Anda di halaman 1dari 41

AL-QURAN SEBAGAI SUMBER INSPIRASI

FILSAFAT DAKWAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Dakwah yang
diampu oleh:
Dr. Asep Shodiqin, M.Ag

Disusun oleh:
Muhammad Irfan Fauzi 1174020101 (KPI 3 C)
Nabila Virginisa 1174020108 (KPI 3 C)
Nafrah Galang Madani 1174020109 (KPI 3 C)
Raymond Suryadi 1174020133 (KPI 3 C)
Restu Maulana 1174020137 (KPI 3 C)

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puja serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menggerakkan tangan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ‘Filsafat Dakwah’ yang berupa sebuah tulisan
makalah yang membahas tentang ‘Al-Quran sebagai Sumber Inspirasi Filsafat Dakwah’.
Salawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. yang
telah membawa kita dari alam kejahilan ke alam yang penuh pengatahuan dan dari alam
kegelapan ke alam yang terang benderang. Dan penulis berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis khususnya.
Kemudian dengan hati yang lapang kami menerima kritik atau pun saran jika ada
kesalahan dan kekeliruan dalam makalah ini guna untuk melengkapi dan membenarkan
kekeliruan tersebut.

Bandung, 26 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Kedudukan Al-Quran..................................................................................................3
B. Wacana Al-Quran Tentang Filsafat.............................................................................3
C. Wacana Al-Quran Tentang Tuhan...............................................................................5
D. Diskursus Al-Quran Tentang Manusia......................................................................11
E. Diskursus Al-Quran Tentang Alam Semesta............................................................19
BAB III PENUTUP................................................................................................................35
A. Kesimpulan................................................................................................................35
B. Saran..........................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini umat Islam telah diberi pedoman dan petunjuk
melalui Rasul-Nya berupa Al-Quranul karim. Dengan adanya Al-Quran umat Islam bisa
mempelajari kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehingga Al-Quran menjadi
penuntun hidupnya. Al-Quran juga sangat berperan penting sebagai kitab dakwah dan
pergerakan agar manusia bisa menyampaikan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya.
Kandungan yang terdapat di dalam Al-Quran banyak sekali yang dapat diambil
dan banyak menginspirasi lahirnya berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk inspirasi
dalam berfilsafat yang diidentikan dengan kata hikmah dan mengajak manusia untuk
berpikir.
Di dalam Al-Quran, kata filsafat memang tidak secara langsung disebutkan, tapi
esensi maknanya sama dengan filsafat, seperti adanya ayat yang menyuruh manusia agar
sering memikirkan penciptaan Allah SWT yang terhampar di alam semesta, terjadinya
fenomena-fenomena kejadian alam, pergantian siang dan malam, turunnya hujan, adanya
berbagai macam makhluk seperti hewan, tumbuhan, lautan, gunung-gunung, langit,
matahari, bulan dan sebagainya. Selain itu, untuk memikirkan tentang proses
terbentuknya manusia mulai dari janin sampai lahir ke dunia. Hal itu yang menginspirasi
agar selalu menggunakan akal untuk memikirkannya.
Oleh karena itu, kami akan lebih jauh membahas tentang berbagai macam
fenomenafenomena di atas yang terkandung di dalam Al-Quran dengan dihubungkan
dengan dakwah sehingga Al-Quran menjadi sumber inspirasi filsafat dakwah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan dan peran Al-Quran?
2. Bagaimana wacana Al-Quran tentang filsafat?
3. Bagaimana wacana Al-Quran tentang tuhan?
4. Bagaimana wacana Al-Quran tentang manusia?
5. Bagaimana wacana Al-Quran tentang alam semesta?

1
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan kedudukan dan peran Al-Quran.
2. Untuk menjelaskan wacana Al-Quran tentang filsafat.
3. Untuk menjelaskan wacana Al-Quran tentang tuhan.
4. Untuk menjelaskan wacana Al-Quran tentang manusia.
5. Untuk menjelaskan wacana Al-Quran tentang alam semesta.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Al-Quran
1. Al-Quran sebagai sumber berbagai disiplin ilmu keislaman.
Disiplin ilmu yang bersumber dari Al-Quran di antaranya yaitu:
a. Ilmu Tauhid (Teologi)
b. Ilmu Hukum
c. Ilmu Tasawuf
d. Ilmu Filasafat Islam
e. Ilmu Sejarah Islam
f. Ilmu Pendidikan Islam
2. Al-Quran sebagai wahyu Allah SWT  yaitu seluruh ayat Al-Quran adalah
wahyu  Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.
3. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar) arinya, Al-Quran merupakan khabar
yang di bawah nabi yang datang dari Allah dan di sebarkan kepada manusia.
4. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), sudah seharusnya setiap muslim menjadikan Al-
Quran sebagai rujukan terhadap setiap problem yang di hadapi.
5. Sebagai salah satu sebab masuknya orang Arab ke agama Islam pada zaman rasulallah
dan masuknya orang-orang sekarang dan yang akan datang.
6. Al-Quran sebagai suatu yang bersifat abadi artinya, Al-Quran itu tidak akan terganti
oleh kitab apapun sampai hari kiamat baik itu sebagai sumber hukum, sumber ilmu
pengetahuan dan lain-lain.
7. Al-Quran dinukil secara mutawattir artinya,  Al-Quran disampaikan kepada orang lain
secara terus-menerus oleh sekelompok   orang yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal
mereka.
8. Al-Quran sebagai sumber hukum, seluruh mazhab sepakat Al-Quran sebagai sumber
utama dalam menetapkan hukum, dalam kata lain bahwa Al-Quran menempati posisi
awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah.
9. Al-Quran di sampaikan kepada nabi Muhammad secara lisan artinya, baik lafaz
ataupun maknanya dari Allah SWT.

3
10. Al-Quran termaktub dalam mushaf, artinya bahwa setiap wahyu Allah yang lafaz dan
maknanya berasal dari-Nya itu termaktub dalam mushaf (telah di bukukan).
11. Agama Islam datang dengan Al-Quran membuka lebar-lebar mata manusia agar
mereka manyadari jati diri dan hakikat hidup di muka bumi.

Fungsi/ Peranan Al-Quran


1. Dari sudut subtansinya, fungsi Al-Quran sebagaimana tersurat  nama-namanya
dalam  Al-Quran adalah sebagai berikut:
a. Al-Huda (petunjuk), Dalam Al-Quran terdapat tiga kategori tentang posisi Al-
Quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua,
Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Ketiga, petunjuk bagi
orang-orang yang beriman. Al-Quran menjadi pedoman terpenting bagi umat
manusia sepanjang masa. Al-Quran sendiri telah menyatakan dirinya sebagai
petunjuk (dari Allah) bagi manusia (Q.S. Al-Baqarah: 185). A. Syafi’I Ma’arif
menjelaskan hal sebagai berikut, ‘Perhatian utama al-Quran adalah memberikan
petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya
kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik.’1
b. Al-Furqon (pemisah), Dalam Al-Quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara
yang benar dan yang salah.
c. Al-Asyifa (obat). Dalam Al-Quran dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi
penyakit-penyakit yang ada dalam dada (mungkin yang dimaksud disini adalah
penyakit Psikologis)
d. Al-Mau’izah (nasihat), Didalam  Al-Quran di katakan bahwa ia berfungsi sebagai
penasihat bagi orang-orang yang bertakwa.
2. Fungsi Al-Quran di lihat dari realitas kehidupan manusia:
a. Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus bagi kehidupan manusia
b. Al-Quran sebagai mukjizat bagi Rasulallah SAW.
c. Al-Quran menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang
membedakannya dari makhluk lain.
d. Al-Quran sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya.
e. Menjelaskan kepada manusia tentang masalah yang pernah di perselisikan umat
Islam terdahulu
1
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 10.

4
f. Al-Quran berfungsi memantapkan Iman.
g. Tuntunan dan hukum untuk menempuh kehidupan.
Al-Quran mempunyai fungsi dan kedudukan yang sangat besar bagi manusia
untuk mamahami tentang jati diri dan hakikat hidupnya di permukaan bumi ini. Al-
Quran merupakan pedoman pertama bagi manusia setelah yang keduanya Hadits,
yang merupakan sumber hukum pertama bagi manusia dan tidak ada satupun yang
dapat mengganti kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam, Al-Quran itu
membahas segala sesuatu secara global misalnya, Al-Quran  membahas
tentang  Sastra tapi Al-Quran bukan merupakan buku sastra tetapi ia membahas sastra
yang sangat tinggi dan sebagainya.
Setelah kita memahami fungsi dan kadudukan Al-Quran tersebut secara utuh
maka kita dapat menjadikan Al-Quran sesuatu yang sangat berperan secara langsung
bagi keberlangsungan kehiduapan ummat manusia di permukaan bumi ini, karna
tanpa adanya Al-Quran tersebut maka  peradapan manusia saat ini akan kacau, tidak
ada rasa hormat antara manusia, tidak terjalinnya silaturahim antara Muslim, keadaan
kehidupan manusia semraut, terjadinya penghardian terhadap anak yatim dan
sebagainya.

