PENDAHULUAN
Suatu kepemimpinan bisa dikatakan gagal atau berhasil, bisa dilihat dengan melihat
bagaimana passionseorang pemimpin, hal itu menjadi tolak ukur bagi seseorang dalam
membaca kondisi untuk mengetahui bagaimana efektifitas seseorang dalam memimpin.
Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara berbudaya heterogen, menjadi begitu
mempesona dengan berbagai macam karakter dan corak kepemimpinannya.
Pada dasarnya bangsa Indonesia telah memiliki berbagai macam corak gaya
kepemimpinan, salah satunya adalah Kepemimpinan dalam tradisi melayu. Asumsi
sementara kami bahwa dalam corak kepemimpinan tradisi melayu, pemimpin pada zaman
tersebut banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai religius, baik oleh agama Islam maupun
agama-agama yang lain. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa dalam tradisi melayu
seorang pemimpin bisa jadi diukur dengan bagaimana kualitas seseorang dalam
melaksanakan ajaran agamanya atau bahkan gaya kepemimpinannya didasarkan pada
cara pandang suatu agama. Hal tersebut menjadi menarik karena pemimpin dalam tradisi
melayu mencoba untuk menerjemahkan berbagai dogma agama kedalam kehidupan
1
nyata, baik dalam skala mikro maupu makro dalam masyarakat.
Maka dalam tulisan ini kelompok kami mencoba untuk mengekplorasi bagaimana
kepemimpinan dalam tradisi melayu ini berlangsung sehingga mampu mengendalikan
kondisi yang relatif stabil di masyarakat pada waktu itu, serta bagaimana relevansi corak
kepemimpinan tradisi melayu dengan kondisi masyarakat kekinian, dimana perubahan
zaman dan tantangannya sudah sangat jauh berbeda.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu sumbangan terbesar kebudayaan melayu adalah turut mewujudkan dan
membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Tak berlebihan apabila akhirnya
kebudayaan Melayu disebut sebagai akar jati diri bangsa ini. Pengaruh melayu bagi bangsa
Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya adalah khazanah dalam budaya
politik.
Kepemimpinan melayu, baik melayu tua maupun melayu muda terdiri dari pemangku
adat (sebagai pemimpin formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun, sebagai pemimpin
informal. Tetapi setelah melayu muda membentuk guru beberapa kerajaan melayu dengan
dasar Islam maka muncullah pemegang kendali, kerajaan yang disebut raja, sultan dan
pertuah. Kehadiran Islam juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut ulama. Dengan
demikian kehidupan melayu muda ini dipandu oleh raja (sultan), ulama, pemangku adat dan
tokoh tradisi.
Etika penguasa Melayu diturunkan dari konsep-konsep Islam. Hal ini dikarenakan
Islam identik dan tidak dapat dipisahkan dengan Melayu. Nuansa Islam sangat kental
mewarnai pola pemerintahan dalam budaya Melayu. Sebuah kitab mahakarya budaya-politik-
peradaban Melayu adalah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karangan Bukhari al-Jauhari
pada tahun 1630. Kitab Taj al-Salatin memberi sumbangan penting bagi pembentukan tradisi
dan kultur politik Melayu dengan memberi rincian tentang syarat-syarat menjadi raja
(mencakup syarat yang bersifat jasmaniyah dan rohaniah). Buku ini merupakan panduan
untuk memerintah bagi raja-raja melayu seperti Kedah dan Johor. Dalam khazanah politik
Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurus
kepentingan orang banyak. Seorang raja haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh
rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi warganya,
dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh
manusia.
3
Berdasarkan Taj al-Salatin Ada 10 sifat Raja atau pemerintah yang baik :
Pada teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja
dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan
konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai sistem atau aturan
perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
4
Tahan berteruk sepepak teluk
5
Sebagai pemimpin banyak cerdiknya
Kepandaian dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik
terhadap masalah-masalah yang ada. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai, mana
yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-mandai”. Tampak sekali
bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”.
Dalam konteks Melayu, Arif dan bijak memiliki makna yang berbeda. Arif lebih
merujuk kepada kemampuan pembawaan diri dalam proses sosialisasi, sedangkan bijaksana
lebih mengarah kepada pengolahan pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Seorang raja atau
pemimpin akan lebih dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang
dimiliki pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat.
