Anda di halaman 1dari 14

Nama : Ashraf Faridhal Abdillah

NIM : F1D018017
Mata Kuliah : Pemikiran Politik Indonesia

Review Buku
SOEKARNO dan NU : Titik Temu Nasionalisme
Penulis : Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Shaleh

Dalam buku karangan Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Shaleh yang berjudul
“SOEKARNO dan NU : Titik Temu Nasionalisme” ini dijelaskan mengenai hubungan kedekatan
antara Soekarno dan NU dalam hal pemikiran yaitu Nasionalisme. Buku yang memiliki halaman
sejumlah 162 halaman ini merupakan upaya penulis merekonstruksi titik temu Soekarno dan NU
yang bersumber dari berbagai gagasan dan pemikiran yang terbentang di berbagai kepustakaan
yang ada.
Di dalam buku ini terdapat pemikiran Islamisme baik dari sudut pandang Soekarno
maupun NU sendiri sebagai organisasi jamaah diniyah Islamiyah, Tradisionalisme Jawa dari
Soekarno, serta yang menjadi titik temu antara Soekarno dan NU yaitu pemikiran Nasionalisme
dari sudut pandang kedua sosok besar ini.

BAB I : Pendahuluan

Kedekatan Soekarno dan NU pada awal-awal kemerdekaan dan pasca kemerdekaan


hanya sebatas pada apa yang nampak di permukaan, seperti misalnya kedekatan etnis antara
Soekarno dan tokoh-tokoh NU, dan faktor oportunisme semata, terutama oleh tokoh-tokoh NU.
Namun, dalam perkembangan polirik di tanah air, Soekarno pelan tapi pasti membangun kerja
sama yang cukup harmonis dengan NU sebagai partner yang bisa diajak bekerja sama dalam
mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dalam ranah pemikiran, Soekarno dan NU sama-sama
menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme agama dan budaya. Keduanya juga memiliki konsep
nasioanalisme yang sama tentang cara memandang Indonesia.
Soekarno memandang nasionalisme dalam konteks perlawanannya terhadap
imperialisme-kolonialisme kaum penjajah, dan bertujuan untuk mewujudkan negara kebangsaan
yang berdaulat secara politik dan ekonomi. Sementara itu, bagi NU, nasionalisme yang dipahami
sebagai cinta tanah air (hubbul whaton) dalam bentuk melakukan perlawanan terhadap penjajah
kolonial Belanda merupakan alasan penting didirikannya organisasi para kiai pesantren ini.
Nasionalisme ala NU yang digagas oleh para kiai tak dapat dipungkiri berbasis spirit Islam.
Soekarno tidak menentang hal ini, bahkan mengamininya dan melihatnya sebagai realitas dari
kehidupan bangsanya yang perlu disinergikan dengan kekuatan nasionalisme.
Buku ini ingin mengungkapkan kembali pertalian yang sangat kuat antara Soekarno dan
NU, dan berupaya menyajikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya titik temu di antara
mereka. Buku ini tidaklah berambisi menginformasikan hal yang baru, namun uraian dalam buku
ini lebih merupakan upaya pppenulis merekonstruksi titik temu Soekarno dan NU yang
bersumber dari berbagai gagasan dan pemikiran yang terbentang di berbagai kepustakaan yang
ada.