B. Wacana Al-Quran Tentang Filsafat


Pengertian filsafat yang semula berarti cinta kearifan ternyat amenjadi luas sekali.
Dahulu, kata Sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan berarti pula kebenaran
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.2
Istilah filsafat merupakan istilah asing dan berasal dari bahasa Yunani, karenanya
istilah filsafat tidak disebut di dalam Al-Quran. Jika istilah filsafat diartikan dengan
makna cinta pada kebijaksanaan, maka dalam Al-Quran istilah tersebut dengan kata al-
hikmah. Kata Al-Hikmah secara etimologi mengandung makna yang banyak dan
berbedabeda, di antaranya: al-Adl (keadilan), al-Hilm (Kesabaran dan ketabahan), al-
Nubuwwah (kenabian), yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, yang mencegah
seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang cocok dengan
kebenaran, meletakan sesuatu pada tempatnya dan kebenaran perkara. Dari makna-makna
tersebut, ada satu makna yang menjadi esensi dari kata al-Hikmah yang mudah dipahami

2
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009, Cetakan keempat,
hlm. 29; lihat pula F.E. Peters, Greek Philosophical Terms,; A History Lexicon, 1967, hlm. 156 & 179

5
secara akal dan dapat dioperasionalkan dalam aktivitas dakwah, yakni meletakkan sesuatu
pada tempatnya.
Seperti
yang dikatakan Al’Arabi dalam bukunya Fushuh Al-Hikmah, makna al-hikmah
adalah proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. Adapun menurut Ar-Raghib
bahwa al-hikmah yaitu memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan akal. Begitu
pula, dalam tulisan Nurcholis Madjid bahwa hikmah itu berarti ilmu pengetahuan, filsafat,
kebenaran, bahkan merupakan rahasia Tuhan yang tersembunyi yang hanya bisa diambil
manfaat dan pelajaran pada masa dan waktu yang lain. 3 Al-Hikmah jika dikaitkan dengan
filsafat menurut al-Amiri, Lukman adalah orang yang pertama yang mendapatkan
hikmah, seperti dijelaskan dalam surat Lukman ayat 12 ‘Dan sesungguhnya telah kami
berikan hikmah kepada Lukman’.
Selain kata al-Hikmah, Al-Quran juga banyak memberikan dorongan kepada
manusia untuk senantiasa mengembangkan pikiran dan hatinya. Al-Quran mendorong
manusia untuk memikirkan penciptaan langit, bumi, manusia, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan sebagainya. Al-Quran sangat mencela orang-orang yang bersikap taklid dan
jumud kepada warisan leluhurnya sehingga mereka enggan menggunakan akalnya untuk
memikirkan kebenaran dan berpikir bebas guna mencapai kebenaran.
Berbagai motivasi dan dukungan yang kuat dari Al-Quran terhadap penggunaan
segala potensi yang dimiliki oleh manusia, maka kehadiran Al-Quran telah mengubah
pola berfilsafat dalam konteks dunia Islam secara radikal sehingga lahirlah ‘Filsafat
profetik’. Artinya realitas dan proses meta-historis penyampaian Al-Quran merupakan
perhatian utama para pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsafat. Dalam hal ini,
para filsuf tidak hanya mengandalkan pada kemampuan yang bersifat rasional dan
empiris saja, melainkan juga pada kemampuan yang bersifat intuitif. Pada konteks inilah
filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf Islam berbeda dengan filsafat yang
dikembangkan oleh para filsuf Barat.
Ajakan Al-Quran berfilsafat, seperti yang diungkap oleh kedua filsuf Muslim di
atas, jika ditelusuri di dalam ayat-ayat Al-Quran, memang banyak yang menyatakan
demikian, diantarnaya:
         
       

3
Nurcholish Madjid, Memahami Hikmah dalam Agama dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat
Modern, [Penyunting: M. Amin Akkas & Hasan M. Noer], [Jakarta: Mediacita, 2000], hlm. 397.

6
“dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya
petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An’am:
97)
           
     
“Alif laam miim raa[764]. ini adalah ayat-ayat Al kitab (Al Quran). dan kitab
yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan
manusia tidak beriman (kepadanya).” (Q.S. Ar-Ra’d: 1)
Uraian Al-Quran di atas menjealskan bahwa dalam ajaran islam, akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran
keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi masalah di sini adalah apakah
penggunaan akal, seperti yang muncul dalam istilah Islamrasionalis atau rasionalis dalam
Islam itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau
membuat akal lebih tinggi daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal?
Dalam pemikiran Islam, baik dalam fislafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu
fiqh, akal tidak pernah memabtalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks
wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu
dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap
teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.

C. Wacana Al-Quran Tentang Tuhan


Pembahasan tentang Tuhan merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai,
baik di kalangan Filosof, Teolog, Ilmuwan, Budayawan dan para ahli lainnya. Tuhan
selalu menarik untuk dibicarakan; siapa Tuhan, mengapa kita harus menyembah Tuhan,
bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan
manusia, dan berbagai pertanyaan lain yang senantiasa menghantui diri manusia.
Menariknya Tuhan untuk selalu dibicarakan karena Tuhan bersifat non-empiris,
sementara eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan di alam dunia ini dapat dirasakan
oleh manusia.
Adanya kematian, bencana alam, siang dan malam, musim hujan dan kemarau,
serta berbagai fenomena alam lainnya merupakan simbol-simbol yang menunjukkan
adanya peran Tuhan di dalamnya. Tragedi yang dialami manusia, seperti kematian dan

7
bencana alam, menyebabkan manusia berupaya untuk mengungkap siapa yang berperan
dibalik itu semua. Manusia meyakini ada kekuatan di luar diri manusia. Pada konteks
inilah manusia meyakini bahwa kekuatan tersebut adalah Tuhan. Awalnya manusia
mempersepsi kekuatan tersebut bersumber dari roh-roh yang ada di alam, yang kemudian
melahirkan paham animisme. Selanjutnya, pemikiran manusia mengalami perkembangan
dan manusia meyakini banyaknya kekuatan-kekuatan atau Tuhan-Tuhan yang membantu
hidup manusia, maka lahirlah keyakinan banyak Tuhan atau politeisme.
Dalam keimanan Islam, diajarkan bahwa untuk mengenal Tuhannya orang-orang
Islam, kita harus mengenal ciptaan-Nya, pencipta dikenal melalui ciptaan-Nya. Karena
Tuhan Maha pencipta, maka untuk mengenal Tuhan, kita harus mengenal ciptaan-Nya.4
Kata Tuhan berasalah dari kata ilaahun terdiriatas tiga huruf: hamzah, lam, ha,
sebagai pecahan dari kata laha –yalihu– laihan, yang berarti Tuhan yang Maha
Pelindung, Maha Perkasa. Ilaahun, jamaknya aalihatun, bentuk kata kerjanya adalah
alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun
artinya sama dengan ma‘budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang
mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.
Dalam kamus besar bahasa Arab Lisan Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata
ilaahun masih umum, ketika ditambah dengan lam ma‘rifah maka menjadi Alilaahun
yang tiada lain adalah Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selainNya,
jamaknya aalihatun. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma‘budun, ‘yang
diabdi. Quraish Shihab mengatakan kata Ilaah (‫ )هإل‬disebut ulang sebanyak 111 kali
dalam bentuk mufrad, ilaahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aalihah dalam bentuk
jamak disebut ulang sebanyak 34 kali.5 Kata ilaah (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak 80 kali.
Jika kita mengajukan pertanyaan, kapan manusia memiliki kesadaran mengenal
adanya eksistensi dan peran Tuhan di alam semesta ini, nampaknya teramat sulit untuk
diberikan penjelasan secara detail dan jelas. Sumber utama yang bisa kita yakini
memberikan informasi tentang eksistensi Tuhan berasal dari teks-teks agama. Adam, di
dalam teks Al-Quran, diyakini sebagai orang pertama yang mengaku bersalah di hadapan
Tuhan dan memohon ampun terhadap dosa-dosa yang dibuatnya (QS.7: 19-25). Dari
peristiwa yang dialami Adam inilah yang kemudian berlanjut menjadi proses dramatisasi
kehidupan manusia di alam semesta ini.

4
Yasin T. Al-Jibauri, Konsep Ketuhanan Menurut Islam, Lentera Baristama: Jakarta, 2005, hlm. 30-34.
5
Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 75