6
Rela melangas karena tugas
Rela berbagi untung rugi
Rela beralah dalam menang
Rela berpenat menegakkan adat
Rela terkebat membela adat
Rela binasa membela bangsa
7
Mengajar sedar yang ia ajar
Memerintah sedar yang ia perintah
Menyuruh sedar yang ia suruh
Pantangan seorang yang sedang memimpin, juga tertuang dalam petatah petitih
Melayu, yang bisa menyebabkan dia diturunkan atau diganti dengan yang lain, antara lain;
tólicak bonang arang, itam tapak (terpijak di benang arang, hitam tapak atauterpijak di
parit arang hitam tapak); kedapatan mencuri di rumah (kantor), di tanah (dalam bisnis
dan usaha), atau dengan cara sembunyi-sembunyi (korupsi)
tójuak di galah panjang, nampak tóugah-ugahnyo; mengunjungi perempuan lain yang
bukan istrinya untuk berbuat maksiat, dengan istri orang, gadis, janda, atau janda talak
tiganya
tólosang di lansek masak, olun sampai tóambiek buah olah bóguguran; karena
memperturutkan hawa nafsu sehingga kambuh selera muda, sehingga kenampakan
mengikuti trend dan budaya populer kontemporer yang tidak jelas asal usul dan ujung
pangkalnya,sebab sudah meluap-luap sehingga kerja yang tidak sononoh mulai
dilakukan akibatnya nama jadi rusak dan malulah orang yang dipimpinnya (arang
habis besi binasa).
tómandi di póncuran gadiang, nampak kosan di aluo jalan, tódonga di tólingu kócibuk
ayie; karena terlalu mengharapkan nama dan sanjungan maka dilakukanlah segala
8
cara untuk mendapatkannya. Sehingga terkena oleh ungkapan; indó aluo nón dituruik
(bukan aturan yang diikuti), tóturuik jalan pinteh (terikut jalan pintas/pragmatis),
pótamu sosek (pertama sekali sesat), nón kan kóduó indó duduk di bokehnyo (kedua
dia tidak duduk di tempat yang layak baginya)
tócoreng arang di koniang, nampak tótempap itam; aib diri dibongkar orang setelah
mendapat nama dan jabatan, sehingga malu bersua dengan orang banyak
tókurong di biliek dalam, mómaja utang kósalahan kó rumah tutupan, dapek malu
dalam tórungku; kedapatan membuat salah sehingga dihukum
mómpótókuluk sórewa; punya anak gampang (anak diluar nikah)
idok mónahun, sakik nón indó mungkin kan sihat lai, disobuik urang juó idok
bókatanaan; sakit menahun sehingga tidak dapar beraktifitas
hilang indó tontu rimbónyo (hilang yang tak tahu rimbanya), indó bócakap sópatah
(pergi tak menyebut arah tujuannya), pindah nón indó bósobutan (pindah tak
berkhabar), koba tidó bóritó tidó (kabar berita tak terdengar lagi), surekpun tidó
(sepucuk suratpun tiada), bak batu jatuh kó lubuk dalam (bagaikan batu jatuh ke lubuk
yang dalam/hilang)
ukuo sudah, janjian sampai; meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah
Tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat. Dalam
beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang
berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa
bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi
masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari
tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.
9
Konsep kerajaan diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang
raja. Sedangkan menurut J.S. Roucek dan R.L Warren, kerajaan merupakan sebuah organisasi
yang menjalankan otoritas terhadap semua rakyatnya demi menjaga keamanan dan
ketenteraman serta melindungi mereka dari ancaman luar. Konsep kerajaan dalam sistem
pemerintahan Melayu sudah ada sejak zaman Sriwijaya di Palembang. Dalam sistem ini, raja
menduduki tingkat paling atas dalam struktur kerajaan.
Selain konsep kerajaan, maka budaya Melayu juga mengenal sistem pemerintahan
negeri. Penggunaan istilah “negeri” di Melayu sudah ada sejak 500 tahun lalu. Menurut
Wilkinson, istilah “negeri” berasal dari bahasa sanskrit yang berarti “settlement, city-state,
used loosely of any settlement, town, or land”. Konsep negeri diartikan sebagai sebuah
organisasi yang menjalankan undang-undang kepada seluruh rakyatnya. Negeri juga bisa
diartikan sebagai tanah tempat tinggal suatu bangsa. Dari konsep ini, negeri tidak hanya
mencakup wilayah kekuasaannya, tetapi termasuk juga seluruh jajahannya atau negeri
taklukannya sehingga konsep negeri lebih luas artinya.
Pertama, seorang pemimpin (raja) jangan sampai luput dari rasa memiliki
terhadap hati rakyat.
