Anda di halaman 1dari 30

UPAYA PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU

DI INDONESIA

Hendra Simanjuntak, S.Pd., M.Pd.


Pertemuan 23 dan 24

A. PENDAHULUAN

Menurut UU No.18 tahun 2002, Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti
kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
profesi bisa diartikan dengan bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian keterampilan,
kejuruan, tertentu. Selain istilah profesi kita mengenal istilah profesional, profesionalisme, dan
profesionalisasi. Ketiga istilah tersebut memiliki definisi masing-masing. Sudarwan Danim
(2011:103) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut : Profesional merujuk pada dua hal
yaitu orang yang menyandang suatu profesi dan kinerja dalam melakukan pekerjaan yang sesuai
denga profesinya.

Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi yang
digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Sedangkan
profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota
penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan
yang diinginkan oleh profesinya itu.

Keguruan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa diartikan perihal (yang
menyangkut) pengajaran, pendidikan, dan metode pengajaran. Dalam UU Nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, Profesi keguruan adalah pendidikan profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada usia dini, jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Joan Dean mengemukakan

1
bahwa, pengembangan profesionalitas guru (professional development teacher) dimaknai sebagai
a process where by teacher become more professional, yakni suatu proses yang dilakukan untuk
menjadikan guru dapat tampil secara lebih profesional. “ (Pahrudin, 2015)” dengan kata lain dapat
diartikan bahwa, pengembangan profesi guru didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan taraf atau derajat profesi seorang guru yang menyangkut kemampuan guru, baik
penguasaan materi ajar atau penguasaan metodologi pengajaran, serta sikap keprofesionalan guru
menyangkut motivasi dan komitmen guru dalam menjalankan tugas sebagai guru.

Pengembangan dan peningkatan profesi guru juga dilakukan dalam rangka menjaga agar
kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial. Sedangkan pembinaan dan pengembangan karier meliputi
penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Keduanya disesuaikan dengan jabatan fungsional
masing-masing. Urgensi program pengembangan guru sendiri didasarkan pada sebuah asumsi
bahwa tidak semua guru dan tenaga kependidikan yang dihasilkan t elah memenuhi kriteria guru
profesional. Dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi tersebut, agar guru dapat memberikan
kontribusinya secara maksimal bagi pencapaian tujuan pendidikan dan peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia, maka harus ada upaya pengembangan profesi guru yang dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan (terus-menerus).

Kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi guru dilakukan atas prakarsa pemerintah,
pemerintah daerah, penyelenggara satuan pendidikan, asosiasi guru, dan guru secara pribadi.
Pemerintah idealnya berperan aktif dalam upaya pengembangan profesi guru seperti dalam UU
Nomor 14 tahun 2005 bahwasanya pemerintah berkewajiban untuk memberikan dana dalam
rangka membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru agar terbentuk
guru yang profesional dan mumpuni dari segi kompetensi.

Secara pribadi, seorang guru seharusnya memposisikan diri sebagai guru pembelajar.
Dimana ia akan selalu berusaha mengupgrade kapasitas dirinya dengan proses belajar mandiri
sehingga pengetahuan dan skill yang dimiliki semakin terasah dan memenuhi kriteria sebagai guru
yang profesional. Secara umum, kegiatan pengembanagan profesi guru dimaksudkan untuk
merangsang, memelihara, dan meningkatkan kompetensi guru dalam memecahkan masalah

2
pendidkan dan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan mutu belajar siswa yang
selanjutnya meningkatkan mutu pendidikan.

B. SIKAP PROFESIONALITAS

1. Konsep sikap profesionalitas

Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan


atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) (Mustofa,2007)
mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan, teknologi dan manajemen
tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Profesional juga bisa diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ).

Jadi profesional menunjuk pada dua hal yakni orang yang melakukan pekerjaan dan
penampilan atau kinerja orang tersebut dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya Daryanto
(2013) (Lilies,2014). Jadi Guru profesional adalah guru yang menyadari bahwa dirinya adalah
pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik dalam belajar. Sehingga guru secara
terus-menerus perlu mengembangkan pengetahuannya tentang bagaimana seharusnya peserta
didik itu belajar. Perwujudannya, jika terjadi kegagalan pada peserta didik, guru terpanggil untuk
menemukan akar penyebabnya dan mencari solusi bersama peserta didik, bukan mendiamkannya
atau malahan menyalahkannya.

Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenali diri dan kehendak
untuk memurnikan keguruannya serta mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru.
Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tidak mungkin betah dan bangga menjadi guru.
Kebanggan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional Kunandar
(2010) ( Lilies,2014). Kualitas profesionalisme guru ditunjukkan oleh lima sikap,yakni :

1) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal;

3
2) Meningkatkan dan memelihara citra profesi;

3) Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat


meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya

4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi;

5) Memiliki kebanggaan terhadap profesinya Sagala (2009) (Lilies,2014).

Guru profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan
tinggi (profesiensi) sebagai sumber kehidupan. Dalam menjalankan kewenangan profesionalnya,
guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) psikologis yang meliputi :

(1) Kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta);

(2) Kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa);

(3) Kecakapan psikomotor (kecakapan ranah karsa).

Disamping itu, ada satu kompetensi yang diperlukan guru, yakni kompetensi kepribadian
Syah (2011) ( Lilies,2014). Menurut Suryadi dalam Suwarna (2004) ( Mustofa,2007), predikat
guru profesional dapat dicapai dengan memiliki empat karakteristik profesional, yaitu:

1. Kemampuan profesional (professional capacity), yaitu kemampuan intelegensi sikap, nilai,


dan keterampilan serta prestasi dalam pekerjaannya. Secara sederhana, guru harus
menguasai materi yang diajarkan.
2. Kompetensi upaya profesional (professional effort), yaitu kompetensi untuk
membelajarkan siswanya.
3. Profesional dalam pengelolaan waktu (time devotion).
4. Imbalan profesional (professional rent) yang dapat menyejahterakan diri dan keluarganya.

Arifin (2000) (Mustofa, 2007) mengemukakan guru Indonesia yang profesional


dipersyaratkan mempunyai:

4
1) Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat
ilmu pengetahuan di abad 21;
2) Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan
sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan
proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan
pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
3) Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan. Profesi guru merupakan profesi
yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek
pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program
pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen
pendidikan yang lemah.