BAB II : Soekarno, Islam, dan Kebangsaan

A. Soekarno dan Etnisitas


Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan tentang gambaran dirinya di masa depan dan
persepsinya tentang Indonesia yang merdeka dan berdaulat di mata Internasional. Pelajaran
pertama pada Soekarno kecil adalah dari sang ayah yang juga seorang pengikut teosafi. Dalam
teosafi diajarkan tentang semangat pluralisme, yakni membentuk satu inti “persaudaraan
univelrsal” yang tidak memandang ras, keyakinan, ataupun gender.
Pelajaran kedua diperoleh ketika Soekarno muda tinggal bersama HOS Tjokroaminoto,
pendiri Syarikat Islam (SI) di Surabaya. Di sana, ia seringkali bertemu dengan para tokoh
nasional dari berbagai aliran pemikiran. Mereka tidak jarang menjadi teman diskusi Soekarno.
Dari mereka, Soekarno mulai mengenal dan menyelami pemikiran tokoh-tokoh besar dunia. Di
antara pemikiran tersebut, Soekarno sangat tertarik dengan historis-materialisme ala Marxis.
Menurut Soekarno, nasionalisme pada dasarnya mengandung prinsip kemanusiaan, cinta
tanah air yanng bersendikan pengetahuan serta tidak chauvinistik. Marxisme pun mengandung
prinsip persahabatan dan penyokongan, anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Dari sini
Soekarno melahirkan istilah Marhaenisme sebagai altentif terhadap konsep proletarianisme Karl
Marx.
Ada dua karakter yang menonjol pada diri Soekarno, yaitu pemersatu ulung dan anti-
imperialisme. Oleh karena itu, cita-cita Soekarno adalah disatu pihak melawan imperialisme
sampai ke akar-akarnya, dan di lain pihak membangun tatanan baru dengan jalan menyatukan
berbagai ideologi ke dalam suatu kesatuan yang harmonis. Bersama founding father lainnya,
Soekarno berhasil menyatukan keragaman bagnsa dalam bingkai NKRI berdasarkan ideologi
Pancasila.

B. Soekarno dan Islam


Di Indonesia, Soekarno lebihdikenal sebagai pemimpin nasionalis ketimbang sebagai
pemimpin muslim. Padahal pemikiran Soekarno tentang Islam saling berkaitan dengan
pemikirannya dalam bidaang politik. Apabila ia berbicara tentang islam, maka pada saat yang
sama pula telah tercakup pandangan politiknya dan demikian pula sebaliknya. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa Soekarno menaruh minat terhadap islam walaupun ia dikenal sebagai tokoh
nasionalis-sekuler, dan disinila perbedaan Soekarno dengan tokoh nasionalis-sekuler lainnya.
Pemikiran Islam dan politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926
dengan judul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah
“Indonesia Muda” dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan kepada
tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu, yaitu Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal dari suku Jawa yang telah
dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam tradisi kebudayaan Jawa, maka hakikat
Jawaisme sangat jelas mewarnai pemikiran Soekarno. Pola dasar pemikiran Soekarno adalah
pola dasar tradisional Indonesi yang selalu melihat dan mencari persatuan dan kesatuan yang
lebih dalam dan lebih tinggi antara unsur-unsur yang saling bertentangan. Pola dasar demikian
itu selalu berusaha mencari harmoni dan keseimbangan serta keserasian dalam diri sendiri serta
masyarakat sekitarnya sebagai pencerminan dari keserasian kosmos.
Secara lugas Soekarno melakukan pembahasan atas paham Islam yang membebaskan
umatnya dari belenggu tradisionalisme. Tak berlebihan kiranya kalau kita meminjam istilah yang
berkembang turun-temurun di dunia Pesantren dan NU, bahwa Soekarno sebagai seorang yang
berpijak pada Al-muhaafazatu ala al-qadim al-shalih wal-akhdzu bil jadiid al-ashlah
(mempertahankan tradisi yang baik dan menggantinya dengan yang baru apabla nilai tersebut
lebih baik). Taqlid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap sebuah tradisi dan pemikiran
tampaknya sangt diharamkan oleh seorang Soekarno.
Akal dan Islam mempunyai tujuan yang sama, yaitu membimbing kehidupan umat
manusia, kata Soekarno, oleh karena itu keduanya harus bekerja sama guna saling menunjang
satu sama lain. Soekarno menempatkan akal pada posisi yang sangat penting sehingga ia
beranggapan bahwa segala masalah, termasuk masalah-masalah agama, dapat dipecahkan engan
akal.
Pemikiran sang arsitek bangsa Bung Karno seputar Islam memang luar biasa dan
mencerminkan sebagai sosok pemimpin isalam dan bukan seorang sikretis, melainkan seorang
penganut tauhid yang murni. Ia tidak sedikit menyumbangkan pemikirannya tentang Islam
terutama kedudukan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh dari
ppemikirannya adalah usah mempertemukan Islam dan kebangsaan. Pemikiran Soekarno tentang
Islam, saling berkaitan dengan pemikirannnya di bidang politik. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa Soekarno menaruh minat terhadaap ajaran Islam, walaupun ia dikenal sebagai tokoh
nasionalis-sekuler, dan disinilah perbedaan Soekarno dengan tokoh nasionalis sekuler lainnya.
Sebagai pendekar perjuangan kemerdekaan, arsitek negara-bangsa Indonesia dan presiden
pertam Republik Indonesia, serta seorang politisi, Soekarno juga sebagai seorang pemikir Islam
dan tokoh Islam yang telah berhasil mendialogkan Islam dan keIndonesiaan tak berlebihan
kiranya kita menyematkan kepada dirinya sebagai mujadid Abad 20.