Kedua, pemimpin harus berhati-hati bila menerima pengaduan dari masyarakat.
Ketiga, seorang pemimpin (raja) tidak boleh membeda-bedakan rakyat atau
dengan kata lain tidak diskriminatif. Oleh karena itu, relasi kekuasaan terhadap
kebudayan Melayu dalam perspektif Raja Ali Haji adalah mengikutsertakan
semua komponen terkait (partisipatif). Ciri ini secara tidak langsung relevan
dengan pandangan Raja Ali Haji tentang tugas (wazhifah) seorang pemimpin yang
10
harus melibatkan masyarakat yang dipimpinnya, agar kepemimpinannya dapat
berjalan lancar dan efektif.
Dalam struktur bahasa Melayu, imbuhan ‘pe’ atau ‘po’ yang disandangkan pada diksi
‘pimpin’ (pemimpin atau pomimpin) bermakna; orang yang mempunyai sifat ‘suka’ dalam
hal suka menolong (soal kesulitan), suka membantu (soal dukungan moril dan materil), suka
memberi petunjuk (soal ilmu pengetahuan). Martabat pemimpin Melayu ada dalam
ungkapan:
Didahulukan selangkah
Dilebihkan sehari
Dilebarkan setapak tangan
Ditinggikan seranting
Dilebihkan sebenang
Maknanya adalah meskipun dilebihkan dari orang banyak, namun kelebihan itu tidaklah
berlebihan, hanya beda tipis. Sehingga, hendaklah seorang pemimpin menyadari bahwa
posisi yang dimilikinya hanyalah soal kepercayaan yang dianugerahkan oleh masyarakat atau
publik. Yang terakhir ini terkait soal martabat diri seorang pemimpin. Jika sudah memahami
hakikat tersebut, maka pemimpin itu tidak merasa bangga dan besar kepala, juga tak perlu
angkuh-sombong.
Dalam budaya Melayu, pemimpin itu banyak modelnya seperti pemimpin rumah
tangga, dusun, kampung sampai pemimpin bangsa dan negara. Bidang kepemimpinan ini,
11
bermula dari kekeluargaan, adat, agama, dan organisasi pemerintahan. Dalam ungkapan
Melayu dikatakan, “ Yang disebutkan pemimpin banyaklah ragamnya, ada kecil dan ada
besarnya, ada yang rendah, ada yang tinggi, ada pula letak tempatnya, yang rumah ada
tiangnya, yang kampung ada pucuknya, yang negeri ada rajanya, bagai ayam ada induknya,
bagaikan serai ada rumpunya”.
Jika kita melirik pada konteks ‘kekuasaan’ dalam peradaban Melayu, tentunya akan
muncul satu pertanyaan “Apakah raja seorang pemimpin?”. Jawabnya; Raja bukanlah
pemimpin, akan tetapi orang yang punya kuasa ‘titah’ dan ‘daulat’. Mengapa demikian?
Untuk menjawab ini, kita perlu menggunakan instrumen khazanah budaya Melayu pula,
yakni; jawabnya ada dalam petatah petitih Melayu;
Raja di adatkan
Apa maksudnya? Raja diadatkan adalah untuk menyebutkan bahwa raja yang
bangsawan dan berdaulat diurus dan dipelihara oleh datuk-datuk adat, artinya; raja adalah
orang yang diagungkan dan dibesarkan dalam bingkai kemegahan kekuasaan adat dan
kedaulatan rakyatnya. Raja diasuh sedemikian rupa oleh semua orang dalam negeri, dan
tentunya posisi ini mirip ‘anak yang disayangi’. Mengapa demikian? karena dalam konsep
Melayu, yang dibutuhkan adalah ‘daulat semata-mata’. Oleh sebab itu ada raja yang tidak
tahan sembah, sehingga dia sakit atau meninggal dunia karena tidak layak disembah oleh
rakyatnya. Raja tak tahan sembah ini adalah raja yang tidak berdarah gahara, dan yang tidak
gahara itu otomatis tidak ‘berdaulat’ meskipun ada darah raja mengalir dalam tubuhnya.
Demikianlah konsep raja dan daulatnya dalam falsafah bangsa Melayu.
Soal sembah menyembah raja bagaimana? Jawabannya adalah bukan batang tubuh
raja itu yang disembah atau diagungkan, akan tetapi ‘daulat’ pada raja itulah yang disembah.