2. Ciri-ciri Guru Profesional

GPM (Guru Profesional Madani) memiliki ciri-ciri sebagai professional sungguhan. Ciri-
ciri itu terefleksi dari perilaku kesehariannya sebagai GPM. Hasil study beberapa ahli mengenai
sifat-sifat atau karakteristik profesi, yang secara taat asas dimiliki dan dijunjung tinggi oleh GPM,
yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1) Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Termasuk dalam kerangka ini,
pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki oleh seorang
penyandang profesi.
2) Memiliki pengetahuan spesialisasi. Pengetahuan spesialisasi mengkhususkan penguasaan
bidang keilmuan tertentu. Guru yang sesungguhnya harus memiliki spesialisasi bidang
studi (subject matter) dan penguasaan metodologi pembelajaran.
3) Menjadi anggota organisasi profesi. Dibuktikan dengan kepemilikan kartu anggota,
pemahaman terhadap norma–norma organisasi, kepatuhan terhadap kewajiban dan
larangan yang ditetapkan oleh organisasi tersebut.
4) Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
Pengetahuan khusus itu bersifat aplikatif dimana aplikasinya didasari atas kerangka teori
yang jelas dan teruji.

5
5) Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. GPM mampu
berkomunikasi sebagai guru dalam makna apa yang disampaikannya dapat dipahami oleh
siswa.
6) Memiliki kapastitas mengorganisasikan kerja secara mandiri dan selforganization. Istilah
mandiri disini berarti kewenangan kademiknya melekat pada diri sendiri.
7) Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Memberikan layanan kepada anak didik
pada saat bantuan itu diperlukan.
8) Memiliki kode etik. Kode etik dijadikan norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh
guru–guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas
profesi sebagai pendidik.
9) Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas. Dalam bekerja GPM memiliki tanggung
jawab kepada komunitas terutama anak didiknya.
10) Mempunyai sistem upah. Sistem upah yang dimaksud disini adalah standar gaji yang
terima oleh guru.
11) Budaya professional. Budaya profesi dapat berupa penggunaan symbol yang berbeda
dengan simbol–simbol untuk profesi lain.
12) Melaksanakan pertemuan professional tahunan. Pertemuan ini dapat dilakukan dalam
bentuk forum guru, seminar, diskusi panel, workshop.

3. Prinsip Profesional

Profesi guru menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu: ”Profesi
guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional
sebagai berikut:

1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.


2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugasnya.
3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
4. Mematuhi kode etik profesi.
5. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.

6
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
8. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
9. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.

Menurut Richard D. Kellough (1998) (Danim, Sudarwan,2011) kompetensi yang harus


dikuasai guru professional yaitu :

a) Menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkan,


b) Merupakan anggota aktif organisasi profesi guru, membaca jurnal professional, melakukan
dialog dengan sesame guru, mengembangkan kemahiran metodologi, membina siswa dan
materi pelajaran,
c) Memahami proses belajar dalam artian siswa memahami tujuan belajar, harapan – harapan
dan prosedur yang ada di kelas,
d) Terbuka untuk berubah, berani mengambil resiko dan bertanggung jawab,
e) Mengorganisasi kelas dan merencanakan pelajaran secara cermat,
f) Komunikator yang efektif,
g) Bisa mengambil keputusan secara efektif,
h) Menyiapkan situasi belajar yang positif dan konstruktif,
i) Mempunyai humor yang sehat,
j) Mampu mengenali secara cepat siswa yang mememerlukan perhatian yang khusus,
k) Mampu mengimplementasikan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari–hari,
l) Dapat dipercaya baik dalam membuat perjanjian maupun kesepakatan.

Lebih lanjut dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 28
menyebutkan bahwa ”pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rokhani, serta memilki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional”.

7
d. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru

Menurut Ani M. Hasan (2003) (Mustofa,2007), faktor-faktor yang menyebabkan


rendahnya profesionalisme guru antara lain:

1) Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh
banyak guru yang bekerja diluar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
2) Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang
lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga
menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
3) Kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut
untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Secara lebih rinci, Akadum (1999) (Mustofa,2007) mengemukakan bahwa ada lima
penyebab rendahnya profesionalisme guru:

a. Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,


b. Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
c. Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan
kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya
kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
d. Masih belum ada kesepakatan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada
calon guru,
e. Masih belum berfungsinya PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat
politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat
meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namundemikian di masa mendatang PGRI
sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggotanya.

8
C. PENGEMBANGAN PROFESI GURU

Strategi pengembangan Profesi Guru Pengembangan profesionalisme guru selalu


mendapatkan perhatian secara global, karenaguru berperan penting dalam mencerdaskan bangsa
dan sebagai sentral pendidikan karakter. Tugas mulia yang diemban seorang guru tersebut menjadi
berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda sebagai penerus yang mampu
bersaing namun juga unggul dari segi karakter. Mengembangkan profesi guru bukan sesuatu yang
mudah, maka diperlukan strategi yang tepat dalam upaya menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan profesi guru.

Situasi kondusif ini jelas amat diperlukan oleh tenaga pendidik untuk dapat
mengembangkan diri sendiri ke arah profesionalisme guru. Dalam jurnal ekonomi dan pendidikan
yang ditulis Mustofa dijelaskan beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menciptakan situasi
yang kondusif bagi pengembangan profesi guru, yaitu:

a. Strategi perubahan paradigma Strategi ini dimulai dengan mengubah paradigma birokasi
agar menjadimampu mengembangkan diri sendiri sebagai institusi yang
berorientasipelayanan, bukan dilayani. Strategi perubahan paradigma dapat dilakukan
melalui pembinaan guna menumbuhkan penyadaran akan peran dan fungsi birokrasi dalam
kontek pelayanan masyarakat.
b. Strategi debirokratisasi Strategi ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkatan birokrasi
yang dapatmenghambat pada pengembangan diri guru. Strategi tersebut memerlukan
metode operasional agar dapat dilaksanakan. Sementara strategi debirokratisasi dapat
dilakukan dengan cara mengurangi dan menyederhanakan berbagai prosedur yang dapat
menjadi hambatan bagi pengembangan diri guru serta menyulitkan pelayanan bagi
masyarakat.

Untuk melakukan profesionalisasi ada tiga pengembangan yang ditawarkan oleh R.D.
Lansbury (Pahrudin, 2015) yang dapat dijadikan sebagai kerangka dalam merumuskan strategi
pengembangan yakni :

Pendekatan karakteristik, berupaya memunculkan karakter yang melekat dalam suatu


profesi, sehingga profesi itu benar-benar dijalankan sesuai dengan tuntunan profesional.

9
Pendekatan institusional, pendektan yang lebih memandang profesionalitas sebagai suatu
proses konstitusional atau perkembangan asosional
Pendekatan legalistik, merupakan upaya profesionalisasi yang menekankan pada adanya
pengakuan suatu profesi oleh negara.