C. Soekarno dan Politik Kebangsaan


Soekarno adalah sosok fenomenal dalam lintasan sejarah bangsa ini. Ia tidaak saja Bapak
Proklamator bangsa Indonesia, namun juga teknokrat, intelektual, dan pecinta seni. Dipuji,
dikagumi, dibenci dan dihujat seakan berjalan beriringan mewarnai alur hidupnya. Publik, baik
rakyat Indonesia maupun dunia Internasional lebih mengenalnya sebagai tokoh penggerak
Nasionalisme Indonesia dan juga sebagai penggelora gerakan anti kolonialisme dan
imperialisme. Bung Karno adalah tokoh yang selalu mengobarkan semangat kebangsaan.
Puncak dari cita-cita politik kebangsaan Bung Karno bersama para founding fathers
lainnnya adalah pada 17 Agustus 1945 yang merupakan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Ini merupakan wujud impian rakyat Indonesia untuk menyatu dalam nasionalisme
negara kesatuan RI. Cita-cita untuk menyatu dalam nasionalisme negara kesatuan di bawah satu
wujud nasionalisme menjadi kenyataan walaupun itu tidaklah mudah. Pada masarevolusi
kemerdekaan yang berlangsung sekitar lima atahun sejak 1945 sampai 1959, berbagai bentuk
perjuangan melawan kolonial Belanda yang ingin kembali menguasai Nusan tgara, merupakan
bentuk perjuangan untuk mempertahankan nasionalisme di bawah satu negara yang berdaulat.
Perjuangan untuk mewujudkan cita-cita politik kebangsaan atau nasionalisme memang
mempunyai satu musuh utama dan jelas yaitu Belanda.
Nasionalisme sebagai cita-cita dari politik kebangsaan menurut Soekarno merupakan
kekuatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa gemilang bagi
negara tersebut. dengan nasionalisme-lah bangsa Indonesia akan mendirikan syarat-syarat hidup
mereka yang bersifat kebatinnan dan kebendaan. Kecintaan kepada bangsa dan tanah air
merupakan alat yang utama bagi perjuangan Soekarno.
Nasionalisme Soekarno dapat dikatakan sebagai nasionalisme yang komplek, yaitu
nasionalisme yang dapat beriringan dengan islamisme yang pada hakekatnya non-natie dan
relatif bergerak secara leluassa di daratan marginalitas yang mengenyampingkan pada intrik ras
dan etnisitas. Nasionalisme telah memegang peranan penting dan bersifat positif dalam
menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai demokratisasi yang pada
gilirannya akan mampu melaksanakan pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
kualitas pendidikan rakyat. Hal ini karena konsep nasionalisme merupakan dorongan mendasar
dalam pengaktualisasian yang mengarah pada eksistensi manusia merdeka, merdeka geraknya,
merdeka lahir batinnya, sekaligus merdeka alam fikirnya, dan terus tumbuh menjadi dinamis dan
kuat sertaa kemudian terkristalisasi dalam bentuk paham kebangsaan.
Imajinasi Bung Karno tentang nasionalisme dan paham kebangsaan bukan hanya sekadr
olah intuisi dan imajinasi tanpa pijakan realitas. Peristiwa 17 Agustus 1945 merupakan titik pusat
dari keberhasilan menggalang nasionalisme sejak masih muda. Nasionalisme untuk melawan
penjajahan, yang berupaya menemukan jati diri, “self-eestem”, dan kepribadian nasional. Alam
pikiran Soekarno yang senantiasa diarah kan kepada keperluan untuk mencari pandangan hidup
bersama yang bisa dipaki pengikat masyarakat Indonesia yang majemuk ke dalam suatu bangsa
yang benar-benar bersatu.

