Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM KAJIAN

ISLAM MENURUT AMIN ABDULLAH

A. Pendahuluan
Di era modernisasi saat ini, pembahasan mengenai “agama” kembali muncul
ke permukaan, bahkan menjadi objek kajian yang paling diminati oleh berbagai
ilmuwan di dunia. Hal ini dikarenakan eksistensi agama yang dahulu diprediksi akan
tergilas oleh kekuatan ideologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, justru semakin
bersinar terang. Agama semakin dituntut aktif untuk menunjukkan cara-cara paling
efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Fenomena ini
akhirnya mendorong kajian terhadap agama mengalami perkembangan signifikan.
Amin Abdullah merupakan salah satu tokoh yang banyak mengkaji Agama
sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai pendekatan.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu, yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama. Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman
manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, dimana salah satunya adalah
pendekatan normatif-teologis. Dalam pendekatan normatif-teologis, masih sulit
untuk mewujudkan objektivitas dalam memandang suatu agama atau ajaran, sebab
seringkali seseorang dalam melakukan suatu penelitian dipengaruhi oleh pola pikir
berdasarkan doktrin yang dianutnya. Kecenderungan seperti ini seringkali
melahirkan hasil penelitian yang bersifat apologis serta menutup mata terhadap
kemungkinan adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.
Pendekatan normatif-teologis penting untuk dipahami, karena setiap agama
memiliki sikap-sikap keberagamaan, dimana semua umat beragama mengklaim
bahwa agama yang dianut dan diyakini adalah agama yang paling benar. Meski pada
kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan normatif-teologis merupakan
pendekatan yang sudah usang dalam penelitian agama Islam. Kini pendekatan yang
banyak digunakan untuk mengkaji agama Islam adalah pendekatan yang berkaitan

1
2

dengan ilmu humaniora (antropologis, historis, fenomenologis, psikologi, feminis


dan sosiologis).

B. Biografi Amin Abdullah

PROF. DR. M. AMIN ABDULLAH, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa


Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI),
Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada
Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan
Program Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan
Pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil Program Ph.D. bidang
Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle
East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Mengikuti Program Post-
Doctoral di McGill University, Kanada (1997-1998).

Disertasinya, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant,


diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah
lainnya yang diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan
Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era
Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan
karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa
Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat
Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).

Dia menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987.


sambil memanfaatkan masa liburan musim panas, pernah bekerja part-time, pada
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah
(1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Kini, sebagai
dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana
IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas
Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas
Filsafat dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat Asisten
Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil
Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas
3

Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang


Akademik) di almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari 1999 mendapat
kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat. Dari tahun 2002-2005 sebagai
Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga. Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta untuk Periode kedua.

Dalam organisasi kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI,


Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah
ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000).
Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua
(2000-2005).

Tulisan-tulisannya dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain


Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan
beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti
seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain:
“Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar,
Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober
1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia,
di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21 st Century”, Universitas Leiden, Belanda,
Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21 st Century”, Universitas Leiden, Juni
1998, ”Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang,
1999; “al-Ta’rikh al- Islamy wa azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000;
“International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan
Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues
in Islam”, Kualalumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic
Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003.

C. Pengertian Pendekatan Normatif Teologis


Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya
memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau
kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur
aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang
4

menyertai dan mendukungnnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat


beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan dalam
wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi
peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran
teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih objektif lewat
pengamatan empirik faktual, serta pranata-prana sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya1
Pendekatan teologis menekankan pada simbol-simbol keagamaan atau
bentuk formal, dimana masing-masing simbol-simbol keagamaan tersebut
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Pendekatan teologis dalam memahami
agama cenderung bersifat tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan,
sehingga pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Agama cenderung hanya merupakan keyakinan serta mempunyai
dampak sosial yang kurang baik, dimana agama menjadi buta terhadap masalah-
masalah sosial sehingga cenderung hanya menjadi lambang identitas yang tidak
memiliki makna.
Adapun pendekatan normatif diartikan sebagai hal-hal yang mengikuti
aturan atau norma-norma tertentu. Dalam konteks ajaran Islam, pendekatan normatif
merupakan ajaran agama yang belum tercampur dengan pemahaman dan penafsiran
manusia.2 Pendekatan normatif dapat juga dikatakan pendekatan yang memiliki
domain bersifat keimanan, tanpa melakukan kritik kesejarahan atas nalar lokal dan
nalar jaman yang berkembang, serta tidak memperhatikan konteks kesejarahan al-
Qur’an. Pendekatan normatif mengasumsikan seluruh ajaran Islam (dalam al-Qur’an,
Hadis dan ijtihad) sebagai suatu kebenaran yang harus diterima dan tidak boleh
diganggu-gugat.3
Pendekatan teologis sangat erat kaitanya dengan pendekatan normatif,
dimana kedua pendekatan tersebut memandang agama dari segi ajarannya yang

