jadikanlah ia ditangannya” (H.R. Muslim).
5) ‫العمل ابلعام قبل البحث عن ادلخصص ْل ُيوز‬
“Mengamalkan dalil „am sebelum menyelidiki yang mentakhsis tidak diperbolehkan”.
Bolehkah kita mengamalkan dalil „am tanpa mencari dan menyelidiki dalil-dalil yang
menakhsisnya?
Menurut kaidah tersebut diatas, kita tidak boleh mengamalkan dail-dalil „am tanpa
menyelidiki terlebih dahulu dalil yang menkhsiskannya. Kita ketahui bahwa dalil-dalil
syariah itu terdiri atas ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits yang letaknya tidak selalu

7
beriringan antara satu sama lain yang memberikan pengertian umum dan yang khusus, karena
itu perlu adanya usaha untuk mencari dan membandingkan semua dalil syara‟, terutama
tentang dalil yang memberikan pengertian umum itu ditakhsis atau tidak.

F. Pengertian Khas (‫ )اخلاص‬Dan Lafadz Khas (‫)اخلاص‬

Lafadz khusus adalah lafadz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan tertentu;
berupa orang, seperti muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan yang
bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum, golongan, jama‟ah,
kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan
kepada seluruh satuannya.
Syeikh Abdul Wahab Khallaf menyebutkan:
ِ ‫ضع لِل ِّد ْلََلَةِ علَى فَ ر ٍد و‬
‫اح ٍد‬ ِ ٌ ‫اخلَاص ُىو لَ ْف‬
َ ْ َ َ ‫ظ ُو‬ َ
“Khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada suatu satuan
objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi Khas sebagai berikut:
ِ ‫ص ا ْجلِْن‬ ٍ ٍِ ِ ِ ٍ
‫َّو ٍع أ َْو‬
ْ ‫ص الن‬
َ ‫ص ْو‬
ُ ‫س أ َْو ُخ‬ ُ ‫اص فَ ُك ل لَ ْف ظ ُوض َع ل َم ْع ًن َواحد َم ْعلُ ْوم َعلَى ْاْلَفْ َراد َو ُى َو إِ َّم ا أَ ْن يَ ُك ْو َن ُخ‬
َ ‫ص ْو‬ ُ َ‫اخل‬
ِ ْ ‫ص ال َْع‬
‫ني‬ َ ‫ص ْو‬
ُ ‫ُخ‬
“Khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian tertentu atau
khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan macamnya maupun segi
subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”.
Sementara imam Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Fuhul, menjelaskan bahwa
yang disebut dengan khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada satu sebutan saja.
Hukum lafadz umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara‟ yang
menunjukan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki
dan hukum itu ditetapkan karena petunjuknya secara pasti bukan dugaan.
Lafadz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Menurut definisi terakhir ini, lafadz khas itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan
secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau
lafadz lain dalam bentuk satuannya (yang masuk dalam pengertian „am).
Khushush adalah keadaan lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas
baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dan
khushush, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas
adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz.
Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa,
bukan berdasarkan kemauan.
Jadi setiap lafadz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafadz khas. Dan menurut
kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafadz yang khas menunjukkan pengertian yang qath‟i
(pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
Contoh lafadz khas seperti dalam surat Al-Maidah (5) ayat 89:
‫ني ِم ْن أ َْو َس ِط َما تُط ِْع ُمو َن أ َْىلِي ُك ْم أ َْو كِ ْس َوتُ ُه ْم‬ِ ‫شرةِ م‬
َ ‫ساك‬ ُ ‫فَ َك َّف َارتُوُ إِط َْع‬
َ َ َ َ ‫ام َع‬

8
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka” (QS. Al-Maidah (5): 89).
Kata „asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak
lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan
pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam Al-Qur‟an, selama tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora).

G. Bentuk-Bentuk Lafadz Khas (‫)اخلاص‬


a) Isim ‟Alam (‫)اسم عاَل‬, baik manusia seperti: (‫)دمحم‬, (‫ ;)نوح‬atau nama bagi benda apa saja

seperti: (‫)تفاحة‬, (‫)مشمش‬.

b) Isim yang dima‟rifatkan dengan al lil „ahdi (‫)ال للعهد‬, seperti perkataan: (‫)جاء الرجل‬
(seorang lelaki tertentu).
c) Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti perkataan: (‫ )ذلك القادم‬dan (‫)ىذا اجلالس‬.

d) Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari dua, seperti: (‫ )ثَلث‬atau (‫)مخس‬.