BAB III : Hubungan Soekarno dengan Tokoh-Tokoh Islam

A. Soekarno dan Tokoh Islam Era Sebelum Kemerdekaan

Soekarno adalah sosok pribadi yang lengkap dan mudah bergaul. Dengan pribadi yang
seperti itu memperkenalkannya kepada beberapa tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus
Salim, KH Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, Mohammad Natsir, K.H Mas Mansyur, A Hasan.
Mohammad Hatta, dan lain sebagainya. Dimana merekalah tokoh yang cukup mempengaruhi
pemikiran Soekarno.
a) Soekarno dan Natsir
Tidak seperti Soekarno yang lahir dari keluarga yang lebih ke arah kejawen, baru pada
umur 15 tahun berkenalan dengan Islam. Mohammad Natsir lahir dari keluarga Minang dan
dibesarkan dalam kebudayaan dan adat Minang. Keluarganya sangat menekankan tentang
pentingnya beragama dan menjalani ajaean agama. Oleh karena ituah masa kecilnya dihabiskan
dengan berbagai kegiatan dan pelajaran agama disampingkan sekolah formal yang ia ikuti.
Pengaruh budaya Minangkabau juga sangat lekat dalam diri Muhammad Natsir.
Hubungan antara Soekarno dan Natsir dapat dibilang sebagai hubungan yang unik. Dari
satu sisi hubungan mereka terlihat saling menghormati satu sama lain. Namun, pada saat
bersamaan mereka seringkali terlibat pada debat terbuka melalui penulisan artikel yang saling
berbalas. Soekarno sering mendapat kritik dari Natsir karena dianggap tidak konsisten.
Namun, Soekarno tidak merasa dendam terhadap kritiknya, bahkan ia sangat menghargai
pemikiran-pemikirannya. Ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI, ia bahkan mengangkat
Natsir sebagai Perdana Menteri yang sangat ia percaya.
b) Soekarno dan Hatta
Hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke dalam wilayah politik yang
batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi juga hubungan kultural baik sebagia
keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu. Dua alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan
hal ini. Pertama, Soekarno-Hatta tidak sekadar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga
hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, sinkretisme
Jawa dan Islam puritan, dan mistisme. Unsur-unsur kebudayaan dalam koonteks politik
mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap emosional mengenai cara-cara
menjalankan pemerintahan. Oleh karenanya , kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap
sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat sistem
politik itu berjalan. Tindakan politk ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti tradisi,
ingatan sejarah, motif, norma, emosi, dan simbol. Kedua, dwitunggal Sokarno-Hatta adalah
simbol Indonesia itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat yang majemuk (plural
society).

B. Soekarno dan Tokoh Islam Era Kemerdekaan

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi


Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan tokoh-tokoh nasionalis dan agamis,
yaitu Muh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, A. A. Maramis, Abdul Kahar Muzakar, KH. Wahid
Hasyim, Soekarno, Abikusno Tjokrosoejoso, dan H. Agus Salim.

Soekarno pun bersama Hatta dipercaya oleh para tokoh pendiri negara yang untuk
memprokalamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa
Indonesia. Saat itu merupakan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini
merupakan bulan turunnnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad Saw yakni
Al-Quran.

