Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Advokasi

2.1.1. Sebuah Definisi

Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan

hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan

dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang

sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan

sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata.

Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan

kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara

hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian

bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus

bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini

Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa

Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to

promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan

melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.

Universitas Sumatera Utara


Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi

dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif

mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat

dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan.

Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih

bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan

atau maksud tertentu.

Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik, pengertian advokasi

yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang di advokasi adalah sebuah kebijakan

yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.

Berbicara advokasi, sebenarnya tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu

berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu

kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Setidaknya ada beberapa

pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi advokasi, yaitu:

1. Usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara sistematis dalam

menyikapi suatu kebijakan, regulasi, atau pelaksanaannya (Meuthia Ganier). 8

2. Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat

para penguasa bertanggung jawab menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian

rakyat tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja. 9

8
Beliau merupakan Direktur Lembaga Dakwah dan Pengabdian Masyarakat Yayasan KODAMA Yogyakarta,
Direktur Jogja Corruption Watch (JCW), dan Sekretaris LAZIS PWNU DIY.
9
Artikel ini merupakah hasil olah dari Power Point yang disampaikan oleh pemateri (Yusuf Effendi) pada sesi
materi Advokasi dan Manajemen Aksi dalam PKD PMII Komisariat Gadjah Mada di PP Sunan Pandan Aran, 18-20
April 2008.

Universitas Sumatera Utara


3. Upaya terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi untuk

menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang bertujuan untuk

menciptakan masyarakat yang adil dan merata (Institut Advokasi Washington DC).

4. Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk

membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik

sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi)

maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi). 10

5. Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir

untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik

secara bertahap-maju (incremental). 11

6. Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau

kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya

adalah untuk merubah kebijakan publik. 12

7. Menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu

yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu)

kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan

masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil

untuk menyelesaikan masalah tersebut. 13

10
http://bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B16&sub=B1601&prod=B160101&t=3&ty=2
11
http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html
12
Ibid
13
Ibid

Universitas Sumatera Utara


Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat

bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.

2.1.2 Advokasi: Alasan, Tujuan, dan Sasaran 14

Bagi sebagian orang yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi, tentu mereka tidak

akan menanyakan kembali mengapa mereka melakukan hal itu. Namun, bagi sebagian lainnya

yang belum begitu memahami, atau bahkan belum pernah mengenal, seluk-beluk advokasi,

jawaban atas pertanyaan “Mengapa beradvokasi?” menjadi cukup relevan dan urgen untuk

dijawab. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang harus, dan diharuskan, untuk melakukan

kerja-kerja advokasi. Secara umum alasan-alasan tersebut antara lain adalah:

1. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan

2. Perusakan dan kekejaman kebijakan selalu menghiasi kehidupan kita

3. Keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur pada lingkungan kita

4. Yang kaya semakin kaya dan yang melarat semakin sekarat

Dari beberapa poin di atas ini kemudian melahirkan kesadaran untuk melakukan

perubahan, perlawanan, dan pembelaan atas apa yang dirasakan olehnya. Salah satu bentuk

perlawanan dan pembelaan yang “elegan” adalah advokasi.

14
Artikel ini disampaikan oleh pemateri (Elbiando Lumban Gaol) pada sesi diskusi tematis gemaprodem dalam
materi pengantar advokasi di Sekretariat gemaprodem ,Jamin ginting gg ganefo Padang Bulan-Medan 14 agustus
2006.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan dari kerja-kerja advokasi adalah untuk mendorong terwujudnya perubahan atas

sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai dengan yang diharapkan. Secara lebih

spesifik, dalam praksisnya kerja advokasi banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan

publik yang dibuat oleh para penguasa. Mengapa kebijakan publik? Kebijakan publik merupakan

beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan

yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap

kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi

agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan

pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya

cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan.

Siapa Pelaku Advokasi? 15

Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat

diklasfikan sebagai berikut:

1. Mahasiswa (individu) atau organisasi/komunitas kemahasiswaan (GEMAPRODEM ,

HMI, GMKI , FORMADAS, SMI , FMN, dan lain-lain).