1
Abdullah, Amin. Muzakki, Study Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), h. 13
2
Masdar Hilmi dan A. Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, (Surabaya: Arkola, 2005), h. 63
3
Ibid, h. 64
5

pokok, asli serta di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis, agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak
ada kekurangan sedikitpun dan bersifat ideal. Sedangkan pendekatan normatif lebih
melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks al-Qur’an dan Hadis. 4
Berdasarkan pemaparan mengenai pendekatan teologis dan pendekatan
normatif, maka pengertian pendekatan normatif-teologis adalah upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan, yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar
bila dibandingkan dengan elemen lainnya. 5 Pendekatan terhadap agama tertentu
dengan menggunakan pendekatan normatif-teologis banyak ditemukan dalam karya-
karya orientalis Kristen yang cenderung mendiskreditkan Islam.
Secara umum ada dua teori yang dapat digunakan dengan pendekatan
normatif-teologis, yaitu :
- Hal-hal untuk mengetahui kebenaran yang memerlukan pembuktian secara
empirik dan eksperimental, serta
- Hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental.
Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik, biasanya disebut sebagai
masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran). Sedangkan masalah-masalah
yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib), biasanya diusahakan melalui
pembuktian dengan mendahulukan kepercayaan. Tetapi cukup sulit untuk
menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik serta mana yang tidak,
sehingga memerlukan sikap kritis dalam pendekatan normatif-teologis ini.
Tradisi studi keagamaan selama ini lebih dominan dibatasi pada pendalaman
terhadap agama yang dianut, tanpa melakukan komparasi kritis dan
apresiatif terhadap agama lain. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan waktu dan
fasilitas yang diperlukan serta menganggap studi agama lain kurang bermanfaat atau
dapat merusak keyakinan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Sikap

4
Supiana, Metodologi Studi Islam, (Cet. II; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Agama
Islam, 2012), h. 77
5
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 28
6

eksklusifisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama ini tidak
saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena
mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup terasa
lebih kaya dengan nuansa. Arogansi teologis ini tidak saja dihadapkan pada pemeluk
agama lain, tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas seagama.
Sejarah telah membuktikan, baik agama Islam, Yahudi maupun Kristen, tentang
bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran
lain. Bentrokan semacam ini menjadi semakin tajam ketika yang mengendalikan
isunya adalah kepentingan politik yang kemudian menimbulkan perpecahan, dimana
semua berawal dari pemahaman normatif-teologis yang kemudian disusupi unsur-
unsur politis di dalamnya.

D. Ciri dan Aplikasi Pendekatan Teologis Normatif


Pendekatan normatife & teologis secara umum menggunakan cara berpikir
deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang mutlak adanya,
dimana ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar dan tidak perlu
dipertanyakan terlebih dahulu. Dimulai dari keyakinan lalu diperkuat dengan dalil-
dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif-teologis mempunyai ciri-ciri yang melekat sebagai
sebuah pendekatan, yaitu terdiri atas :
a) Loyalitas terhadap diri sendiri
Loyalitas terhadap diri sendiri timbul bila kebenaran keagaaman dimaknai
dengan kebenaran sebagaimana dipahami oleh pribadi itu sendiri. Kebenaran
sebagaimana diyakni oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa lagi
diungkit-ungkit. Sebagai konsekuensinya, kebenaran yang ditunjukkan oleh
orang lain dianggap kurang benar atau salah sama sekali.
b) Komitmen
Pendekatan normatif-teologis menghasilkan individu yang berkomitmen tinggi
terhadap kepercayaan. Individu yang meyakini suatu kebenaran akan siap
berjuang mempertahankannya, serta siap menghadapi tantangan dari pihak-pihak
lain yang mencoba menyerang kebenaran yang telah diyakini secara mutlak.
7