BAB IV : SOEKARNO DAN NU

A. Soekarno dan NU Era Sebelum Kemerdekaan


Ketika masih menjadi aktivis pergerakan, Soekarno atau biasa dipanggil Bung Karno
belum mengenal NU dengan baik, ahkan cenderung meremehkan orang Islam pesantren yang
dianggap kolot. Sejarah berdirinhya NU sebagai penjaga gawang tradisi lokal dan kekhawatiran
para pemuka agama Islam melihat perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa
dalam menghadapi kolonialisme Belanda serta perkembangan dunia Islam di Saudi Arabia
terutama dikaitkan dengan menguatnya gerakan wahabi, runtuhnya kekhalifahandi Turki, timbul
tenggelamnya gagasan Pan Islamisme dan pertentangan tajam diantara para pengikut aliran atau
pemikiran Islam di Indonesia merupakan Latar belakang berdirinya NU.
Kemudian pada 31 Januari 1926 para pemuka pesantren terutama tokoh muda seperti KH.
Wahab Hasbullah dengan beberapa kiai lainnya dan dengan dukungan penuh dari ulama sepuh
KH. Hasyim Asy’ari, didirikanlah Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah organisasi jamaah diniyah
yang akan mengatasi masalah-masalah tersebut dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial-
keagamaan.
Nahdlatul Ulama sebagai sebuah jam’iyah diniyah didirikan jauh sebelum keberadaan
Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, telah memiliki “jam terbang” yang
tinggi dalam mengarungi pergerakan di sektor keagamaan serta sosial politik di Indonesia. Jejak
sejarah pergulatan NU ikut mewarnai perjalanan republik ini pada masa lalu dan hingga
sekarang.
Namun Soekarno pada saat itu belum mengenal NU, dan pada umur 15 tahum ia
dimondokkan sang ayah di kediaman HOS Tjokroaminoto, seorang politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam (SI). Di tempat ini Soekarno muda bertemu para tokoh nasional dari berbagai
aliran pemikiran, di antaranya dari kalangan Islam, selain pemilik rumah, yaitu KH. Ahmad
Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, dan lain-lain termasuk seorang kiai muda progresif
yang kemudian menjadi motor utama organisasi NU, KH Wahab Hasbullah.
Pada masa itu Soekarno yang di kalangan kaum pergerakan dikenal sebagai pemikir dan
pejuang, NU melihatnya justru lebih jauh, bahwa sosok Soekarno adalah figur yang paling
mumpuni untuk dijadikan pemimpin di masa depan yakni bila Indonesia merdeka. Bahkan,
sepuluh dari sebelas kiai memilih Soekarno sebagai calon Presiden pertama dari Republik
Indonesia.
Peran politik NU pada masa pra-kemerdekaan lebih bernuansa perlawanan dalam
menghadapi pemerintah kolonial. Pada waktu itu, NU tidak hanya berada di barisan para etani
untuk memperjuangkan nasib mereka, tetapi sebagai organisasi keagamaan, ia bersikap tegas
dalam urusan keagamaan khususnya menentang campur tangan Belanda.
Menjelang Indonesia merdeka, NU bersama kelompok Islam lainnya mengambil peran
yang signifikan dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Dalam proses kemerdekaan itu
dibentuk diskusi-diskusi mengenai bentuk negara muncul dalam Sanyo Kaigi, sebuah kelompok
cendikiawan yang dibentuk Jepang pada akhir 1944, di mana pada waktu itu kekalahan Jepang
sudah dekat.
Begitu menjelang kemerdekaan, Soekarno mengenal kelompok pesantren ini secara lebih
dekat, karena pesantren ternyata menunjukkan simpati yang besar. Di situ Soekarno melihat NU
adalah kelompok yang nasionalis dan kerakyatan berdasarkan ajaran Islam. Ini sangat cocok
dengan ideooginya yang nasionalis dan marhaenis.
Pada periode berikutnya, NU merasa dekat dengan Bung Karno, bukan karena dia
berkuasa tetapi ada kesamaan ideologi yang nasionalis dan populis. Orang sering salah paham
dengan prinsip dasar itu sehingga melihat NU oportunis, hanya mengikuti kebijakan Bung
Karno. Padahal NU ikut Bung Karno karena merasa ideologi dan cita-citanya sama. Dalam
kenyataannya NU tetap kritis terhada kebijakannya.
BAB V : Titik Temu Soekarno dan NU
A. Pembelaan NU terhadap Soekarno
Peran NU dalam ikut menggagas, merintis, dan memperjuangkan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini, jelas sangat besar dan tidak bisa diingkari oleh siapapun.
Bersama Soekarno dan para founding fathers lainnya, menjadi bagian inti dalam proses pendirian
negara dan perumusan konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD)
1945.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, hubungannya dengan NU semakin terjalin
dengan baik. Soekarno terus berupaya merangkul NU agar apa yang direncanakannya
mendapatkan dukungan dari NU. Kiai Wahab, misalnya, pernah mengatakan dalam pidatonya
bahwa, “Soekarno tanpa NU akan menjadi sukar menjalankan program politiknya. Demikian
juga Bung Karno tanpa NU akan menjadi bongkar (didongkel orang)”.
Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946, NU
secara penuh mengambil bagian dalam pemerintahan dengan diberikannya jabatan Menteri
Agama, yang dijabat oleh KH. A. Wahid Hasyim. Bagi NU jabatan ini merupakan kunci yang
membuatnya berada pada posisi yang sangat menguntungkan untuk jangka panjang karena telah
memberikan landasan yang sah bagi aktivitas sosial-keagamaannya.
Setelah NU menjadi Partai yang mempunyai kekuatan lobi sendiri, pada bulan juli 1953
NU justru menaambah peran politiknya: tidak hanya jabatan Menteri Agama saja yang