Bangsa Melayu meyakini bahwa ‘daulat’ merupakan anugerah Allah SWT kepada hamba-
hambanya di suatu wilayah atau negeri. Raja-raja berdaulat ini diyakini mempunyai alur jalur
garis keturunan dari para nabi-nabi keturunan anak cucu Adam AS yang mulia. Oleh sebab
itu orang Melayu menyebut raja mereka ‘dzilullah fil’alam’ (bayangan Allah di muka
12
bumi/alam). Maka sebab itu para keturunan Rosulullah SAW yang bergelar Sayid atau Syarif
bisa dirajakan. Inilah perkara adat yang hampir selalu luput dari perhatian dan lepas dari
pengamatan orang kontemporer.
Lantas, bagaimana dengan raja-raja Melayu hari ini? persoalannya adalah, mereka
sudah menikah campur baur dengan bangsa-bangsa biasa, sehingga kegaharaannya pudar,
dan tentunya kelangsungan adat tidak lagi terjamin. Lihatlah dalam sejarah Melayu kita,
bahwa kekacauan dalam negeri muncul karena banyaknya keturunan raja yang tidak gahara
megambil alih posisi kepemimpinan. Kahancuran negara kerajaan adalah sebab perebutan
kekuasaan oleh bangsawan-bangsawan yang tidak lagi gahara. Atau, Allah SWT kemudian
memutus kegaharaan itu dengan cara memandulkan sang raja sehingga tidak lagi punya
keturunan, dan lihatlah dalam sejarah kita bahwa setelah putus zuriat raja gahara, maka
kerajaan menjadi kacau.
Sadarkah kita bahwa yang disebut pemimpin itu bukan raja, namun mereka yang
bekerja untuk membantu orang banyak dalam kaum, korong kampung, negeri, dan kerajaan.
Siapa mereka yang disebut pemimpin itu? yakni Datuk Bendahara yang membantu para
datuk-datuk di balai kerajaan, Penghulu yang membantu masyarakat di negeri dan kampung-
kampung, datuk-datuk yang membantu anak kemenakan, ninik mamak yang membantu
dalam lembaga kerapatan disebabkan mereka mengetahui soal adat yang disebut juga ‘tua
tuah’ atau ‘tua adat’, imam besar yang membantu umat dalam pelaksanaan ibadah dalam
negeri, imam perang yang membantu para panglima dan hulubalang untuk memenangkan
perang. Itulah pemimpin dalam kerajaan yang terlingkup dalam aturan adat Melayu.
Bagaimana tentang wanita yang diangkat menjadi raja? Jawabannya adalah; ini
diperkenankan, karena raja bukan pemimpin, tapi hanya pemikul daulat. Oleh sebab itu ada
beberapa raja-raja wanita yang tercatat dalam sejarah kita di Nusantara.
Sumber daya manusia yang besar yang dimiliki rumpun Melayu tidak dimanfaatkan secara
bijaksana. Sektor pendidikan yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu
bangsa ke depan, tidak menjadi prioritas yang utama. Kurangnya perhatian terhadap sektor
pendidikan dapat dilihat dari minimnya penyediaan anggaran pemerintah terhadap sektor ini.
Ketidakmerataan tenaga terdidik akan menyulitkan rumpun Melayu untuk bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Kekuatan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat Melayu
akan dengan mudah dikuasai oleh bangsa lain karena kurangnya kemampuan untuk
memanfaatkannya secara mandiri bagi kepentingan dalam negerinya.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan melayu, baik melayu tua maupun melayu muda terdiri dari pemangku
adat (sebagai pemimpin formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun, sebagai pemimpin
informal. Tetapi setelah melayu muda membentuk guru beberapa kerajaan melayu dengan
dasar Islam maka muncullah pemegang kendali, kerajaan yang disebut raja, sultan dan
pertuah. Kehadiran Islam juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut ulama. Dengan
demikian kehidupan melayu muda ini dipandu oleh raja (sultan), ulama, pemangku adat dan
tokoh tradisi.
Berdasarkan Taj al-Salatin Ada 10 sifat Raja atau pemerintah yang baik :
3.2 Saran
Khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika, termasuk
etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya
sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali,
mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan
pada kepentingan partai politik atau kelompok tertentu. Khazanah politik Melayu banyak
menawarkan konsep kepemimpinan yang ideal tersebut.
15
DAFTAR PUSTAKA
Braginsky. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam
Abad 7-19. Jakarta : INIS.
Effendi, Tenas. 2002. Pemimpin Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Mutalib, Hussin. 1996. Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu. Jakarta
Rab, Tabrani. 1990. Fenomena Melayu. Lembaga Studi Sosial Budaya
Riau.Pekanbaru.
16