2. Organisasi masyarakat dan organisasi politik (SRMI , FNPBI ,STN , JAKER , LMND

PRD , SPI dan lain sebagainya)

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau disebut juga organisasi non-pemerintah

4. Komunitas masyarakat petani, nelayan, buruh , KMK dan lain-lain

5. Organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok yang mewakili interest para

anggotanya, termasuk organisasi akar rumput (Serikat Tolong Menolong atau perwiritan)

15
ibid

Universitas Sumatera Utara


6. Organisasi masyarakat keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, PHDI, PWI, PGI,

Walubi, dan lain-lain)

7. Asosiasi-asosiasi bisnis

8. Media

9. Komunitas-komunitas basis (termasuk klan dan asosiasi RT, Dukuh, Lurah, dan lain-

lain). Contoh: FBR, Pandu, Apdesi, dan Polosoro

10. Persatuan buruh dan kelompok-kelompok lain yang peduli akan perubahan menuju

kebaikan

2.1.3 Kerja-kerja Advokasi: Tantangan dan Strategi 16

Advokasi selamanya menyangkut perubahan yang mengubah beberapa kebijakan,

regulasi, dan cara badan-badan perwakilan melakukan kebijakan. Dalam melakukan perubahan

kebijakan pun tidak semudah yang kita bayangkan; ada beberapa lapisan yang harus kita lewati

untuk melakukan perubahan tersebut.

Lapisan pertama mencakup permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan dalam praktik

kelembagaan dan program-programnya. Contoh, sekelompok anak jalanan dan “gepeng”

menolak Raperda yang telah dirancang kepada anggota dewan dan pejabat pemerintahan.

Lapisan kedua, mengembangkan kemampuan individu para warga, ormas, dan LSM. Dengan

penolakan dan penentangan adanya Raperda, anggota komunitas belajar bagaimana

mengkomunikasikan pesan mereka pada segmentasi yang lebih luas untuk memperkuat basis

dukungan kelembagaan mereka. Lapisan ketiga, menata kembali masyarakat. Kita mengubah

pola pikir dan memberdayakan masyarakat marjinal (gepeng dan anjal) untuk berinisiatif

16
ibid

Universitas Sumatera Utara


melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil apabila kita

mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan aspirasinya sendiri.

Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk memetakan dan

mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi hukum formal, yaitu:

1. Mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan memeriksa

kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut

2. Pelajari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut. Siapa saja yang akan mendapat

manfaat dari kebijakan tersebut

3. Siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan

4. Siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi mereka

5. Tentukan jaringan formal maupun informal melalui mana kebijakan sedang diproses.

Jaringan formal bisa termasuk institusi-institusi seperti komite legislatif dan forum public

hearing. Jaringan informal melalui komunikasi interpersonal dari individu-individu yang

terlibat dalam proses pembentukan kebijakan

6. Mencari tahu apa motivasi para aktor utama dan juga jaringan yang ada dalam

mendukung kebijakan yang telah dibuat

Perlu dipahami bahwa advokasi tidak terjadi seketika. Advokasi butuh perencanaan

yang matang. Agar advokasi yang dilakukan dapat terwujud secara maksimal, maka kita perlu

menggunakan beberapa strategi. Berikut beberapa strategi dalam melakukan advokasi:

1. Membangun jaringan di antara organisasi-organisasi akar rumput (grassroots), seperti

federasi, perserikatan, dan organisasi pengayom lainnya

Universitas Sumatera Utara


2. Mempererat kokmunikasi dan kerjasama dengan para pejabat dan beberapa partai politik

yang berorientasi reformasi pada pemerintahan

3. Melakukan lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi kemahasiswaan, organisasi

kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah)

4. Melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi

5. Melewati aksi-akasi peradilan (litigasi, class action, dan lain-lain)

6. Menerjunkan massa untuk melakukan demonstrasi

7. Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara terencana

terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan, rencana program atau

rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan agar

sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam masyarakat

yang menjadi kepentingan seluruh anggota masyarakat haruslah diprioritaskan.

8. Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan

publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran

dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan

mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan

pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.

Kendala-kendala yang dihadapi17

Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran advokasi dalam

mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala pokok.

17
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/29/optimalisasi-peran-advokasi-dalam-mempengaruhi-kebijakan-publik/

Universitas Sumatera Utara


Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai bisa timbul

antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi. Para

pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan pembatasan yang ketat terhadap

publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus,

sastrawan, dan pekerja seni) menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno

bertentangan dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi

dapat membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang

merupakan sumber mata pencaharian mereka.

Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan dibidang

perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran dalam kacamata hukum

pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi perjudian dan pelacuran dengan beban

pajak yang cukup tinggi dapat menjadi sumber bagi pendapatan daerah.

Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik. Sebenarnya

kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas perguruan tinggi,

kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena terlalu banyak isu-isu yang

diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil menjadi terpecah-pecah. Bahkan

adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara kekuatan masyarakat sipil.

Akhirnya, kondisi demokrasi dalam kehidupan ketatatanegaraan kita yang belum

mapan. Meskipun reformasi politik telah berlangsung sejak 1998, tapi peran partai dan aktor

politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat masih jauh dari harapan masyarakat. Partai

dan aktor politik terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga memunculkan apatisme politik

dan ketidakpercayaan terhadap partai politik.

Universitas Sumatera Utara


Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam

kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini 18 tak lain adalah advokasi yang bertujuan

memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan

praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial

melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih,

advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.

Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan

berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau

organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu,

namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja

organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah

(charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa

yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan

yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain

yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan

keadilan sosial.

2.2 Petani

2.2.1 Petani : Entitas Inklusif

18
http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html

Universitas Sumatera Utara


Dalam wacana akademis, terutama postmodernisme yang berperspektif non kelas,

petani di dunia ketiga (term ‘dunia ketiga’ selalu asosiatif miskin) sering dipandang semata

sebagai subyek kultural bagian dari identitas gender, etnis, regional atau nasional. Serentak

dengan itu mereka menjadi bagian dari angkatan kerja dalam rezim industri global.

Terminologi petani selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam

pemahaman awam (Noer Fauzi, 2003), petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau

menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil

dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks

sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi di atas empat hal berikut.

Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu.

Petani bukanlah satu golongan yang homogen. Petani hidup dalam suatu konteks ekonomi dan

politik agraria tertentu. Konteks itu mengkondisikan nasib petani. Nasib petani dalam konteks

feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam bangunan kapitalisme kolonial, dan berbeda pula

dengan nasib petani dalam kapitalisme pascakolonial.

Kedua, dalam cara produksi, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi

petani selalu menggantungkan nasibnya terhadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali

menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja, kecuali pada

kantung-kantung masyarakat suku asli terisolasi. Dalam rezim feodalisme, nasib petani

penggarap tanah-tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan para

penguasa tanah (raja dan aparatnya). Dalam kapitalisme kolonial, nasib petani ditentukan oleh

program-program agraria penguasa kolonial. Dalam rezim Orde Lama, nasib petani ditentukan

Universitas Sumatera Utara


oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada

Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara.

Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa

dibedakan. Ekonomi adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam

produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan

akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Pertemuan ekonomi

dan politik sangat jelas. Feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi

sekaligus politik.

Keempat, petani selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang

dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa

terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani

sulit berintegrasi dengan usaha-usaha inovatif. Tingkat penolakan ini bisa berwujud menjadi

gerakan, bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Bentuk gerakan petani bukan hanya

bersifat pemberontakan yang terbuka. Banyak gerakan/pergerakan petani yang tertutup atau

tersembunyi dan diam-diam (sehingga sulit/tidak terdokumentasi) sebagaimana dikemukakan

James Scott.

Maka, petani bukanlah entitas eksklusif. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa

hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang

bukan petani 19.

Petani juga memiliki kultur khas sendiri yang dari waktu ke waktu mengalami proses

adaptasi dan resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari
19
Noer Fauzi, 2003.radikalisasi perlawanan petani era orba

Universitas Sumatera Utara


mana petani berinteraksi. Dengan demikian petani bekerja dengan cara produksi tertentu (kultur

bertani/kultur agraris), hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu (dinamika cara

pandang) yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial yang menyertai petani akan

ikut mengubah petani sebagai sebuah entitas yang berdinamika secara khas.

2.2.2 Resistensi Petani 20

Perspektif Scottian (penganut James Scott), resistensi petani selalu di dalam semangat

moral ekonomi subsisten yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Ciri utamanya,

masyarakat bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Maka etika yang dihayati

dan dikembangkan masyarakat petani subsisten yaitu safety first ethics dengan mekanisme risk

avoidance strategy. Para petani akan berusaha menghindari risiko dan karena itu resistensi pun

sedemikian rupa diupayakan untuk tidak mengorbankan moralitas subsisten.

Berbeda cara melihat dari kelompok Marxian (penganut Karl Marx). 21 Mereka menilai

petani tidak mungkin diajak melakukan resistensi yang lebih keras karena mereka takut

kehilangan tanah. Petani bukanlah elemen revolusioner, sebab meski mereka sangat miskin,

tetapi toh mereka masih memiliki akses dan kontrol atas tanah sepotong tempat tinggal mereka.

Buruh lebih sanggup melakukan revolusi, terutama terhadap ekspansi kapitalisme yang angkuh

dan serakah.

20
Pius Rengka / Pos Kupang.com / 22 September 2010
21
www.indomarxist.com

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan penganut kapitalisme 22 memandang resistensi petani sebagai salah satu

ancaman dari elemen faktor produksi. Sebab, petani adalah mesin produksi dalam skema

akumulasi modal, sekaligus konsumen yang membeli barang-barang kebutuhan dasar yang

diproduksi mesin industri kapital. Tanah petani adalah faktor produksi yang bernilai tinggi.

Ceritera tentang tanah sebagai faktor produksi itu dimulai dari kisah land rent. Adam Smith dan

David Ricardo, dari madzab klasik, memiliki relevansi historik dengan semangat kapitalisme.

