Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH ISLAM TERHADAP LEMBAGA SOSIAL KEAGAMAAN DAN

POLITIK DI INDONESIA
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Studi Islam II

Disusun Oleh :
 NIMAS CAHYA SUKMA UTARI 11161020000024
 ROBIAH AL ADAWIYAH 11161020000060
 SALSABILA SADYA 11161020000062
 IDZNI IZZATI 11161020000067

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
APRIL 2017
IDENTITAS BUKU
1. Judul : NAHDLATUL ULAMA DAN PANCASILA
2. Penulis : Einar M. Sitompul, M.Th.
3. Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
4. Kota terbit : Jakarta
5. Cetakan : Kedua
6. Deskripsi fisik : 271 hlm. ; 21 cm
7. ISBN : 979-416-042-3

SINOPSIS
Islam masuk ke Indonesia bercorak sufistik. Corak sufisme dari Islam
nampaknya mudah akrab dengan lingkungan Jawa. Agama Islam yang semula
dikembangkan oleh kaum pedagang di pantai utara mau tidak mau memasuki ruang
lingkup pedalaman yang agraris tempat unsur keramat (karamah) dan berkat
(barakat) sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Kebudayaan (jawa)
sebagai embrio nasionalisme bukan hanya reaksi terhadap kebudayaan Barat
(Belanda), tetapi dikonfrontasikan dengan Islam. Kuatnya desakan arus
nasionalisme Islam dan nasionalisme kebudayaan menuntut penyelesaian tegas.
Gerakan pembaharuan muncul akibat persentuhan yang sangat intensif antara Islam
dan peradaban Barat pada abad XIX yang berawal dari Mesir. Dengan demikian
maka kita dapat memahami mengapa gerakan pembaharuan di Indonesia
mempunyai dampak yang luas, yaitu bagaimana ia menghadap dengan penjajahan
Belanda, dan dengan kelompok tradisional (NU), serta dengan kaum nasionalis.
Organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang tidak pernah menempuh pendidikan modern.
Begitu muncul Muhammadiyah segera melakukan program pembaharuannya
(pemurnian) agama islam. Jainuri meneglompokkan itu dalam tiga bidang, yaitu
keagamaan, kemasyarakatan dan pendidikan. Gerakan Muhammadiyah berupaya
mengembalikan kemurnian agama islam berlandasan Quran dan Hadis.

Berdasarkan saran dari K.H. Hasyim Asyari untuk menjawab semua


tantangan yang terjadi kumpullah para ulama seluruh Jawa dan Madura di Surabaya
(di kediaman Abdul Wahab Hasbullah) pada tanggal 31 Januari 1926, yang menjadi

1
kelahiran perkumpulan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan (jamiyah
diniyah). Melalui basis pesantrennya, aspirasi bangsa dapat disampaikan kepada
masyarakat pedesaan yang merupakan lapisan terbesar dalam masyarakat Indonesia
yang gagal dilakukan oleh kaum pembaruan (yang lebih memusatkan kegiatannya
di kota-kota).

NU sangat prihatin terhadap negara Indonesia yang ditegaskannya harus


dibela sebagai kewajiban sebagaimana kewajiban menjalankan tugas keagamaan.
Ia menyadari sepenuhnya bahwa pemerintah Republik Indonesia adalah hasil
perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk NU. Di dalam semangat keagamaan
NU ikut membela kemerdekaan sehingga umat Islam tidak terasing secara
keagamaan dengan semangat perjuangan bangsa.

Bergabungnya NU dan Masyumi menjadi pengalaman yang berharga bagi


NU; ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang relatif baru baginya.
Bahkan, mempertegas perbedaan visi kaum pembaharuan dengan visi ulama; bagi
NU politik ingin dijadikan perluasan peranan ulama, sedangkan bagi kaum
pembaharuan untuk mewujudkan cita-cita Islam tetapi mengabaikan pengemban
utamanya yakni ulama. Peranan ulama digantikan oleh analisis intelektual para
eksekutif partai tanpa rujukan tradisi yang menjadi panutan NU. Sehingga Masyumi
merupakan organisasi ideologi (keislaman), sedangkan NU sejak semula adalah
organisasi massa (dengan peranan ulama dan pesantren sebagai basis).

Setelah keluar dari Masyumi, NU menghadapi tantangan berat yaitu


mempersiapkan diri memasuki pemilihan umum tahun 1955. Dalam pemilu 1955
dihasilkan “empat besar” partai yang unggul, yaitu PNI, Masyumi, NU dan Partai
Komunis Indonesia. Dari pemilu 1955 itu terungkap hasil yang mencolok adalah
yang tercapai oleh NU. NU dapat mengimbangi Masyumi (hanya berbeda 2,5%),
karena NU mengambil tema sentimen agama yang parallel dengan tema kampanye
Masyumi.

Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 karena keterlibatan beberapa


tokohnya dengan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Rakyat
Indonesia) sehingga pada Pemilu kedua tahun 1971 NU muncul sebagai pemenang
kedua dengan perolehan 18,7% dari Golkar (Golongan Karya). Golkar menjadi

2
kekuatan baru dalam bidang politik dan juga mendapat dukungan ABRI (Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia). Persaingan ini yang menggoyahkan NU dan partai
politik lainnya.

Dalam masa orde baru, partai-partai politik melihat kesempatan untuk


menunjukkan kemampuan politik mereka, termasuk NU. Pembangunan yang
digalakkkan oleh Orde Baru telah mulai berasa dampaknya pada NU. Antara lain,
bergesernya tata nilai, muncul tokoh-tokoh baru, tanpa generasi penerus dan
lainnya. Masa Orde Baru membuat NU dan kekuatan politik Islam lainnya berharap
dapat meraih kekuatan yang lebih besar dari masa orde lama.

Hubungan antara NU dan PPP juga mempengaruhi kekuatan politik Islam


di Indonesia. Kekompakkan PPP mendapat ujian di lembaga DPR. Banyak
pembaharuan undang-undang yang membuat NU dan PPP harus memepertahankan
keislaman Indonesia.

Bergabungnya NU dengan PPP dinilai bahwa NU telah kembali menjadi


organisasi keagamaan karena PPP sudah menjadi wadah kegiatan politiknya. Upaya
untuk menjernihkan status NU setelah bergabung dalam PPP baru dilakukan oleh
NU dalam Muktamar XXVI 1979 di Semarang. Muktamar ini menegaskan agar NU
kembali kepada Khittah 1926, kembali menjadi organisasi keagamaan. Namun,
Muktamar ini hanya berhasil memulihkan NU sebagai organisasi keagamaan secara
konsepsional tetapi gagal secara operasional.

Pada tanggal 1 Mei 1982 diadakan pertemuan para ulama yang menentukan
masa depan NU di Surabaya. Dalam pertemuan ini, diadakan musyawarah nasional
(munas) yang diusulkan oleh para ulama. Munas ini akan menjadi dasar bagi
Muktamar NU ke XXVII. Sementara itu, asas Pancasila sebagai isu nasional harus
pula mendapat tanggapan NU. Karena sudah ada banyak pertentangan di dalam NU
sendiri, maka masa depan NU tidak lagi ditentukan oleh dirinya sendiri tetapi juga
ditentukan oleh pemerintah dan bagaimana NU menanggapi asas Pancasila sebagai
isu nasional

Dalam munas tersebut, menurut Irsyam, menurut kalangan ulama, masalah


asas Pancasila sudah dibicarakan lebih dahulu dengan Presiden ketika K.H. As’Ad

3
Syamsul Arifin menemui Presiden sebelum Munas. Pada pertemuan tersebut, K.H.
As’Ad Arifin menyatakan bahwa sebagian besar ulama dan umat Muslim di
Indonesia dalam menerima Pancasila hukumnya adalah wajib. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, Munas ini menerima asas pancasila setelah dipikirkan oleh NU
secara matang-matang.

Penerimaan NU terhadap Pancasila didasarkan oleh konsep fitrah dan


konsep ketuhanan. Dalam konsep fitrah, penerimaan atas Pancasila diputuskan
sebagai dasar dan jalan bagi NU untuk menjalankan syariat. Dalam konsep
ketuhanan, NU menilai rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama
pancasila mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam.

Negara Pancasila sering disifatkan sebagai jalan tengah di antara Negara


agama dan Negara sekuler. Negara membantu mengembangkan kehidupan
beragama tetapi tidak mencampuri kehidupan intern umat beragama. Penerimaan
atas Pancasila berhubungan dengan semangat NU untuk kembali menjadi
organisasi keagamaan. Sebab bila NU sudah mengakui Negara dan Pancasila sah
menurut Islam maka peranan sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi.
Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak
menghabiskan tenaga untuk prestasi politis sedangkan usaha-usaha keagamaannya
terbengkalai. Jika segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila
maka jalan terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-
benar menjadi organisasi keagamaan.

Kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan bukan saja sesuai dengan


perkembangan politik bangsa tetapi juga sejalan dengan upaya yang harus
dilakukan oleh NU sendiri, yaitu membina kehidupan keagamaan umat Islam.
Melalui program yang dipersiapkan secara matang dan mencakup bidang yang luas,
NU benar-benar mengalihkan orientasi, dari politik menjadi keagamaan.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BUKU


 Kekurangan
1. Bahasa yang digunakan terlalu sulit dipahami
 Kelebihan
1. Penulis berlaku objektif dalam menilai sikap NU

4
2. Terdapat kesimpulan diakhir buku yang memudahkan penbaca untuk
mengambil kesimpulan dalam buku ini.

Anda mungkin juga menyukai