diserahkan kepadanya, juga Menteri Pertanian dan bahkan jabatan Wakil Perdana Menteri.
Dengan demikian, kedudukan NU semakin kuat di dalam pemerintahan, dan peran NU dalam
mempengaruhi dan mewarnai jalannya pemerintahan semakin terbuka lebar.
Pada akhir 1953, konferensi para ulama berlangsung di Cipanas Jawa Barat. Pertemuan
yang diidentikkan sebagai Muktamar Alim Ulama se-Indonesia ini, memutuskan memberi gelar
kepada Presiden Soekarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati (pemerintah yang
sekarang ini sedang berkuasa).
Keputusan itu diprotes dan dikecam habis-habisan oleh kalangan pembaharu, karena
dianggap kurang tepat dan merupakan bencana bagi perjuangan Islam itu sendiri, sebab negara
Indonesia belum berlandaskan Islam, sebuah cita-cita yang, menurut mereka bisa diraih dalam
Majelis Konstituante mendatang.
Namun, bagi NU, keputusan ini sangat penting bagi umat Islam sebab yang dihadapi
pemerintahan yang sah adalah gerakan politik keislaman yang menentang pemerintahan yang
sedang berkuasa. Dengan keputusan itu, secara tidak langsung memberi legitimasi bahwa
pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno adalah pemerintaham yang sah menurut hukum
islam, dan sekaligus berarti memberikan alat legitimasi keagamaan dalam rangka politik
menghadapi kelompok modernis dan pemberontak DI/TII, sekaligus berhak mengangkat para
pejabat yang berwewenang untuk menangani urusan-urusan yang langsung menyangkut urusan
umat Islam. Dengan demikian, Soekarno menjadi kuat karena dukungan sepenuhnya dari NU
serta mempermudah baginya dalam menjalanan program politiknya.
B. NU, Soekarno, dan Pancasila
NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Soekarno adalah seorang pria
gagah yang pintar, tegas, ambisius, sekaligus punya kharisma besar serta sebagai pemimpin
besar revolusi dan awal kemerdekaan. NU dan Soekarno serta para pendiri Negara Indonesia
(founding fathers) lainnya sadar betul bahwa pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang direbut melalui berbagai perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya, peperangan
terbuka dan diplomasi tidak dimaksudkan untuk mendirikan Khilafa Islamiyah atau Negara
Islam, melainkan mereka berjuang hanya untuk satu tujuan, yaitu Kemerdekaan Indonesia.
Menjelang Indonesia merdeka, NU bersama Bung Karno dan kelompok Islam lainnya
mengambil peran yang cukup signifikan dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Dalam
proses menuju kemerdekaan terjadi perdebatan cukup sengit seputar ideologi Negara. Bung
Karno sebagai penggagas dan ketua Paniti Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidang sebagai upaya untuk membahas dasar dan ideologi negara.
Pada Agustus 1945, menjelang proklamasi kemerdekaan, Soekarno telah meminta kaum
nasionalis Islam dan nasionalis sekuler supaya mengajukan formula yang dapat mengimbangi
kepentingan mereka masing-masing. Di antara tokoh-tokoh bercorak Islam, banyak yang
menghendaki negara yang sepenuhnya bercorak Islam. Sedangkan umat Kristiani dan Hindu
serta kaum Nasionalis sekuler menginginkan bahwa usaha mengislamkan negara akan
mencetuskan keresahan di bagian timur Indonesia dan daerah non-Muslim lainnya.
Ada cara di mana persatuan dapat ditegakkan tetapi Islam tetap menjadi ruh dan jasad
dalam kehidupan negara. Menengahi perdebatan sengit itu, Soekarno pun menawarkan jalan
keluar berupa sistem permusyawaratan perwakilan yang dapat diadopsi sebagai bentuk
demokrasi di Indonesia. Menurutnya, hal ini merupakan tempat terbaik untuk memelihara
agama. Dengan cara mufakat ini diharapkan dapat memperbaiki segala hal, dan juga keselamatan
agama, yaitu dengan cara pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan
Rakyat.
Kemudian setelah itu lahirlah Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan bunyi
sila seperti yang kita kenal saat ini. Dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang di
mana frase “Yang Maha Esa” merupakan usulan dari KH. Wahid Hasyim, seorang tokoh NU
yang diman menurutnya dalam perubahan itu tersimpan makna tauhid, justru doktrin yang paling
inti dalam agama Islam. Ketuhanan Yang Maha Esa ditambah dengan empat sila yang lain yang
dikenaal sebagai sebutan Pancasila, yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.
Indonesia baru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Negara Pancasila. Dalam
Negara Pancasila semua pemeluk agama ditempatkan dalam posisi yang sama. Semua warga
berhak ,menjalankan agamanya daan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Bagi NU, Pancasila sebagai dasar negara adalah final. Keputusan Muktamar NU ke-27 di
Situbondo pada tanggal 8-12 Desember 1984 telah mengakhiri perdebatan ini, melalui forum
keagamaan kultural Bahtsul Masa’il, ulama NU mampu menemukan rumusan yang tepat untuk
mengurai dan memberikan kesimpulan tentang relasi Islam dan Pancasila dari perspektif
keagamaan, khususnya pendekatan fiqh. Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dan Islam ini
merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU
tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam
negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama,
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.
