Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

BAHASA DAN SISTEM KOMUNIKASI

DI MINANGKABAU

Dosen pengampu:

Meldawati, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 3:

Nabila Aprolioni (21100002)

Awalia Rahmatia (21100027)

Agra Wiratama (21100041)

Achmad Roid AL Gazani (21100046)

Tri Kurnia Maideshinta (21100057)

Riswan Sayuti (21100061)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PGRI SUMATERA BARAT

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT. Yang telah memberikan kekuatan dan
kemampuan serta karunia yang diberikan kepada kami agar dapat menyelesaikan
makalah Budaya Minangkabau yang berjudul “Bahasa Dan Sistem Komunikasi Di
Minangkabau” selesai dengan tepat waktu. Dan kami juga berterima kasih kepada
dosen kami yaitu Meldawati M.pd yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Makalah ini ditulis sebagai acuan untuk mempermudah dalam memahami


tentang kepercayaan dan agama di minangkabau. dimana makalah ini berisikan
tentang materi dan lainnya tentang kebudayaan dan agama di minangkabau. kami
juga mengucapkan terimakasih atas dukungan berbagai pihak yang terkait. yang telah
membantu kami dengan cara langsung maupun tidak langsung. kami pun menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan untuk itu kami
mengaharapkan kritik dan saran. sumbangan pemikiran guna penyempurnaan dari
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata – kata yang kurang
berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki
kesalahan untuk kedepannya menjadi lebih baik lagi.

Padang, 17 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

A. Latar belakang masalah ..................................................................................1


B. Rumusan masalah...........................................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................4

A. Bahasa Lisan Di Minangkabau ......................................................................4


 Bahasa Lisan Sebagai Sistem Oral
Masyarakat Minangkabau ........................................................................4
B. Bahasa Tulisan Di Minangkabau ...................................................................6
C. Kesusastraan Di Minangkabau .......................................................................7
 Kato Nan Ampek......................................................................................9
D. Literasi Minangkabau.....................................................................................10
 Orang Minang Sejak Dulu “ Gila” Pendidikan
Dan Literasi Budaya .................................................................................11

BAB III PENUTUP ..................................................................................................15

A. Kesimpulan ....................................................................................................15
B. Saran ...............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia,
dengan bahasa dapat mengetahui informasi yang kita butuhkan. Selainitu kita
dapat menyampaikan ide dan gagasan kita melalui bahasa.
Oleh sebab itu kita harus mampu menguasai bahasa dan elemen-
elemennya seperti kosakata, struktur dan lain sebagainya. Bahasa muncul dan
berkembang karena interaksi antar individu dalam suatu masyarakat.
Sehubungan dengan peran penting bahasa sebagai bagian dari komunikasi
dalam kehidupan manusia, Fromkin dan Rodman (1998:5) menyatakan secara
singkat sifat bahasa manusia yaitu sebagai suatu sistem arbitrardari simbol
suara yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkomunikasi dan
mengenali satu sama lain.
Bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang masuk ke dalam
kelompok bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa
tersebut, bahasa Melayu Standar, Serawai, Banjar, Jakarta, Bacan, dan Melayu
Menado juga masuk dalam kelompok bahasa Melayik (Adelaar, 1992).
Bahasa Minangkabau dan bahasa-bahasa tersebut memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Buktinya, bahasa-bahasa tersebut berasal dari
protobahasa yang sama, yaitu Protobahasa Melayik (PM). Dapat dikatakan
bahwa bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu merupakan dua bahasa yang
berbeda, namun masih dalam satu rumpun bahasa (berkerabat) sepeti halnya
bahasa Jerman dan bahasa Belanda.
Bahasa Minangkabau seperti bahasa pada umumnya, memiliki variasi.
Variasi-variasi tersebut terlihat dengan adanya beberapa dialek. Nadra
(2006:89) dengan menggunakan metode dialektrometri berdasarkan unsur