8
Proses kehidupan manusia dalam pencariannya terhadap Tuhan tidak bersifat
linear artinya keyakinan Adam terhadap keesaan Tuhan tidak serta merta menjadikan
seluruh manusia memiliki paham monoteisme (paham satu Tuhan). Potensi negatif atau
pembangkangan yang terdapat dalam diri manusia memungkinkan manusia tidak percaya
terhadap Tuhan (atheis dan agnotisme), membuat Tuhan-Tuhan yang banyak
(politeisme), dan pencampuran keyakinan (sinkritisme) antara keyakinan terhadap Tuhan
dengan Keyakinan terhadap kekuatan yang lain. Semua itu merupakan sesuatu yang
sangat manusiawi. Justru dengan adanya potensi tersebut akan memberikan peluang bagi
manusia untuk terus berjuang dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah
yang dalam konsep Islam disebut sebagai ‘ujian’ bagi manusia untuk memilih jalan yang
terbaik, jalan yang lurus, yakni jalan yang diridhai Tuhan dan jalan yang diberi ni’mat.
Pada konteks inilah dakwah Islam amat diperlukan untuk memberikan penjelasan
tentang konsepsi Tuhan yang diyakini oleh Islam. Tuhan yang diyakini bukan hanya
sebagai objek kajian dari pemikiran manusia saja, melainkan Tuhan yang senantiasa
dirasakan kehadirannya dalam diri manusia, Tuhan yang aktif, Tuhan yang penuh kasih
sayang, dan Tuhan yang menjadi tujuan manusia untuk bertemu. Di samping itu, Tuhan
merupakan satu-satunya zat yang berkuasa dan memiliki otoritas penuh. Semua prinsip,
hukum, adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori
atau ajaran yang tidak mengacu kepada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak
kedaulatan Tuhan dan membikin Tuhan-Tuhan selain daripada Tuhan Esa yang
sebenarnya. Tunduk dan patuh kepada Tuhan berarti membawa seantero hidup manusia
ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan.
Penyimpangan keyakinan terhadap Tuhan dalam bahasa Al-Quran disebut dengan
syirik. Al-Quran menyebutkan dua ciri utama dari kemusyrikan yaitu: pertama,
menganggap Tuhan mempunyai sekutu (syarik). Kedua, menganggap Tuhan mempunyai
saingan (andad). Obyek sesembahan yg dilarang dan termasuk perbuatan syirik adalah
menyembah berhala (QS. 6:74,7:138, 21:52), benda langit (41:37), benda mati (4:117),
makhluk halus (6:101), dan tokoh yg dianggap Tuhan (4:171,5:116, 6:102, 19:82-92,
16:57, 17:40, dan 37:49). Sementara yang bisa dijadikan ilah sebagai saingan (andad)
Tuhan adalah kecintaan (2:165), kataatan tanpa reserve terhadap ulama (9:31), fanatisme
golongan, aliran (23:52-53, 30:31-32), kecintaan harta (9:24), dan hawa nafsu (25:43).
Persoalan tunduk dan patuh kepada Tuhan bagi manusia merupakan problem
tersendiri. Tuhan yang eksistensinya sangat abstrak sulit untuk dapat ditangkap oleh
manusia yang senantiasa berfikir di alam nyata atau realitas. Bagaimana harus tunduk dan
9
mengetahui perintah-perintah-Nya, sementara Tuhan sendiri begitu abstrak bagi manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dijelaskan tentang fungsi syahadat yang
kedua, yakni berkaitan dengan doktrin kerasulan atau kenabian. Menurut Al-Syahrastani,
‘kenabian merupakan rahmat yg diberikan oleh Allah kepada siapa saja hamba-Nya yang
Dia kehendaki’.
Doktrin tersebut dianggap sebagai tanggapan Tuhan terhadap kebutuhan manusia
akan petunjuk. Karena sangat mendasarnya keperluan itu, maka kenabian mulai dengan
permulaan kehidupan manusia di dunia ini. Manusia pertama adalah juga nabi dan Rasul
yang pertama. Karena kenabian adalah keperluan semua umat manusia, maka nabi-nabi
bukan merupakan hak istimewa dari sesuatu ras atau wilayah tertentu. Menurut al-Qur’ân,
Nabi dan Rasul dibangkitkan di semua bagian dunia ini. Mereka dituntut untuk
menyampaikan dan mengamalkan kebenaran itu serta mengajak kepada umat manusia
untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan. Petunjuk Tuhan yang diajarkan kepada mereka
diwahyukan dalam bentuk final dan sempurna kepada Nabi Muhammad saw yang bukan
hanya menyampaikan kepada orang lain, tetapi juga mengamalkannya dan dengan sukses
mendirikan masyarakat dan negara atas dasar wahyu itu.
Selain itu, doktrin kenabian disebabkan karena Akal manusia tidak mampu
mengungkap hakekat kebenaran (QS. 2:216) dan Tuhan berkomunikasi dengan orang
pilihan-Nya untuk mengajarkan manusia dalam beribadah pada Tuhan (QS. 22: 75).
Untuk itulah, Tuhan mengutus para Nabi sesuai dengan waktu dan kondisi umat-nya
‘Untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan’ (QS.5:48).
Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir mengajarkan misi yang sama
dengan rasul-rasul sebelumnya yakni mengesakan Allah ‘Dan Kami tidak mengutus
seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku (Q.S.
21:25). Allah adalah Rab (aktif) dan malik (penguasa). Allah adalah Tuhan Yang Esa
(QS. 112:1-4), yang membantah konsep Yahudi bahwa uzair anak Allah (QS. 9:30) dan
menyembah sapi (QS. 2: 67-71), serta membantah konsep Nasrani tentang trinitas (QS.
5:72-73).
Pengesaan terhadap Allah swt merupakan persoalan aqidah atau keyakinan.
Manusia meyakini sesuatu manakala sesuatu tersebut dapat dilihat atau disaksikan secara
10
langsung melalui indera manusia. Di samping itu, keyakinan manusia dapat diperoleh
melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita. Kita tidak bisa memungkiri
wujud sesuatu, hanya karena kita tidak bisa menjangkaunya dengan mata (indera).
Contohnya kita dapat meyakini adanya waktu yang terus berputar dalam kehidupan
manusia, namun kita tidak bisa menjangkau keberadaan waktu tersebut. Begitu juga
keyakinan kepada Allah tidak harus dibangun melalui penginderaan secara langsung,
melainkan melalui pemberitaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang ma’shum dan
jujur.
Selain itu, manusia juga sejak lahir telah dibekali keimanan oleh Allah swt. Iman
adalah fithrah setiap manusia ‘dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi’. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’ (QS. 7:172).
Mengingat Allah Maha Absolut, maka antara Allah dan manusia selalu ada ‘jarak’
yang amat jauh sehingga manusia bersikap ‘paradoksal’ dalam memposisikan Allah.
Allah yang diyakini sebagai yang teramat jauh, bahkan tidak terjangkau (transendent),
tetapi sekaligus juga berada bersama, bahkan di dalam diri kita (immanent). Sebagai
akibatnya, manusia menangkap kehadiran Allah melalui simbol-simbol yang disakralkan.
Adanya jarak yang jauh antara Allah dan manusia, maka jarak itu dijembatani dengan
nama-nama serta tanda-tanda dalam bahasa arab disebut asma (QS.21: 25, 20:14), ayat
(QS. 20:113), dan alam (QS. 3:190-191).
Para ulama ketika memperkenalkan dan memberikan pemahaman tentang
eksistensi dan peran Allah, melalui ilmu tauhid. Sayangnya, ilmu tauhid yang ada
cenderung pada pemahaman yang bersifat intelektual dengan memperkenalkan hukum
akal menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Umat Islam sangat hapal sekali dengan sifat
wajib Allah, seperti wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lilhawaditsi, qiyamuhu binafsihi
dan seterusnya, tetapi kurang memahami dalam praktek keseharian manusia sehingga
hapalan tersebut tidak bisa mengatasi problematika kemanusiaan. Ilmu tauhid semacam
itu tidak membuahkan elan vital (gairah hidup), melainkan hanya inner force (kekuatan
batin).
Padahal inti pembahasan tauhid adalah pembahasan Allah. Sementara Allah
senantiasa berada di dalam kehidupan manusia ‘tiada pertemuan antara tiga orang kecuali
11
Tuhan yg keempat, juga tidak lima orang kecuali Tuhan yg keenam, dan tidak pula yg
lebih sedikit atau lebih banyak kecuali Tuhan pun ada di sana’ (QS. 58:7). Dengan
demikian tauhid berperan sebagai pembangun kesadaran manusia dalam menjalani
kehidupan. Bahkan, tauhid oleh Allah diibaratkan seperti pohon. Jika tauhidnya kuat,
maka unsur lainnya (ibadah dan muamalah) akan kuat.’tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik (tauhid) seperti pohon yg
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat’ (QS. 14:24-25).
Oleh karena itu, pemahaman yang perlu dikembangkan dalam diri umat Islam
tentang Allah, yakni secara individual, kita perlu menghadirkan Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari dengan cara mengingat Allah terus menerus ‘hai orang-orang yang beriman,
berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang’(QS.33: 41-42). Kemudian
mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang serba suci dan mulia dalam perilaku kita
sehari-hari dan perlu diwujudkan dengan cara ikut berpartisipasi dalam memecahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat.
Isu-isu perburuhan dan ketenagakerjaan, kemiskinan, gender, pemberdayaan masyarakat,
pluralisme agama, lingkungan hidup, kesadaran hukum, pendidikan, dan moralitas bangsa
merupakan isu-isu besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang
bertauhid kepada Allah.
Menurut Fazlurrahman, sebenarnya yang dituju oleh Al-Quran bukanlah Tuhan,
melainkan manusia dan tingkah lakunya. Ketika manusia sekarang dihadapkan pada
berbagai macam tantangan dan perkembangan sosial-kemasyarakatan yang begitu cepat,
maka dibutuhkan tauhid yang tidak hanya menekankan keselamatan individu saja, tetapi
juga keselamatan sosial. Oleh karena itu, semangat Al-Quran untuk menggabungkan
tauhid akidah dengan tauhid sosial perlu diwujudkan dalam kehidupan manusia. Bahkan,
menurut Komaruddin Hidayat bahwa dalam pandangan Al-Quran kesadaran spiritualitas
seseorang terimpit erat dengan kesadaran kemanusiaannya. Makin tinggi kesadaran
keberagamaan seseorang, mestinya makin tinggi juga kualitas kemanusiaannya.