H. Macam-Macam Lafadz Khas (‫)اخلاص‬


a) Lafadz khas berbentuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat.
Contoh surat Al-Mujadilah (58) ayat 3:
ِ َّ ‫وعظُو َن بِ ِو َو‬ ِ َّ ‫اىرو َن ِمن نِسائِ ِهم ُُثَّ ي عودو َن لِما قَالُوا فَ تح ِرير رقَ ب ٍة ِمن قَ ب ِل أَ ْن ي تم‬
ِ ِ َّ
ٌ‫اَّللُ ِدبَا تَ ْع َملُو َن َخبي‬ َ ُ‫اسا َذل ُك ْم ت‬ َ ََ ْ ْ ََ ُ َْ َ ُ َُ ْ َ ْ ُ َ‫ين يُظ‬
َ ‫َوالذ‬
“Orang-orang yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Mujadilah (58): 3).
b) Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid).
Contoh surat An-Nisa‟ (4) ayat 42:
‫َوَم ْن قَ تَ َل ُم ْؤِمنًا َخطَأً فَ تَ ْح ِر ُير َرقَبَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة‬
“Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan
seotang hamba sahaya yang beriman” (Q.S. An-Nisa‟/4: 92).
c) Lafadz khas berbentuk amr.
Contoh surat An-Nisa‟ (4) ayat 58:
‫ت إِ َىل أ َْىلِ َها‬
ِ ‫اَّلل َيْمرُكم أَ ْن تُ َؤدوا ْاْلَم َاان‬
َ ْ ُ ُ َ ََّ ‫إِ َّن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerinanya” (QS. An-Nisa‟ (4): 58).
d) Lafadz khas yang berbentuk larangan (nahi).
Contoh surat An-Nahl (16) ayat 90:
‫ش ِاء َوال ُْم ْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم ل ََعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬
َ ‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَب َويَ ْن َهى َع ِن الْ َف ْح‬
ِ ‫اإلحس‬ ِ ِ َّ ‫إِ َّن‬
َ ْ ِْ ‫اَّللَ ََي ُْم ُر ابل َْع ْدل َو‬

9
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada
kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia
member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Q.S. An-Nahl (16):
90).

I. Macam-Macam Mukhassis (‫ )ادلخصص‬Beserta Contoh-Contohnya

Ketika membicarakan lafadz „am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari takhshish.
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian
lafadz „am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan
yang dicakup oleh lafadz „am dengan dalil.
Jadi Takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal umum
adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau memalingkan suatu kata dari
umum menjadi khusus.
Sedangkan Mukhasis adalah suatu dalil yang menjadi dasar adanya pengkhususan
lafal.
Mukhasis (Dalil-dalil Pengkhususan) terbagi dua:
1) Dalil pengkhususan yang menyatu atau MUTTASHIL (BERSAMBUNG) atau
Adillah At-Takhsis Al-Muttashilah. Yakni mukhashshishnya ada dalam susunan yang
menjadi satu dengan yang umumnya, Lafal yang tidak berdiri sendiri, maknanya
bersangkutan dengan lafal sebelumnya. Khas Muttashil bermacam-macam:
a) Istisna‟: ‫ ْل يكون‬،‫ ليس‬،‫ عدى‬،‫ حاشا‬،‫ سوى‬،‫ غي‬،‫إْل‬
Contoh surat Asy-Syu‟ara (26) ayat 170-171:
ِ ً ‫ٔ) إَِّْل َع ُج‬7ٓ( ‫ني‬ ِ ْ ‫فَ نَ َّجي نَاهُ وأ َْىلَوُ أ‬
َ ‫وزا ِِف الْغَاب ِر‬
)ٔ7ٔ( ‫ين‬ َ ‫ََجَع‬ َ ْ
b) Syarat: ‫ إذما‬،‫ أينما‬،‫ حيثما‬،‫ َمن‬،‫ إذا‬،‫إن‬
Contoh surat An-Nisa‟ (4) ayat 12:
‫اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن َذلُ َّن َولَ ٌد‬
ُ ‫ف َما تَ َر َك أَ ْزَو‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ُ ‫ص‬
c) Sifat. Seperti kalimat ‫ من فتياتكم ادلؤمنات‬yang membolehkan seorang laki-laki
menikahi budak miliknya yang beriman, jika tidak beriman maka tiak boleh
dinikahi.
d) Ghayah, yaitu kata (‫ )حت‬dan (‫)إىل‬. Hukum yang setelahnya harus berbeda dari

hukum yang sebelumnya, seperti: ‫ْم َرافِ ِق‬ ِ


َ ‫وى ُك ْم َوأَيْديَ ُك ْم إِ َىل ال‬
ِ
َ ‫فَا ْغسلُوا ُو ُج‬.
e) Badalul Ba‟dhi Min Al-Kulli (pengganti sebagian dari keseluruhan). Seperti
ungkapan: datang kepadaku suatu kaum, yakni pemimpinnya.
f) Hal (keadaan). Atau Takhshish dengan perkataan yang bersambung dan mandiri.
َ ‫ضا أ َْو َعلَى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِم ْن أ َََّيٍم أ‬
Seperti: ‫ُخ َر‬ ً ‫ص ْموُ َوَم ْن َكا َن َم ِري‬ َّ ‫فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم‬
ُ َ‫الش ْه َر فَ لْي‬
Ayat bersifat umum tentang kewajiban puasa bagi orang yang melihat bulan,
tetapi bentuk perkataannya yang bersambung dan mandiri setelahnya
mengecualikan orang yang sakit dan orang yang bepergian.

10
2) Dalil pengkhususan yang terpisah atau MUNFASHIL (TERPISAH) atau Adillah At-
Takhsis Al-Munfashilah. Yakni mukhashishnya terdapat pada tempat lain, tidak
bersama dengan lafaz yang umum, lafal yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang
memberi pengertian umum. Khash munfashil bermacam-macam:
a) Takhshish Qur‟an dengan Qur‟an. Seperti Q.S. Al-Thalaq (65) ayat 4 yang
mentakhshish Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 228.
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات ي ت ربَّصن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن ثَََلثَةَ قُر‬
‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
‫ض ْع َن َْحْلَ ُه َّن‬
َ َ‫َجلُ ُه َّن أَ ْن ي‬ ِ َ‫َْح‬
َ ‫ال أ‬ ْ ‫ت ْاْل‬
ُ ‫ُوْل‬
َ ‫َوأ‬
b) Takhshish Al-Qur‟an bi al-Sunnah.
Seperti Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38 ditakhshish nisab pencuri.
‫السا ِرقَةُ فَاقْطَ ُعوا أَيْ ِديَ ُه َما‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
‫ْل قطع إْل ِف ربع دينار‬
Seperti Q.S. An-Nisa‟ (4) ayat 11 ditakhshish dengan anak Islam atau Kafir.
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْ ُل َح‬
ِ ْ َ‫ظ ْاْلُنْ ثَي‬
‫ني‬ َّ ِ‫اَّللُ ِِف أ َْوَْل ِد ُك ْم ل‬ ِ ‫ي‬
َّ ‫وصي ُك ُم‬ُ
‫ْل يرث ادلسلم الكافر وْل يرث الكافر ادلسلم‬
c) Takhshish al-Sunnah bi al-Kitab Contoh, pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul
bersabda: ‫( أن ْل َيتيك أحد وإن كان على دينك إْل رددتُو‬Dengan syarat jika datang
kepadamu salah seorang dari kami meskipun menganut agamamu maka engkau
harus mengembalikannya). Pernyataan ‫ أحد‬ini mencakup setiap laki-laki dan
wanita. Kemudian Q.S. Al-Mumtahanah (60): 10, yang mentakhshish, sehingga
khusus bagi laki-laki saja.
d) Takhshish al-Sunnah bi al-Sunnah.
Seperti kalimat dalam hadits: ‫( ْل زكاة فيما دون مخسة أوسق‬Tidak wajib zakat pada hasil

panen yang dibawah 5 wasaq) yang mentakhshish hadits: ‫فيما سقت السماء العشر‬
(Pada tumbuhan yang disirami hujan maka wajib dikeluarkan zakat
sepersepuluhnya).
e) Takhshish bi al-Qiyas. Mentakhshish Nash yang umum dengan Qiyas. Ayat ini
(Q.S. An-Nur (24): 2) umum merdeka dan budak, kemudian ada ayat hukuman
untuk budak wanita, lalu budak laki-laki diqiyaskan Ayat (Q.S. An-Nisa‟ (4): 25)
ini khusus budak perempuan.
ٍ‫اح ٍد ِم ْن هما ِمائَةَ جلْ َدة‬
ِ ‫الز ِاِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
َّ
َ َُ َ ْ
ِ ‫ات ِم َن ال َْع َذ‬
‫اب‬ ِ َ‫ف ما َعلَى الْمحصن‬
َ ُْ َ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫شة فَ َعلَْي ِه َّن ن‬
ِ ‫فَِإ ْن أَتَني بَِف‬
ٍ َ ‫اح‬
َْ
f) Takhshish Qur‟an dengan Ijma‟. Seperti Ijma‟ mentakhshish ayat tentang
kewajiban shalat jum‟at untuk siapapun dengan mengecualikan perempuan dan
budak.

11

Anda mungkin juga menyukai