1
distribusi leksikal menentukan tujuh dialek bahasa Minangkabau di Sumatera
Barat. Adanya variasi- variasi tersebut menandakan adanya perubahan dan
perkembangan bahasa Minangkabau. Perubahan yang terjadi bisa berupa
pengurangan, penambahan, atau penggantian, baik dalam tataran fonologis,
leksikal, maupun sintaksis.
Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat
dilihat dari perbedaan dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat
Minangkabau di berbagai wilayah. Wilayah Sumatera Barat adalah wilayah
tutur bahasa Minangkabau yang utama dibandingkan dengan wilayah lainnya
di Indonesia. Sampai saat ini tercatat bahwa bahasa Minangkabau digunakan
oleh masyarakat pada 19 kabupaten/kota yang berada di wilayah Provinsi
Sumatera Barat. Luasnya sebaran tersebut menyebabkan bervariasinya bahasa
Minangkabau yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh penuturnya.
Bagi masyarakat Minangkabau, bahasa Minangkabau adalah salah satu
media yang digunakan untuk memperkenalkan kebudayaan lokal daerah
Minangkabau kepada masyarakat luas. Bahasa Minangkabau dan kebudayaan
masyarakatnya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Tumbuh kembangnya bahasa Minangkabau terbentuk karena adanya konteks
budaya, sementara kebudayaan Minangkabau membutuhkan bahasa untuk
menjaga kelestariannya. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan
Bonvillain (1997) bahwa bahasa tidaklah bersifat otonom dan hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi saja. Bahasa Minangkabau, dalam hal ini
memposisikan diri sebagai alat untuk mengekspresikan dan menampilkan
makna-makna budaya yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bahasa Lisan di Minangkabau?
2. Bagaimana Bahasa Tulisan di Minangkabau?
3. Bagimanana bentuk Kesusastraan di Minangkabau?

2
4. Bagaimana literasi Minangkabau?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Bahasa Lisan di Minangkabau
2. Untuk mengetahui bagaimana Bahasa tulisan di Minangkabau
3. Untuk mengetahui bagimanana bentuk Kesusastraan di Minangkabau
4. Untuk mengetahui bagaimana literasi Minangkabau

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa Lisan di Minangkabau


Sastra lisan merupakan warisan budaya yang kita miliki, setiap
daerahmemiliki sastra lisan yang pada umumnya berbeda-beda. Salah Satunya
diMinangkabau mempunyai beberapa sastra lisan, hanya saja pada saat
inisudah mulai memudar atau berkurang di kalangan masyarakatnya.
Sastralisan yang ada di Minangkabau antara lain pantun, syair, dan mantra.
Pantunmerupakan salah satu karya sastra Melayu yang sampai sekarang masih
ada.Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Berasal dari Persia (sekarang
Iran)dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan
kedatanganIslam. Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan
pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran
bahkan ejekan. Sastra lisan ini digunakan masyarakat minangkabau untuk
menyampaikan suatu maksud dengan cara yang lebih halus dan dijadikan
sebagai hiburan dalam kehidupan sehari-hari. Yang dijadikan hiburan seperti
pantun jenaka. Secara tidak langsung sastra lisan juga dapat menjadi sarana
memperkuat pergaulan sosial.

 Bahasa Lisan Sebagai Sistem Oral Masyarakat Minangkabau


Bahasa mempunyai peranan penting dalam aktivitas sehari-hari
seorang manusia karena manusia adalah makhluk sosial. Bahasa menjadi
sebuah alat komunikasi sehari-hari manusia untuk berinteraksi. Berbahasa
juga erat kaitannya dengan kebudayaan yang dia pakai dalam kehidupan
sehari-hari. Hubungan bahasa dan budaya tampak dalam berbagai aktivitas
berbahasa, misalnya dalam interaksi dan berkomunikasi sehari- hari pada
berbagai fenomena kebahasaan yang digunakan oleh penutur bahasa
tersebut. Hal ini berarti bahwa untuk dapat disebut berkemampuan