D. Diskursus Al-Quran Tentang Manusia


Al-Qur’an memberikan perhatian yang besar terhadap manusia, ini terbukti
dengan begitu banyaknya ayat al-Qur’an yang membicarakan hal ikhwal manusia dalam
12
berbagai aspek-nya. Bentuk perhatian al-Qur’an terhadap manusia juga dapat dilihat
dengan nama-nama yang diberikan al-Qur’an untuk menyebut manusia. Secara
terminologis, ketika berbicara tentang manusia, AlQur’an menggunakan tiga istilah
pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata
insan, ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan
kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.6 Dapat dipahami setidaknya terdapat tiga kata yang
sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau
al-nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani adam atau durriyat adam.7

1. Term Insan
Penamaan manusia dengan kata al-insan dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 73
kali dan tersebar dalam 43 surat. Namun beberapa ulama tafsir berbeda pendapat
berapa sebenarnya jumlah kata ‫ ناسنإلا‬yang disebutkan didalam Al-Qur‟an.
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi berpendapat bahwasannya kata Al-Insan disebutkan
sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surat.8 Hal ini disebabkan karena perbedaan
analisa linguistik kata al-insan itu sendiri.
Secara Etimologi kata al-Insan berakar kata dari huruf hamzah ( ‫)ء‬, nun ( ‫)ن‬, dan
sin ( ‫)س‬, Menurut beberapa ulama memiliki kata turunan (derifasi) ins ( ‫)سنإ‬, unas (
‫) س[انأ‬, anasiyy ( ‫) يس[انأ‬, insiyy ( ‫) يس[نإ‬, dan Al-nas ( ‫) س[انال‬.9 Insan dapat diartikan harmonis,
lemah lembut, tampak atau pelupa.10 Dalam hal ini Musa Asy’arie meyebutkan bahwa
kata insan berasal dari tiga kata anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan
mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak. 11 Namun menurut
M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat

6
M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 2007), hal. 367.
7
Menurut Dawam Raharjo, Istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur‟an seperti basyar, insan,
unas, insiy, „imru, rajul atau yang mengandung pengertian perempuan seperti imra‟ah, nisa‟ atau niswah atau
dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar, atau ulul-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-
asyqa, dzul-qurba, al-dhu'afa atau al-musta«‟af-n yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam
hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit. Lihat Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur‟an Tentang Manusia
Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur‟an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), hal. 18.
8
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, AlMu‟jam al-Mufahras li alfadz al-Qur‟an alKarim, (Beirut: Darul
Fikri,1992), hlm. 119-120
9
Quraish Shihab, Membumikan alQur'an, (Bandung: Mizan,1994), hal. 223
10
Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur‟an lebih tepat dari pada yang berpendapat
bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang) dan ada juga dari akar kata Naus yang
mengandung arti ‘pergerakan atau dinamisme, lihat dalam Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir
Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), hal. 280
11
Musa Asy‟arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur‟an (Yogyakarta: LESFI, 1992),
hal. 19.

13
yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-
yanuusu (berguncang).12
Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan
seluruh totalitas, jiwa dan raga. Dari kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi
yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan
istimewa, sempurna dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain,
dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah
dimuka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk
mengekspresikan dimensi al-insan dan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya
yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk. Dengan kemampuan ini, manusia
akan mampu mengemban amanah Allah SWT., di muka bumi secara utuh, yakni akan
dapat membentuk dan mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-
nilai insaniah yang memiliki nuansa Ilahiah dan hanif. Integritas ini akan tergambar
pada nilai-nilai iman dan bentuk amaliahnya. (QS. al-Tin (95): 6).

2. Term Ins
Kata ins ( ‫ )سنإ‬merupakan salah satu turunan dari kata anasa ( ‫)سنأ‬. Kata ini juga
sering pula diperhadapkan dengan kata al-jinn ( ‫)نجال‬. Kedua jenis kata ini ( ‫)نجالو سنإلا‬
tentu sangat bertolak belakang bahwa yang yang pertama bersifat nyata (kasat mata),
sedangkan yang kedua bersifat tersembunyi. Ada sebanyak 17 kali Allah
menyebutkan kata al-ins yang disandingkan dengan al-jinn atau jan. Dalam
pemakaiannya, kata ins dalam Al-Quran mengarah kepada jenis dan menunjukkan
manusia sebagai nomina kolektif. Secara keseluruhan, penyebutan al-Ins dalam Al-
Quran sebanyak 22 kali.13 Pendapat lain menyebutkan, sisi kemanusiaan pada
manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti ‘tidak liar’ atau
‘tidak biadab’ merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang nampak itu
merupakan kebalikan dari jin yang bersifat metafisik dan identik dengan liar atau
bebas.14

12
M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur‟an, hal. 369.
13
Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi AlQuran: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. I, Hal.
1040.
14
Aisyah Bintusy Syati, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1955),
Hal. 5.

14
Dalam konteks ini, Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin (memaparkan alIsn
adalah homonim dari al-Jins dan alNufur. Al-Isfahani di dalam kitabnya menyebutkan
kata al-Ins memiliki akar kata yang sama dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-
Ashfahani al-Ins dan al-Insan memberikan penekanan yang sama sekali berbeda.
Secara bahasa keduanya memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi jika di lihat pada
penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka al-Ins, oleh beliau diartikan
khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari jin.15
Quraish Shihab mengatakan, dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah
makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak.
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam alQur‟an dengan kata al-Ins
dalam arti ‘tidak liar’ atau ‘tidak biadab’, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa
manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya
bersifat metafisik yang identic dengan liar atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu
di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas, bersifat halus dan tidak biadab.
Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam yang tak terinderakan.
Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan
lingkungan yang ada.

3. Term Nas
Kata an-nas dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar dalam 55
surat.16 Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam melihat akar dari kata an-Nas ini.
Beberapa diantara mereka, menyatakan bahwa al-nas berasal dari kata unas yang
berasal dari kata anisa yang artinya jinakmenjinakkan/ramah. Hilangnya hamzah pada
kata tersebut disebabkan karena masuknya alif lam. Berbeda dengan pemaknaan
tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa asal kata an-nas adalah nasiya artinya
lupa.17 Yang lain mengakarkan pada kata nasa-yanusu artinya bergoncang. Sementara
dzu nawwas artinya yang memiliki keilmuan.18

15
Al Raghibal-Ashfahani, Mufradatal Alfazhal-Qur’an,(Beirut: DarulIlmi, 1412 H), hal. 94
16
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, AlMu‟jam al-Mufahras li alfadz al-Qur‟an alKarim,... Op. Cit. hal.
895-899

17
Al Raghibal-Ashfahani, MufradatalAlfazhal-Qur’an,(Beirut: DarulIlmi, 1412 H), hal. 828
18
Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi AlQuran: Kajian Kosakata, (Jakarta: LenteraHati, 2007), Cet. I, hal.
1040

15
Konsep al-Nas ( ‫ )سان‬pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial,19 Dalam alQur‟an kata al-Nas dipakai untuk menyatakan adanya
sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas)
untuk mengembangkan kehidupannya. Penyebutan manusia dengan kata Al-Nas
tampak lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak
dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia lainnya.20
Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan
bermasyarakat. Manusia harus hidup ber-sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri,
karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika kita kembali ke asal mula terjadinya
manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan
berkembang menjadi masyarakat, ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup
bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Inilah sebenarnya fungsi manusia
dalam konsep an-Naas. Mengenai asal kejadian keturunan umat manusia, dijelaskan
dalam surat QS. an-Nisa ayat 1, Allah SWT, berfirman:
        
        
         
  
‘Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan
dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.’

Manusia dalam pengertian An-Nas ini banyak juga dijelaskan dalam AlQur‟an,
diantaranya dalam surah al-Maidah, ayat 2. Ayat ini menjelaskan bahwa penciptaan
manusia menjadi berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan
antar sesamanya (ta‟aruf ). Kemudian surat alhujurat:13, al-Maidah:3, al-Ashr:3,
alimran:112.

4. Term Al-Basyr
19
Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 24
20
Dawam Raharjo, Pandangan alQur‟an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-
Qur’an ( Yogyakarta: LPPI, 1999) hal. 53

16
Kata ‫ رشبال‬terdiri dari huruf ba, syin, dan ra yang bermakna tampaknya sesuatu
dengan baik dan indah. Dari makna ini terbentuk kata kerja ‫ رشب‬yang berarti
bergembira, menggembirakan, menguliti, dan mengurus sesuatu. 41 Menurut al-
Ashfahani, kata ‫ رشب‬adalah jamak dari kata ‫( ةرشب‬basyarah) yang berarti kulit.
Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit
binatang lainnya.21
Al-Qur‟an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan 1
kali dalam bentuk musanna (dua) untuk menunjukkan manusia dari aspek lahiriah
serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.22 Manusia dalam pengertian basyar
ini banyak juga dijelaskan dalam Al-Qur‟an, diantaranya dalam surat Ibrahim ayat
10, surat Hud ayat 26, surah al-Mu‟minun ayat 24 dan 33, surah asy-syu‟ara ayat 154,
surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra‟ ayat 93.
Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi
tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis
yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, disbanding rambut atau bulunya.
Al-Basyar, juga dapat diartikan mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki
dengan perempuan. Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya.
Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul. Seperti yang dijelaskan Allah dalam
Al-Qur‟an Surat Hud/11:27, AlIsra/17:93-94, dan Al-Mu‟minun/23:3334. Eksistensi
nabi dan rasul, memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi
memiliki perbedaan khusus bila dibandingkan dengan manusia lainnya. Adapun
perbedaan lainnya yang dinyatakan dalam Al-Qur‟an dengan adanya wahyu dan tugas
kenabian yang disandang para nabi dan rasul. Kata basyar dapat juga diartikan
sebagai makhluk biologis, maksudnya memberi pengertian kepada sifat biologis
manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Di samping itu, kata basyar juga dipergunakan dalam kaitannya dengan
penciptaan. Secara umum penciptaan manusia sebagai basyar dikaitkan dengan
elemen-elemen fisik yang kasar, selain air, seperti debu, tanah kemudian tanah liat
21
M. Quraish Shihab, et al.,eds., Ensiklopedi Al-Qur‟an: Kajian KosaKata (Cet.1; Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h.137.
22
M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur‟an Tafsir Maudu‟i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung :
Mizan, 1998) hal. 277.