Dari pendekatan diatas, dapat dirumuskan strategi dalam pengembanganprofesionalitas


kedalam tiga level yaitu: pertama, upaya-upaya profesionalisasi yang dilakukan oleh guru secara
pribadi agar mereka dapat meningkatkan kualitas keprofesionalan, dengan atau tanpa bantuan
pihak lain. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pelatihan mandiri. Kedua, pengembangan
yang dilakukan oleh manajemen lembaga melalui berbagai kebijakan manajerial yang dilakukan.
Kedua level ini dapat diaktegorikan dalam strategi mikro pengembangan profesional guru.
Sedangkan level ketiga adalah upaya pengembangan pada level makro yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat secara luas dalam kerangka manajemen pendidikan nasional.

Di lihat dari konteks manajemen makro dalam sistem pendidikan nasional, Tilaar
(Pahrudin, 2015) menawarkan langkah-langkah yang disebut dengan strategi pengembangan
profesionalitas guru yaitu:

1. Mengupayakan terjadinya peningkatan status profesi guru agar dapat sejajar dengan profesi
lain.
2. Pengembangan profesionalitas guru harus lebih berorientasi pada peningkatan kualitas,
bukan kuantitas. Dalam hal ini maka dperlukan SDM maupun finansial.
3. Profesionalitas guru membutuhkan upaya pendataan kembali terhadap guru agar mereka
dapat dikembangkan.

a. Prinsip pengembangan Profesi Guru


 Sudarwan Danim (2011 : 92) menyebutkan ada dua prinsip pengembangan profesi
guru yaitu prinsip umum dan khusus. Prinsip umum pengembangan profesi guru
adalah sebagai berikut: Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural , dan
kemajemukan bangsa.
 Satukesatuan yang sitematis dengan sistem yang terbuka dan multimakna.

10
 Suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan guru yang berlangsung sepanjang
hayat.
 Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
guru dalam proses pembelajaran.

Prinsip khusus atau operasional pengembangan profesi guru meliputi hal-hal sebagai
berikut:

 Ilmiah, dimana keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam kompetensi
dan indikator harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
 Relevan, dimana rumusnya berorientasi pada tugas pokok dan fungsi guru sebagai
pendidik professional
 Sistematis, dimana setiap komponen dalam kompetensi jabatan guru berhubungan secara
fungsional dalam mencapai kompetensi.
 Konsisten, dimana adanya hubungan yang ajeg dan taat asas antar kompetensi dan
indikator.
 Aktual dan kontekstual yakni rumusan kompetensi dan indikator dapat mengikuti
perkembangan iptek.
 Fleksibel, dimana rumusan kompetensi dan indikator dapat berubah sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman.
 Demokratis, dimana setiap guru memiliki hak dan peluang yang sama untuk diberdayakan
melalui proses pembinaan dan pengembangan keprofesionalitasnya.
 Objektif, dimana setiap guru dibina dan dikembangkan profesi dan karirnya dengan
mengacu pada hasil penilaian yang dilaksanakan berdasarkan indikator-indikatorterukur
dari kompetensi profesinya.
 Komprehensif, dimana setiap guru dibina dan dikembangkan profesi dan karirnya untuk
mencapai kompetensi profesi dan kinerja yang bermutu dalam memberikan layanan
pendidikan.
 Memandirikan, dimana setiap guru secara terus menerus diberdayakan untuk mampu
meningkatkan kompetensinya secara berkesinambungan, sehingga memiliki kemandirian
profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsi profesinya.

11
 Profesional, dimana pengembangan profesi dan karier guru dilaksanakan dengan
mengedepankan nilai-nilai profesionalitas.
 Bertahap, dimana pengembangan profesi dan karier guru dilaksanakan secara bertahap
agar guru benar-benar mancapai puncak profesionalitas.
 Berjenjang, dimana pengembangan profesi guru dilaksanakan secara berjenjang
berdasarkan jenjang kompetensi atau tingkat kesulitan kompetensi yang ada pada standar
kompetensi.
 Berkelanjutan, dimana pengembanagn profesi guru dilaksanakan secara berkelanjutan
karena perkembangan ilmu pegetahuan, teknologi dan seni serta adanya kebutuhan
penyegaran kompetensi guru.
 Accountable, dimana pengembangan profesi guru dipertanggungjawabkan secara
transparan kepada publik.
 Efektif, dimana pelaksanaan pengembangan profesi guru harus mampu menberikan
informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang tepat
oleh pihak terkait.
 Efesien, dimana pelaksanaan pengembangan profesi guru harus didasari atas
pertimbangan penggunaan sumber daya seminimal mungkin untuk hasil yang optimal.

b. Jenis-jenis Kegiatan Pengembangan Profesi Guru

Inisiatif pengembangan keprofesian guru idealnya banyak berasal dari prakarsa lembaga.
Atas dasar ini, diasumsikan munculnya proses pembiasaan, yang kemudian guru dapat tumbuh
dengan sendirinya. Tentu saja, semua itu juga berawal dari prakarsa guru secara individual.
Menurut Sudarwan Danim (2011 : 94) Apabila dilihat dari sisi prakarsa lembaga, pengembangan
profesi guru dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat)
maupun bukan diklat, antara lain:

1. Pendidikan dan Pelatihan

a. In-House Training (IHT) Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan
secara internal di kelompok kerja guru, sekolah, atau tempat lain yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT dilakukan berdasarkan
pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karier guru

12
tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi bisa juga secara internal dengan cara
dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi yang belum dimiliki guru lain. Program ini
diharapkan dapat menghemat waktu dan biaya.
b. Program magang Program magang merupakan pelatihan yang dilaksanankan di dunia kerja
atau industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional guru.
Program magang ini diperuntukkan bagi guru dan dapat dilakukan selama periode tertentu
misalnya, magang di sekolah. Program magang ini dipilih dengan alasan bahwa
keterampilan tertentu yang memerlukan pengalaman nyata.
c. Kemitraan sekolah Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan antara sekolah
yang baik dan sekolah yang kurang baik, antara sekolah negeri atau sekolah swasta.
Pembinaan lewat mitra sekolah diperlukan dengan alasan bahwa agar terjadi transfer nilai-
nilai kebaikan dari beberapa keunikan dan kelebihan yang dimiliki mitra kepada mitra lain.
Misalnya dalam bidang manajemen sekolah
d. Belajar jarak jauh Pelatihan melalui belajar jarakjauh dapat dilaksanakan tanpa
menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan
dengan sistem pelatihan internet dan sejenisnya. Pelatihan jarak jauh dilakukan dengan
pertimbangan bahwa tidak semua guru terutama di daerah terpencil dapat mengikuti
pelatihan di tempat-tempat pembinaan yang ditunjuk seperti di ibu kota kabupaten atau
provinsi.
e. Pelatihan berjenjang dan khusus Pelatihan jenis ini dilaksanakan di lembaga-lembaga
pelatihan yang diberi wewenang, dimana program disusun secara berjenjang mulai dari
jenjang dasar, menengah, lanjut, dan tinggi. Jenjang pelatihan disusun berdasarkan tingkat
kesulitan dan jenis kompetensi. Sedangkan pelatihan khusus (spesialisasi) disediakan
berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam
keilmuan tertentu.
f. Kursus singkat di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat
dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kemampuan guru dalam beberapa kemampuan
seperti kemampuan melakukan penilitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah,
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran.

13
g. Pembinaan internal oleh sekolah Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah
dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas
mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, dan diskusi dengan rekan sejawat.
h. Pendidikan lanjut Pembinaan guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan alternatif
bagi peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru. Pengikutsertaan guru dalam pendidikan
lanjut ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar baik dalam maupun luar
negeri bagi guru yang berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan menghasilkan
guru-guru pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya pengembangan
profesi.

2. Non-pendidikan dan pelatihan

a. Diskusi masalah pendidikan Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik
diskusi sesuai dengan masalah yang dialamai sekolah. melalui diskusi berkala diharapkan
para guru dapat memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses
pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi dan pengembangan
kariernya.
b. Seminar Pengikutsertaan guru dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah
juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan bagi peningkatan keprofesian guru.
Kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan
kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas
pendidikan.
c. Workshop kegiatan ini dilakukan untuk menghasilkan produk yamng bermanfaat bagi
pembelajaran, peningkatan kompetensi mauapun pengembangan kariernya. Workshop
dapat dilakukan,misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum,
pengembangan silabus, sertapenulisan rencana pembelajaran.
d. Penelitian Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas,
penelitian eksperimen, ataupun jenis lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
e. Penulisan buku/ bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku
pelajaran, ataupun buku dalam bidang pendidikan.

14
f. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk
alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik atau animasi
pembelajaran.
g. Pembuatan karya teknologi/ karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat
berupa karya yang bermanfaat untuk masyarakat atau kegiatan pendidikan serta karya seni
yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.

Selain kegiatan-kegiatan pengembangan profesi yang dikemukakan Sudarwan Danim,


terdapat berbagai model pengembangan profesi guru yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain
: Menurut Richard dan Lockhart (2000) (Sobri, 2016) terdapat beberapa model pengembangan
profesional guru, meliputi:

1) Keikutsertaan dalam konferensi (conference participation),

2) Workshop dan seminar (workshops and in service seminars),

3) Kelompok membaca (reading groups),

4) Pengamatan kolega (peer observation),

5) Penulisan jurnal/catatan harian guru (writing teaching diaries/journals),

6) Kerjaproyek (project work),

7) Penelitian tindakan kelas (classroom action research),

8) Portofolio mengajar (teaching portfolio),

9) Mentoring (mentoring).

Sedangkan menurut Kennedy (2005) (Sobri, 2016) menyatakan ada sembilan model
pengembangan profesionalisme guru, yaitu:

a. Training model,

b. Award-bearing model,

c. Deficit model,

15
d. Cascade model,

e. Standards-based model,

f. Coaching/mentoring model,

g. Community of practice model,

h. Action research model,

i. Transformative model.

Masing-masing mempunyai karakteristik yang disesuaikan dengan kebutuhan guru. Ditjen


Dikdasmen Kementerian PendidikanNasional menyebutkanbeberapa alternatif program
pengembanganprofesional guru, yaitu:

a) Program peningkatan kualifikasi guru atau program studi lanjut,

b) Program penyetaraan dan sertifikasi,

c) Program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi,

d) Program supervisi pendidikan,

e) Program pemberdayaan MGMP,

f) Simposium guru,

g) Program tradisional lainnya, misalnya CTL, PTK, penulisan karya ilmiah,

h) Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah,

i) Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah,

j) Melakukan penelitian,

k) Magang,

l) Mengikuti berita aktual dari media pemberitaan,

m) Berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi,

16
n) Menggalang kerjasama dengan teman sejawat.

Diaz dan Maggioli (2003) (Sobri, 2016) menambahkan enam model atau pendekatan,
yaitu:

a) Rancangan konferensi (conference plan),

b) Pemantauan kolega (peer coaching),

c) Penelitian tindakan kelas (classroom action research),

d) Kelompok belajar kolaboratif (collaborative study groups)

e) Rencana pengembangan pribadi (individual development plan), dan

f) Jurnal percakapan (dialog journals).

Selanjutnya Castetter (Sobri, 2016) juga menyampaikan lima model pengembangan


profesional guru, yaitu:

a) Pengembangan guru yang dipandu secara individual (individual guided staff development),
b) Observasi atau penilaian (observation/assessment),
c) Keterlibatan dalam proses pengembangan/ peningkatan,
d) Pelatihan (training), dan
e) Pemeriksaan (inquiry).

Berbagai model profesionalisme guru yang dikemukakan oleh para ahli ternyata memiliki
banyak persamaan. Ahmad Yusuf Sobri menjelaskan dalam jurnalnya pada Konvensi Nasional
Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016 beberapa implementasi modelmodel
profesionalisme guru sehingga memungkinkan guru dapat memilih model tersebut sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing :

1. Program peningkatan kualifikasi pendidikan guru Program ini ditujukan bagi guru yang
belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana untuk mengikuti pendidikan

17
sarjana bahkanmagister pendidikan keguruan dalam bentuk tugasbelajar. Namun saat ini,
sangat jarang guruberkualifikasi di bawah sarjana.
2. Program penyetaraan dan sertifikasi Program penyetaraan diberikan kepada guru yang latar
belakangpendidikannya tidak sesuai dengan tugas mengajarnya atau bukan dari program
pendidikan keguruan. Sedangkan program sertifikasi ditujukan kepada guru yang telah
memenuhi syarat (misalnya, minimal telah mengajar lima tahun, lulus UKG) agar mereka
dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan jugamemperoleh kesejahteraan.
3. Program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi Program pelatihan ini diberikan kepada
guru agar tercapai kompetensi yang diinginkan sehingga materi pelatihan mengacu kepada
bahan-bahan yang menunjang kompetensi yang akan dicapai.
4. Program supervisiPendidikan Program ini ditujukan untuk memberikanbantuan kepada
guru dalam menyelesaikan persoalanpembelajaran yang dihadapi guru di kelas dan
jugapersoalan yang terkait dengan pendidikan secaraumum.
5. Program pemberdayaan KKG dan MGMP KKG adalah wadah kegiatan profesional guru,
biasanya untuk guru SD (guru kelas), sedangkan MGMP untuk guru SMP dan SMA sesuai
dengan bidang studi masing-masing guru. Dengan adanya wadah ini, guru dapat saling
memberi masukan tentang materi pembelajaran yang diajarkan dan dapat mencari alternatif
pemecahan terhadap persoalan-persoalan pembelajaran yang dihadapi di dalam kelas.
6. Simposium guru Simposium merupakan media guru untuk saling bertukar pikiran dan
pengalaman tentang proses pembelajaran dan ajang untuk kompetisi ajang kreativitas
diantara guru.
7. Program pelatihan tradisional lainnya Program pelatihan yang ditujukan kepada guru
dengan hanya membahas persoalan aktual dan penting sehingga guru tidak ketinggalan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya pembelajaran kontektual,
Kurikulum 2013, blended learning, danpenelitian tindakan kelas.
8. Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah Salah satu kelemahan guru adalah
kurangnya membaca dan menulis karya ilmiah sehingga karir guru sedikit terhambat
karena mereka kekurangan karya ilmiah. Untuk itu gugus sekolah perlu memprogram
pelatihan penulisan karya ilmiahbagi guru sehingga mereka produktif dalam berkarya,serta
perlu adanya pendampingan dari pihak kepalasekolah dan pengawas pendidikan.

18
9. Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah Pertemuan ilmiah ditujukan kepada guru untuk
memberikanpengetahuan mutakhir tentang pendidikan dan pembelajaran. Pemberian
informasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan aspek kompetensi dan profesional guru
dalam proses pembelajaran.
10. Melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) Penelitian ini sangat dianjurkan kepada guru
supaya guru dapat merefleksikan program pembelajaran yang telah dilaksanakan di dalam
kelasnya sehingga guru selalu dapat memperbaiki performansi mengajarnya. Namun,
karena tugas mengajar yang banyak menyebabkan guru jarang melakukan PTK selain juga
disebabkan kemauan dan kemampuan mereka menulis karya ilmiah. Oleh karena itu perlu
adanya pendampingan dari kepalasekolah dan pengawas sekolah agar guru menjadi
produktif dalam melakukan PTK.
11. Magang Kegiatan ini biasanya ditujukan kepada guru pemula. Guru pemula melakukan
magang di dalam kelas dengan bimbingan guru senior sesuai dengan bidang studinya.
Kegiatan magang biasanya meliputi: pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas
dengan tujuan agar guru pemula tersebut dapat mengikuti jejak guru senior yang
profesional.
12. Mengikuti berita aktual dari media pemberitaan Pengetahuan dan pemahaman guru tidak
hanya terpacu dengan materi pembelajaran di buku, tetapi juga perlu pengetahuan yang
lebih luas melalui media cetak dan eletronik, dan bahkan guru diharapkan dapat mengikuti
pemberitaan melalui internet. Guru profesional akan selalu mengikuti perkembangan
pengetahuan dari berbagai sumber media yang tersedia.
13. Berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi Organisasi profesi memberikan
keuntungan yang besar kepada guru (PGRI) untuk mengembangkan
profesionalitasnyadengan membangun sesama komunitas pembelajaran.
14. Menggalang kerjasama dengan teman sejawat Kerjasama yang erat diantara sejawat guru
dapat memberikan peluang pengembangan profesionalnya melalui kegiatan ilmiah dan
kegiatan lainnya sehingga profesionalisme guru meningkat.
15. Pengembangan guru yang dipandu secara individual Program ini bertujuan agar guru dapat
menilai kebutuhan belajar mereka sendiri, mampu belajar aktif serta mengarahkan diri
mereka sendiri. Oleh karena itu, kepala sekolah dan pengawas sekolah seyogyanya

19
memotivasi guru saat menyeleksi tujuan belajar berdasarkan penilaian personal kebutuhan
mereka.
16. Observasi dan Penilaian Kegiatan ini ditujukan kepada guru agar mereka dapat mengamati
dan menilai program pembelajaran yang dilakukansehingga guru memiliki data yang
akurat tentang pembelajarannya untuk kemudian mereka dapat melakukan refleksi dan
analisis terhadap peningkatan proses pembelajaran di kelasnya.
17. Pemberian penghargaan Agar guru giat menjalankan profesinya, maka
diperlukanpenghargaan terhadap prestasi yang telah ditorehkan,dan bahkan penghargaan
perlu juga diberikan kepadaguru tidak tetap sehingga tidak perbedaan perlakukandiantara
guru.
18. Model deficit Kepala sekolah dan pengawas sekolah seharusnya mengatasidefisit atau
kekurangan dalam kinerja guru yang dikarenakan kelemahan guru secara individual dalam
menjalankan tugas profesinya. Untuk itu, pemimpin sekolah perlu menerapkan manajemen
kinerja terhadap guru sehingga apabila guru mengalami kesulitan dalam menjalankan
tugasnya dapat dibantuoleh kepala sekolah dan pengawas sekolah secara individual.
19. Model cascade atau desiminasi Karena keterbatasan sumberdaya di sekolah, guru secara
individual dikirim untuk mengikuti pelatihan. Setelah selesai mengikuti pelatihan, guru
tersebut menyebarkan informasikepada rekan-rekannya agar mereka juga
memperolehpengetahuan yang sama.
20. Model berbasis standar Model pengembangan ini menitikberatkan kepada standar-standar
yang harus dipenuhi dalam mengadakan pengembangan profesional guru. Model ini
kurang diminati karena lebih menitikberatkan pada standar-standar yang harus dipenuhi
bukan kepada kompetensi apa yang harus dimiliki guru sehingga pengelolaan program
pengembangan profesional guru bersifat seragam tidak berdasarkan kebutuhan.
21. Model mentoring Model pengembangan ini melibatkan dua guru (guru pemula dan
berpengalaman) dan mengandung unsur konseling dan profesional. Guru yang
berpengalaman memberikan pelatihan kepada guru pemula agar guru pemula dapat
meningkatkanprofesionalnya. Ada pula yang menyatakan model iniadalah model supervisi
klinis kepada guru pemula.

20
D. IMPLEMENTASI PROGRAM PENGEMBANGAN PROFESI GURU DI INDONESIA

1. Implementasi Secara Umum Program Sertifikasi Guru Di Indonesia

Dunia pendidikan erat kaitannya dengan proses transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
karakter. Dimana pelaku utamanya adalah guu. Guru menjadi poros utama yang menentukan
kualitas peserta didiknya dan lebih jauh lagi mempengaruhi mutu pendidikan. Jabatan guru sebagai
profesi bermula setelah dikeluarkannya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD) yang disahkan oleh DPR. Sesuai dengan amanat Undang - Undang No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2008
tentang Guru dan Peraturan Menteri pendidikan Nasional No 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi
Guru dalam Jabatan menyebabkan perlu adanya penyelenggaraan sertifikasi profesi guru melalui
penilaian portofolio atau melalui pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidik
dan Tenaga Kependidikan yang selanjutnya disebut LPTK.

LPTK merupakan Perguruan Tinggi yang ditunjuk untuk pelaksanaan proses sertifikasi
(Permendikbud No.62 Tahun 2013). LPTK yang dipilih merupakan perguruan tinggi yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu
guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, diharapkan dapat meningkatkan mutu
pembelajaran dan meningkatkan mutu layanan bimbingan dan konseling yang pada akhirnya
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.

Bagi peserta sertifikasi yang belum dinyatakan lulus, LPTK Rayon merekomendasikan
alternatif untuk melakukan kegiatan mandiri untuk melengkapi kekurangan dokumen portofolio
atau mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (Diklat Profesi Guru atau PLPG) yang
diakhiri dengan ujian. PLPG diakhiri dengan uji kompetensi guru (UKG) yang dilakukan oleh
LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru dengan mengacu pada rambu-rambu Ujian PLPG. Uji
kompetensi meliputi uji tulis dan uji kinerja (praktik pembelajaran). PLPG sangat diperlukan
dalam meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia dalam suatu lembaga
pendidikan. PLPG juga penting untuk membantu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
dengan lebih baik. Selain itu PLPG akan membawa keuntungan bagi lembaga pendidikan,
sehingga akan tercipta tenaga-tenaga pendidik yang profesional serta berkompetensi pada
bidangnya masing-masing.

21
Berdasarkan rambu-rambu pelaksanaan pendidikan dan latihan profesi guru adapun
penyelenggaraan PLPG dilakukan berdasarkan proses baku sebagai berikut:

1. PLPG dilaksanakan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan yang telah
ditetapkan pemerintah.
2. PLPG diselenggarakan selama minimal 9 hari dan bobot 90 jam pertemuan (JP), dengan
alokasi 30 JP teori dan 60 JP praktik. Satu JP setara dengan 50 menit.
3. Pelaksanaan PLPG bertempat di LPTK atau di kabupaten/kota dengan memperhatikan
kelayakannya (representatif dan kondusif) untuk proses pembelajaran.
4. Rombongan belajar (rombel) PLPG diupayakan satu bidang keahlian/mata pelajaran.
Dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan (dari segi jumlah) rombel dapat
dilakukan berdasarkan rumpun bidang studi/mata pelajaran.
5. Satu rombel maksimal 30 orang peserta, dan satu kelompok peer teaching/peer
counseling/peer supervising maksimal 10 orang peserta dalam kondisi tertentu jumlah
peserta satu rombel atau kelompok peer teaching/peer counseling/peer supervising dapat
disesuaikan.
6. Satu kelompok peer teaching/peer counseling/peer supervising difasilitasi oleh dua orang
instruktur. Dalam kondisi tertentu, peer teaching/peer counseling/peer supervising dapat
difasilitasi oleh satu orang, tetapi pada saat ujian, instruktur harus 2 orang.
7. Dalam proses pembelajaran, instruktur menggunakan multi media dan multi metode yang
berbasis pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).
8. PLPG diawali pretest sacara tertulis (1 JP) untuk mengukur kompetensi pedagogic dan
professional awal peserta.
9. PLPG diakhiri uji kompetensi dengan mengacu pada rambu-rambu pelaksanaan PLPG. Uji
kompetensi meliputi uji tulis dan uji kinerja (praktik pembelajaran).
10. Ujian tulis pada akhir PLPG dilaksanakan dengan pengaturan tempat duduk yang layak
dan setiap 30 peserta diawasi oleh dua orang pengawas.
11. Ujian praktik dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
a. Guru kelas dan guru mata pelajaran terpadu dengan kegiatan peer teaching.
b. Guru bimbingan konseling atau konselor terpadu dengan kegiatan peer counseling.

22
c. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas, ujian praktik terdiri atas penyusunan
rencana program kepengawasan, penyusunan laporan kepengawasan dan ujian
praktik supervisi (peer supervising).
d. Sekurang-kurangnya satu penguji pada ujian praktik harus memiliki NIA yang
relevan atau dalam kondisi tertentu serumpun dengan mata pelajarannya.
e. Ujian praktik mengajar dinilai dengan Lembar Penilaian Pelaksanaan Pembelajaran
(IPKG II), ujian praktik bimbingan konseling dinilai dengan Lembar Penilaian
Pelaksanaan Bimbingan Konseling.
f. Khusus untuk guru yang diangkat dalam jabatan pengawas ujian praktik supervisi
dinilai dengan lembar penilaian yang analog dengan IPKG II.
12. Penentuan kelulusan peserta PLPG dilakukan secara objektif dan didasarkan pada rambu-
rambu penilaian yang telah ditentukan.
13. Peserta yang lulus mendapat sertifikat pendidik, sedangkan yang tidak lulus diberi
kesempatan untuk mengikut ujian ulang sebanyak-banyaknya dua kali. Ujian ulang
diselesaikan pada tahun berjalan. Jika terpaksa tidak terselesaikan, maka ujian ulang
dilakukan bersamaan dengan ujian PLPG kuota tahun berikutnya.
14. Pelaksanaan ujian diatur oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan dengan
mengacu rambu-rambu ini.
15. Peserta yang belum lulus pada ujian ulang yang kedua diserahkan kembali ke dinas
pendidikan/kandepag kabupaten/kota untuk dibina lebih lanjut.

Adapun materi PLPG disusun dengan memperhatikan empat kompetensi guru, yaitu :

1) pedagogik,
2) profesional,
3) kepribadian,
4) sosial.” Standarisasi kompetensi dirinci dalam materi PLPG ditentukan oleh LPTK
penyelenggara sertifikasi dengan mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh
Dirjen Dikti atau Ketua Konsorsium Sertifikasi Guru dan hasil need assesment.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Sertifikasi

23
Guru dalam Jabatan Tahun 2009:Rambu-rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Profesi Guru (PLPG) : 4-6

2. Analisis Mendalam permasalahan program sertifikasi guru di Indonesia

Menjadi guru bukan merupakan bakat sejak lahir, seseorang yang akan menjadi guru
profesional harus melewati proses pendidikan, pengarahan, dan pelatihan yang intensif terlebih
dahulu. Guru sebagai pemeran utama dalam menentukan kualitas pendidikan memang sudah
semestinya mendapatkan sarana dalam mengupgrade kapasitas dirinya agar menjadi guru yang
berkompeten dan profesional yang kemudian berdampak pada peningkatan kualitas peserta didik
dan lebih jauh lagi menigkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Dalam rangka merealisasikan amanat Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru


dan Dosen (UUGD) tentang sertifikasi guru, pemerintah telah menyusun berbagai program yang
bertujuan untuk peningkatan kualitas dan juga kesejahteraan guru. Salah satunya adalah adanya
program sertifikasi guru. Namun dalam realisasinya pelaksanaan program sertifikasi guru masih
menemui banyak permasalahan, baik dalam hal pelaksannannya maupun pencapian tujuan sesuai
dengan hasil yang diinginkan.

Dalam praktiknya ternyata banyak ditemui berbagai tindak penyelewengan baik yang
nampak hingga ke publik maupun yang terselubung oleh pihak-pihak tertentu. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Malem Sendah Sembiring, Staf Peneliti Puslitjaknov, balitbang
Kemdiknas, melalui penelitiannya yang berjudul “Kajian Implementasi Kebijakan Program
Sertifikasi Guru” (Rohemi, 2013) mencatat setidaknya ada empat temuan yang menunjukkan
kegagalan program sertifikasi guru di Indonesia. Pertama, implementasi kebijakan uji kompetensi
guru melalui uji portofolio diragukan pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi guru dan
mutu pembelajaran. Kedua, untuk memenuhi persyaratan penilaian portofolio sejumlah guru
terkendala dengan persyaratan jumlah jam mengajar dan kualifikasi pendidikan. Ketiga,
terindikasi adanya praktek-praktek kurang terpuji alam proses mendapatkan dokumen yang
diperlukan untuk penilian portofolio guru. Keempat, belum terlihat adanya perbedaan kompetensi
akademik, paedagogik, sosial antara guru yang bersertifikat dan belum bersertifikat (Jurnal
Penelitian Kebijakan Pendidikan, vol. 8 tahun ke-3, Agustus 2010) (Rohemi, 2013) Dari hasil
penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa misi sertifikasi guru untuk meningkatkan

24
mutu pendidikan dan menyejahterakan guru akan sulit terwujud bila hambatan dan kecurangan-
kecurangan yang sudah terjadi baik oleh pihak pemda maupun oleh para guru itu sendiri masih
tetap terpelihara.

Praktik-praktik kecurangan yang telah terindikasi beberapa tahun terakhir masih saja
terjadi. Sehingga tidak menutup kemungkinan proses sertifikasi guru akan gagal mencapai
tujuannya. Berkaitan dengan UUGD, banyak memberikan efek positif terhadap profesi guru.
Martabat guru semakin dihargai dan dihormati, kesejahteraannya semakin diperhatikan, terlebih
lagi dengan adanya program sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat
pendidik kepada guru dan dosen (UU No 14 Tahun 2005).

Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru.
Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang
berkualitas. Tujuan utamanya adalah meningkatkan profesionalitas guru sehingga kinerjanya lebih
baik dan kualitas pendidikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya profesionalitas guru
tersebut. Sebagai konsekuensi logis dari disandangnya predikat guru profesional, maka guru yang
bersangkutan berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi, yaitu sejumlah uang yang besarnya
sama dengan satu kali gaji pokok PNS tiap bulan.

Dengan adanya tunjangan tersebut diharapkan kesejahteraan para guru meningkat dan yang
lebih utama dan esensial adalah kualitas guru semakin baik dan kompetensinya semakin terasah.
Amanat UUGD yang berkaitan dengan sertifikasi guru ini didukung secara penuh oleh Pemerintah.
Komitmen pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dalam
meningkatkan profesionalitas guru di Indonesia ini dibuktikan dengan memberikan anggaran Rp
70 triliun hingga tahun 2016 untuk membiayai peningkatan profesionalitas guru melalui sertifikasi.
Sebuah jumlah anggaran yang fantastis dan dianggap wajar yang sedang dan akan digunakan bagi
2,7 juta guru yang saat ini ada di Indonesia.

Tujuan mulia adanya sertifikasi guru ternyata dalam tataran implementasinya


menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan ini pada umumnya dikeluhkan
oleh para guru, antara lain: tidak transparannya penetapan kuota guru yang disertifikasi; banyak
guru yang seharusnya berhak, justru tidak ditetapkan sebagai peserta sertifikasi; pembayaran
tunjangan sertifikasi yang tidak menentu dan selalu terlambat; kalaupun tunjangan profesi pada
akhirnya dibayarkan, tetapi terkadang jumlah bulan yang dibayarkan tidak utuh, harusnya 12 bulan

25
misalnya, ternyata yang cair hanya 9 bulan; jarak waktu yang lumayan agak lama antara
pengumuman kelulusan dengan penerbitan SK pencairan tunjangan profesi; khusus untuk guru
agama yang merangkap guru kelas atau kepala sekolah, namanya terkadang tercantum pada kuota
sertifikasi guru di Kemendiknas dan di Kementerian Agama (Kemenag); kinerja guru yang sudah
disertifikasi biasa-biasa saja dan tidak menunjukkan peningkatan kinerja secara signifikan, tidak
ada perubahan yang berarti, malah kinerjanya lebih rendah dari guru yang belum disertifikasi;
Masalah yang sangat mencolok adalah adanya disharmoni.

Program sertifikasi telah menimbulkan terjadinya kesenjangan atau disharmoni antara


guru-guru yang sudah disertifikasi dengan guru-guru yang belum. Banyak guru senior di sekolah
dasar yang hanya berbekal ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sudah bertahun-tahun
mengajar tetapi tidak terpanggil untuk disertifikasi. Sementara guru baru bergelar sarjana (S-1)
yang baru beberapa tahun mengajar sudah dipanggil untuk sertifikasi. Setelah proses sertifikasi
bergulir celakanya tidak ada alat evaluasi atau mekanisme yang jelas dan mampu memetakan
kinerja guru sebelum dan setelah disertifikasi. Yang ada hanya ancaman kalau kelak ada evaluasi
kinerja guru yang sudah disertifikasi dan terbukti kinerjanya rendah, maka guru yang bersangkutan
akan dicabut tunjangan profesinya. Sepertinya proses sertifikasi kurang mampu membangun etos
kerja guru tetapi justru membuat para guru haus tunjangan. Aspek ini yang menyebabkan para
guru seperti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Kisah bahwa kelulusan sertifikasi diperoleh dengan curang bukanlah dongeng belaka.
Manipulasi portofolio, kelengkapan dokumen seperti piagam, makalah dan syarat-syarat lain yang
diperlukan menjadi bukti bahwa tunjangan sertifikasi jauh lebih menggiurkan ketimbang
prosesnya sendiri yang harus disertai dengan kerja keras membangun kultur pendidikan.

3. Solusi permasalahan PLPG dan sertifikasi

Dengan memperhatikan berbagai problematika dalam realisasi sertifikasi guru, bukan


berarti sertifikasi guru ini harus ditinjau ulang dan distop pelaksanaannya. Sertifikasi guru harus
tetap berlangsung dan terus dievaluasi secara komprehensif karena program ini merupakan amanat
undang-undang.

