NIM : F1D018017
Mata Kuliah : Pemikiran Politik Indonesia
Review Buku
SOEKARNO dan NU : Titik Temu Nasionalisme
Penulis : Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Shaleh
Dalam buku karangan Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Shaleh yang berjudul
“SOEKARNO dan NU : Titik Temu Nasionalisme” ini dijelaskan mengenai hubungan kedekatan
antara Soekarno dan NU dalam hal pemikiran yaitu Nasionalisme. Buku yang memiliki halaman
sejumlah 162 halaman ini merupakan upaya penulis merekonstruksi titik temu Soekarno dan NU
yang bersumber dari berbagai gagasan dan pemikiran yang terbentang di berbagai kepustakaan
yang ada.
Di dalam buku ini terdapat pemikiran Islamisme baik dari sudut pandang Soekarno
maupun NU sendiri sebagai organisasi jamaah diniyah Islamiyah, Tradisionalisme Jawa dari
Soekarno, serta yang menjadi titik temu antara Soekarno dan NU yaitu pemikiran Nasionalisme
dari sudut pandang kedua sosok besar ini.
BAB I : Pendahuluan
Soekarno adalah sosok pribadi yang lengkap dan mudah bergaul. Dengan pribadi yang
seperti itu memperkenalkannya kepada beberapa tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus
Salim, KH Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, Mohammad Natsir, K.H Mas Mansyur, A Hasan.
Mohammad Hatta, dan lain sebagainya. Dimana merekalah tokoh yang cukup mempengaruhi
pemikiran Soekarno.
a) Soekarno dan Natsir
Tidak seperti Soekarno yang lahir dari keluarga yang lebih ke arah kejawen, baru pada
umur 15 tahun berkenalan dengan Islam. Mohammad Natsir lahir dari keluarga Minang dan
dibesarkan dalam kebudayaan dan adat Minang. Keluarganya sangat menekankan tentang
pentingnya beragama dan menjalani ajaean agama. Oleh karena ituah masa kecilnya dihabiskan
dengan berbagai kegiatan dan pelajaran agama disampingkan sekolah formal yang ia ikuti.
Pengaruh budaya Minangkabau juga sangat lekat dalam diri Muhammad Natsir.
Hubungan antara Soekarno dan Natsir dapat dibilang sebagai hubungan yang unik. Dari
satu sisi hubungan mereka terlihat saling menghormati satu sama lain. Namun, pada saat
bersamaan mereka seringkali terlibat pada debat terbuka melalui penulisan artikel yang saling
berbalas. Soekarno sering mendapat kritik dari Natsir karena dianggap tidak konsisten.
Namun, Soekarno tidak merasa dendam terhadap kritiknya, bahkan ia sangat menghargai
pemikiran-pemikirannya. Ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI, ia bahkan mengangkat
Natsir sebagai Perdana Menteri yang sangat ia percaya.
b) Soekarno dan Hatta
Hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke dalam wilayah politik yang
batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi juga hubungan kultural baik sebagia
keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu. Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan
hal ini. Pertama, Soekarno-Hatta tidak sekadar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga
hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, sinkretisme
Jawa dan Islam puritan, dan mistisme. Unsur-unsur kebudayaan dalam koonteks politik
mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap emosional mengenai cara-cara
menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya , kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap
sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem
politik itu berjalan. Tindakan politk ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi,
ingatan sejarah, motif, norma, emosi, dan simbol. Kedua, dwitunggal Sokarno-Hatta adalah
simbol Indonesia itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat yang majemuk (plural
society).
Soekarno pun bersama Hatta dipercaya oleh para tokoh pendiri negara yang untuk
memprokalamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa
Indonesia. Saat itu merupakan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini
merupakan bulan turunnnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad Saw yakni
Al-Quran.
BAB VI : Penutup