17
yang kering dan keras (QS. al-Hijr:28, 33; QS. al-Ruum: 20; QS. al-Furqaan:54 dan
QS. Shaad: 71).Oleh karena yang ditonjolkan pada kata basyar adalah pada aspek ini,
banyak ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kata basyar, dan ayatayat tersebut
mengindikasikan bahwa manusia dalam pengertian basyar ini tidak memiliki kualitas
kemanusiaan yang menunjukkan kelebihan manusia yang satu atas yang lainnya.
Sebagai basyar manusia hanyalah kumpulan dari organ-organ tubuh yang memiliki
fungsi fisiologis semata dan memiliki kaitan dengan tindakan-tindakan yang
memerlukan topangan organ-organ fisik.
Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek
lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang
sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan
menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya. Manusia dalam konsep
al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan
akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar
tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana
dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan
Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

5. Term Bani Adam


Kata bani adam ( ‫ )مدآ ينب‬dan zurriyat Adam ( ‫ت ي ّرذ‬
ّ ‫)مدآ‬, yang berarti anak
Adam atau keturunan Adam digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari
asal keturunannya. Bani Adam di sebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 9 kali. Di
antaranya pada surat Yasin ayat 60. Adam di dalam al-Qur‟an mempunyai pengertian
manusia dengan keturunannya yang mengandung pengertian basyar, insan dan an-nas.
Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan
Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya,55
karena Adam dianggap sebagai insaan pertama yang muncul di bumi. Dari Adam
inilah manusia mulai dikenali dalam pentas kehidupan di permukaan bumi. Adam
merupakan wujud awal dari konsep basyar yang telah menjadi insaan. Dia dan
pasangannya merupakan insaan pertama yang dimunculkan dalam pentas kehidupan
dunia. Oleh karena itu, ungkapan bani Adam dalam al-Qur'an mengacu pada
keseluruhan anak manusia semenjak dari keturunan awal Adam hingga akhir zaman
ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk
anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam
18
al-Qur‟an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan
kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata
tunggal (anta) dan bukan jamak (antum).
Al-Qur'an mempergunakan istilah ini, terutama dalam rangka mengingatkan asal-
usulnya yang berkaitan dengan kisah Adam yang pernah dijerumuskan oleh setan ke
dalam tindakan yang dilarang Tuhan (QS. al-A‟raaf: 27). Oleh karena itu, ungkapan
bani Adam lebih menekankan pada peringatan terhadap manusia agar memegang
nikmat yang telah diberikan kepada Allah, apakah nikmat itu berupa pemberian
kemuliaan, penghidupan di darat dan laut, pemberian rizki ataupun kedudukan di atas
makhluk lainnya (QS. al-Isra': 70); ikatan janji primordial untuk tidak menyembah
setan karena telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Yaasiin: 60, dan QS.
Al-A’raaf:172), yang telah memberikan pakaian takwa yang harus mereka
pergunakan setiap kali mereka menuju ke tempat sujud, dan itu bumi itu sendiri (QS.
al-A‟raaf: 31).
Jalaluddin mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah
mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam adalah sebuah usaha
pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya yang juga
mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta
mengedepankan HAM.23

Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan


hati mereka dan apa yang mereka nyatakan. Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan
di Bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (Q.S 27: 74-75)
Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini.
Keberadaan manusia di muka bumi enempati posisi utama sebagai khalifah. Posisi
manusia yang istimewa ini hendaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaaik-baiknya.
Mengingat manusia berada dimuka bumi ini tidak berlangsung lama. Setiap manusiaa
akan mengalami kematian atau dengan perkataan lain manusia hidup memiliki
keterbatasan waktu, usia, dan tenaga.
Oleh karena itu langkah awal untuk mempersiapkan diri yang lebih baik yaitu
perlunya mengenal lebih jauh tentang diri kita sendiri daan amanah apa yang mesti

23
Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 27

19
dijalankaan sebagai hamba Allah di muka bumi. Manusia di dalam Al-Quran
digambarkan sebagai makhluk yang memiliki dua unsur yaitu fisik dan jiwwa (mental).
Dari dua unsur yang berbeda ternyata di dalam diri manusia terdapat dua sifat
salling tarik menarik. Di satu sisi manusia berasal dari tanah, dimana tanah merupakan
unsur yang rendah yang berada dibawah kaki manusiaa dan menjadi tempat kotoran yang
memiliki sifat-sifat jelek. Disisi lain, di dalam diri manusiaa ada ruh yang suci
keberadaannya.
Untuk dapat mengenali dan menjalankaan kehidupannya dengan baik, maka
manusia diberikan kebebaasan untuk menetukan sikapnya. Kecenderungan manusia
berbuat baik lebih besar dibandingkan dengaan kecenderungan manusia beruat jahat.
Pilihan yang diambil manusia nantinya perlu dipertanggungjawabkan dihadaapaan Tuhan.
Karena manusiaa diciptakan bukan untuk main-main, tetaoi memiliki tujuan yang jelaas.
Dalam melakukan amal di dunia, manusia membutuhkan petunjuk atau arah. Akal
difungsikan untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Manusia diwajibkan
untuk mencari ilmu pengetahuan. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang
dilakukan oleh manusia terhadap ilmu, maka manusia perlu dibimbing dengan iman.
Iman merupakan proses pembenaran hati yang dalam aplikasinya perlu diwujudkan dalam
amal sehari-hari. Manusiaaa diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk menjalankan misi
sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi ini. Misi manusia dapat dijalankan
dengan baaik manakala manusia memiliki iman kepada Allah dan ilmu pengetahuaan.

E. Diskursus Al-Quran Tentang Alam Semesta


1. Teori Big Bang
Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar (bahasa Inggris: Big Bang) merupakan
sebuah peristiwa yang menyebabkan pembentukan alam semesta berdasarkan kajian
kosmologi mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta (dikenal juga
dengan Teori Ledakan Dahsyat atau Model Ledakan Dahysat). Berdasarkan
permodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan
padat, mengembang secara terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran
terbaik tahun 2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu.
Pencetus teori big bang ini adalah Stephen Hawking. Menurutnya, jagad raya
(alam semesta) berawal dari adanya suatu massa yang sangat besar dan panjang
dengan berat jenis yang besar pula dan mengalami ledakan dan dentuman yang sangat
dahsyat karena adanya reaksi pada inti massa. Ketika terjadi ledakan besar itu, bagian-
20
bagian dari massa tersebut berserakan dan terpental menjauhi pusat dari ledakan.
Setelah miliaran tahun kemudian, bagian-bagian yang terpental tersebut membentuk
kelompok-kelompok yang dikenal sebagai galaksi dalam sistem tata surya.

2. Wacana Al-Quran tentang Alam Semesta


a. Masa Penciptaan Alam Semesta
 Penciptaan Bertahap
Allah Swt menciptakan alam semesta untuk kepentingan makhluk-
makhluk-Nya, dengan menyamaratakan rahmat di antara mereka, baik
manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan benda-benda mati lainnya.
Semuanya merupakan bukti paling besar dan nyata yang dapat diamati dan
dipikirkan kemahaluasan ilmu-Nya. Betapa mungkin Allah Swt dapat
menciptakan alam seluruhna, termasuk diri manusia dan qalbunya jika ia
tidak menetahui seluk beluk dan detail segala sesuatunya.24
Ayat-ayat di dalam al-Quran juga menjelaskan bahwa Allah Swt
menciptakan alam semesta melalui proses, tidak terjadi begitu saja secara
kebetulan. Dapun ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan
secara bertahap (sittatu ayyam) dijelaskan dalam tujuh ayat, yaitu: Surah al-
A`raf ayat 54, Surah Yunus ayat 3, Surah Hud ayat 7, Surah al-Furqan ayat
59, Surah al-Sajadah aat 4, Surah Qaf ayat 38, Surah al-Hadid ayat 38.
Surah Al-Araf : 54

ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى[ َعلَى ْال َعر‬
‫ش يُ ْغ ِشي‬ َ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫اوا‬َ ‫ق ال َّس َم‬َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هّللا ُ الَّ ِذي خَ ل‬
ُ ‫ت بِأ َ ْم ِر ِه أَالَ لَهُ ْالخَ ْل‬
‫ق‬ ٍ ‫س َو ْالقَ َم َر َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬ ْ َ‫ار ي‬
َ ‫طلُبُهُ َحثِيثًا َوال َّش ْم‬ َ َ‫اللَّي َْل النَّه‬
٥٤﴿ َ‫﴾ َواألَ ْم ُ[ر تَبَا َركَ هّللا ُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬
Artinya:
‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy.
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.’

24
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 183.

21
Surah Al-Furqan : 59
‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ َ‫الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
٥٩﴿ ‫ش الرَّحْ َمنُ فَاسْأَلْ بِ ِه خَ بِيرًا‬ ِ ْ‫﴾ ْال َعر‬
Artinya:
‘Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy,
(Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada
yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.’

Surah Qaf : 38
ٍ ‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام َو َما َم َّسنَا ِمن لُّ ُغو‬
٣٨﴿ ‫ب‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ ‫﴾ َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

Artinya:
‘Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak
ditimpa keletihan.’