2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasr 1945, yang menjiwai sila yang lain,
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi NU Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam
Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertiank
yang benar tentang Pancasila dan pengamalan yang murni dan konsekuen oleh semua
pihak.
NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pertama yang menuntaskan
penerimaannya atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya pertama menerima, tetapi juga yang
paling mudah menerima Pancasila. Konsekuensi dari penerimaan terhadap negara Indonesia
yang berladaskan Pancasila, dalam kebutuhan praktis dan strategis menumbuhkan sikap
kebangsaan NU dari paham keagamaan yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercerrmin
dari nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
C. NU dan Soekarno: Menjadi Indonesia
Menjadi NU menjadi Indonesia. Memahami Soekarno juga menjadi Indonesia. Keduanya
telah dicatat dalam tinta emas, bahwa NU dan Soekarno adalah salah satu kekuatan terbesar yang
berada di garda terdepan dalam perjuangan bangsa bersama sama dengan kelompok nasionalis
lainnya. Kontribusi NU yang terbesar yang tak bisa disangkal selain dalam bentuk perjuangan
fisik adalah upayanya mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam di tanah air sebagai “senjata”
moral. Begitu juga dengan warisan intelektual dan perjuangan Bung Karno yang hingga saat ini
tetap utuh sebagai monumen dan dokumen yang selalu tampil sebagai teks-teks yang secara
meyakinkan mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kebangsaan. Bung Karno
memiliki kontribusi besar bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sikap revolusioner, berwibawa,
tegas,didukung pula dengan pemikiran yang brilian, menempatkan ia pada posisi penting dalam
sejarah pemiki dan pejuang politik Indonesia.
Bagi Bung Karno, pluralitas Indonesia merupakan kekayaan sekaligus modal sosial
(social capital) yang teramat berharga yang semestinya disyukuri dan dirawat. Keragaman
tersebut justru akan membawa malapetaka bagi negeri ini jika tidak dikelola dengan baik.
Selama ini perbedaan-perbedaan tersebut relatif tidak sampai merobek keutuhan dan kesaatuan
bangsa, meskipun acap kali mengalami kegoncangan, gangguan dan benturan. Keindahan dan
kedamaian dalam perbedaan tersebut tentusaja tidak lepas dari pemahaman yang cukup
mendalam terhadap makna pluralisme atau kemajemukan. Berbeda bukan berarti kita harus
bertentangan. Beragam budaya, bahasa, keyakinan dan kelas sosial bukan bermakna harus saling
berperang. Sebaliknya, perbedaan tersebut justru memiliki makna yang mendalam untuk
membangun kekuatan yang lebih besar.
Pancasila hadir sebagai alat pemersatu tidak lahir dari ruang kosong. Ia menjadi semacam
primary value yang mengatasi nilai-nilai struktur partikular yang lain. Di titik ini Pancasila
menghargai keberagaman dan spritualisme yang tumbuh di Indonesia. Diakui oleh Bung Karno,
bahwa Pancasila bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata. Pancasila merupakan
perasaan-perasaan yang telah lama terkandung dalam hati rakyat Indonesia. Pancasila adalah
keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia secara turun-temurun. Pancasila itu telah lama
tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Beliau menganggap Pancasila itu corak karakter bangsa
Indonesia.
Sementara NU telah tercatat dalam tinta emas sejarah proses bangsa Indonesia menggapai
kemerdekaan. Sebagai organisasi terbesar di negeri ini, NU tidak bisa dihindari merupakan
keanekaragaman tersendiri. Organisasi yang lahir di Surabaya, Jawa Timur memiliki semua
elemen dari berbagai daerah, dan suku. Ulama-ulama yang ada di Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara, telah bersama-sama sepakat dalam satu kesatuan paham
organisasi yang bernama NU. Uniknya perbedaan latarr belakang budaya, bahkan tatacara
ibadah, terus dilestarikan hingga saat ini.
Kesadaran NU terhadap pluralisme dan solidaritas kehidupan beragama, sebetulnya
bukan sesuatu yang baru, atau karena menyesuaikan diri dalam kondisi perubahan politik, atau
karena akhir-akhir ini Indonesia mengalami banyak kemelut dan konflik antar umat beragama.
Sejak awal berdirinya NU, ada empat tradisi bermmasyarakat yang sudah dijalankan dalam
hidup berdampingan dengan kelompok Islam lain atau kelompok non-Islam. Di antara sikap ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Yakni sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.
2. Sikap Tasamuh
Yakni sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan yang ada.
3. Sikap Tawazun
Yakni sikap seimbang dalam berkhidmah.
4. Amar Ma’ruf dan Nahy Munkar
Yakni selalu melakukan perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat; dan meninggalkan
perbuatan buruk yang merusak, dan merugikan.
Dengan demikian NU telah meletakkan kepentingan bangsa dan negara jauh lebih
penting dibandingkandengan kepentingan NU untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara. Mengamati terhadap kenyataan sjarah seperti ini, maka tentu tidak mengherankan jika
NU di masa sekarang tetap mempertahankan empat pilar kebangsaan, yaitu: NKRI, Pancasila,
UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

