Anda di halaman 1dari 15

MODEL STUDI ILMU KALAM DAN TASAWUF

Tugas Pada Mata Kuliah Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu: T. Fadlani Muflih, S.E.I. M.E

Disusun oleh: Kelompok XII

1. Yoga Al Rizky (08.22.1521)


2. Widya Ratna Wati (08.22.1351)
3. Nadia (08.22.1402)
4. Sherlya Putri (08.22.1335)
5. Nabila Nasution (08.22.1307)

PRORGAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN


AL-ISHLAHIYAH BINJAI

T/A 1444 H/ 2023 M


KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah membantu
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa memberikan wawasan kepada para pembacanya.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Saya.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Binjai, 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Urgensi Metode Studi Ilmu Kalam dan Tasawuf ................................ 3
B. Pengembangan Metodologi dan Aplikasinya dalam Memahami
Ilmu Kalam dan Ilmu Taswuf ............................................................ 7
C. Dinamisasi dan Kontekstualisasi Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf ...... 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 11
A. Kesimpulan ......................................................................................... 11
B. Saran.................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama ini sudah umum diketahui bahwa ada tiga hal mendasar dalam studi
pemikiran keislaman yang sering dianggap kontroversi; yakni tasawuf atau
sufisme, ilmu kalam dan filsafat Islam. Ketiganya seolah berbeda dan tidak
memiliki titik temu serta persinggungan sejarah. Harun Nasution menyamakan
filsafat Islam dengan mistisisme karena keduanya sama-sama menekankan
perenungan. Namun yang disebut mistisisme dalam Islam menurut Harun
Nasution sebetulnya adalah salah satu genre atau cabang dar tasawauf, yaitu
tasawuf falsafi. Jadi, mistisisme menurut Harun identik dengan tasawuf falsafi.
Di lain tempat, seringkali dijumpai uraian tentang perbedaan antara tasawuf
dengan ilmu kalam. Padahal pada masa kelahiran keduanya, sulit untuk
dipisahkan. Dengan kata lain, antara tasawuf dengan ilmu kalam adalah satu,
baru belakangan keduanya dipilah dan dipisahkan sebagai suatu studi tersendiri
yang menurut hemat penulis menyebabkan hubungan keduanya semakin jauh
terpisah. Tasawuf merupakan rumusan langsung dari perasaan seseorang yang
mendambakan kehadirat ilahi, penyucian batin dan ketenangan hati. Para sufi
seringkali mengharapkan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia dan
apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat
mungkin dengan Tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan
spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang
banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah atau
keyakinan. Sementara filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut
bagai manusia mengenai keberadaan (esensi) sekaligus eksistensi manusia,
Tuhan, dan proses penciptaan alam. Dalam makalah ini akan membahas
mengenai model studi ilmu kalam dan tasawuf.

B. Rumusan Masalah

1
1. Bagaimana urgensi metode studi ilmu kalam dan tasawuf
2. Bagaimana pengembangan metodologi dan aplikasinya dalam memahami
ilmu kalam dan ilmu taswuf
3. Bagaimana dinamisasi dan kontekstualisasi ilmu kalam dan ilmu tasawuf
C. Tujuan
1. Mengetahui urgensi metode studi ilmu kalam dan tasawuf
2. Mengetahui pengembangan metodologi dan aplikasinya dalam memahami
ilmu kalam dan ilmu taswuf
3. Mengetahui dinamisasi dan kontekstualisasi ilmu kalam dan ilmu tasawuf

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensi Metode Studi Ilmu Kalam Dan Tasawuf
1. Urgensi Metode Studi Ilmu Kalam
Alasan secara terperinci, Prof. Dr. TM. Hasby Ash-Syiddieqy
meyebutkan alasan ilmu kalam ini disebut ilmu kalam, yaitu:1
a. Problema yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang
menyebabkan umat Islam terpecah kedalam beberapa golongan
adalah masalah kalam Allah atau al-Qur’an.
b. Materi-materi ilmu ini adalah teori-teori [kalam]; tidak ada yang
diwujudkan kedalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota
c. Ilmu ini, didalam menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil
pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq.
d. Ulama-ulama mutaakhirin membicarakan didalam ilmu ini hal-hal
yang tidak dibicarakan oleh ulama’ salaf seperti penakwilan ayat-
ayat mutasyabihat, pembahasan tentang qada, kalam dan lainnya.
Melihat pendapat diatas maka ajaran Islam menuntut agar setiap
muslim mempunyai keyakinan (akidah) tertentu dalam masalah
ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam
sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, sumber
keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan
ide agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang
shaleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan
(akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana
diketahui juga memberikan bimbingan dalam rangka terciptanya cara
yang layak bagi manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhan.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan
teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar,
oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib).
Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat
kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka

1
Muhammad Ahmad, Tauhid –Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia), hal.,10.

3
sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk
menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap
ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi
penting dalam sistem ajaran Islam.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim
adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak
memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah
mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang
mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang
dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah
dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak
pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang
terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak begitu keras
mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah berarti
mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis
dalam kerja intelektual keagamaan mereka.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar merupakan
jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang
ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya
nalar tanpa mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa
kedua-duanya sama-sama berasal dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap
orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan,
pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani
mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang
karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa
yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan
berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah
tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan
pandangan empiris.

4
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum
Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas
bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap
semua pengetahuan aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga
membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat
perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang urgensi disiplin ilmu
kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan,
terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan
bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama
dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-
capaian akal atau nalar. 2
2. Urgensi Metode Studi Ilmu Tasawuf
Menurut Hossein Nasr sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata1
bahwa paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat
(termasuk masyarakat Barat), karena mereka merasakan kekeringan
batin. Mereka mulai mencari-cari di mana sufisme yang dapat
menjawab sejumlah masalah tersebut. Perlunya tasawuf
dimasyarakatkan dalam pandangan Komaruddin Hidayat terdapat tiga
tujuan. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam
menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat
hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, mengenalkan literatur atau
pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan) Islam, baik terhadap
masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun di kalangan
masyarakat non-Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali
bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme adalah
jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak
berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain dalam ajaran Islam. Dalam
kaitan itu Nasr menegaskan arti penting tarikat atau jalan rohani yang
merupakan dimensi kedalaman dan esoteric dalam Islam, sebagaimana
syari’at berakar pada Al-Qur’a>n dan Al-Sunnah. Ia menjadi jiwa

2
Ibid. Hal 12

5
risalah Islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari
pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan sumber kehidupan yang
paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam
Islam.
Tasawuf merupakan aspek ajaran Islam yang mewariskan etika
kehidupan sederhana, zuhud, tawakkal, kerendahan hati, nilai-nilai
kesabaran dan semacamnya. Sedangkan dunia modern lebih banyak
dimuati pemujaan materi, persaingan keras disertai intrik tipu daya,
keserakahan, saling menjegal antar sesama, tidak mengenal halal
haram, dan sebagainya. Ternyata efek kehidupan dunia modern yang
mengarah pada dunia glamour ini tidak menenangkan batin. Sehingga
trend kembali kepada agama nampaknya lebih berorientasi
spiritualisme. Nampaknya dunia sekarang sepakat bahwa sains harus
dilandasi etika, namun karena etika pun akarnya pemikiran filsafat,
maka masalah etika pun masih mengandung masalah. Untuk itu yang
diperlukan adalah akhlak yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk
kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat,
pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu
berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber
formal, seperti Al-Qur’an, Al-Hadits, dan dari pengalaman keagamaan
atau mistik telah dikembangkan para sufi sebelumnya.
Dengan demikian tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi
murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan
tanggung jawab kita sebagai khalifah Tuhan yang harus berbuat baik
kepada sesama manusia dan sesama makhluk. Dengan kata lain,
tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani,
tetapi juga berdimensi kemashlahatan, kebaikan, dan nilai-nilai manfaat
bagi dunia dan seisinya.3