Dari ketujuh ayat di atas ditemukan susunan redaksi yang sama persis
pada frasa ‫ مﺎﯾا ﺔﺘﺳ ﻲﻓ ضرﻵا و تاﻮﻤﺴﻟا ﻖﻠﺧ يﺬﻟا‬kecuali pada surah al-Furqan ayat
59 dan surah Qaf ayat 38 dengan tambahan klausa ‫ﺎﻤﮭﻨﯿﺑ ﺎﻣو‬. Dari ketujuh ayat
di atas baik eksplisit maupun implisit tidak ditemukan kata atau ungkapan
yang dapat membantu untuk memahami tafsir dari kata sittatu ayyam, kecuali
pada surah Qaf. Pada akhir ayat tersebut terdapat kata ``dan Kami sedikitpun
tidak ditimpa keletihan``. Ini memberi gambaran bahwa penciptaan langit dan
bumi berlangsung pada masa-masa yang teramat panjang. Penggalan akhir
dari surah Qaf tersebut kiranya semakin jelas maknanya jika ketujuh ayat
tersebut ditanasubkan dengan surah al-Sajadah 32:5 surah al-Hajj 22:47 25,
atau ia juga bisa ditanasubkan dengan surah al-Ma`arij 70:4.
Makna sittatu ayyam sendiri telah menjdi bahasan yang panjang lebar
di antara para mufasir. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa jika
ia ditanasubkan dengan surah al-Hajj ayat 47 yang artinya ``Sesungguhnya
sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan

25
Loc.cit, hlm. 124-125.

22
kamu``.26 Sehari diartikan dengan masa yang panjang, seribu tahun atau lebih,
kalau diukur dengan hari biasa. Selain dari itu, perputaran zaman yang
ditimbulkan oleh pergantian hari dan pertukaran saing dan malam membawa
berbagai perubahan dalam kehidupan manusia.
Pendapat para mufasir berbeda-beda tentang makna dari sittau ayyam,
dalam hal ini penulis ingin menguraikan pendapat beberapa para mufasir
tentang makna dari kata sittatu ayyam, mulai dari mufasir klasik hingga
mufasir kontemporer.
Pertama, Tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa makna sittatu ayyam
adalah menurut ukuran hari di dunia atau yang sepadan dengannya.karena
pada zaman itu matahari belum ada.
Kedua, Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan dalam kitabnya
Tafsir al- Maraghi bahwa yang dimaksud dengan sittatu ayyam pada ayat
tersebut bukan seperti hari-hari di muka bumi, karena hari-hari di muka bumi
siang dan malamnya berjumlah 24 jam. Padahal waktu sekian itu barulah ada
setelah terciptanya alam semesta. Maka mana bisa penciptaan bumi dihitung
menurut hari-hari seperti di bumi.
Ketiga, Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
menyebutkan, bahwa sittatu ayyam berati enam kali 24 jam, walaupun ketika
itu matahari bahkan alam raya belum tercipta. Ia mengatakan demikian
karena kata sittatu ayyam ditunukan kepada manusia dan menggunakan
bahasa manusia, sedang manusia memahami sehari sama dengan 24 jam. Di
sisi lain kata hari tidak selalu diartikan berlalunya sehari 24 jam saja, tetapi ia
juga menunjukkan periode atau masa tertentu, baik yang panjang maupun
yang singkat. Ia juga mengatakan bahwa ada juga ulama lain yang memahami
arti hari di sini adalah hari menurut perhitungan Allah Swt sebagaimana yang
disebutkan dalam surah al-Hajj 22:47, ada juga yang memahami sehari disini
sama dengan 50.000 tahun, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-
Ma`arij 70:04.
Dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat pendapat secara umum
dalam memaknai kata sittatu ayyam, sebagaimana juga yang dijelaskan oleh
Mustafa KS dalam bukunya Allam Semesta dan Kehancurannya, yaitu:27
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cet. 1, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 114
27
Mustafa KS, Alam Semesta dan Kehancurannya Menurut Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan,
Bandung: al-Ma’arif, 1980, hlm. 44.

23
1) Bahwa sittatu ayyam dalam penciptaan alam semesta adalah enam hari
sebagaimana hari di dunia.
2) Bahwa sittatu ayyam adalah hari menurut Tuhan, yakni sehari sama
dengan 1.000 tahun di dunia, sebagaimana yang disbutkan dalam surah
al-Hajj ayat 47.
3) Bahwa sittatu ayyam adalah 300.000 tahun di bumi, yang sehari sama
dengan 50.000 tahun di bumi, sebagaimana yang disebutkan dalam surah
al-Ma`arij ayat 4.
4) Bahwa sittatu ayyam dalam hal penciptaan adalah hal gaib, yang hanya
Allah Swt yang mengatahui hal yang sebenarnya.
Melihat dari beberapa penjelasan mufassir di atas, dapat disimpulkan
bahwa sittatu ayyam dalam penciptaan alam semesta tidaklah cukup
menunjukkan kepada hari di bumi saja, tetapi juga menunjukkan waktu yang
sangat panjang bukan seperti hari-hari yang ada di dunia, karena sebelum
penciptaan alam belum adanya siang dan malam, dan hakikat sebenarnya dari
makna sittatu ayyam hanya Allah yang mengetahuinya.
Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna
kata yaum dalam penggunaan bahasa arab tidak selalu harus dipahami dalam
arti 24 jam. Ia bahkan digunakan untuk menunjuk satuan waktu bagi
selesainya satu kegiatan, baik pendek maupun panjang. Perlu diingat bahwa
satuan-satuan waktu yang digunakan oleh manusia bertalian dengan rotasi
dan revolusi bumi dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan bumi
dan menuju planet lain, maka panjang pendek satuan-satuan itu di masing-
masing planet akan berbeda. Tahun matahari umpanya, bagi bumi dihitung
dengan lamanya waktu yang ditempuh oleh bumi dalam berevolusi
mengelilingi matahari yaitu lebih kurang 365 hari. Sedangkan bagi planet-
planet yang lebih dekat dengan matahari seperti Merkurius, putaran
disekeliling matahari hanya memakan waktu 88 hari saja. Sebaliknya Pluto,
planet yang paling jauh dan paling lambat menempuh putarannya dalam 250
tahun bumi.28
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa adanya periodeisasi dalam
penciptaaan alam semesta ini, yang kesemuanya berlangsung selama enam

28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran,Vol. XII, Jakarta:
Lentera Hati, 2002, hlm. 382.

24
periode atau enam hari dapat dipisahkan ke dalam tiga pembahagian, sebagai
berikut:
1) Penciptaan Bumi selama dua hari
Penciptaan bumi yang berlangsung selama dua hari/masa, sebagaimana
firman Allah dalam surah Fussilat ayat 9:
‫ض فِي يَوْ َم ْي ِن َوتَجْ َعلُونَ لَهُ أَندَادًا‬
َ ْ‫ق اأْل َر‬
َ َ‫قُلْ أَئِنَّ ُك ْم لَتَ ْكفُرُونَ بِالَّ ِذي خَ ل‬
٩﴿ َ‫ك َربُّ ْال َعالَ ِمين‬ َ ِ‫﴾ َذل‬
Artinya:
‘Katakanlah: ‘Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam’.’

Ayat ke-9 dari surah di atas memberikan informasi tentang penciptaan


bumi selama dalam dua periode. Sebagian Ahli Tafsir berpendapat
bahwa maksud penciptaan bumi pada ayat di atas adalah menciptakan
wujudnya dalam dua masa. Disimpulkan demikian, karena pada waktu
diciptakan langit dan bumi, hari atau siang dan malam seperti yang kita
ketahui sekarang belum ada. Sedang menurutpandangan ilmiah,
maksudnya adalah pembentukan bumi dalam dua masa. Ini berarti
bahwa pembentukan bumi dari awal sampai pada keadaannya seperti
sekarang mengalami proses selama dua periode.
Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
menjadikan bumi adalah ``menakdirkan wujudnya``, bukan
melaksanakan wujudnya (keberadaannya). Allah Swt menjadikan bumi
dalam dua tahap. Pertama dijadikannya sebagai benda beku, padahal
sebelumnya berupa gas.sedangkan yang kedua. dijadikannya 26 lapisan
dalam enam fase seperti yang dijelaskan oleh para ahli geologi.

2) Penciptaan Isi Bumi selama dua hari


Perihal penciptaan isi bumi selama dua hari/masa sebagaimana firman
Allah dalam surah Fussilat ayat 10:
‫َو َج َع َل فِيهَا َر َوا ِس َي ِمن فَوْ قِهَا[ َوبَا َركَ فِيهَا َوقَ َّد َ[ر فِيهَا أَ ْق َواتَهَا فِي‬
١٠﴿ َ‫﴾أَرْ بَ َع ِة أَي ٍَّام َس َواء لِّلسَّائِلِين‬

25
Artinya:
‘dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat
masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya.’