Tanah selalu dikaitkan dengan tekanan jumlah penduduk. David Ricardo (1921) mengaitkan

proses produksi dengan jumlah penduduk yang kian bertambah. Permintaan terhadap

sumberdaya produksi meningkat sedemikian rupa, agar manusia dapat mempertahankan

kehidupannya. Untuk itu, semakin banyak tanah diperlukan. Tekanan jumlah itu terus

berlangsung, hingga akhirnya kebutuhan hidup minimal itulah yang secara umum menentukan

tingkat upah bagi semua tenaga kerja 23.

Sudah sejak Orde Baru, ekonomi politik di sini diorientasikan untuk mengabdi pada

pemilik modal. Akibatnya jelas. Petani tertindas dan tersingkirkan. Rezim penguasa tetap tak

selalu siuman, bukan karena mereka bodoh dalam pengertian tak bersekolah atau berpendidikan,

melainkan karena mereka telah terkena candu kapitalisme yang akut sehingga mereka tampak

bebal. Sehingga pikiran lain (the other alternative solution) tidak dimengerti karena mereka

sudah membusuk dalam nikmatnya pragmatisme uang 24.

2.2.3 Semangat Pembaruan Agraria 25

22
ibid
23
Teori ekonomi leninis
24
Sumber: http://222.124.164.132/article.php?sid=94912
25
http://frisztado.wordpress.com/2010/10/19/problema-agraria-dan-nasib-petani-pius-rengka-pos-kupang-com-22-
september%C2%A02010/

Universitas Sumatera Utara


Semangat rezim pembaruan agraria jelas. Yaitu menolong dan merehabilitasi nasib

petani tertindas. Tetapi dalam skema itu mereka harus bersentuhan dengan sejumlah regulasi

yang diproduksi oleh mesin kekuasaan yang terdikte pragmatisme pasar modal kapitalis.

Regulasi diproduksi oleh intelektual tukang atau dalam bahasa Gramsci cendekiawan organik

yang berorientasi membela elit. Rezim pembaruan agraria juga berjumpa dengan sejumlah

kepentingan ekonomi politik di level nasional dan internasional.

Tesis pokok pembaruan agraria (agraria reform), tanpa ada pembaruan agraria tidak

akan ada demokrasi di desa. Dipercaya, demokrasi ekonomi akan memproduksi demokrasi

politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian.

Agraria reform lalu dengan sendirinya menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat.

Berkembangnya diferensiasi memproduksi berbagai profesi dan pekerjaan, yang selanjutnya

menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. Jika asosiasi dan kelembagaan baru ini lahir dan

menguat, ia akan dengan sendirinya menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah

cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat pluralis. Pada

akhirnya akan tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik.

Tesis penganut agraria reform disambut sorak gembira kalangan masyarakat sipil dunia

(world civil society). Tetapi ada soal, karena pada saat bersamaan hampir semua negara miskin

terbimbing visi IMF. Juga negara-negara periferal itu ikut menandatangani GATT (General

Agreement on Trade and Tarift), WTO (World Trade Organization). Apalagi sejumlah blok

ekonomi regional seperti APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) maupun yang lebih kecil

seperti BIMEAGA (Brunay, Indonesia, Malaysia and Philipines – East Asia Economic Growth

Universitas Sumatera Utara


Area) mau tak mau, suka tak suka bertemu dengan kepentingan petani karena kebijakan nasional

akan terkait dengan masalah tanah. Maka tanah dan petani lagi-lagi jadi soal.

26
Bagaimana pandangan kelompok Posmo? Sikap utama para Posmo adalah rasional

kritis tanpa ada keharusan mengabdi pada satu definisi tunggal, apalagi hegemoni struktural.

Bagi mereka, tudingan sepihak atau dominasi tunggal adalah penghinaan terhadap kreativitas

manusia. Bagi mereka, semua pikiran kaum positivistik harus digugat, dibongkar sekaligus

diperbaiki demi kepentingan manusia. Sebab positivistik view adalah instrumen akademik

oligarkhis yang dilegitimasi teori. Tidak boleh ada rezim teori yang mengklaim diri paling

benar, paling waras. Untuk petani, mereka berkotbah begini. Petani adalah komunitas dunia yang

berada di medan tugas tertentu yang bebas memperjuangkan kepentingannya sendiri secara kritis

seturut perspektif dan konteksnya sendiri. Tetapi, meski kotbah kaum Posmo demikian itu, toh

petani Indonesia tetap saja miskin, terpinggirkan, tertindas dan tetap saja menjadi obyek

mobilisasi politik. Lalu bagaimana?