BAB VI : Penutup

Soekarno dan NU diniliai berhasil menciptakan kohesivitas politik dalam kerangka


mengisi kemerdekaan memastikan Republik ini steril dari berbagai ancaman dan rongrongan
yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Soekarno melihat nasionalisme dalam konteks
perlawanannya terhadap imperialisme-kolonialisme kaum yang berdaulat secaraa politik dan
ekonomi di hadapan negara-negara lain. Sementara NU mendasarkan paham kebangsaannya
pada ajaran agama daan cita-cita ideal tata masyarakat yang diperjuangkannya. Fiqh yang digali
dari “kitab kuning” ataupun buku-buku keagamaan klasik merupakan wacana yang sepintas
tampak kaku, tetapi dengan cara mendialogkannya pada konteks kekinian, dapat menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang segar dan sikap fleksibel sehingga kompromi-kompromi dengan
golongan lain bisa diwujudkan.
Singkatnya, NU dan Soekarno sama-sama bahu-membahu dalam membangun rumah
Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa robbun ghafur, tempat di mana jamaah nahdliyin
tinggal bersama-sama dengan saudara sebangsa yang lain. Sesungguhnya ini bukan sekadar
sebuah tanggung jawab konstitusional NU, melainkan jelas-jelas merupakan kewajiban yang
melekat, karena NU adalah pemilik sah rumah Indonesia. Dengan demikian, jika bangsa ini terus
memperkuat NU, maka secara langsung NU pun ikut memperkokoh beridirinya negara NKRI.

Anda mungkin juga menyukai