Empat hari yang dimaksud pada ayat di atas yaitu jumlah masa
penciptan bumi yang berlangsung selama dua hari dan ditambah dengan
persiapan persediaan penampungan segala makhluk yang berlangsung
selama dua hari pula.
Allah Swt. menjadikan bumi dan gunung-gunung yang kokoh itu
dalam dua hari, sedangkan mengeluarkan hasil-hasilnya dan menentukan
bahan makanan bagi penduduknya dalam dua hari pula. Proses kejdian
bumi, gunung dan menentukan bahan makanan penduduk, memerlukan
waktu sempat hari (periode) yang bersamaan.
Sedangkan menurut pandangan ilmiah adapun yang dimaksud dengan
empat hari atauempat masa pada ayat di atas bisa jadi empat periode
dalam kurun waktu geologi, yaitu: Pertama, Proterozoikum, pada periode
ini kehidupan masih sangat tidak jelas. Kedua Palezoikum, pada periode
ini mulai jelas adanya kehidupan, ditandai dengan keberadaan binatang
amfibi, reptil, ikan-ikan besar dan tumbuhan paku. Ketiga Mesozoikum,
periode inidisebut juga dengan periode kehidupan pertengahan, yang
ditandai oleh berlimpahnya vegetasi dan binatang laut, komodo dan
pohon daun lebar. Keempat Kenozoikum, periode ini disebut juga
dengan periode kehidupan baru, yang ditandai dengan munculnya gajah,
pepohonan semakin berkembang dan yang paling penting adalah pada
periode ini mulai munculnya manusia.

3) Penciptaan Langit selama dua hari


Perihal penciptaan langit sebelum masa penciptaannya, langit masih
berupa asap, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Fussilat ayat 11,
sedangkan penciptaannya langit itu sendiri yang berlangsung selama dua
hari, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Fussilat ayat 12.
26
a) Perihal langit yang masih berupa asap sebagaimana firman Allah
dalam surah Fussilat ayat 11:
‫ض اِ ْئتِيَا طَوْ عًا أَوْ كَرْ هًا قَالَتَا أَتَ ْينَا‬
ِ ْ‫ال لَهَا َولِأْل َر‬ ٌ ‫ثُ َّم ا ْستَ َوى إِلَى ال َّس َماء َو ِه َي ُد َخ‬
َ َ‫ان فَق‬
١١﴿ َ‫﴾طَائِ ِعين‬
Artinya:
‘kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu
masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada
bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa’. keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka
hati’.’

Sebelum penciptaan atau penyempurnaannya menjadi tujuh lapis


langit, pada waktu itu langit masih berupa asap, disebut juga dengan
lebih jelas, yaitu masih semacam gas, Sayyid Qutb mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan asap pada ayat di atas adalah nebula,
sedangkan menurut Muhammad bin `Ali al-Sabuni, melalui riwayat
Ibnu Kathir bahwa yang dimaksud dengan asap pada ayat tersebut
adalah uap air yang naik ketika bumi diciptakan.

b) Penciptaan langit selama duah hari/masa, sebagaimana firman Allah


Swt dalam surah Fussilat ayat 12
‫ت فِي يَوْ َم ْي ِن َوأَوْ َحى فِي ُك ِّل َس َماء أَ ْم َرهَا َو َزيَّنَّا ال َّس َماء ال ُّد ْنيَا‬ ٍ ‫اوا‬ َ ‫ضاه َُّن َس ْب َع َس َم‬َ َ‫فَق‬
١٢﴿ ‫يز ْال َعلِ ِيم‬
ِ ‫ك تَ ْق ِدي ُر ْال َع ِز‬َ ِ‫ظا َذل‬ ً ‫صابِي َح َو ِح ْف‬َ ‫﴾بِ َم‬
Artinya:
‘Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang
Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.’

Kemudian Allah Swt berkehendak menciptakan langit, dan


menyempurnakan langit menjadi tujuh lapis langit dalam waktu yang
terbatas yaitu dua hari. Qutb mengatakan, mungkin kedua hari itulah

27
masa penciptaan planet-planet dari nebula, atau selama dua hari itu
selesia penciptaan sebagaimana diketahui Allah.

Pada uraian surah Fussilat ayat 09-12 Allah menerangkan bahwa


rincian perihal penciptaan alam semesta dimulai dari penciptaan bumi terebih
dahulu, karena bumi ibarat fondasi, yang harus dibangun sebelum atap
(langit), tetapi dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman bahwa Allah lebih
dulu menciptakan langit sebelum menciptakan bumi, keterangan tersebut
dapat dilihat pada ayat yang sudah dipaparkan sebelumnya, yakni pada ayat
yang menerangkan tentang penciptaan alam semesta selama enam hari/masa
ditandai dengan adanya persamaan pada frasa Khalaqa al-Samawatiwa al-
Ardh yang menunjukkan bahwa Allah lebih dulu mneciptakan langit dari
pada bumi.
Tentang penciptaan bumi dan langit, Ibnu Abbas mengatakan bahwa
pertama kali Allah Swt menciptakan bumi dalam dua hari, kemudian Allah
Swt berkehendak menuju langit dan Dijadikannya langit yng tujuh itu dalam
dua hari berikutnya. Kemudian dalam dua hari terakhir Allah Swt
menghamparkan bumi. Menghamparkan bumi ialah, mengeluarkan ait dan
tumbuh-tumbuhan dari dalamnya dan Allah Swt menciptakan gunung-
gunung, pasir-pasir, benda-benda mati dan bukit-bukit, serta segala sesuatu
yang ada di antara bumi dan langit. Sehingga Allah Swt menciptakan bumi
dengan segala apa yang ada di dalamnya selama empat hari.

b. Penciptaan secara Sekaligus


Dalam al-Quran, Allah Swt juga menjelaskan tentang kuasa-Nya dalam
menciptakan segala sesuatu, dalam hal ini penciptaan alam semesta secara
sekaligus, tanpa melalui proses tahapan penciptaan, dan ini dijelaskan dalam
beberapa ayat, yaitu: Surah Yasin ayat 82, Surah al-Baqarah ayat 117, Surah Ali
`Imran ayat 47, Surah Ghafir ayat 68, Surah al-Qamar ayat 50 dan Surah al-Nahl
ayat 40.
Quraish Shihab berpendapat bahwa redaksi dari firman Allah Swt ``dan bila
Dia berkehendak sesuatu, maka Ia hanya mengatkan kepadanya ``Jadilah!``. Maka
jadilah ia``. Memberikan kesan bahwa sesuatu itu telah ada sebelum adanya kata
``jadilah``, karena Allah Swt berkata kepada apa yang dijadikannya itu ``jadilah``.
28
Kesan ini memang sudah pada tempatnya. Tapi hendak dipahami penggunaan kata
``jadilah`` hanya untuk perumpamaan dari cepat, bahkan mudahnya sesuatu
terwujud jika Allah Swt telah menghendaki sesuat tersebut. Dari sisi lain dapat
juga dikatakan bahwa sesuatu yang diwujudkan itu, sebenarnya telah hadir dalam
ilmu Tuhan sebelum kehadirannya dalam kenyataan atau pengetahuan makhluk.29
Al-Qurtubi menyebutkan dalam kitabnya al-Jami` li al-Ahkam al-Qur`an
bahwa kata kun, menurut satu pendapat huruf kaf yang terdapat dalam kata kun
diambil dari kainunih (keberadaan Allah). Inilah pengertian yang dimaksud oleh
sabda Rasulullah Saw ``Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang
sempurna dari keburukan sesuatu yang Dia ciptakan``. Sedangkan lafazh fayakun
yang dibaca dengan dammah huruf nun, karena ia merupakan isti`naf (awal
pembicaraan).

 Penciptaan Alam Semesta


Dalam Al Qur'an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu
astronomi masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan
sebagaimana berikut ini:
٤٧﴿ َ‫﴾ َوال َّس َماء بَنَ ْينَاهَا بِأ َ ْي ٍد َوإِنَّا لَ ُمو ِسعُون‬
Artinya:
‘Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan
sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.’ (Q.S. Adz-Dzariyyat: 47)

Kata ‘langit’, sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di


banyak tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan alam
semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini. Dengan
kata lain, dalam Al Qur'an dikatakan bahwa alam semesta ‘mengalami
perluasan atau mengembang’. Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu
pengetahuan masa kini.
Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya
diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap
dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian,
pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern,

29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol. I, Jakarta:
Lentera hati, 2002, hlm. 304.

29
mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan
ia terus-menerus ‘mengembang’.
Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli
kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan
menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta
ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929.
Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom
Amerika, menemukan bahwa bintangbintang dan galaksi terus bergerak saling
menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak
menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus
‘mengembang’. Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya
memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini
diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini
dikarenakan Al-Quran adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur
keseluruhan alam semesta.
Satu ayat lagi tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut:

‫ض َكانَتَا َر ْتقًا فَفَتَ ْقنَاهُ َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َماء ُك َّل‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫أَ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذينَ َكفَرُوا أَ َّن ال َّس َما َوا‬
٣٠﴿ َ‫﴾ َش ْي ٍء َح ٍّي أَفَاَل ي ُْؤ ِمنُون‬

Artinya:
‘Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?’ (Q.S. Al-Anbiya: 30)

Kata ‘ratq’ yang di sini diterjemahkan sebagai ‘suatu yang padu’


digunakan untuk merujuk pada dua zat berbeda yang membentuk suatu
kesatuan. Ungkapan ‘Kami pisahkan antara keduanya’ adalah terjemahan kata
Arab ‘fataqa’, dan bermakna bahwa sesuatu muncul menjadi ada melalui
peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur dari ‘ratq’. Perkecambahan biji