Faktanya, petani pragmatis, mata duitan. Tambang dalam tanahnya ditukar dengan

problem masa depan (Dr. Oloan Sitorus 27). Pemerintah setempat kurang menguasai konteks,

sementara arus pengaruh oligarki global kian deras. Para politisi lokal sibuk menangkap dangkal

permukaan soal, sambil siap-siap diri re-election. Tanda tangan izin tambang bak pasar bebas

mendapat untung. Sebagian dipakai untuk mobilisasi dukungan politik, lainnya melayani

kepentingan daging sendiri. Penegak hukum, sama saja. Seolah-olah menegakkan hukum, tetapi

apa hasil? Pejabat, rutin upacara tanam batu atau disebut peletakan batu pertama bukan tanda

adanya development pertama, tetapi tanda envelopment pertama untuk selanjutnya diteruskan

26
sumber : home.unpar.ac.id/~hasan/doc
27
Dr. Oloan Sitorus, SH M.S Rachmat Riyadi, SSi, M.Si adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN), Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara


dengan rangkaian envelop. Sementara istri pejabat, wah lebih gawat lagi. Perilakunya seperti

dialah pejabat itu. Andalannya rebonding dan seterika rambut. Namun, sekali lagi. Petani selalu

kalah bahkan kalah berkali-kali. Saat kebijakan import beras, petani secara eksistensial dibunuh,

karena impor beras itu terkait langsung dengan pelecehan terhadap tanah para petani yang

memproduksi padi dan beras. Mungkin, sekali waktu entah kapan dan di mana, mereka perlu

meneguk segelas anggur (wine) entah apa pula rupa warnanya (Rachmat Riyadi, SSi, M.Si).28

Dari pengalaman perjuangan kita beberapa waktu terakhir, di tengah kondisi bahwa

secara umum gerakan tani belum berdaya sebagai satu kekuatan yang diperhitungkan dalam

mendesakkan kepentingannya kepada Negara, tercapai kemajuan-kemajuan; terutama, pertama,

dalam segi-segi meningkatnya kesadaran bagaimana kekuatan tani dapat mengambil peran yang

lebih besar dalam persoalan ketatanegaraan. Artinya, gerakan tani bukan hanya menjadi gerakan

ekonomis yang sekedar bereaksi atas berbagai kebijakan politik pertanian yang dianggap tidak

menguntungkan, tapi juga bagaimana memastikan posisi Negara dapat sepenuhnya mengabdi

pada kepentingan mayoritas rakyat tertindas, terutama kaum tani. Proses ini sering diistilahkan

dengan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik. Salah satu contohnya adalah

keterlibatan kaum tani dalam praktek politik praktis, seperti dalam Pemilu, Pilkada hingga

Pilkades dan Pilkadus. Kedua, Adanya keinginan melakukan persatuan, dari tingkat terendah

hingga nasional. Kendati proses konsolidasi tersebut belum mampu memberikan andil yang

cukup untuk membesarkan dan meluaskan struktur organisasi secara merata di tiap territorial. 29

28
Ibid
29
Arsip PP STN 2011

Universitas Sumatera Utara


2.3 Jenis – Jenis Hak Atas Tanah30

Hukum Agraria Nasional membagi hak – hak atas tanah ke dalam dua bentuk:

a . Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki

seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai).

b. Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat dan

penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak

Menyewa atas Pertanian).

Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 731, yaitu:

2.3.1 Hak Milik

Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal

dunia, dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik

atas tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan

Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1) Menjadi

tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela, c. dicabut

untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara asing; (2)

Tanahnya musnah.

2.3.2 Hak Guna Usaha (HGU)

30
Sumber : UU Pokok Agraria (UU PA)
31
ibid

Universitas Sumatera Utara


Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan

pertanian, perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk

melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal

28(1), (2), (3) UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal

atau badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal

30 UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP

No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:1. jual beli; 2. tukar menukar; 3. penyertaan dalam

modal; 4. hibah; 5. pewarisan. Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No.

40/1996 terjadi karena 7 sebab, yaitu: 1) Berakhirnya jangka waktu; 2) Tidak terpenuhi syarat

pemegangnya; 3) Pencabutan hak; 4) Penyerahan suka rela; 5) Ditelantarkan; 6) Kemusnahan

tanahnya; 7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak

yang memenuhi syarat.

2.3.3 Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-

bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan

dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang dapat

mempunyai HGB adalah: 1) Warga Negara Indonesia dan; 2) Badan hukum yang didirikan

menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB

mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan, dapat beralih, dapat dialihkan, jangka

waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat

dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

Universitas Sumatera Utara


2.3.4 Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan

kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa

menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa

dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai yaitu

wajib didaftarkan, dapat dialihkan, dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan

pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan

hutang dengan Hak Tanggungan.

2.3.5 Hak Sewa

Hak sewa adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan

UUPA Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan,

cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat

pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila Hak

Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak

Tanggungan.

2.3.6 Hak Membuka Hutan

Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena

maksud dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung,

suaka, dan hutan konservasi.