3
Badrudin. 2014. Pengantar Tasawuf. Serang: Penerbit A-Empat. Hal 8-9

6
B. Pengembangan Metodologi Dan Aplikasinya Dalam Memahami Ilmu
Kalam Dan Ilmu Taswuf
1. Pengembangan Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti memiliki sistematika
dan metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam adalah
metode Jidal (debat). A. Razak menyebutnya dengan metode
Keagamaan. Alasannya, karena para mutakallimun (teolog) untuk
mempertahankan keyakinan dan argumentasinya selalu dengan
perkataan atau pembicaraan dan perdebatan, sehingga orang yang ahli
di bidang kalam disebut mutakallimun. Sebagai sebuah diskusi
keagamaan, wacana kalam yang menjadi objek kajiannya adalah
keyakinan kebenaran tentang ajaran Agama Islam, bukan mencari suatu
kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat. Dengan batasan di atas, ada
perdebatan yang sangat mencolok antara ilmu kalam dan filsafat. Ilmu
kalam ingin mempertahankan kebenaran keyakinan keagamaan secara
logis dan argumentasi. Dengan kata lain, kalam didahului oleh
keyakinan kemudian dilakukan sebuah pembuktian. Sementara filsafat
ingin mencari kebenaran dengan argumen dan pembuktian secara
rasional untuk dijadikan sebagai suatu pegangan dan keyakinan. 4
2. Pengembangan Ilmu Tasawuf
Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan,
pertama periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan
zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad
pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabat, tabi’in,
dan tabi’i tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat
untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi
SAW, untuk kemudian mereka mencoba menjalani hidup zuhud.
Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H.) dengan
konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H.) dengan konsep cinta
(Al-Hubb).

4
Rohanda WS, 2006. Ilmu Kalam dari Klasik sampai Kontemporer, (Bandung: Najwa
Press, Hal 14

7
Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf
kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat
para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak
dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan,
esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian
muncul tema-tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya.
Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi
Al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Ghazali.
Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan
suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat
berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian
dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian
tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak
iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi
Al-Maqtu>l (549 H.), Ibnu ’Arabi (638 H.), dan Ibnu Faridh (632 H.)72
Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang
berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan
dapat ditemukan pembenarnya
Dalam pandanga Islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi
dunia materi dan harta. Zuhud dalam Islam tidak seperti istilah
kependetaan dalam Yahudi dan Nasrani. Zuhud bukanlah ’uzlah yang
dalam artian menjauh dari hiruk pikuk bumi dan berada dalam
kesendirian serta tidak menghiraukan kehidupan sosial. 5
Sedangkan pertumbuhannya tasawuf terus berkembang seiring
dengan meluasnya wilayah Islam yang sebelumnya mungkin sudah
mempunyai pemikiran-pemikiran mistik, seperti pengaruh filsafat
Yunani, Persi, India, atau pun yang lainnya. Dalam perkembangannya,
ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam beberapa periode, yaitu :
Pertama, perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua
Hijriyah. Masa ini menyangkut perkembangan tasawuf pada dekade

5
H.A. Mustofa, 2010. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. V, hal 209-
239.

8
sahabat yang dipelopori oleh Abu Bakar Shiddiq (wafat 13 H.), ’Umar
bin Khaththa>b (wafat. 23 H.), ’Usma>n Bin ’Affa>n (wafat. 35 H.),
’Ali bin Abi> Tha>lib (wafat. 40 H.), Salman Al-Farisi, Abu>Dzar Al-
Ghifari, Ammar Bin Yasir, Huzaidah Bin al-Yaman, dan Miqdad Bin
Aswad. Dalam dekade ini juga termasuk pada masa tabi’in; tokoh-
tokohnya adalah Hasan Bashri (22 – 110 H), Rabi’ah al-Adawiyah (96
– 185 H), Sufyan Ats-Tsauri (97 – 161 H.), Daud Ath-Thaiy (wafat 165
H.), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 194 H.).
Kedua, perkembangan tasawuf pada abad ketiga dan ke-empat
Hijriyah. Tokoh-tokoh yang terkenal pada abad ketiga adalah Abu
Sulaiman ad-Darani (wafat 215 H.), Ahmad Bin Al-Hawary Ad-
Damasyqi (wafat 230 H.), Dzun Al-Mishri (155 – 245 H), Abu>Yazi>d
al-Bustamiy (wafat 261 H.), Junaid Al-Baghdadi (wafat 298 H.), dan
Al-Halla>j (lahir 244 H.). Sedangkan pada abad ke-empat Hijriyah para
pengembangnya adalah Musa al-Anshari (wafat 320 H.), Abu Hamid
Bin Muhammad Ar-Rubazy (wafat 322 H), Abu Zaid Al-Adami (wafat
314 H), dan Abu Ali Muhammad Bin Abdil Wahhab As-Saqafi (wafat
328 H). Ketiga, perkembangan tasawuf abad kelima dan ke-enam
Hijriyah ditandai dengan sosok Imam Ghazali (450 H / 1058 M – 505
H / 1111 M) dan Syaikh ’Abdul Qa>dir al-Jailaniy (470 H - 561 H) yang
mengkompromikan para ulama Fiqih dengan ajaran tasawuf yang
berpaham syi’ah. Pada abad ke-enam Hijriyah sufi yang terkenal adalah
Suhrawardi al-Maqtul (wafat 587 H), dan Al-Ghaznawi (wafat 545 H).
Ke-empat, perkembangan tasawuf pada abad ketujuh, dan
kedelapan Hijriyah. Pada abad ketujuh yang berpengaruh adaalah Unzar
Ibnul Faridh (576 – 632 H), Ibnu Sab’in (613 – 667 H), dan Jalaluddin
Ar-Rumi (604 – 672 H). Pada abad kedelapan Hijriyah yang muncul
adalah pengarang kitab Tasawuf, yaitu Al-Kisany (wafat 739 H), dan
Abdul Karim Al-Jily dengan karyanya Al-Ins>n al-Ka>mil. Kelima,
perkembangan tasawuf pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriyah
serta masa berikutnya. Pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriyah
nasibnya kurang menguntungkan karena dianggap sudah kehilangan

9
kepercayaan masyarakat (penyimpangan ajaran Islam). Namun ajaran
tasawuf tidak hilang begitu saja. Ini terbukti masih adanya ahli tasawuf
yang memunculkan ajarannya dengan mengarang kitab dan mendirikan
tarekat yang berisikan ajaran-ajaran tasawuf.6
C. Dinamisasi Dan Kontekstualisasi Ilmu Kalam Dan Ilmu Tasawuf

6
Rosihon Anwar, 2009. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), cet. I, Hal 69

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam
merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tetang persoalan tentang akidah atau keyakinan. Sementara filsafat adalah
rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan
(esensi) sekaligus eksistensi manusia, Tuhan, dan proses penciptaan alam.
Sedangkan tasawuf merupakan aspek ajaran Islam yang mewariskan etika
kehidupan sederhana, zuhud, tawakkal, kerendahan hati, nilai-nilai kesabaran
dan semacamnya. Sedangkan dunia modern lebih banyak dimuati pemujaan
materi, persaingan keras disertai intrik tipu daya, keserakahan, saling menjegal
antar sesama, tidak mengenal halal haram, dan sebagainya.
Ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti memiliki sistematika dan
metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam adalah metode Jidal
(debat). A. Razak menyebutnya dengan metode Keagamaan. Alasannya, karena
para mutakallimun (teolog) untuk mempertahankan keyakinan dan
argumentasinya selalu dengan perkataan atau pembicaraan dan perdebatan,
sehingga orang yang ahli di bidang kalam disebut mutakallimun. Sedangkan
Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan, pertama periode
pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena
sosial. Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali
menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih
mendalam. Dan Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali
menemukan suatu bentuk pengalaman baru.
B. Saran
Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, saya harap ke depannya akan menjadi lebih baik lagi. Maka dari itu
saya mohon bimbingan dan saran dari teman-teman dan dosen pengampu.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai model studi ilmu kalam dan tasawuf.

11
DAFTAR PUSTAKA

Badrudin. 2014. Pengantar Tasawuf. Serang: Penerbit A-Empat.


Muhammad Ahmad, Tauhid –Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia).
Rohanda WS, 2006. Ilmu Kalam dari Klasik sampai Kontemporer, (Bandung:
Najwa Press, Hal H.A. Mustofa, 2010. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia), cet. V
Rosihon Anwar, 2009. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), cet. I

12

Anda mungkin juga menyukai