30
dan munculnya tunas dari dalam tanah adalah salah satu peristiwa yang
diungkapkan dengan menggunakan kata ini.
Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam
ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat ‘fatq’. Keduanya
lalu terpisah (‘fataqa’) satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali
tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal
berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu,
termasuk ‘langit dan bumi’ yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung
dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan ‘ratq’ ini. Titik tunggal
ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materimateri yang
dikandungnya untuk ‘fataqa’ (terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa
tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam semesta terbentuk.
Ketika kita bandingkan penjelasan ayat tersebut dengan berbagai
penemuan ilmiah, akan kita pahami bahwa keduanya benar-benar bersesuaian
satu sama lain. Yang sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini belumlah
terjadi sebelum abad ke-20.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an,
ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar
tertentu.
ٍ َ‫س َو ْالقَ َم َر ُك ٌّل فِي فَل‬
٣٣﴿ َ‫ك يَ ْسبَحُون‬ َ ‫ق اللَّ ْي َل َوالنَّهَا َر َوال َّش ْم‬
َ َ‫﴾ َوهُ َو الَّ ِذي َخل‬
Artinya:
‘Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya.’ (Q.S. Al-Anbiya: 33)

Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam,
tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
ٍ َ‫س َو ْالقَ َم َر ُك ٌّل فِي فَل‬
٣٣﴿ َ‫ك يَ ْسبَحُون‬ َ ‫ق اللَّ ْي َل َوالنَّهَا َر َوال َّش ْم‬
َ َ‫﴾ َوهُ َو الَّ ِذي َخل‬
Artinya:
‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.’ (Q.S. Yaasin: 38)

31
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan
melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli
astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720
ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut
Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000
kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam
sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya,
semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang
terencana.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti
ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
٧﴿ ‫ت ْال ُحب ُِك‬
ِ ‫﴾ َوال َّس َماء َذا‬

Artinya:
‘Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.’ (Q.S. Adz-Dzariyyat: 7)

Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-


masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini
mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan.
Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang
diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing
seolah ‘berenang’ sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan
yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga
bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.
Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda
angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu
garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak
satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau
bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi
berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling
bersentuhan.
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak
memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati

32
ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika
ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk
mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa ‘dipenuhi lintasan dan garis
edar’ sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini
dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada
saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.
‫ار َعلَى اللَّي ِْل‬
َ َ‫ار َويُ َك ِّو ُر النَّه‬ ِّ ‫ض بِ ْال َح‬
ِ َ‫ق يُ َك ِّو ُر اللَّي َْل َعلَى النَّه‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ َ َ‫َخل‬
٥﴿ ‫س َو ْالقَ َم َر ُك ٌّل يَجْ ِري أِل َ َج ٍل ُم َس ّمًى أَاَل هُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َغفَّا ُر‬
َ ‫﴾ َو َس َّخ َ[ر ال َّش ْم‬
Artinya:
‘Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu
yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.’ (Q.S. Az-Zumar: 5)

Dalam Al Qur'an, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang


alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai
‘menutupkan’ dalam ayat di atas adalah ‘takwir’. Dalam kamus bahasa Arab,
misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan pekerjaan membungkus
atau menutup sesuatu di atas yang lain secara melingkar, sebagaimana surban
dipakaikan pada kepala.
Keterangan yang disebut dalam ayat tersebut tentang siang dan malam
yang saling menutup satu sama lain berisi keterangan yang tepat mengenai
bentuk bumi. Pernyataan ini hanya benar jika bumi berbentuk bulat. Ini berarti
bahwa dalam Al Qur'an, yang telah diturunkan di abad ke-7, telah diisyaratkan
tentang bentuk planet bumi yang bulat.
Namun perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi
secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar, dan semua
perhitungan serta penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini.
Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur'an berisi informasi yang hanya mampu kita
pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur'an adalah firman Allah,
maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat digunakan dalam ayat-
ayatnya ketika menjelaskan jagat raya.

33
Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang
sangat menarik tentang langit:

ِ ‫﴾ َو َج َع ْلنَا ال َّس َماء َس ْقفًا َّمحْ فُوظًا َوهُ ْم ع َْن آيَاتِهَا ُمع‬
٣٢﴿ َ‫ْرضُون‬
Artinya:
‘Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,
sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang
ada padanya.’ (Q.S. Al-Anbiyya:32)

Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah abad ke20.
Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya
kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil
ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan
membahayakan makhluk hidup.
Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang
membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar
ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, - seperti cahaya tampak,
sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat
diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya
menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi
kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat
yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya
sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai
bumi.
Ayat ke-11 dari Surat Ath Thaariq dalam Al Qur'an, mengacu pada
fungsi ‘mengembalikan’ yang dimiliki langit.
ِ ‫َوال َّس َماء َذا‬
﴾١١﴿ ‫ت الرَّجْ ِع‬
Artinya:
‘Demi langit yang mengandung hujan.’ (Q.S. Ath-Thariq:11)

Kata yang ditafsirkan sebagai ‘mengandung hujan’ dalam terjemahan


Al Qur'an ini juga bermakna ‘mengirim kembali’ atau ‘mengembalikan’.
Sebagaimana diketahui, atmosfir yang melingkupi bumi terdiri dari sejumlah
lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi kehidupan. Penelitian

34
mengungkapkan bahwa lapisan-lapisan ini memiliki fungsi mengembalikan
benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang angkasa atau ke arah
bawah, yakni ke bumi. Sekarang, marilah kita cermati sejumlah contoh fungsi
‘pengembalian’ dari lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi tersebut.
Lapisan Troposfir, 13 hingga 15 km di atas permukaan bumi,
memungkinkan uap air yang naik dari permukaan bumi menjadi terkumpul
hingga jenuh dan turun kembali ke bumi sebagai hujan.
Lapisan ozon, pada ketinggian 25 km, memantulkan radiasi berbahaya
dan sinar ultraviolet yang datang dari ruang angkasa dan mengembalikan
keduanya ke ruang angkasa.
Ionosfir, memantulkan kembali pancaran gelombang radio dari bumi
ke berbagai belahan bumi lainnya, persis seperti satelit komunikasi pasif,
sehingga memungkinkan komunikasi tanpa kabel, pemancaran siaran radio
dan televisi pada jarak yang cukup jauh.
Lapisan magnet memantulkan kembali partikel-partikel radioaktif
berbahaya yang dipancarkan Matahari dan bintang-bintang lainnya ke ruang
angkasa sebelum sampai ke Bumi.
Sifat lapisan-lapisan langit yang hanya dapat ditemukan secara ilmiah
di masa kini tersebut, telah dinyatakan berabad-abad lalu dalam Al Qur'an. Ini
sekali lagi membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.

35
36
BAB III
PENUTUP

B. Kesimpulan
Dari berbagai macam pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Al-Quran
sangat berpengaruh penting dalam kehidupan manusia terutama dalam aktivitasnya
sebagai khalifah di muka bumi dan aktivitasnya dalam melakukan kegiatan berpikir
terhadap objek yang terhampar di muka bumi agar bisa diambil pelajaran.
Wacana Al-Quran terhadap munculnya filsafat dakwah sangat penting sekali
karena akan mendekatkan manusia tentang esensi kehidupan dan siapa yang
menciptakannya sehingga manusia khususnya umat Islam semakin yakin dengan adanya
Tuhan Yang Mahaesa, yakni Allah SWT.
Pada intinya, Al-Quran sebagai inspirasi filsafat dakwah adalah untuk
menanamkan kepada manusia agar hanya mentauhidkan Allah SWT sebagai pencipta
kehidupan dan segala isinya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa di dalam
Al-Quran membicarakan tentang kedudukan dan peran Al-Quran, wacana Al-Quran
tentang filsafat, wacana Al-Quran tentang Tuhan, diskursus Al-Quran tentang manusia
dan diskursus Al-Quran tentang alam semesta.

C. Saran
Persepsi masyarakat tentang filsafat masih buruk, tidak terkecuali umat muslim
sendiri. Padahal, Al-Quran sendiri banyak berisi filsafat dan menajdi acuan utama
berfilsfat. Maka dari itu, sebaiknya umat Muslim lebih terbuka tentang filsafat namun
tetap berpegang teguh pada landasan Al-Quran dan Sunnah.

37
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jibauri, Y. T. (2005). Konsep Ketuhanan Menurut Islam. Jakarta: Lentera Baristama.


Al-Raghibal-Ashfahani. (1412 H). Mufradatul alfazhal-Quran. Beirut: Darul Ilmi.
Asy'arie, M. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran. Yogyakarta: LESFI.
Atabik, A. (2015). Konsep Penciptaan Alam. Fikrah, 101-220.
Baqi, M. F. (1992). Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim. Beirut: Darul Fikri.
Basit, A. (2013). Filsafat Dakwah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Dahlan, A. R. (2010). Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah.
Gie, T. L. (2009). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Jamarudin, A. (2010). Konsep Alam Semesta Menurut Al-Quran. Jurnal Ushuluddin, 136-
151.
KS, M. (1980). Alam Semesta dan Kehancurannya Menurut Al-Quran dan Ilmu
Pengetahuan. Bandung: Al-Ma'arif.
Ma'arif, A. S. (1985). Islam dan Maslaah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
Madjid, N. (2000). Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Mediacita.
Madjid, N. (2000). Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Mediacita.
Raharjo, D. (1999). Pandangan Al-Quran tentang Manusia dalam Pendidikan dan Perspektif
al-Quran. Yogyakarta: LPPI.
Rakhmat, J. (2003). Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sahabuddin. (2007). Ensiklopedia al-Quran: Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati.
Shihab, Q. (1994). Membumikan al-Quran. Bandugn: Mizan.
Shihab, Q. (2007). Wawasan AlQur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan.
Supriyadi, D. (2009). Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya). Bandung:
Pustaka Setia.
Syati, A. B. (1955). Manusia dalam Perspektif al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.

38

Anda mungkin juga menyukai