DISUSUN OLEH
FAKULTAS DAKWAH
2019/2020
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
Shahih Bukhari, (Istambul: Dār at-Tibā’ah al-‘Āmirah, 2005) hlm 125.
2
Jalaluddīn ‘Abdurraḥmān as-Suyūṭi, al-Luma’ fī asbābil Wurūdil hadīs, (Beirut: Dār Iḥya’ at-Tūras
al-‘Arabi, 2001) hlm 455.
1. Metode graduasi (Al-Tadarruj), yaitu metode berdakwah secara
bertahap, ini sebenarnya merupakan metode Al-Qur’an dalam
membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan
tradisi Jahiliyah maupun yang lain. Demikian pula dalam
menanamkan aqidah, Al-Qur’an juga memakai metode graduasi
ini.3 Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw secara bertahap
(berangsur-angsur) begitu pula Nabi saw menyampaikan hal itu
kepada para sahabatnya. Karenanya sangatlah wajar apabila salah
satu cara dakwah nabi Muhammad saw adalah grduasi. Dakwah
dan pengajarannya di sampaikan secara bertahap dan memerlukan
tahap matang dan disesuaikan dengan kemampuan daya tangkap
masyarakat atau tingkatan pengertian mereka.
Namun tampaknya, metode graduasi dalam pendidikan
Nabi saw bukan semata-mata karena al-Qur’an diturunkan secara
graduasi, melainkan juga merupakan kebijaksanaan Nabi saw
sendiri dalam pendidikan. Sebab banyak contoh yang menunjukkan
Nabi saw tetap memakai metode itu meskipun hal itu terjadi pada
saat-saat akhir dari kehidupan beliau di mana Al-Qur’an sudah
hampir tuntas diturunkan.
2. Materi dakwah dan pengajaran pokok yang pertama disampaikan
dalam adalah mengenai Tauhid. Tauhid merupakan permasalahan
yang paling penting dalam agama ini. Maka mendakwahkannya
juga merupakan perkara yang penting yang dan tidak boleh
disepelekan. Tauhid merupakan bagian yang terpenting dari agama
ini, ia merupakan fitrah yang telah Allah tetapkan pada setiap
manusia.
Tauhid juga merupakan inti dakwah dan ajaran seluruh
Nabi dan Rasul, meski sayri’at yang dibebankan kepada masing-
masing umat berbeda. Tauhid merupakan ilmu tentang mengesakan
Tuhan, meyakini keesaan Allah swt dalam rububiyah, ikhlas
beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama dan sifat-
3
Al-Khātib, Muḥammād ‘Ajjāj, Ushul al-Hadist (Berirut: Dār al-Fikr,1989) hlm. 57
Nya. Dengan demikian tauhid ada tiga macam, yaitu tauhid
rububiya, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma wa sifat.4
Di samping menyempurnakan tauhid juga harus ada ajakan
kepada tauhid. Jika tidak, maka ada yang kurang dalam tauhid
tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meniti jalan
tauhid disebabkan dia mengetahui bahwa jalan tauhid adalah jalan
yang terbaik. Kalau memang dia benar dalam keyakinannya, maka
dia juga harus mendakwahkan tauhid. Mengajak kepada seruan
tauhid Lā ilāha illallāh adalah termasuk kesempurnaan tauhid
seseorang.5 Nabi Muhammad saw mendakwakan tauhid selama 13
tahun lamanya, begitupun Nabi-Nabi sebelumnya semuanya
mendakwahkan tauhid sebagaimana yang Allah perintahkan:
6
Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1999) hlm 105.
masih dalam tahap sembunyi-sembunyi, jadi belum terlalu keras
dan terjal dalam pendakwahannya.
2. Dakwah Terang-terangan
Setelah tiga tahun berlalu, dan melakukan dakwah secara
sembunyi-sembunyi, maka Rasulullah saw ingin menyampaikan
dan menyebarkan secara terang-terangan. Sebelum Rasulullah saw
berdakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw menjamu
makan malam sederhana kepada kaum Bani Hasyim (keluarga
besar Rasulullah saw). Dalam acara tersebut Rasulullah saw
mengajak kabilah Bani Hasyim untuk mengikuti langkah atau
ajaran Islam.7 Hasil yang didapatkan adalah mereka tidak
menggubris ajakan Rasulullah, bahkan meninggalkan tempat
jamuan sebelum acara tersebut berakhir.
Di lain waktu, acara jamuan tersebut diadakan kembali.
Kali ini para tamu undangan mulai mendengarkan perkataan
Rasulullah saw. Namun, tak satupun dari mereka yang
meresponnya secara positif. Hal tersebut tidak membuat Rasulullah
saw dan para sahabatnya patah arah, tetapi membuat Rasulullah
saw dan para sahabatnya semangat dan dakwahnya semakin
diperlebar. Hingga suatu ketika Rasulullah saw mengadakan pidato
terbuka di bukit Sofa. Pidato tersebut berisi perihal kerasulannya.
Rasulullah memanggil seluruh penduduk Makkah dan
mengabarkan kepada mereka bahwa dirinya diutus untuk mengajak
mereka meninggalkan “Paganisme” (Penyembahan terhadap
berhala). Beliau menjelaskan bahwa Tuhan yang wajib disembah
hanyalah Allah. Mendengar hal tersebut masyarakat Quraisy
tersentak kaget, mereka sangat marah karena hal tersebut dan
menghina tradisi nenek moyang dan kehormatan mereka. Para
pembesar Quraisy membentak dan memaki Rasulullah dengan
keras. Mereka menganggap bahwa Muhammad adalah orang gila.
Bahkan pamannya sendiri pun mengancam Rasulullah dengan
7
Op.cit., h 123.
keras. Seiring berjalannya waktu, dakwah secara terang-terangan
terus dilakukan.
Bersamaan dengan itu pula, perlawanan dari kalangan
pembesar Quraisy seperti Abū Sofyan, Abū Lahab, Ummayah, dan
‘Utbah bin Rabī’ah semakin gencar. Para penentang tersebut mulai
melancarkan aksi permusuhan kepada Rasulullah dan para sahabat.
Para pengikut yang berasal dari kalangan lemah dan tertindas
sering mendapatkan siksaan yang berat. Mereka tidak lagi
memandang bahwa Muhammad adalah anggota kabilah Bani
Hasyim, hanya saja tekanan-tekanan terhadap Rasulullah tidak
mereka lakukan secara langsung, karena mereka masih menghargai
Abu Thalib dan para anggota Bani Hasyim lainnya. Setelah
mendapatkan siksaan yang bertubi-tubi dari kaum Bani Hasyim,
maka kaum muslimin hijrah ke Abesinia (Ethiopia). Hijrah kaum
muslim tersebut terbagi menjadi dua gelombang. Gelombang
pertama berjumlah 11 orang pria dan 4 wanita. Ternyata
sesampainya di Makkah justru Quraisy menyiksa kaum muslimin
lebih kejam dari yang sebelumnya. Oleh karena itu, maka kaum
muslimin berhijrah kembali untuk yang kedua kalinya ke abesinia
dengan rombongan yang lebih besar, yakni orang pria tanpa
wanita. Mayoritas penduduk Abesinia beragam nasrani (kristen)
dan dipimpin oleh Raja Najasi Negus. Para masyarakat Abesinia
menghormati kaum muslim untuk tinggal di sana sampai setelah
Nabi hijrah ke Madinah.8
8
Op.cit., h 157