2.3.7 Hak Memungut Hasil Hutan

Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga

berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal

68(2) huruf (a) UU Kehutanan).

2.3.8 Hak-hak lain

UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak

Gadai (pasal 7 UU No. 56 Prp/1960) , Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa

Tanah Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak

Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum bagian

A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.

2.4 Masalah Kepemilikan Kolektif Hak Atas Tanah

Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10

UUPA menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan

hukum. Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan

kepemilikan hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya,

Universitas Sumatera Utara


hal terlihat khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak

dapat dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).

Hak Ulayat

Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan

dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat

yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang

merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat

adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa

Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-sama

para tetua adat masing-masing.

Pemerintah mengeluarkan PMNA/KABPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .

Didalamnya terkandung kriteria penentu keberadaan Hak Ulayat yang terdiri dari 3

unsur yaitu:

a. adanya masyarakat hukum adat tertentu.

b. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil

keperluan hidup masyarakat hukum adat itu.

c. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah

ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Pengakuan terhadap

Universitas Sumatera Utara


hak tersebut memberikan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya

perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat 32.

2.5 Pengakuan adat oleh Hukum Formal 33

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi

dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hukum Adat mengenai tata Negara.

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum

perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck

Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang

berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda)

yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup

dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van

Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi

Indonesia).

Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga

hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat

(beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di

32
ibid
33
Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.

Universitas Sumatera Utara


Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi

awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia 34

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi

menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda,

Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya

daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:

1.Aceh; 2. Gayo dan Batak; 3.Nias dan sekitarnya; 4. Minangkabau; 5.Mentawai; 6.Sumatra

Selatan; 7.EngganoMelayu; 8.Bangka dan Belitung; 9.Kalimantan (Dayak); 10.Sangihe-Talaud;

11.Gorontalo; 12.Toraja; 13.Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar); 14.Maluku Utara; 15.Maluku

Ambon; 16.Maluku Tenggaral; 17.Papua; 18.Nusa Tenggara dan Timor; 19.Bali dan Lombok;

20.Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran); 21.Jawa Mataraman; 22.Jawa Barat (Sunda).

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan

besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :

34
Sumber : Hukum adat – Wikipedia bahasa indonesia , ensiklopedia bebas.

Universitas Sumatera Utara


1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali

dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku

dipengaruhi agama Kristen.

2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena

adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan identitas bagi bangsa, dan

identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah

Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah

pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai

alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala

satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman

mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam

Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan

putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. 35

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan

masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 36. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan

pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta

langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

35
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
36
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.

Universitas Sumatera Utara


Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap

"hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi 37:

1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)

2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari

masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui

keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat 38. Dalam prakteknya (deskritif)

sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di

lingkungannya 39.

Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan

keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi

dalam peranannya 40. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang

mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah 41.

2.6 Pekerjaan Sosial

37
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
38
Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT,
Bandung 1993
39
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
40
Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia
41
Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993

Universitas Sumatera Utara


2.6.1. Pengertian 42

Social work is the professional activity of helping individuals , groups , or communities to

enchance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions

favorable to their goals.43

Atau dalam pengertian lain disebutkan “…an art , a science , a profession that helps

people to solve personal , group (especially family) , and community problems and to attain

satisfying personal , group, and community relationships through social work practice…”. 44

Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa pekerjaan sosial adalah aktivitas

professional , yang ditujukan untuk menolong orang , baik sebagai individu , kelompok ,

organisasi maupun masyarakat , dalam kerangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan

berfungsi sosial mereka dan menciptakan kondisi / lingkungan sosial yang memungkinkan orang

tersebut mencapai tujuannya.

2.6.2. Karakteristik

1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang agar mereka mampu

menolong dirinya sendiri (To help people to help themselves).

2. Pekerjaan sosial menggunakan pendekatan dualistik , yakni bahwa intervensinya diarahkan

kepada orang dan juga lingkungannya. Inilah yang membedakan antara pekerjaan sosial

dengan sosiolog , psikolog , konselor dan psikiater. 45

42
Lihat lebih lengkap di Dasar-dasar Pekerjaan Sosial ,hal 43-45.
43
Zastrow ; 1999 hal 5.
44
Skidmore and Thackeray , 1988 hal 8

Universitas Sumatera Utara


3. Praktek pekerjaan sosial mengarah pada tiga tingkatan intervensi , yakni :

a. Mikro , yaitu diarahkan untuk menangani permasalahan yang dialami individu dan keluarga.

b. Meso , diarahkan untuk kelompok.

c. Makro , diarahkan untuk organisasi dan masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan

yang diinginkan.

4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciences , ilmu yang dalam proses

pembentukannya mengadaptasi bagian-bagian dan konsep dari disiplin ilmu lainnya.