26
Dalam tataran penerapannya ada beberapa aspek atau komponen yang harus dibenahi,
antara lain :

1. Pentingnya peran petugas dalam pelaksanaan program sertifikasi guru dalam jabatan
seharusnya diimbangi dengan pemenuhan jumlah sumber dayanya. Maka dari itu perlu
untuk memerhatikan jumlah staf atau pegawai yang dibutuhkan untuk melaksanakan segala
kegiatan yang berhubungan dengan implementasi program sertifikasi guru serta sumber
daya finansialnya.
2. Sosialisasi merupakan hal yang penting agar program sertifikasi guru dalam jabatan dapat
berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan. Maka dari itu seharusnya kegiatan sosialisasi
ini lebih ditingkatkan lagi agar pelaksanaan program sertifikasi guru ini berjalan sesuai
dengan panduan yang telah ditetapkan sehingga baik para pelaksana maupun peserta dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dengan baik.
3. Dalam melaksanakan suatu program, kegiatan pengawasan dan Pembuatan laporan secara
kontinyu sangat dibutuhkan untuk nantinya dapat digunakan sebagai patokan atau acuan
dan sebagai bahan evaluasi. Untuk itu seharusnya dalam memberikan laporan
pelaksanaanprogram harus sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan agar dapat melihat
perkembangan dari program sehingga memudahkan dalam pengambilan keputusan dan
tindakan selanjutnya. (Ningrum Fauziah Yusuf, dkk. 2017)
4. Diperlukan adanya kesadaran diri khususnya bagi guru yang sudah tersertifikasi, sudah
semestinya berupaya munjukkan kinerja yang lebih baik lagi, khususnya kinerja yang
terkait dengan proses belajar mengajar sangat erat kaitannya dengan usaha meningkatkan
mutu pendidikan.
5. Keyakinan dalam diri setiap guru yang sudah maupun belum tersertifikasi bahwa tunjangan
profesi bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Semangat atau tidaknya mengajar
bukan dikarenakan ada atau tidaknya tunjangan profesi.

Guru bukan merupakan mata pencaharian yang akan menjadikan kita kaya karena guru
adalah pengabdian yang berbalas pahala dan tunjangan itu hanyalah penghargaan. Maka sudah
seharusnya mindset ingin kaya dengan menjadi guru karena berbagai tunjangan yang didapatkan

27
harus dibuang jauh-jauh. Tanamkan dalam diri sebuah keyakinan bahwa mendidik merupakan
panggilan jiwa, panggilan hati nurani, yang harus bersih dari motivasi duniawi.

Pengembangan profesionalitas guru didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk


meningkatkan taraf atau derajat profesi seorang guru yang menyangkut kemampuan guru, baik
penguasaan materi ajar atau penguasaan metodologi pengajaran, serta sikap keprofesionalan guru
menyangkut motivasi dan komitmen guru dalam menjalankan tugas sebagai guru. Guru
profesional adalah guru yang menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk
mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Sehingga,guru secara terus-menerus perlu
mengembangkan pengetahuannya tentang bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar.

Perwujudannya, jika terjadi kegagalan pada peserta didik, guru terpanggil untuk
menemukan akar penyebabnya dan mencari solusi bersama peserta didik, bukan mendiamkannya
atau malahan menyalahkannya. Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk
mengenali diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya serta mau belajar dengan
meluangkan waktu untuk menjadi guru. Strategi dalam pengembanganprofesionalitas
dapatdirumuskankedalam tiga level yaitu: pertama upaya-upaya profesionalisasi yang dilakukan
oleh guru secara pribadi agar mereka dapat meningkatkan kualitas keprofesionalan, dengan atau
tanpa bantuan pihak lain.

Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pelatihan mandiri. Kedua, pengembangan yang
dilakukan oleh manajemen lembaga melalui berbagai kebijakan manajerial yang dilakukan. Kedua
level ini dapat diaktegorikan dalam strategi mikro pengembangan profesional guru. Sedangkan
level ketiga adalah upaya pengembangan pada level makro yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat secara luas dalam kerangka manajemen pendidikan nasional

28
DAFTAR PUSTAKA

Alzano, Alfi. 2015.” Efektivitas Program Sertifikasi Guru Dalam Meningkatkan Mutu
Hasil Pendidikan (Studi pada SMK Negeri 2 Batusangkar)”. Skripsi. Bandung. Program Sarjana
Unpad. Chairiah,

Siti. 2010. “Efektivitas Pendidikan Dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Dalam Menunjang
Profesionalisme Guru (Studi Kasus Pada Guru SMP Muhammadiyah 22 Setia Budi Pamulang
Tangerang – Banten).”. Skripsi Program Studi Ki-Manajemen Pendidikan . Jakarta. Fakultas Ilmu
Tarbiyah Dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah.

Danil, Deden. 2009. “Upaya Profesionalisme Guru Dalam Meningkatkan Prestasi Siswa
di Sekolah (Study Deskriptif Lapangan di Sekolah Madrasah Aliyah Cilawu Garut)”. Garut: Jurnal
Pendidikan Universitas Garut. Vol. 3,No. 1.

Danim, Sudarwan. 2011. Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Sertifikasi Guru
dalam Jabatan Tahun 2009: Rambu-rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru
(PLPG).

Drajat, Manpandan Ridwan Effendi. 2014. Etika Profesi Keguruan. Bandung: Alfabeta.
Lilies, Noorjanah. 2014.

“Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui Penulisan Karya Tulis Ilmiah Bagi Guru
Profesional di SMA NEGERI 1 KAUMAN KABUPATEN TULUNGAGUNG”. Tulungagung:
Jurnal Humanity. Vol. 10,No. 1.

Mustofa. 2007. “Upaya Pengembangan Profesionalisme Guru di Indonesia”.


Yogyakarta: Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. Vol. 4,No. 1.

Pahrudin. 2015. “Peningkatan Kinerja dan Pengembangan Profesionalitas Guru Sebagai


Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia”. Surakarta: Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.

29
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Nomor 62 Tahun
2013 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Dalam Rangka Penataan Dan Pemerataan Guru.

Rohemi. 2013. “Sertifikasi Guru dan Problematikannya”. Semarang: Seminar Nasional


Evaluasi Pendidikan.

Sobri, Ahmad Yusuf. 2016. “Model-Model Pengembangan Profesionalisme Guru”.


Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII. Malang.

Syahrul. 2009. ”Pengembangan Profesi dan Kompetensi Guru Berbasis Moral dan
Kultur”. Malang: Jurnal MEDTEK. Vol. 1,No. 1.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai Tenaga Profesi.

Yusuf, Ningrum Fauziah; Herijanto Bekti; Dedi Sukarno. 2017. “Implementasi Program
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Studi Pada Madrasah Aliyah Negeri Ciparay Kabupaten
Bandung)”. Bandung: Jurnal Administrasi Negara.Volume 2 No 1

30

Anda mungkin juga menyukai