Anda di halaman 1dari 17

Perkembangan Ekonomi Islam di Dunia dan Indonesia

Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif
suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan
ekonominya. Ukuran derajat keberhasilanmenjadi sangat materialistk. Oleh karena itu, ilmu
ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun demikian, pakar ilmu
ekonomi sekaliber Masrhal menyatakan bahwa kehdiupan dunia ini dikendalikan oleh dua
kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya saja kekuatan ekonomi lebih kuat
pengaruhnya daripada agama.
Sementara itu perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai
ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan
positif di tingkat global. Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik
dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, dan secara
praktik operasional.
Sistem Keuangan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi
Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai
kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem
keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam dalah terbebas dari
unsur riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem
riba adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan mudharabah (bagi hasil).
Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah belakangan ini mengalami
kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah,
pasar modalsyariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat
Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level
Marketing Syariah, dsb.
Dalam bentuk praktiknya, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk kelembagaan
seperti perbankan, BPRS, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah,
dengan instrumen obligasi dan Reksadana Syariah, Dana Pensiun Syariah, Lembaga
Keuangan Mikro Syariah, maupun lembaga keuangan publik Islam seperti lembaga
pengelola zakat dan lembaga pengelola wakaf.
Perkembangan aplikasi Ekonomi Islam di Indonesia sendiri dimulai sejak didirikannya
Bank Muamalat Indonesia tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998.Selanjutnya
berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap
kemajuan aplikasi ekonomi Islam di Indonesia.
Melihat pesatnya perkembangan ini, maka hal ini harus disikapi dengan cermat dan
teliti agar perkembangan ini tidak berakhir dengan stagnan, tentunya pengembangan
kualitas sumber daya insani merupakan salah satu indikator penting dalam pertumbuhan
ekonomi islam.
A. Pengertian Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang
tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun
demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari
hapusnya institusi Khilafah tahun 1924.
Praktek perbankan sendri, di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah
ada lembag-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:
1. Menerima simpanan uang;
2. Meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah,
musyarakah, muzaraah dan musaqah;
3. Memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah tehnis
perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang daam bahasa Arab harfiah berarti pasar
bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan
menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah
dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman
itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-
fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi
saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu
individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan
kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi
mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian
khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-
Muqtadir (908-932). Sementara itu, saq (cek) digunakan secara luas sebagai media
pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang
pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo
(Spanyol).
Melihat pentingnya institusi perbankan maka berdirilah gerakan lembaga keuangan
islam modern pertama kali yang muncul di Mesir, karena adanya kekhawatiran rezim yang
berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha
ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit
sharing(pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung
hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir.
Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar
berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan Masih di Negara yang sama, pada tahun
1971,Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas
bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun
syariat islam. Melihat hal ini dicetuskanlah ide tentang konsep ekonomi Islam di dunia
Internasional yang mulai muncul tahun 70-an. Upaya ini adalah sebagai implementasi
sidang-sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi-
Pakistan, Desember tahun 1970. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk
mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi
Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[4]
Kemunculan ilmu ekonomi islam modern di panggung internasional, dimulai pada
tahun 1970-an yang ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer,
seperti Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Shiddiqy, Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M.
Umer Chapra, dll.
Sejalan dengan ini mulai terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) yang
kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam
organisasi konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar
pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-
negara anggotanya. IDB menyediakan jasa pinjaman berbasis fee dan profit sharing untuk
negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian
muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic
Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank
(1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit
presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang
bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Reaksi Barat yang berlebihan terhadap keunggulan sistem ekonomi kapitalis, pasca
runtuhnya sistem ekonomi sosialis tahun 1980-an juga mendorong semakin menguatnya
kecenderungan yang menempatkan sistem ekonomi Islam sebagai alternatif di luar ekonomi
kapitalis.
Sebagai akibatnya, institusi-institusi ekonomi Islam banyak bermunculan, sejak
dibentuknya Islamic Development Bank tahun 1975 di Jeddah. Hal ini tidak saja terjadi di
kawasan Timur Tengah, tetapi juga di luar kawasan tersebut.
Hal ini semakin diperkuat dengan publikasi artikel yang dimuat oleh zonaekis.com ,
menyatakan fakta bahwa:
Pada saat krisis ekonomi menghantam dunia dua tahun lalu, perbankan Islam menjadi
juru selamat. Sistem ini menjadi area pertumbuhan utama untuk pembiayaan internasional.
Memang asetnya hanya mewakili sekitar 2 persen sampai 3 persen dari aset keuangan
global, atau hampir 1 triliun dolar AS, tetapi tumbuh rata-rata 25 persen setiap tahun. Kini
banyak negara berlomba untuk menjadi pusat global bisnis keuangan syariah. London jauh
di depan dibanding New York: menjadi mercu suar ekonomi syariah di Eropa.[5]
Sistem ekonomi Islam menjadi alternatif pilihan karena karena sistem ekonomi Islam
berbeda dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Tujuan ekonomi Islam bukan semata-
mata pada materi saja, tetapi mencakup berbagai aspek sepert: kesejahteraan, kehidupan
yang lebih baik, memberikan nilai yang sangat tinggi bagi persaudaraan dan keadilan sosial
ekonomi, dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik dalam kebutuhan materi
maupun rohani bagi seluruh ummat manusia. Dengan kata lain, di dalam ekonomi Islam
terjadi penyuntikan dimensi iman pada setiap keputusan manusia.
Bahkan saat ini, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau
Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-
Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya
membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi
sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun
demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang
sistem keuangan dan perbankan Islam.
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama
dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai
petunjuk AlQuran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan
keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan
embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina.
Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia
Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak
dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di
kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara
petro dolar yang menimbulkan pemikiran untuk memutarkan uang mereka melalui
lembaga keuangan syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi
syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-
faktor lain yang mendahuluinya, yaitu:
Pertama, telah terumuskanya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an
Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan
Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur;
Ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka,
pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM

Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi


Islam rahmatan lil alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal,
tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada
produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu
dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati
pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah
lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan,
kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.

Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya
operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan.
Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam
itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban
visi tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan
sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka,
berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam
tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi,
sebagaimana dinyatakan Masrhal, dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan
dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah
ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan
bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan
kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar
dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi
antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang
pecah (split personality).

Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Quran: Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.

Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan,
proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses
mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat
ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.

C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI ISLAM


Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang
ekonomi dalam al-Quran, seperti:
- QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba;
- QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi;
- QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad;
- QS. Al-Araf ayat 31, An-Nisa ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian,
penitipan dan membelanjakan harta.
Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok
ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis
oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan
perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam.
Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud
komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil alamin. Perkembangan Pemikiran
Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.
- Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW.
- Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin.
- Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu
Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M),
SyafiI (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin
Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al
Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam
(874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri
(859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina
(1037).
- Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode
ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M),
Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al
kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi
(1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul
rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M),
Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M),
Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
- Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762
M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M),
Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym
(1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
- Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M Sekarang). Muhammad Abdul
Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider
Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr,
Umer Chapra.

Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut :
1. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M),
adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari harga tunai.

2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M),


Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia
juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang
dikenal dewasa ini dengan bay al-salm dan ah%al-murbah.

3. Al-Awzai (88-157H./707-774M.).
Nama lengkapnya Abdurahman al-Awzai yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup
sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah.
Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzaraah sebagai
bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam
bentuk tunai atau sejenis.

4. Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.).


Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha, dan Imam
Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi,
seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai
kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan
oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam
yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan
bersama.
5. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.).
Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan
jabatanya (akm%al-Qadli H) Abu Yusuf Yaqub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas
keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan
perkembangan pertanian.Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni
Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu Ubayd yang datang kemudian.
Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari
penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan
bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-
kharaj, al-usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah). Sedangkan pemikiran
kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tasir,
yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara
lebih rinci dengan menyatakan bahwa tasir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan
tasir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah
wajib melakukanya.

6. Al-Farabi (260-339 H/870-950 M).


Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu
1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar;
2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif;
3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan;
4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan;
5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan;
6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis;
7) Madinatu al-Jamaiyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; Madinatu al
fadhilah, Negara utama.

7. Abu Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M).


Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu Ubayd, al-Amwal, diawali dengan
enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ala` al-raiyyah, wa haqq al-
raiyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas
pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu
ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-
Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan
mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat;
disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah penggembala yang
bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin
adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami
bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah
penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang
pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.

8. Ibnu Sina (270-428 H/980-1037).


Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:
a. Manusia adalah makhluk berekonomi;
b. Ekonomi membutukan negara;
c. Perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi
masyarakat, dan ekonomi negara;
d. Ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan
kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan
kestabilan ekonomi harus dijaga;
e. Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja;
f. Wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah;
g. Pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
h. Pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan
sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara)
yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas;
i. Setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya
pada saat kesukaran atau saat diperlukan.

9. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111).


Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini
melihat bahwa:
a) Perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu
materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b) Perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;
c) Uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;
d) Perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di
antara manusia;
e) Perlu adanya pemerintah;
f) Mata uang negara Islam;
g) Perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba;
h) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.

10. Al-Mawardi (w. 450 H.).


Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah adalah pakar dari kubu Syafiiyyah yang
menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara
urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-
umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam
karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara
yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah)
rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual
(privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja
termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas
harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang
kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.

11. Tusi (1201-1274).


Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yang menjelaskan bahwa:
Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya
sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai
makanan yang cukup untuk jangka lama.

12. Ibnu Taymiyyah (1262-1328).


Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syariyyah fi` Ishlah al-Raiy wa al-
Raiyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat
untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara
serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-
syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik
hukum publik dan privat).
13. Ibn Khaldun (1332-1406).
Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun
demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun
kitabnya, al-Muqaddimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia
membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh
lebih luas daripada definisi TusiDi Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam
dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para
profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah
menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di
Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya.

14. Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam
dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam
yang lain) antara lain: Syafii Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso
Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan
pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali
membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam,
UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya
(1997).

D. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia


Global Islamic Finance Report 2011 yang baru diterbitkan di London menarik untuk
dicermati. Dengan metode factor analysis yang digagas oleh Kaiser-Meyer-Olkin,
pengamatan di 36 negara dengan delapan variabel, disusunlah Islamic Finance Country
Index. Menurut indeks ini, Indonesia menempati peringkat pertama di antara negara-negara
non-Islam dan peringkat keempat di antara seluruh negara. Secara keseluruhan, Iran
menempati peringkat pertama diikuti Malaysia dan Arab Saudi di peringkat kedua dan
ketiga.
Hal ini tidak mengejutkan karena ketiganya adalah negara yang menyatakan diri
sebagai negara Islam. Iran memang negara yang melarang adanya lembaga keuangan
nonsyariah di negaranya. Malaysia sangat ambisius dengan berbagai insentif yang diberikan
pemerintahnya. Sedangkan, Arab Saudi tidak jauh berbeda dengan Iran dan Malaysia dalam
pengembangan industri keuangan syariahnya.
Kapasitas ekonomi Indonesia yang jauh lebih besar dari Malaysia, Iran, dan bahkan
Saudi diperkirakan menempatkan Indonesia menjadi satu-satunya negara yang dianggap
mewakili nilai-nilai ekonomi syariah di antara lima besar ekonomi dunia pada dua dekade
ke depan. Empat negara lainnya adalah Cina, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan, Indonesia akan menjadi kiblat beberapa industri syariah dunia. Pertama,
industri makanan dan minuman halal. Saat ini standar kehalalan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah diadopsi luas di berbagai negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Kedua,
industri busana Muslim/Muslimah. Talenta dan kreativitas anak bangsa di industri kreatif ini
sulit ditandingi negara lain. Ketiga, industri media dengan materi terkait syariah. Besarnya
populasi Indonesia dan kreativitas program menjadi pilar utama industri ini. Keempat,
industri ritel konsumer dan usaha mikro juga akan menjadi kiblat dunia.
Krisis yang kini melanda Zona Eropa dan AS harus dicermati dengan baik dalam
mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia agar ekonomi syariah tidak sekadar
menjadi nama lain dari sistem yang sama. Tidak sekadar mencari pembenaran fikih formal
tanpa memahami maksud hakiki dari nilai-nilai ekonomi syariah.[8]
Lalu jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak
bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah
di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa
bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang
populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku
ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa
Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak
dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan
bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalambentuk formal melainkan telah berdifusi
dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian,
penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada
yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah
upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan
politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan
tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah
surut
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu
pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan
syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan
santri dan pondok pesantren.
Di Indonesia sendiri, pemikiran ke arah sistem ekonomi syariah secara historis telah
berakar sejak periode kemerdekaan. Namun mencuatnya kebutuhan akan lembaga
perbankan islami di tengah praktek ekonomi kontemporer tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan pemikiran dan gagasan tentang konsep ekonomi islam. Fenomena tersebut
ditandai dengan berdirinya perkumpulan pendukung ekonomi islam(PPEI) di Jkarta pada
tanggal 23 November 1955, yang kemudian diikuti dengan dibentuknya panitia diberbagai
daerah dan kota-kota lain untuk mendirikan cabang-cabangnya. Gagasan dan pemikiran ini
baru belakangan dapat diwujudkan, yakni berawal dari berdirinya Bank Muammalat
Indonesia(BMI) yang dioperasikan sejak tanggal 1 Mei 1992. kendatipun benih-benih
pemikiran ekonomi dan keuangan Islam telah muncul jauh sebelum masa tersebut.
Sepanjang tahun 1990an perkembangan ekonomi syariah di Indonesia relatif lambat. Tetapi
pada tahun 2000an terjadi gelombang perkembangan yang sangat pesat ditinjan dari sisi
pertumbuhan asset, omzet dan jaringa kantor lembaga perbankan dan keuangan syariah.
Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan
ekonomi Islam, walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di
Yogyakarta , IAIN-SU di Medan, STEI SEBI , STIE Tazkia, dan PSTTI UI yang membuka
konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.[10]
Di sektor keuangan dan perbankan sendiri selama periode tahun 2012 menuju 2013,
perbankan syariah Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat dengan mulai
dirasakannya dampak melambatnya pertumbuhan perekononomian dunia yang
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak setinggi yang diharapkan, walaupun
Indonesia termasuk negara yang masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil di
dunia. Selain itu, faktor lain seperti dampak penurunan DPK antara lain karena penarikan
dana haji dari perbankan syariah juga merupakan salah satu hal yang cukup berpengaruh
terhadap pertumbuhan perbankan syariah. Oleh karena itu pertumbuhan aset perbankan
syariah tidak setinggi pertumbuhan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Hingga
bulan Oktober 2012 pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai 37% (yoy) dan total
asetnya menjadi Rp179 triliun.
Meskipun demikian Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan perbankan syariah
tahun 2013 tetap mengalami pertumbuhan yang relatif cukup tinggi berkisar antara 36%
- 58% (skenario pesimis optimis). Sementara perekonomian Indonesia di tahun depan
masih tetap mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dalam kisaran 6,3% - 6,7%.
Lalu mengenai perkembangan jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) sampai dengan Oktober 2012 tidak mengalami perubahan, namun demikian
jumlah jaringan kantor meningkat. Meskipun dengan jumlah BUS (11 buah) maupun UUS
(24 buah) yang sama, namun pelayanan kebutuhan masyarakat akan perbankan syariah
menjadi semakin meluas yang tercermin dari bertambahnya Kantor Cabang dari sebelumnya
sebanyak 452 menjadi 508 Kantor, sementara Kantor Cabang Pembantu (KCP) dan Kantor
Kas (KK) telah bertambah sebanyak 440 kantor pada periode yang sama (Oktober 2012,
yoy). Secara keseluruhan jumlah kantor perbankan syariah yang beroperasi sampai dengan
bulan Oktober 2012 dibandingkan tahun sebelumnya meningkat dari 1.692 kantor menjadi
2.188 kantor.
Dalam rangka tetap menumbuh-kembangkan perbankan syariah, maka akan di
fokuskan kebijakan pengembangan perbankan syariah tahun 2013 pada hal-hal sebagai
berikut:
Pembiayaan perbankan syariah yang lebih mengarah kepada sektor produktif dan
masyarakat yang lebih luas,
Pengembangan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor
produktif,
Transisi pengawasan yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan perbankan
syariah,
Revitalisasi peningkatan sinergi dengan bank induk dan
Peningkatan edukasi dan komunikasi dengan terus mendorong peningkatan
kapasitas perbankan syariah pada sektor produktif serta
komunikasi parity dan distinctiveness
Sementara itu di sisi non keuangan, Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian
dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan
ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih
penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah
seperti dalam hal perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan sebagainya.
Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi
syariah di Indonesia.
Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga
semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat
ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun
oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut.

Faktor Pendorong
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor
pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan
internal.
Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan
ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun
tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya
kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini
kemudian mewabah ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan
menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan
kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia.
Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya hubungan Islam dan
negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi
dengan prinsip syariah.
Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong
berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim
perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri
keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa,
dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah
(holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.
Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup
kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh
ketika badai itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia. Di samping
itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok
masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan
emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka
untuk terjun ke bisnis syariah.
Implikasi Bagi Perkembagan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasionaL
:
Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil.
Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola
oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.
Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik
investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah.
Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat
investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan
tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai penyakit akut yang tidak
investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan
sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis
di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada
kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak
baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Analisis
Walaupun ekonomi islam agak terlambat berkembang di Indonesia, tetapi melihat
kondisi saat ini maka dipastikan ekonomi islam akan dapat berkembang dengan cepat.
Ditambah lagi pada saat krisis melanda Amerika dan Eropa, bank-bank islam justru lebih
kebal terhadap hal tersebut.
Meskipun begitu, dilihat dari sejarahnya hingga sekarang. Ekonomi islam berkembang
dengan sangat lambat di Indonesia. Hal ini dikarenakan pemerintah yang kurang serius
dalam mengembangkan ekonomi islam itu sendiri , seperti :
Berbelit-belitnya birokarasi dalam hal Investasi di bidang syariah
Belum mendukungnya situasi untuk berinvestasi di bidang syariah, serta
Pemerintah yang belum sepenuhnya percaya kepada perbankan syariah sehingga
masih meletakkan dana APBN dan APBD di bank-bank konvensional, bahkan dana
haji pun diletakkan di bank-bank konvensional yang menganut sistem riba tentunya.
Melihat pemerintah Malaysia yang berani menggelontorkan dana yang cukup besar di
perbankan syariahnya , serta mengambil kebijakan kebijakan yang mendorong
pertumbuhan lembaga tersebut, sehingga pertumbuhan lembaga keuangan syariah di
Malaysia tumbuh cukup signifikan di tahun-tahun ini. Maka pemerintah Indonesia
seharusnya dapat belajar dari negara tetangga. Jika saja pemerintah berani untuk
meletakkan dana APBN serta APBD di perbankan syariahnya, maka penulis yakin bahwa
pertumbuhan market share perbankan syariah akan naik cukup signifikan.
Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi islam di dunia, serta dengan adanya krisis di
Negara-negara besar seperti : Amerika, Prancis, Inggris, Spanyol, dan lainnya, maka akan
semakin menguatkan ketidakpercayaan terhadap sistem sistem ekonomi kapitalis yang
selama ini mereka anut. Disinilah ekonomi islam dapat mengambil momentum bahwasanya
hanya ekonomi islamlah yang dapat menyelamatkan sistem perekonomian yang semakin
tidak menentu pada saat sekarang ini.

E. PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada
lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:

1) Menerima simpanan uang;


2) Meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah,
musyarakah, muzaraah dan musaqah;
3) Memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqih di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis
perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilahsuq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar
bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan
menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.

Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah


dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman
itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-
fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi
saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu
individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan
kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi
mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian
khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.

Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-
Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media
pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang
pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo
(Spanyol).

Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan
roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun
1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun
1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan.
Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr
Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat
pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi
pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National
Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971)
sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di
atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank
(IDB) bulan Oktober 1975

F. GERAKAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal
sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak
terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu
menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan
digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun
didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki
banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan
Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus
tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya
secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan
yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum.
Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi
dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu
pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan
syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan
santri dan pondok pesantren.

Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:

1) Adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;


2) Tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan
syariah;
3) Dukungan politik atau political will dari pemerintah.

Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen
Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN,
penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar
mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi
syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada
Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.

Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan
yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama
kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material.
Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil.
Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian
atau menurunya keuntungan. Mereka mematok bagi hasil dengan rate yang benar-benar
menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah
yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya
minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan
kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan
konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan
mengatasi krisis moneter.

DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan
fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (muamalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para
pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syariah. Dalam metode penerbitan fatwa
dalam bidang muamalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang
disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma dan Qiyas, serta
menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu
istihsan, istishab, dzariah, dan urf.

Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu
imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali disamping pertimbangan
lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama
dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang
ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons
masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.

Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha


muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi
Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syariah telah diakui
sebagai subsistem perbankan nasional.

Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syariah, pada


tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan
nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13
Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank
lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah
Investasiterjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat
bertahan tanpa bantuan pemerintah.

Di antara lembaga keuangan syariah yang berkembang secara pesat di tengah sistem
perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syariah, BPRS dan BMT. Bank
Syariah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut
dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syariah, Bank Mandiri Syariah, Bank Bukopin
Syariah, Bank Danamon Syariah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga
keuangan syariah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu
BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).

Anda mungkin juga menyukai