Untuk lebih memperdalam pemahaman soal pekerjaan sosial memang tidak cukup hanya

pengertian dan karakteristik pekerjaan sosial , masih perlu bicara soal tujuan dan fungsi

pekerjaan sosial. Berikut akan langsung dibahas secara garis besar mengenai advokasi dalam

perspektif pekerjaan sosial.

2.6.3. Advokasi Petani dalam Pekerjaan Sosial

Seperti telah dikemukakan diatas , advokasi secara pengertian berada dalam dua faksi

besar. Advokasi ‘pembelaan’ seperti yang dikerjakan oleh penegak hukum dan advokasi yang

tidak hanya membela tapi juga memajukan , mengemukakan , menciptakan dan merubah 46

Sementara itu , bila merujuk pada pengalaman masa lalu (baca: orde baru) , kegiatan advokasi

45
Untuk lebih jelasnya baca Dasar-dasar Pekerjaan Sosial ,hal 35-41.
46
Merubah Kebijakan Publik, Roem Toamtipasang, Mansour Fakih, Toto Raharjo, Pustaka Pelajar, 2001.

Universitas Sumatera Utara


cenderung dikonotasikan sebagai upaya ekstrem dari kalangan tertentu khususnya aktivis Ornop

maupun Ormas dalam melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap kasus – kasus rakyat 47.

Sejalan perkembangan waktu , pandangan dan pengertian tentang advokasi mulai

mengalami pergeseran paradigma. Salah satunya adalah pandangan yang melihat advokasi untuk

keadilan sosial 48. Dalam paradigma ini , suatu kegiatan advokasi tidak lagi menempatkan

organisasi atau kelompok sebagai ‘pahlawan’ atau ‘bintang’ melaikan suatu proses yang

menghubungkan antara berbagai pihak dalam masyarakat melalui terbentuknya berbagai aliansi

strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial.

Dalam konteks penanganan masalah atau kasus kegiatan advokasi biasanya dapat

dibedakan dalam 2 hal. Pertama , advokasi yang bersifat litigasi dan kedua , advokasi yang

bersifat nonlitigasi. Advokasi bersifat litigasi sepenuhnya diartikan sebagai upaya penanganan

kasus dengan menempuh jalur hukum dan pengadilan. Sementara advokasi secara nonlitigasi

erkaitan erat dengan upaya penanganan kasus melalui jalur lobby dan aksi yang bersifat

membangun opini publik , baik yang dilakukan dengan cara aksi demonstrasi , delegasi , unjuk

rasa , hingga kampanye baik secara lisan maupun tulisan. Idealnya kedua pendekatan ini dapat

saling kuat menguatkan dalam konteks penanganan kasus. Namun , faktanya adalah bahwa

kedua kegiatan ini tak selalu seiring sejalan. Karena tak jarang penanganana kasus melalui jalur

litigasi kurang mampu mengangkat akar permasalahan yang ada dan terhenti sampai persoalan

pidana semata , sementara perdata tidak terangkat ke permukaan.

47
idem
48
Buku Pintar Pekerja Sosial jilid 2 , Albert R. Roberts dan Gilbert.cetakan 1.2009.

Universitas Sumatera Utara


Ada beberapa tahapan penting yang perlu diketahui berkaitan dengan proses advokasi

yang akan dilakukan 49. Antara lain :

1. Memahami sistem kebijakan publik.

2. Membentuk lingkar inti.

3. Memilih issu strategis.

4. Merancang sasaran dan strategi.

5. Mengolah data dan informasi.

6. Menggalang sekutu dan pendukung.

7. Mengajukan rancangan tanding.

8. Mempengaruhi pembuat kebijakan.

9. Membentuk pendapat umum.

10. Membangun basis gerakan.

11. Memantau dan menilai program.

12. Evaluasi.

Dalam konteks advokasi kasus tanah yang dialami oleh petani , strategi advokasi yang

dapat dilakukan adalah :

a. Membangun konsolidasi dan memperluas aksi perlawanan.

b. Membangun aliansi dengan sektor lainnya untuk mendapatkan dukungan moril

maupun materil.

c. Membentuk pendapat umum dalam rangka pembangunan kesadaran dan empati

publik tentang persoalan yang dihadapi oleh petani.

49
Makalah DPW SPI SUMUT dengan judul Sebuah Pendekatan dalam Penanganan Kasus Tanah. Dipresentasikan
dalam Sekolah HAM di Aula Fisip USU tertanggal 17-18 Mater 2011.

Universitas Sumatera Utara


d. Melakukan kampanye dan opini publik di berbagai level.

e. Melakukan upaya litigasi dan nonlitigasi.

f. Membangun opini publik tentang pelanggaran HAM oleh staf aparatus dan pihka

perkebunan terhadap petani.