c) Dedikasi
Hasil dari loyalitas dan komitmen yang besar akan menghasilkan dedikasi yang
tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi itu
diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusias dalam
menjalankan keyakinan dan menyebarkannya, serta kerelaan untuk berkorban
demi pengembangan keyakinan yang dianut.6
Pendekatan normatif-teologis dalam aplikasinya tidak menemui kendala
yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam yang bersifat qoth’i.
Persoalannya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada
realita dalam al-Qur’an maupun Hadis yang tidak tertulis secara eksplisit, namun
kehadirannya diakui dan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh yang
paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam masyarakat yang sudah menjadi
tradisi turun-temurun, seperti tahlilan atau kenduri.
Agama Islam dilihat secara normatif pasti benar serta menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, rasa persamaan derajat dan
sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan,
kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Sedang untuk bidang ilmu
pengetahuan, agama tampil mendorong umatnya agar memiliki pengetahuan dan
keahlian serta menguasai teknologi yang setinggi-tingginya. Demikian pula untuk
bidang kesehatan, kehidupan, kebudayaan, politik dan lainnya, agama tampil sangat
ideal dan dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama. 7

E. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Normatif-Teologis

6
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 76
7
Abuddin Nata, op.cit., h. 34
8

Pendekatan normatif-teologis sebagai sebuah metode pasti memiliki


kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan pendekatan normatif-teologis
adalah :

1. Kelebihan
Melalui pendekatan normatif-teologis, seseorang akan memiliki sikap teguh
terhadap agama yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar, serta tidak
memandang dan meremehkan agama lain. Melalui pendekatan ini, seseorang
akan memiliki sikap fanatik dan kecintaan yang dalam terhadap agama yang
dianutnya.8

2. Kekurangan
a. Bersifat eksklusif
Ketika meyakini sesuatu dengan kebenaran yang mutlak, maka individu
tersebut akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak mau menerima pendapat
serta pemahaman orang lain. Orang-orang yang memahami Islam dengan
pendekatan normatif-teologis akan menutup diri dari kebenaran yang
dibawa orang lain. Namun demikian, jika sikap eksklusif ini hanya
berkaitan dengan masalah tauhid, maka hal itu bukan menjadi suatu
kekurangan.
b. Dogmatis
Dogma adalah pokok-pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang
baik dan benar, tidak boleh dibantah dan tidak diragukan. Individu yang
memahami Islam dengan pendekatan normatif-teologis cenderung
menganggap ajarannya sebagai ajaran yang tidak boleh dipertanyakan lagi
kebenarannya dan tidak boleh dikritisi.
c. Tidak mengakui kebenaran orang lain

8
Ibid.
9

Pendekatan normatif-teologis menghasilkan individu yang tidak mengakui


kebenaran orang lain. Hal ini karena adanya anggapan bahwa yang diyakini
adalah sesuatu paling benar dan yang tidak sama adalah sesuatu yang salah.

F. Penutup
Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan menggunakan berbagai
pendekatan. Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dalam konteks untuk
memahami cara mendekati ajaran Islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun
normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut
pandang saja, dengan menafikan sudut pandang lainnya yang kehadirannya sama-
sama penting. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi, maka akan menimbulkan
reduksi dan distorsi makna. Implikasi logis dari hal diatas adalah gambaran ajaran
Islam yang utuh, tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan klaim kebenaran sepihak
yang akan sulit tercapai.
Perkembangan jaman yang demikian pesat dan disertai dengan munculnya
berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah tuntutan untuk
lebih memahami agama sesuai jamannya. Tuntutan terhadap agama dapat dijawab
dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan normatif-teologis, serta
dilengkapi dengan pendekatan lain, dimana secara operasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Jadi sebaiknya umat tidak
memahami Islam hanya melalui pendekatan normatif-teologis, agar pemahaman
tentang Islam menjadi lebih terintegrasi, universal dan komprehenshif.
10

Abdullah,Amin. 1997. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka


Belajar.

Anda mungkin juga menyukai