4
komunikatif, setiap penutur dituntut harus harus memiliki kemampuan
memilah-milah bahasa sesuai dengan kondisinya.
Dalam Bahasa Minang terdapat empat ragam bahasa lisan yang
mempengaruhi dan sangat bergantung pada situasi dan kondisi pada saat
bahasa tersebut akan dipergunakan. Wujud bahasa lisan di Minangkabau
dapat dilihat dalam bahasa adat, bahasa surau, bahasa parewa, dan bahasa
biasa. Bahasa adat, biasanya banyak dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan
adat. Dalam ragam ini mengandung, petatah petitih, pantun adat,
mamangan dan bentuk-bentuk bahasa kias lainnya. Ragam bahasa ini
tertuang dalam pidato adat -- pasambahan-- para penghulu, ninik mamak,
serta tokoh-tokoh adat lainnya.
Bahasa surau, merupakan suatu bentuk bahasa yang banyak
dipergunakan oleh para ulama. Ragam ini dapat ditemui dalam setiap
aktivitas keagamaan di surau. Perbedaannya dengan ragam bahasa adat,
ragam bahasa surau ini banyak mengandung ajaran-ajaran agama, dan juga
banyak dipengaruhi unsur-unsur serapan dalam bahasa arab.
Bahasa parewa dipergunakan oleh kaum muda (parewa), dalam
berkomunikasi antar sesama. Ragam bahasa ini memiliki ciri-ciri, antara
lain: bahasanya sedikit kotor, kasar, dan tak jarang juga muncul bahasa-
bahasa sindiran.
Keempat, yakni, bahasa biasa, atau juga bisa disebut sebagai bahasa
Minang umum sehari-hari. Dikatakan biasa karena, ragam ini biasa
dipergunakan oleh masyarakat Minang dalam bertutur atau berkomunikasi.
Ciri khas dari ragam ini, yakni tidak kentaranya dialek yang dipergunakan
oleh si penutur bahasa Minang.

5
B. Bahasa Tulisan di Minangkabau
Keberaksaraan bahasa Minangkabau menurut sejarahnya menurut Arif
(2015), Kota Padang abad ke-19 merupakan kota kosmopolitan. Perang Paderi
yang dimulai pada 1803 dan berlangsung selama 16 tahun mendatangkan
banyak orang Eropa (Swiss, Perancis, Jerman, Belgia, dan lain-lain) sebagai
tentara bayaran. Beberapa dari mereka kemudian menetap di Padang, terutama
karena alasan perdagangan. Karena diundang oleh perang, sebagian besar
orang Eropa yang datang adalah laki-laki. Mereka yang menetap akhirnya
memperistri perempuan setempat dan memiliki kultur Indo-Eropa yang
berbeda dari kultur Eropa totok maupun lokal. Kaum Indo inilah yang
pertama kali menguasai media cetak di Minangkabau. Surat kabar paling tua,
Sumatra Courant, terbit pada 1859 dan dimiliki L.N.H.A Chatelin yang
merangkap sebagai redaktur. Surat kabar milik kaum Indo umumnya
berbahasa Belanda dan berisi berita perdagangan dan iklan. Arnold Snackey
adalah salah satu pengecualian. Ia menulis dalam bahasa Melayu dan banyak
menaruh minat terhadap kebudayaan Melayu. Ia menerjemahkan sejumlah
kaba (salah satu bentuk sastra Melayu), syair-syair Multatuli,Sejarah
Berdirinya Pohon (sejarah lengkap dari masa VOC sampai pemerintah Inggris
di kota Padang), hingga transkripsi dan penerbitan pantun dan syair
karya Syekh Daud. Dengan didanai Gereja, ia menerbitkan Bentara
Melajoe. Namun surat kabar ini hanya berumur satu tahun karena perselisihan
dengan Gereja.
Namun, masyarakat Minangkabau telah mengenal aksara jauh sebelum
itu. Tradisi baca-tulis Al-Quran yang dibawa Islam dan berkembang di surau
memunculkan hibrida aksara Arab yang dipakai sebagai transliterasi bahasa
Melayu. Sebelumnya pun berkembang aksara "Sumatera kuno", meski masih
sangat terbatas di kalangan elit kerajaan dan pendeta agama. Keberaksaraan
ini, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 masih terbatas dalam kalangan
tertentu dalam masyarakat Minangkabau. Hanya orang terpelajar yang bisa

6
membaca. Namun, hasil cetak bisa menyentuh lapisan masyarakat yang buta
aksara. Orang-orang terdidik akan membaca surat kabar di lapau untuk
kemudian didiskusikan bersama, melanjutkan tradisi bercerita (tradisi maota)
yang sebelumnya berkembang di masyarakat Minangkabau.

C. Kesusastraan Di Minangkabau
Sastra Minangkabau tentu saja adalah karya sastra yang berada dalam
ruang lingkup wilayah Minangkabau. Kesusastraan Minangkabau adalah
kesusastraan adat, yaitu gambaran perasaan dan pikiran dalam tataran alur
patut yang diungkapkan dengan bahasa Minangkabau. Kesusastraan di
Minangkabau lahir awalnya dalam bentuk lisan kemudian berkembang dalam
bentuk tulisan. Diantara bentuk-bentuk kesastraan Minangkabau tersebut
seperti kaba, naskah randai, cerita rakyat dan tambo sebagai bentuk sebuah
kesusastraan, Petatah Petitih, Pasambahan dan pituah.
Kaba merupakan salah satu warisan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Kaba berwujud prosa yang
banyak mengandung falsafah hidup, pendidikan dan pengajaran. Kaba ada
berjenis klasik dan tak klasik. Klasik ceritanya bercerita tentang istana
sedangkan yang tidak klasik bercerita tentang kekinian (Rahmat:2012). Kaba
dulu berwujud lisan, kemudian dibukukan agar kaba tidak hilang begitu saja
ditelan zaman zaman yang semakin modren.
Naskah randai di Minangkabau berangkat dari kaba di daerah-daerah
suku di Minangkabau. Naskah randai berbentuk scrip naskah antar tokoh yang
berperan di dalam pertunjukan Randai tersebut. Sebagian besar naskah randai
yang beredar di Minangkabau ceritanya berangkat dari kisah merantau,
bertemu mamak di perantauan kemudian dipaksa menikah dengan anak
mamak dan lain sebagainya.

7
Cerita rakyat di Minangkabau ada juga yang berangkat dari
legendalegenda yang bertahan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Cerita rakyat yang terkenal di Minangkabau seperti: Malin Kundang, Batu
Batikam, Batu Manangih, Batu Angkek-Angkek, Ikan Sungai Janiah dan lain
sebaginya.
Tambo sebagai bentuk kesustraan pada dasarnya menceritakan asal-
usul bagaimana Minangkabau ini ada. Dalam cerita yang berkembang, tambo
dianggap sebagai Ota Ambo yang berisi hal-halnya susah diterima nalar
manusia. Seperti Gunuang Marapi Sagadang Talua Itiak, Padang Panjang
berasal dari Pedang nan Panjang dan cerita cerita lain di dalamnya.
Petatah petitih atau pepatah petitih (Djamaris, 2003:32) adalah suatu
kalimat atau ungkapan yang mengandung pengertian yang dalam, luas, tepat,
halus dan kiasan. Dalam suatu masyarakat yang bertradisi lisan, pepatah
petitih atau ungkapan yang mengadung ajaran, pandangan hidup yang sangat
penting itu berangkat dari alam di tempat mereka berada atau dalam istilah
adat alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Pasambahan
adalah salah satu jenis sastra lisan Minangkabau yang masih hidup dan
bertahan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan orang Minangkabau yang masih
menggunakannya dalam setiap upacara adat seperti dalam perkawinan,
kematian, makan, minum dan lain sebagainya. Sambah berarti memberikan
penghormatan yang ditujukan kepada orang yang dimuliakan. Pituah
bermakna sebagai sebuah nasihat yang berguna untuk ajaran atau pelajaran
baik, anjuran, petunjuk, peringatan dan teguran di Minangkabau. Pituah
merupakan upaya seseorang atau lembaga untuk memberikan nasihat tentang
sifat dan cara penurunan suatu dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Contohya adalah pituah ayah kepada anak, mamak kepada kemenakan dan
lain sebagainya.

8
 Kato Nan Ampek
Oktavianus (2013) konsep Koto nan ampek adalah salah satu bentuk
tatanan kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Kato nan ampek
menurut Aslinda dalam Revita (2013) merupakan aturan tuturan dalam
bahasa Minangkabau yang penggunaannya tergantung kepada hubungan
sosial yang terjadi antara penutur dengan mitra tutur dalam kehidupan
sehari-hari. Langgam Kato nan Ampek ini dipengaruhi oleh norma-norma
kesopanan yang terdiri atas kato mandaki, kato manurun, kato malereang
dan kato mandata. Kato mandaki (kata mendaki) adalah kata yang
digunakan oleh orang yang berusia lebih muda yang ditujukan kepada
orang yang berusia lebih tua dari penutur. Kata mendaki ini biasanya
digunakan oleh seorang anak kepada orang tua, kemenakan kepada
mamak, adik kepada kakak, murid kepada guru dan lain-lain.
Kato Manurun (kata menurun) adalah kata yang disampaikan oleh
orang yang berusia lebih tua kepada orang yang berusia lebih muda,
seperti dari orang tua kepada anak, mamak kepada kamanakan, guru
kepada murid dan lain-lain. Walaupun usia lawan tutur lebih muda dari
penutur, ketika dalam pembicaraan orang yang berusia lebih tua harus
tetap memperhatikan kesopanan bahasanya agar lawan tuturnya tetap
merasa dihargai dalam pembicaraan tersebut.
Kato malereang (kata melereng) digunakan untuk orang yang disegani
seperti mamak rumah kepada sumando, mertua kepada menantu. Dalam
menyampaikan kata malereang ini dituntut untuk menggunakan kiasan
dalam menjaga kesopanan berbahasa kepada mitra tutur. Kato mandata
(kata mendatar) digunakan untuk teman sebaya. Dalam proses
penyampaian kato mandata bisa lebih bebas, karena penutur dan mitra
tutur berada dalam tingkat usia yang sama (Sjafnir,2006;
Oktavianus,2013; dan Revita, 2013). Kato nan ampek dalam konteks

9
tuturanya kato mandaki dan malereang hendaklah disampaikan secara
santun, berbeda dengan kato mandata dan manurun yang cenderung lebih
kurang santun. Kesantunan tuturan tergambar dari kalimat yang panjang
(mungkin terdiri atas beberapa kalimat), tidak terjadinya pelesapan pada
bagian kalimat atau kata, berbentuk tidak langsung/implisit, dan diikuti
oleh nada suara serta kinesik yang sopan.
Kieh merupakan salah satu ciri cara bertutur masyarakat
Minangkabau. Oktavianus (2013) menjelaskan bahwa penggunaan
ungkapan itu bukan hanya sebagai medium penyampai informasi saja,
tetapi lebih dari itu yaitu sebagai medium pentransferan nilai-nilai yang
terkandung dalam tuturan tersebut seperti mengungkapkan rasa kesal,
marah, emosi, gembira dan sedih. Tuturan eksplisit ini dapat berupa
penghinaan, sindiran, intimidasi, ancaman, penipuan, bahasa palsu atau
kieh bagi masyarakat Minangkabau.
Sastra Minangkabau tentu saja adalah karya sastra yang berada dalam
ruang lingkup wilayah Minangkabau. Kesusastraan Minangkabau adalah
kesusastraan adat, yaitu gambaran perasaan dan pikiran dalam tataran alur
patut yang diungkapkan dengan bahasa Minangkabau. Kesusastraan di
Minangkabau lahir awalnya dalam bentuk lisan kemudian berkembang
dalam bentuk tulisan. Diantara bentuk-bentuk kesastraan Minangkabau
tersebut seperti kaba, naskah randai, cerita rakyat dan tambo sebagai
bentuk sebuah kesusastraan, Petatah Petitih dan Pasambahan. Dibawah ini
ada dua contoh yang merupakan kesusastraan lisan Minangkabau yaitu
Petatah petitih dalam bentuk Batagak Panghulu dan Pasambahan.

D. Literasi Minangkabau
Masyarakat Minangkabau telah memiliki budaya literasi sejak abad
ke-12. Hal ini ditandai dengan ditemukannya aksara Minangkabau. Kitab

10
Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur masyarakat
Minangkabau yang pertama. Tambo Minangkabau yang ditulis dalam Bahasa
Melayu, merupakan literatur Minangkabau berupa historiografi tradisional.
Pada abad pertengahan, sastra Minangkabau banyak ditulis
menggunakan Huruf Jawi. Pada masa ini, sastra Minangkabau banyak yang
berupa dongeng-dongeng jenaka dan nasihat. Selain itu ada pula kitab-kitab
keagamaan yang ditulis oleh ulama-ulama tarekat. Di akhir abad ke-19, cerita-
cerita tradisional yang bersumber dari mulut ke mulut, seperti Cindua
Mato, Anggun Nan Tongga, dan Malin Kundang mulai dibukukan.
Pada abad ke-20, sastrawan Minangkabau merupakan tokoh-tokoh
utama dalam pembentukan bahasa dan sastra Indonesia. Lewat karya-karya
mereka berupa novel, roman, dan puisi, sastra Indonesia mulai tumbuh dan
berkembang. Sehingga novel yang beredar luas dan menjadi bahan pengajaran
penting bagi pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, adalah novel-novel
berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Sala
h Asuhan karya Abdul Muis, Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya
Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Budaya literasi Minangkabau juga
melahirkan tokoh penyair seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan tokoh
sastra lainnya Sutan Takdir Alisjahbana.

 Orang Minang Sejak Dulu “ Gila” Pendidikan Dan Literasi Budaya


Kehebatan orang Minang pada masa lalu, kini dan ke depan itu terletak
pada tingginya perhatian terhadap pentingnya pendidikan dan tradisi literasi
yang kuat. Tradisi literasi tersebut yakni membaca dan menulis. Demikian
terungkap pada webinar Obrolan Hati Pena#58 bertajuk, Literasi
Minangkabau: Dulu, Sekarang dan Akan Datang, Kamis (6/10/2022)
malam. Webinar menampilkan narasumber Pemimpin Redaksi Harian

11
Singgalang Khairul Jasmi dan penulis biografi Minang Hasril Chaniago
dengan host Armaidi Tanjung dan Elza Peldi Taher.
Webinar diselenggarakan Satupena Indonesia, sekaligus kegiatan pra
International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) yang dilaksanakan DPD
Satupena Sumbar pada 22-27 Februari 2023 mendatang. Hasril Chaniago
menggambarkan bagaimana tradisi membaca dan menulis yang membuat
kehebatan orang Minang. Para tokoh besar pemikir, intelektual, dan
cendekiawan asal Minangkabau lahir karena tradisi literasi (membaca dan
menulis). Selain “gila membaca” mereka juga “gila menulis”, serta menguasai
banyak bahasa asing.
“Bung Hatta pulang dari Negeri Belanda setelah menyelesaikan sekolah
tinggi ekonomi di Rotterdam (1931) membawa 16 peti buku, masing-masing
peti berukuran setengah kubik. Untuk menyusun buku-buku tersebut di
rumah Ayub Rais diperlukan waktu tiga hari. Hatta kemudian dikenal sebagai
Bapak Bangsa yang paling banyak menulis buku. Selain bahasa Indonesia,
Hatta lancar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis,
dan Jerman,” kata Hasril yang kini sedang menyiapkan buku biografi memuat
1001 tokoh Minang.
Menurut Hasril, Muhammad Yamin membaca, belajar, dan menulis
segala hal: sejarah, hukum tata negara, puisi dan prosa, hingga soal Jawa kuno
dan menguasai pula bahasa Sanskerta. Siapa yang tidak kenal dengan Tan
Malaka, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Buya Hamka,
Abu Hanifah, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan banyak lagi. Mereka besar
karena hidup dalam tradisi literasi yang luar biasa, gila membaca dan
produktif menulis.
Generasi berikutnya ada Prof. Taufik Abdullah, Prof. Alwi Dahlan, Prof.
A. Syafii Maarif, lalu diteruskan Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Fadli Zon.
Jangan lupa, Prof. Dr. Irwandi Jaswir, ilmuan peneliti ahli halal dunia peraih
King Faisal Prize 2018 yang sangat produktif meneliti dan menulis.

12
Azyumardi Azra seorang wartawan, sejarawan, intelektual dan penulis yang
sangat produktif, bahkan untuk menyimpan koleksi bukunya puluhan ribu
judul harus menyediakan sebuah rumah khusus sebagai perpustakaan
pribadinya.
“Begitu pula Fadili Zon, kolektor buku dan bacaan yang oleh Kompas
dinyatakan sebagai pemilik perpustakaan pribadi terbesar di Indonesia, dan
pemegang 9 rekor MURI berkaitan dengan literasi dan semacamnya. “Sekitar
75 persen penulis Angkatan Balai Pustaka adalah orang Minang. Di setiap
angkatan, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66, nama sastrawan
asal Minang tak bisa dilupakan. Dari sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia
di era modern, enam sastrawan asal Minang pernah meraih penghargaan SEA
Write Award. Mereka adalah A.A. Navis, Taufiq Ismail, Wisran Hadi, Gus tf
Sakai, Afrizal Malna, dan Rusli Marzuki Saria,” kata Hasril, penulis
dan editor lebih 30 buku biografi dan sejarah ini.
Khairul Jasmi menambahkan, pemicu tumbuhnya kaum terdidik
Minangkabau setelah Perang Padri usai. Surau-surau dibangun kembali
dengan puluhan ribu murid. Kemudian Belanda memperlebar jalan dagang di
Minangkabau dengan maksud mudah dikendalikan, munculnya jaringan
kereta api. Jalan dan kereta api ternyata mempermudah anak nagari
mengakses ke kota, tempat tumbuhnya sekolah Belanda terutama di
Padang, Bukittinggi dan Padang Panjang.
“Pelajar-pelajar sekolah Belanda mengubah cara pandang Minangkabau
akan pendidikan. Pada akhir abad 18 ulama muda Minang silih berganti
datang ke Mekkah dan bermukim di sana. Ulama itu belajar pada Ahmad
Khatib orang Minang yang sudah bermukim di sana sampai wafat
1916. Semua muridnya di Nusantara mendirikan madrasah,” kata wartawan
yang akrab disapa KJ.
Khairul Jasmi juga mengungkapkan, kalau mau lihat kehancuran orang
Minang, maka jauhkan mereka dari pasar, sekolah dan surau. Artinya, tiga

13
tempat tersebut menjadikan orang Minang kuat. Pasar sebagai pusat ekonomi,
sekolah melahirkan cendikiawan dan tokoh, sedangkan surau melahirkan
ulama.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Minangkabau memiliki warisan budaya berupa sastra lisan yang
mencakup pantun, syair, dan mantra. Meskipun beberapa bentuk sastra lisan
tersebut mulai memudar, mereka masih menjadi bagian penting dari
kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Bahasa lisan di
Minangkabau juga memiliki empat ragam, yaitu bahasa adat, bahasa surau,
bahasa parewa, dan bahasa biasa, yang digunakan dalam konteks dan situasi
tertentu.
Pentingnya bahasa dalam kehidupan sehari-hari di Minangkabau juga
tercermin dalam konsep Kato nan Ampek, yang menunjukkan aturan tuturan
yang tergantung pada hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Bahasa
ini memiliki norma-norma kesopanan, seperti kato mandaki, kato manurun,
kato malereang, dan kato mandata.
Selain sastra lisan, Minangkabau juga memiliki sastra tulisan, dengan
keberaksaraan bahasa Minangkabau yang berkembang sejak abad ke-12.
Aksara Arab dan aksara "Sumatera kuno" telah digunakan sebelum
kemunculan aksara Minangkabau. Sastra tulisan Minangkabau melibatkan
karya-karya seperti kaba, naskah randai, cerita rakyat, dan tambo. Literasi
Minangkabau juga memainkan peran penting dalam pembentukan bahasa dan
sastra Indonesia.
Tradisi literasi yang tinggi di Minangkabau juga tercermin dalam
kecenderungan masyarakat Minangkabau untuk menghargai pendidikan dan
literasi sejak zaman dahulu. Banyak tokoh terkenal asal Minangkabau, seperti
Bung Hatta, Muhammad Yamin, Tan Malaka, dan banyak lagi, dikenal karena
keterampilan literasi mereka. Pendidikan, surau, dan pasar diidentifikasi
sebagai faktor penting dalam membangun kecerdasan dan kecendekiaan
masyarakat Minangkabau.

15
B. Saran
Sarana untuk pemeliharaan dan pengembangan sastra serta literasi di
Minangkabau dapat disimpulkan sebagai upaya meningkatkan apresiasi
terhadap warisan budaya melalui pelestarian sastra lisan seperti pantun, syair,
dan mantra, serta peningkatan literasi dalam bahasa Minangkabau melalui
program-program di sekolah dan masyarakat. Penguatan bahasa Minangkabau
di lingkungan pendidikan, promosi sastra Minangkabau melalui media massa,
dukungan untuk penelitian sastra, integrasi literasi dalam kegiatan adat,
pelibatan generasi muda melalui klub sastra dan pelatihan menulis, serta
pengenalan aksara Minangkabau dalam pendidikan menjadi langkah-langkah
strategis. Diharapkan, implementasi saran-saran ini dapat menjaga dan
mengembangkan keberlanjutan sastra dan literasi Minangkabau, memastikan
bahwa warisan budaya ini tetap hidup, dan diwariskan kepada generasi
mendatang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Puspita, A. (t.thn.). Bahasa Dan Sistem Komunikasi Di Minangkabau. hal.


https://id.scribd.com/document/508133715/Makalah-Bam-2-ok.

Sumbarsatu.com. (2022, Oktober 07). Orang Minang Sejak Dulu “Gila” Pendidikan
dan Literasi Budaya. pp. https://sumbarsatu.com/berita/28505-orang-minang-
sejak-dulu-gila-pendidikan-dan-literasi-budaya.

Wikipedia. (2023, September 29). Budaya Minangkabau. p.


https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau#Literasi.

Zikrah, M. (n.d.). Adat Dan Agama Di Minangkabau. p. 11.

Zulfa, A. A. (2021). Buku Mahasiswa Simulasi-Project Based Learning (S-PjBL)


Budaya. Jl. Bundo Kanduang No 1 Padang Phonecell/Telp: 085365372924/
(0751) 7053731. Email:: Haqi Paradise Mediatama.

Zusmelia, B. N. (2020). Budaya Minangkabau. Kota Padang: STKIP PGRI Sumbar


Press.

17

Anda mungkin juga menyukai