Keseluruhan prosedur diatas hanya mungkin dapat dilakukan jika sudah terbangun

komitmen dan kesadaran kritis pada komunitas yang ada serta rasa saling percaya dan solidaritas

antara sesama petani maupun stakeholder yang tergabung untuk secara bersama sama

memperjuangkan nasib petani.

2.7. Kerangka Pemikiran

Perkembangan jaman yang tidak terbendung memaksa perluasan lingkup advokasi dari

yang selama ini terlokalisir dalam kajian hukum hari ini mulai merambah hingga ranah pekerjaan

sosial. Advokasi yang dahulu terkekang dalam pengertian pembelaan hukum , kini sampai pada

upaya perebutan keadilan sosial. Petani yang dalam kasus ini didudukkan sebagai objek (pihak

yang seperti biasanya tidak memiliki akses kepada sistem sumber) bersama SMAPUR

(Kelompok mahasiswa dan pemuda yang konsen pada advokasi petani) memperjuangkan hak-

hak normatifnya atas penguasaan lahan baik melalui skema advokasi secara litigasi (peradilan)

maupun nonlitigasi ternyata mampu mengangkat permasalahan sengketa lahan yang telah

berumur puluhan tahun. Satu hal yang selama ini terlihat begitu sulit dilakukan oleh advokator-

advokator berlisensi resmi.

Universitas Sumatera Utara


Menarik untuk diteliti apa sebenarnya yang membedakan pola advokasi oleh SMAPUR

ini dengan pola advokasi lainnya yang kemudian penulis rasa akan sangat penting jika pekerja –

pekerja sosial nantinya mampu mempelajarinya untuk kemudian menjadi bahan referensi

tambahan dalam metode pekerjaan sosial terkhusus advokasi dan community organization.

Gambar 2.1

Bagan Kerangka Pemikiran

SENGKETA LAHAN

SMAPUR

Universitas Sumatera Utara


ADVOKASI PETANI
1. INVESTIGASI KASUS.
2. PENGKONSOLIDASIAN KEKUATAN.
3. PEMETAAN KAWAN DAN LAWAN.
4. PERUMUSAN ISSU , SASARAN DAN
STRATEGI.

LITIGASI NONLITIGASI

1. Mediasi dengan difasilitasi BPN.


2. Advokasi petani oleh SMAPUR.

2.8. Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.8.1. Definisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan defenisi yang dipakai

oleh para peneliti yang memnggambar abstrak suatu fenomena sosial ataupun fenomena alami

(Singarimbun, 1989 : 17)

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui advokasi petani Persil IV Dusun Tungkusan ,

Deli Serdang , dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari

Pekerjaan Sosial. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka

dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu

persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur

tujuan penelitian.

Yang menjadi konsep penelitian ini adalah:

1. Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk

membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih

baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum

formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi).

2. Petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah,

mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil

dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan

dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi

di atas empat hal berikut. Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi,

terutama cara produksi tertentu. Kedua, dalam cara produksi, petani selalu

berhubungan dengan golongan lain. Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah

bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa dibedakan. Ekonomi adalah unsur-

unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam produksi, distribusi dan

konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat

dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Keempat, petani

Universitas Sumatera Utara


selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang dari

konteks luarnya.

3. SMAPUR adalah suatu bentuk persatuan mahasiswa dan pemuda yang sengaja

dibentuk untuk kepentingan advokasi petani persil IV dusun Tungkusan , Deli

Serdang.

4. Pekerjaan sosial adalah aktivitas professional , yang ditujukan untuk menolong

orang , baik sebagai individu , kelompok , organisasi maupun masyarakat , dalam

kerangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan berfungsi sosial mereka

dan menciptakan kondisi / lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut

mencapai tujuannya.

2.8.2. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah informasi ilmiah yang membantu peneliti dengan

menggunakan suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam

petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989 : 46).

Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka

diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut:

INDIKATOR ADVOKASI :

1. Siapa yang diadvokasi.

2. Berapa jumlah yang diadvokasi

3. Dimana advokasi dilakukan.

4. Bagaimana teknik advokasi yang dipakai.

5. Sejauh mana advokasi mampu mendorong perubahan yang diinginkan.

Universitas Sumatera Utara


INDIKATOR PETANI :

1. Kategori petani yang dapat diadvokasi.

2. Apa yang menjadi ketertarikan petani untuk diadvokasi.

3. Bagaimana sikap petani terhadap advokasi.

INDIKATOR SMAPUR:

1. Apa itu SMAPUR.

2. Siapa yang terlibat dalam SMAPUR.

3. Bagaimana SMAPUR berkerja (mengadvokasi).

INDIKATOR PEKERJAAN SOSIAL :

1. Pelajaran pelajaran berharga dari pola advokasi SMAPUR yang dapat diadopsi oleh

pekerja sosial dalam studi advokasi pembebasan lahan sengketa

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai