OSKANU 2017
Dengan ini menyatakan bahwa naskah KIR yang dikirimlan adalah betul-betul karya sendiri,
bukan hasil jiplakan, terjemahan, atau saduran, belum pernah dipublikasi dan tidak pernah
memenangi dalam lomba lainnya. Apabila di kemudian hari terbukti naskah ini tidak sesuai
dengan pernyataan di atas, saya bersedia dituntut secara hukum.
Demikian surat pernyataan ini kami buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Mengetahui,
ii
ABSTRAK
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas nikmat dan rahmat
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
“Pergeseran Nilai Sosial Akibat Budaya ”Potangan” di Kecamatan Bangsri Kabupaten
Jepara”. Meskipun banyak hambatan yang dialami dalam proses pengerjaannya, karya ilmiah
ini berhasil diselesaikan tepat pada waktunya.
Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada warga desa Srikandang, Guyangan,
Banjaragung dan Jeruk Wangi yang telah memberikan informasi yang dibutuhkan pada saat
mengerjakan karya tulis ini, Kepala Sekolah, Bapak Nidhomudin S.Pd.I., guru pembimbing,
Bapak Muhammad Mansyur S.Pd, serta orang tua yang telah memberikan dukungan dan
doanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan karya tulis ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin penulis
berikan kepada masyarakat dari hasil karya ilmiah ini. Penulis berharap karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, penulis, serta pembaca.
Tim Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK.... ..............................................................................................................iii
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 23
B. Saran ...................................................................................................................... 23
LAMPIRAN .............................................................................................................. 26
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Menurut Sensus BPS tahun 2010
2
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Jakarta: Idayu, 1983, hal.116.
3
Lihat Sumarsono, Tata Upacara Pengantin Adat Jawa (Jakarta: Buku Kita, 2007)30. Sebagaimana Sunan
Kalijogo, membuat kreasi kembar mayang sebagai simbol pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa, yang mana
kembar mayang hanya dipergunakan ketika acara temu manten atau pinanggih kemanten. Berikut asal muasal
kembar mayang. Berasal dari kata kembar yang artinya sama dan mayang artinya bunga pohon jambe (pinang)
atau sering disebut Sekar Kalpataru Dewandaru, lambing kebahagiaan dan keselamatan. Kembar mayang sendiri
mempunyai makna simbolik yang begitu mendalam. Bentuknya yang yang mengembung ke bawah merupakan
1
Salah satu budaya yang masih dilakukan masyarakat Jawa hingga saat ini yaitu budaya
dalam melangsungkan prosesi pernikahan, dimana tuan rumah menggelar pesta pernikahan
dan mengundang sanak saudara, tetangga maupun teman. Budaya semacam ini masih
dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Jepara, khususnya di daerah Bangsri sampai saat ini.
Tentunya dalam melaksanakan pesta pernikahan dibutuhkan dana yang sangat besar. Terlebih
jika keluarga yang melaksanakan pesta tersebut memberikan hiburan (dangdut, rebana, orgen,
wayang dan lain-lain) untuk para tamu. Hal itu akan menambah biaya untuk melaksanakan
pesta pernikahan.
Hal tersebut menjadikan orang yang mengadakan pesta pernikahan memerlukan modal
yang besar, jika saat keadaan ekonomi tuan rumah tersebut sedang rendah, maka
memungkinkan tuan rumah tersebut untuk berhutang. Tuan rumah yang mengadakan pesta
pernikahan tentunya menginginkan agar modalnya kembali dengan mengharap para tamunya
membawa uang atau barang untuk dapat menutupi hutang yang dipinjam.
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting bagi masyarakat Jawa, karena makna
utama dalam pernikahan adalah pembuatan keluarga baru4, jalan pelebaran tali persaudaraan
serta sebagai penyatuan suami dan istri5 dan juga terdapat nilai tolong-menolong, karena para
tamu memberikan barang kepada tuan rumah untuk meringankan beban yang ditanggung oleh
keluarga yang melangsungkan pernikahan.
Budaya yang masih dilakukan masyarakat Bangsri dalam melangsungkan pernikahan,
yang sering disebut “POTANGAN”. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan,
narasumber merasa tidak senang dengan adanya budaya potangan, dikarenakan hal itu
memberatkan, terutama dalam hal ekonomi, terlebih saat keadaan ekonomi sedang buruk.
Sejatinya, jumlah yang diberikan baik kepada si kaya ataupun si miskin itu menyesuaikan
dengan keadaan ekonomi saat itu. Namun fakta di lapangan saat ini mengalami pergeseran
nilai, jika dia tidak mendapatkan barang dengan jumlah yang sama dengan yang dia
keluarkan, dia akan merasa tidak senang dan menggerutu karena hal tersebut. Beliau berkata,
pada zaman beliau kecil sekitar 1965 belum ada budaya potangan, budaya tersebut baru ada
pada zaman 90an. Tidak hanya ada dalam acara pernikahan, namun saat ini budaya potangan
juga terdapat dalam acara khitanan dan menengok bayi (tilek bayi).
simbol sebuah kerinduan yang luar biasa dalam pertemuan pertama kali di bumi oleh Nabi Adam dan Siti Hawa.
Dalam kembar mayang pun terdapat beberapa unsur, yaitu: Jannur merupakan unsur utama dalam pembuatan
kembar mayang. Kata jannur diyakini berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu: “jaa” yang
berarti tlah dating dan “nuur” yang berarti cahaya. Jika digabungkan sebuah cahaya yang datang yang tak lain
adalah pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa. Selain itu, diharapkan kedua mempelai mendapat cahaya dari
Allah SWT.
4
Hildred Geertz, Keluarga Jawa, terj. Hersri (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 58.
5
Lihat Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia (Jakarta: PT. Pembangunan, 1980),108.
2
Awalnya budaya potangan bermakna baik dengan hanya digunakan untuk mengingat
barang yang diberi oleh orang untuk dikembalikan sesuai dengan jumlah barang tersebut atau
lebih, sekarang berubah menjadi sarana investasi untuk melangsungkan pernikahan.
Sehubungan dengan kondisi di atas, penulis merasa perlu meneliti lebih lanjut tentang
pergeseran nilai yang terjadi dalam budaya potangan. Penulis memilih Kecamatan Bangsri
untuk menjadi lokasi penelitian karena mayoritas masyarakat Bangsri masih menggunakan
budaya tersebut dalam melaksanakan hajatan.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka perlu dibuat rumusan masalah mengenai
masalah yang dikaji dan menjadi substansi dari penulisan ini. Untuk mempermudah penulisan
dan dalam upaya menghasilkan pengkajian yang objektif, maka pembahasan dari masalah
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan budaya potangan?
2. Bagaimana penyimpangan dari nilai nilai sosial potangan di Kecamatan Bangsri?
3. Apa saja dampak dari budaya potangan bagi masyarakat Kecamatan Bangsri?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi budaya potangan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian budaya potangan.
2. Mengetahui penyimpangan dari nilai-nilai sosial potangan di Kecamatan Bangsri.
3. Mengetahui dampak dari budaya potangan bagi masyarakat Kecamatan Bangsri.
4. Mengetahui solusi untuk mengatasi budaya potangan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi referensi bagi penulis lain dalam penelitian yang sejenis.
2. Memberi lebih banyak pengetahuan tentang budaya potangan kepada masyarakat.
3. Memberi tahu masyarakat bagaimana solusi untuk menangani budaya potangan.
E. Batasan Masalah
Agar penulisan ini tidak menyimpang dari tujuan yang semula direncanakan sehingga
mempermudah mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, maka penulis menetapkan
batasan-batasan sebagai berikut:
1. Dampak dari budaya potongan yang dipaparkan pada penelitian fokus pada dampak sosial.
2. Desa yang dijadikan sempel pada penelitian diambil sebanyak 4 desa dari seluruh desa di
Kecamatan Bangsri.
3
3. Sampel yang terlibat dalam penelitian adalah ibu rumah tangga yang dipilih secara acak
dan diambil 15 sampel dari setiap desa.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Budaya
Secara etimologis budaya berasal dari bahasa sansekerta yakni “budhayah” yang
merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Menurut E.B Taylor
dalam bukunya yang berjudul “primitive culture” yang mendefinisikan budaya secara
sistematis dan ilmiah, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Pendapat lain yaitu dari Koentjoroningrat dari bukunya yang berjudul “Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia” dia mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia
dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya
dari belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Budaya dikatakan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia atau
dengan kata lain budaya merupakan keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku
yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat
tertentu6. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya diartikan kebudayaan, akal budi,
pikiran manusia yang mempunyai peradaban7.
Secara terminologi perkataan budaya mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang
adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat
itu adalah (Cultural-Determinism).
Dalam pandangan Harsojo, “kebudayaan itu dijabarkan dari berbagai komponen biologi,
komponen psikologi dan sosiologi dari eksistensi manusia”8. Tingkah laku manusia yang
membentuk kebudayaan itu mencerminkan aspek biologis, psikologis, sosiologis dan
antropologis. Disamping itu, tingkah laku manusia juga meliputi “aspek yang berhubungan
dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, ekonomi, hukum dan sejarah”9,namun
manakala menjelaskan bahwa kebudayaan terbagi dalam aspek-aspek dengan memahami
aspek kebudayaan sebagai “satu pembagian lain yang memotong struktur kebudayaan”10,
Harsojo merinci aspek-aspek kebudayaan sebagai berikut:
6 Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Cet.3; Jakarta: PT. Ichtiar Baru an Hoere, 1999), hal.21
7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, hal.214
8 Harsojo, op.cit., hal.98
9Ibid, hal.98
10Ibid., hal.118
5
1. Kebudayaan material dan sanksinya (teknologi dan ekonomi)
2. Lembaga sosial (organisasi sosial dan struktur politik)
3. Manusia dan alam semesta (sistem kepercayaan dan pengawasan terhadap kekuasaan)
4. Estetika (kesenian grafika dan plastik, folklore, musik, seni drama dan tari tarian)
5. Bahasa11
J.W.M.Bakker ketika membahas tentang unsur-unsur kebudayaan, tampak jelas juga
memaksudkan aspek-aspek kebudayaan, namun menghindarkan istilah aspek untuk tidak
menekankan pandangan yang kuantitatif12, dan baginya aspek-aspek itu adalah ilmu
pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama. Dengan demikian, Bakker
menjelaskan istilah unsur sebagai “yang selaku itu dapat digabungkan dalam paduan yang
lebih tinggi”13. Sedangkan, C. Kluckhohn mengemukakan ada 7 unsur kebudayaan secara
universal (universal categories of culture) yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Sistem teknologi dan peralatan
4. Sistem kesenian
5. Sistem mata pencarian hidup
6. Sistem religi
7. Sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan
Dalam menghasilkan kebudayaan itu manusia digerakkan oleh faktor-faktor dengan
akibat yang sedemikian rupa, dari J.W.M. Bakker ada empat faktor yang menggerakkan
manusia untuk menghasilkan kebudayaan, sebagai berikut:
1. Kondisi alam, yang meliputi habitat dan biome. “habitat atau alam fisik sekitar
mempunyai pengaruh besar pada proses kebudayaan”14, dan alam fisik itu mencakup
baik geo-topografi maupun iklim. Sedangkan “biome” dirumuskan sebagai “mencakup
alam lingkungan organis manusia dengan segala daya-dayanya sejauh itu dapat
ditingkatkan menjadi nilai-nilai budaya”15.
2. Evolusi dan degenerasi. Baik evolusi dalam pengertian Darwinisme maupun degenerasi
sebagai akibat dari kegagalan manusia untuk menyikapi tantangan-tantangan baru
16Ibid., hal.59-63.
17Ibid., hal.76.
18Ibid., hal.116.
19 Bakker, J.W.M., op.cit., hal.84.
20 Harsojo, op.cit., hal.154.
7
dihargai oleh masyarakat bila tindakannya keluar dari kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Berdasarkan pengalaman kebiasaannya dia akan tahu persis mana tindakan yang
menguntungkan dan mana yang tidak.
B. Budaya Potangan
Dalam adat pernikahan masyarakat Jawa para tamu yang datang menyumbang barang
untuk diberikan kepada keluarga yang melaksanakan pernikahan atau yang sering disebut
Buwoh oleh masyarakat Jawa.Barang bawaan yang sering dibawa oleh para tamu yaitu rokok,
gula, beras dan bahan pokok lain atau uang tunai dalam amplop yang nilainya beragam, mulai
dari 10 ribu sampai dengan tak terhingga, tergantung tingkat kemampuan masing-masing
individu dan tingkat status sosial individu dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat
sosialnya, maka jumlah Buwohnya semakin besar.
Dalam pelaksanaan Buwoh tersebut, barang bawaan para tamu didaftar dalam buku
dengan menyertakan nama tamu, jenis barang, merk barang, dan jumlah barang, yang ditulis
oleh Sinoman (orang yang membantu berjalannya acara pernikahan) penyebutan dalam
masyarakaat Jawa. Kegiatan seperti itu disebut “POTANGAN” oleh masyarakat Jepara,
khususnya Kecamatan Bangsri.
1. Nilai-Nilai Sosial Budaya Potangan
Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang
dianggap baik. Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam masyarakat terdapat nilai-nilai
yang dianut yang disebut “Nilai-Nilai Sosial”. Sosiologi memandang nilai-nilai sebagai
pengertian-pengertian (sesuatu di dalam kepala orang) tentang baik tidaknya perbuatan-
perbuatan. Dengan kata lain, nilai adalah hasil penilaian atau pertimbangan moral (Karel J.
Veeger). Nilai sosial lahir sebagai bagian dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial
yang diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan kenyamanan
hidup bersama orang lain. Nilai sosial sebagai alat ukur bagi manusia untuk
mengendalikan beragam kemauan manusia yang selalu berubah dalam berbagai situasi.
Ada beberapa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam budaya Potangan, sebagai berikut:
a. Gotong Royong
Potangan mengajarkan tolong menolong dan bekerja sama untuk membantu satu
sama lain. Seperti yang dilakukan dalam acara pernikahan, khitanan dan lain-lain.
Masyarakat membantu satu sama lain dengan memberikan barang yang dimiliki
kepada orang atau pihak yang mengadakan acara atau Hibah dalam pandangan Islam.
Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat saling membantu dengan meminjamkan apa
yang dimiliki.
8
b. Silaturahmi
Ketika mendatangi acara seseorang yang mempunyai hajat. Hal itu juga dapat
mempekuat jalinan persaudaraan dengan tuan rumah dan orang orang yang ditemui di
acara.
2. Nilai-Nilai Ekonomi Budaya Potangan
Adaya budaya potangan juga berpengaruh pada nilai ekonomi, karena budaya
potangan terdapat pada acara-acara yang mebutuhkan dana besar. Nilai ekonomi budaya
potangan, karena dalam melaksanakan hajat atau pernikahan membutuhkan modal dan
jasa, seperti bahan makanan pokok, sembako dan jasa sinoman (dalam budaya Jawa) untuk
menjamu para tamu. Sedangkan, para tamu yang datang tentunya membawa barang
bawaan seperti gula, rokok, beras dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat tingkat
permintaan masyarakat akan barang dan jasa meningkat, terlebih pada bulan-bulan
pernikahan dalam budaya Jawa. Hal tersebut tentunya membuat nilai ekonomi dalam
masyarakat tersebut meningkat.
C. Budaya Potangan di Berbagai Daerah
Di Kabupaten Bangkalan, Madura, budaya Potangan disebut dengan budaya Bhubuwan.
Ada sebuah keyakinan di masyarakat bahwa ketika seseorang diberi sesuatu maka senantiasa
dibalas dengan yang serupa atau lebih. Budaya yang awalnya merupakan wujud tolong-
menolong diantara masyarakat, seiring dengan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks,
maka wujud yang awalnya merupakan pemberian untuk menolong seseorang yang
mempunyai hajat berubah menjadi perjanjian rapi antara pemberi dan penerima Bhubuwan21.
Perbedaan antara budaya bhubuwan dengan budaya potangan yang ada di masyarakat
Bangsri terdapat pada cara pelaksanaan. Budaya bhubuwan dilaksanakan dengan diiringi
musik soronen, musik khas Madura yang dimainkan sebagai tanda dimulainya acara.
Sedangkan budaya potangan di masyarakat Bangsri dilaksanakan dengan hanya memberi
barang bawaan kepada tuan rumah dan dicatat.
Potangan juga terdapat di masyarakat Kabupaten Indramayu, dengan sebutan Buwuhan
yang dilakukan masyarakat setempat sebelum hari pelaksanaan hajatan yaitu antara satu
minggu atau tiga hari sebelum hari pelaksanaan. Antara budaya ini dengan budaya potangan
perbedaannya hanya terdapat pada waktu pemberian barang kepada keluarga yang
21
Zainal Abidin, Holilul Rohman, Tradisi Bhubuwan Sebagai Model Investasi di Madura, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum UI, Jakarta (2013). Hal.105-108.
9
mempunyai hajat. Menurut budaya ini pemberian barang dilakukan sebelum pelaksanan hajat,
sedangkan budaya potangan dilakukan ketika pelaksanaan hajat22.
Dalam masyarakat Desa Sobontoro Kecamatan Karas Kabupaten Magetan budaya
potangan disebut nyumbang23 dengan konsep saling tukar pemberian barang yang dilekatkan
dalam masyarakat Jawa. Namun, dalam budaya ini barang bawaan para tamu tidak dicatat
seperti yang dilakukan dalam budaya potangan.
22
Suradi, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Buwuhan Dalam Pelaksanaan Hajatan, Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2015). Hal.3
23
Lattifa Ayu Suqyaa Rohmatin, Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Praktik Nyumbang Dalam
Pelaksanaan Hajatan di Desa Sobontoro Kecamatan Karas Kabupaten Magetan, Program Studi Mu’amalah
Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN, Ponorogo (2016). Hal.2-3
10
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian diartikan sebagai strategi mengatur latar penelitian agar peneliti
memperoleh data yang valid sesuai dengan karakteristik variable dan tujuan penelitian.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan rancangan deskriptif berupa kata-kata
dari orang-orang dan pelaku yang diamati.
Terdapat 2 alasan dalam menggunakan rancangan deskriptif kualitatif, yaitu:
1. Mengetahui penyimpangan nilai-nilai sosial dari potangan
2. Mengetahui dampak potangan bagi masyarakat
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang,
lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau apa adanya. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih
ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian deskriptif kualitatif berusaha
menggambarkan suatu gejala sosial yaitu untuk menjawab pertanyaan yang sebelumnya
dikemukakan oleh rumusan masalah serta pertanyaan penelitian atau identifikasi masalah.
Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat studi. Oleh karena itu, metode ini digunakan dengan tujuan untuk
meneliti pendapat dan pengetahuan masyarakat tentang budaya potangan di Kecamatan
Bangsri.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bangsri, Bangsri adalah sebuah Kecamatan di
Kabupaten Jepara, Porovinsi Jawa Tengah, Indonesia. Dari pusat kota Jepara berjarak 18 km
ke arah Kabupaten Pati.
Kecamatan Bangsri terletak di sebelah utara Laut Jawa, sebelah selatan Gunung Muria,
sebelah timur Kecamatan Kembang, serta sebelah barat Kecamatan Mlonggo dan Pakis Aji.
Terdapat 12 desa di Kecamatan Bangsri, yakni:
1. Bangsri
2. Banjaragung
11
3. Banjaran
4. Bondo
5. Guyangan
6. Jeruk Wangi
7. Kedungleper
8. Kepuk
9. Papasan
10. Srikandang
11. Tengguli
12. Wedelan
D. Pengumpulan Data
1. Data
Pada penelitian ini responden yang terlibat adalah masyarakat dari 4 desa yang
dipilih secara acak, yakni Desa Banjaragung, Jeruk Wangi, Srikandang, dan Guyangan.
Data dalam penelitian ini meliputi hasil pengamatan atau observasi dan hasil
dokumentasi.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi ini kami lakukan dengan dua metode yaitu dengan wawancara dan
membagikan angket. Berikut adalah daftar pertanyaan wawancara dan angket yang
kami gunakan.
b. Draft pertanyaan wawancara
12
c. Draft pertanyaan dalam angket
DATA ANGKET
Nama :
Alamat :
Jenis kelamin :
Usia :
Angket / kuesioner ini diperlukan untuk bahan pengembangan analisis, dan bahan
pertimbangan dalam pembahasan materi Karya Ilmiah. Kami ucapkan terima kasih atas
kesediaan dan kerjasama anda dalam pengisian angket/kuesioner ini.
PETUNJUK KHUSUS:
Pilihlah salah satu jawaban yang paling sesuai dengan memberi tanda centang (√)
pada bagian lembar koesioner yang telah disediakan.
BUDAYA POTANGAN
13
6. Apakah bapak/ibu merasa nyaman ketika mengembalikan nilai barang tetapi tidak sesuai
dengan catatan?
a. iya b. tidak
7. Apakah menurut bapak/ibu budaya potangan menghilangkan nilai gotong-royong, tolong
menolong, dan silaturrahmi?
a.iya b. tidak
3. Dokumentasi
Dokumentasi yang digunakan dalam mendukung peneltian ini berupa buku potangan
yang berisi catatan utang-piutang sumbangan. (Terlampir)
14
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Data
Bab ini akan memaparkan hasil analisis data dan kajian yang diperoleh dari wawancara
dan angket yang disebarkan di desa yang telah ditentukan secara acak.
1. Analisa Pandangan Masyarakat Terhadap Praktik Potangan di Kecamatan Bangsri
Di sebagian masyarakat terbangun suatu tradisi yang dilakukan dalam
penyelenggarakan hajatan seperti walimahan, kelahiran, khitanan, atau yang lain, yaitu
adanya potangan atau buwuh. Demikian juga di Desa Banjaragung, Srikandang,
Guyangan, Jerukwangi Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Penyumbang adalah para
tamu undangan, tetangga, dan kerabat yang memiliki kedekatan emosional. Biasanya
mereka menghadiri undangan tersebut dengan membawa sesuatu, baik berupa barang
atau uang untuk diberikan kepada pemilik hajat.
Peneliti telah mewawancarai 9 orang dari 3 desa. Menurut salah satu narasumber
yaitu Ibu Lilis Kholifah, potangan adalah budaya yang sudah dilakukan sejak lama,
sekitar tahun 90an. Budaya ini dilakukan dengan mencatat apa yang dibawa oleh para
tamu (nama orang, jenis barang, merek barang, dan jumlah barang). Pendapat ini juga
dikemukakan oleh 8 narasumber lainnya. Menurut bapak Ali Sehab, budaya ini dulunya
hanya dilakukan di acara pernikahan, namun sekarang budaya tersebut tidak hanya
dilakukan di acara pernikahan. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat bapak Solikul Hadi
dan 9 narasumber lain bahwa budaya ini juga dilakukan di acara khitanan, tilek bayi
(tengok bayi) bahkan acara ulang tahun.
Berdasarkan studi tersebut dapat dikatakan bahwa telah terjadi perluasan cakupan
acara hajatan yang melibatkan tradisi potangan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
memaksimalkan pengembalian sumbangan yang telah diberikan sebelumnya kepada
orang lain.
Keluarga yang belum memiliki anak cukup umur (belum masuk dalam usia nikah)
tidak dapat mengadakan acara resepsi pernikahan, sehingga keluarga ini mengadakan
acara lain seperti acara tilek bayi, ulang tahun, dan khitanan untuk menghimpun
sumbangan dari orang lain. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan barang atau uang
yang pernah disumbangkan sebelumnya. Adapun bagi keluarga yang semua anaknya
telah tuntas (sudah menikah) dan tidak dapat lagi mengadakan acara, akan cenderung
mengalihkan tanggungan potangan kepada anaknya. Sumbangan dari orang lain yang
15
harusnya diberikan kepada keluarga tersebut, kemudian dialihkan kepada anaknya
melalui acara-acara hajatan yang diadakan oleh anak-anaknya. Sedangkan pada keluarga
yang telah tuntas (sudah menikah) dan tidak dapat lagi mengadakan acara namun masih
memiliki tanggungan untuk mengembalikan sumbangan kepada orang lain, maka dapat
mengembalikannya melalui anaknya ataupun dikembalikan secara pribadi.
Berdasarkan studi ini dapat dikatakan bahwa masyarakat cenderung tidak ingin
mengalami kerugian setelah memberikan bantuan. Masyarakat ingin sumbangannya
dikembalikan dengan kuantitas yang sama, meskipun harus mewariskan kepada anak-
anaknya.
Budaya potangan sangat melekat pada masyarakat di Kecamatan Bangsri. Hal ini
dapat dilihat dari hasil angket pada poin pertama yang tersedia pada diagram berikut:
Adanya budaya potangan tersebut sangat membebani masyarakat yang
bersangkutan, karena masyarakat tersebut merasa dituntut untuk mengembalikan sesuai
dengan catatan. Jika hal itu diwajibkan, maka masyarakat akan merasa terbebani dengan
budaya potangan. Banyaknya masyarakat yang merasa terbebani dengan adanya budaya
potangan diukur dari angket pada poin kedua dan disajikan pada gambar 4.1
100
80
60
40
20
0
jerukwangi srikandang banjaragung guyangan
ya tidak
Gambar 4.1 persentase masyarakat desa yang terbebani dengan adanya tradisi
potangan
Berdasarkan gambar 4.1, dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Jeruk Wangi dan
Guyangan lebih dari 60% merasa terbebani dengan adanya tradisi potangan. Hal ini
disebabkan karena letak desanya yang dekat dengan pusat Kecamatan Bangsri dan rasa
tenggang rasa antara satu sama lain yang rendah. Adapun masyarakat di Desa Srikandang
dan Banjaragung lebih dari 70% tidak merasa terbebani. Hal ini disebabkan karena letak
desanya yang jauh dari hiruk pikuk kotadan rasa tenggang rasa antara satu sama lain
yang masih tinggi.
16
Dari 60 orang di empat desa penelitian, terdapat sebanyak 33 orang (lebih dari 50%)
yang merasa terbebani dengan adanya potangan. Peneliti dapat mengatakan bahwa
budaya potangan membebani bagi masyarakat.
Budaya potangan biasa dilakukan dengan memberikan barang ataupun uang kepada
pemilik hajat. Menurut Ibu Salamah (salah satu narasumber), wanita lebih sering
membawa gula atau beras dalam budaya potangan, sedang lelaki membawa uang atau
rokok. Banyaknya masyarakat yang merasa keberatan memberi uang atau barang dalam
budaya potangan diukur dari angket pada poin keempat dan disajikan pada gambar 4.2
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
jerukwangi srikandang banjaragung guyangan
bentuk potangan
uang barang
Gambar 4.2 persentase masyarakat desa yang merasa keberatan memberi uang atau
barang dalam budaya potangan.
Berdasarkan gambar 4.2, dapat dikatakan bahwa lebih dari 60% masyarakat Desa
Jeruk Wangi merasa keberatan memberi barang (gula dan rokok) daripada uang dalam
tradisi potangan. Bahkan lebih dari 80% masyarakat di Desa Srikandang, Banjaragung,
dan Guyangan merasa terbebani memberi barang (gula dan rokok) daripada uang. Hal ini
disebabkan karena harga barang yang selalu naik seiring berjalannya waktu, sehingga
akan lebih menghabiskan banyak uang dari sebelumnya. Adapun uang nilainya
cenderung tetap tidak berubah seiring berjalannya waktu.
Secara keseluruhan dari 60 orang di empat desa penelitian terdapat sebanyak 53
orang (lebih dari 80%) yang merasa lebih berat barang dibanding uang dalam potangan.
Peneliti dapat mengatakan bahwa masyarakat lebih keberatan memberi barang daripada
uang dalam budaya potangan.
Meski keberatan dalam memberi barang daripada uang, masyarakat juga merasa
senang ketika mendapat banyak sumbangan ketika mengadakan acara. Banyak
masyarakat yang senang ketika mendapat banyak sumbangan diukur dari angket pada
poin ketiga dan disajikan pada gambar 4.3
17
100
80
60
40
20
0
jerukwangi srikandang banjaragung guyangan
senang
ya tidak
Gambar 4.3 persentase masyarakat desa yang merasa senang ketika mendapat banyak
sumbangan.
18
Dari 60 orang di empat desa penelitian, terdapat sebanyak 26 orang (lebih dari 40%)
yang berbesar hati ketika tidak mendapat sumbangan sesuai dengan catatan. Peneliti
dapat menuliskan bahwa masyarakat cenderung merasa tidak berbesar hati ketika ada
yang memberi sumbangan tidak sesuai dengan catatan yang ada.
Saat ingin mengembalikan sumbangan maka yang bersangkutan akan berusaha
mengembalikannya sesuai dengan catatan yang ada. Berbeda ketika keadaan saat itu
membuat tidak dapat mengembalikan sumbangan dengan semestinya. Masyarakat Desa
Jerukwangi merasa nyaman saja ketika mengembalikan sumbangan tidak sesuai dengan
catatan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa yang terpenting mereka telah
memberikan yang mereka punya. Adapun masyarakat Desa Srikandang, Banjaragung,
dan Guyangan merasa tidak nyaman ketika tidak mampu mengembalikan sumbangan
sesuai dengan catatan. Hal ini disebabkan karena mereka merasa tidak dapat membalas
budi orang yang telah memberinya terdahulu.
Dari 60 orang di empat desa yang di teliti, terdapat 35 orang (lebih dari 50%) yang
merasa tidak nyaman ketika tidak mampu mengembalikan sumbangan sesuai dengan
catatan yang ada. Peneliti dapat menuliskan bahwa masyarakat merasa tidak nyaman
ketika tidak dapat mengembalikan sumbangan dengan sesuai.
Budaya potangan merupakan budaya yang telah menyeleweng jauh dari nilai-nilai
sosial. Tidak sama halnya dengan anggapan kebanyakan masyarakat, yang menganggap
bahwa budaya tersebut tidak menyeleweng dari nilai-nilai sosial, seperti gotong royong,
tolong menolong, dan silaturrahmi. Mereka beranggapan bahwa mereka melakukan itu
untuk balas budi, karena mereka merasa telah disumbang serta dibantu dan mempunyai
kewajiban untuk mengembalikannya. Masyarakat Desa Jerukwangi dan Banjaragung
merasa jika budaya potangan ini menyeleweng dari nilai-nilai sosial, karena mereka
beranggapan bahwa sekarang nilai budaya potangan itu menjadi nilai utang-piutang,
bukan tolong-menolong atau bahkan gotong royong. Adapun masyarakat Desa
Srikandang dan Guyangan, merasa bahwa budaya potangan ini tidak menyeleweng dari
nilai-nilai sosial, karena itu merupakan tradisi yang sudah menjadi ciri khas desa
tersebut, apabila dihilangkan sama saja mereka menghina nenek moyang mereka.
19
Wawancara dengan Bapak Parjo
Dari 60 orang di emat desa penelitian, terdapat 18 orang (30%) yang merasa bahwa
budaya potangan telah menyeleweng dari nilai-nilai sosial. Peneliti dapat menuliskan
bahwa masyarakat merasa budaya potangan tidak menyeleweng dari nilia-nilai sosial
yang ada.
B. Pergeseran Nilai Sosial yang Terjadi pada Budaya Potangan
Dari pernyataan di atas, peneliti dapat menemukan beberapa penyimpangan nilai-nilai
sosial dari adanya budaya potangan, yaitu hilangnya nilai tolong-menolong, gotong-royong
dan silaturrahmi.
Nilai sosial tolong-menolong kini telah berganti menjadi pamrih, pemberi potangan
mengharapkan adanya pengembalian potangan dengan jumlah yang minimal sama dengan
yang pemberi potangan berikan, ketika pemberi potangan mempunyai hajat.
Nilai sosial gotong-royong dalam melakukan potangan saat ini tidak sesuai dengan
kemampuan pemberi potangan karena dalam pengembalian potangan harus sesuai dengan
catatan potangan. Pengembalian potangan tersebut terlihat menjadi suatu kewajiban bagi
masyarakat.
Nilai sosial silaturahmi dengan datang ke acara pernikahan bertujuan untuk mempererat
persaudaraan dalam budaya potangan, namun masyarakat sekarang ini menghadiri acara
pernikahan hanya sebatas untuk mengembalikan potangan yang didapat atau untuk
menginvestasikan potangan, namun ketika tidak mempunyai potangan, maka tidak akan
menghadiri acara tersebut.
20
C. Dampak Budaya Potangan
1. Beban keluarga bertambah
Berdasarkan hasil wawancara dari 9 narasumber dapat dikatakan bahwa 7 orang
narasumber merasa keberatan dengan adanya potangan. Karena jika mengembalikan
potangan harus sesuai dengan jumlah, tidak bisa disesuaikan dengan kondisi ekonomi, dan
terlebih pada bulan-bulan yang sering digunakan untuk melaksanakan pernikahan yaitu
Bulan Besar dan Sapar (dalam budaya Jawa) karena dalam bulan-bulan ini tidak hanya
satu acara pernikahan dalam sehari, melainkan ada beberapa acara pernikahan, dan akan
menambah beban orang yang mengembalikan potangan. Hal ini memicu orang yang
mengembalikan potangan untuk meminjam hutang untuk dapat mengembalikan potangan
sesuai dengan catatan.
2. Terjadinya hutang-piutang
Masyarakat sekarang ini, cenderung menganggap budaya potangan sebagai hutang
yang harus dibayar setelah mendapat potangan dari orang lain, dan jumlah barang yang
dikembalikan harus sesuai dengan catatan potangan. Kebiasaan yang dilakukan
masyarakat Bangsri dan menurut pendapat dari salah satu narasumber yaitu Ibu Nur Isnik,
jika pengembalian jumlah potangan tidak sesuai dengan catatan, maka akan dibicarakan
atau disinggung oleh orang yang dikembalikan potangannya. Hal tersebut membuat
ketidaknyamanan dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Jadi, orang-orang tersebut harus
mengembalikan potangan sesuai catatan.
3. Menjadi sarana investasi
Dalam budaya potangan tentunya barang yang dikembalikan harus sesuai dengan
catatan, kegiatan tersebut sesuai dengan hasil observasi peneliti di daerah Bangsri. Seiring
perkembangan zaman, budaya tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
menginvestasikan barang yang dipotangkan kepada orang lain, agar nanti saat barang yang
dipotangkan kembali nominasinya bertambah banyak. Karena sifat barang sendiri semakin
lama, semakin bertambah harga nominalnya. Hampir semua orang yang mendapat
potangan dalam bentuk barang, merasa terbebani, karena dalam pengembalian barang
harus sesuai jumlah yang ada di dalam catatan dan tentunya harga barang sendiri itupun
naik, tidak sama dengan harga saat dia mendapat potangan tersebut. Seperti dalam hasil
penyebaran angket, peneliti mendapatkan hasil dari jumlah keseluruhan angket yakni 60
orang, terdapat 53 orang atau sekitar 85% yang merasa terbebani dengan potangan dalam
bentuk barang, karena mereka harus mengembalikan barang sesuai jumlah bukan sesuai
harga barang yang dia dapat.
21
4. Berkurangnya nilai tolong-menolong, gotong-royong dan silaturahmi
Pada awalnya, budaya potangan memberikan beberapa nilai positif yakni tolong-
menolong, gotong-royong dan silaturahmi kepada sesama masyarakat seperti yang
dijabarkan dalam kajian materi di atas. Seiring berkembangnya waktu dan perubahan
zaman yang juga membuat sifat masyarakat berubah. Nilai yang bermakna baik ini, mulai
berkurang dari nilai awal. Seperti:
a. Nilai tolong-menolong berkurang menjadi pamrih, karena jika dia memberikan
potangan dalam jumlah yang banyak, dia pasti akan mendapat kembalian potangan
dalam jumlah banyak atau lebih. Hal itu tidak menunjukkan rasa tolong-menolong
dalam memberikan barang, karena dia mengharap adanya pengembalian dari barang
yang telah dia berikan.
b. Nilai gotong-royong, yang awalnya hanya saling membantu antar masyarakat dengan
memberi barang kepada orang yang mempunyai hajat, sekarang berkurang menjadi
hutang-piutang yang harus dikembalikan sesuai dengan catatan potangan.
c. Nilai silaturahmi juga berkurang, yakni ketika mempunyai potangan kepada orang
lain ada kewajiban untuk mengembalikan dan untuk datang ke acara tersebut. Ketika
tidak mempunyai potangan kepada orang yang mengadakan pernikahan atau acara
hajatan yang lain, maka tidak merasa mempunyai kewajiban untuk datang ke acara
tersebut.
22
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menganalisis praktik budaya potangan dalam pelaksanaan pernikahan
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Potangan merupakan bentuk budaya menyumbang berupa uang atau barang kepada
orang yang melaksanakan pernikahan, khitanan, menengok bayi (Tilek Bayi) yang ditulis
sesuai dengan jumlah yang ada oleh tuan rumah di Kecamatan Bangsri.
2. Pemberian barang atau uang dalam budaya tersebut bukan lagi berdasarkan niat sukarela,
melainkan menjadi investasi bagi orang yang memberikan barang. Pemberian yang
awalnya bermakna tolong-menolong, berubah menjadi hutang-piutang antara masyarakat
yang memiliki potangan dan budaya potangan yang awalnya hanya terdapat dalam acara
pernikahan sekarang terdapat dalam berbagai acara hajatan lain, terlebih jika keluarga
tidak lagi mempunyai hajatan pernikahan, maka akan membuat acra hajatan lain terdapat
budaya potangan.
3. Budaya ini memberikan dampak yang nyata kepada masyarakat, karena jika mereka tidak
mengembalikan barang ataupun uang yang tidak sesuai yang didapat maka akan
mendapat penilaian buruk dari orang yang dikembalikan uang atau barangnya, hal
tersebut membuat masyarakat harus mencari dana yang besar, bahkan sampai meminjam
hutang untuk dapat memenuhi potangan tersebut.
4. Dari hasil pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa masyarakat lebih terbebani dengan
potangan dalam bentuk barang daripada uang, maka akan lebih ringan jika masyarakat
menggunakan potangan dalam bentuk uang.
B. Saran
23
2. Kepada masyarakat sebaiknya memberikan potangan berupa uang, karena nilai uang tidak
seperti nilai barang yang terus naik, melainkan akan terus menurun. Maka, akan
mempermudah orang lain untuk mengembalikan potangan.
3. Memberi pemahaman langsung kepada masyarakat tentang beban potangan dan
mengembalikan nilai silaturahmi, tolong-menolong dan gotong-royong.
4. Tokoh masyarakat selalu mengajak masyarakat untuk mengembalikan nilai silaturahmi,
tolong-menolong dan gotong-royong
24
DAFTAR PUSTAKA
Rohmatin, L.A. (2016). Pandangan tokoh masyarakat terhadap praktik nyumbang dalam
pelaksanaan hajatan di Desa Sobontoro Kecamatan Karas Kabupaten Magetan
[SKRIPSI]. Ponorogo: Jurusan Syari’ah dan Hukum Islam Sekolah Tnggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Ponorogo.
Suradi (2015). Tinjauan hokum islam terhadap sisten buwuhan dalam pelaksanaan hajatan
studi di Desa Kendayaan Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu [SKRIPSI].
Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Bukhori, A. (2016). Tradisi Buwuh dalam walimah ditinjau madzhab Syafi’i studi Dusun
Kaliputih Desa Sumbersuko Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan [SKRIPSI].
Malang: Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim.
Abidin, Z. & Rahman, H. (2016). Tradisi Bhubuwan sebagai model investasi di Madura.
Karsa Vol 21, hlm. 103-115.
http;//www.google.co.id/search?dcr=0&q=bab%25201.pdf&oq=bab&gs_l=psy-ab.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:l9C8zDzxGrsJ:fitridwilestari.staff.gu
nadarma.ac.id/Downloads/files/50990/2.%2BKebudayaan%2Bdan%2BMasyarakat.pdf
+&cd=3&hl=en&ct=clnk&gl=id
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:03Z8uTK5JmMJ:digilib.uinsby.ac.id
/794/4/Bab%25201.pdf+&cd=3&hl=en&ct=clnk&gl=id
UDNuswantoro_2015_eprints.dinus.ac.id
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:lYOIGJS7zhsJ:repository.usu.ac.id/b
itstream/123456789/22485/5/Chapter%2520I.pdf+&cd=10&hl=en&ct=clnk&gl=id
http://kutukuliah.blogspot.co.id/2013/06/penelitian-deskriptif-kualitatif.html?m=1
25
LAMPIRAN
Lampiran.1
Transkrip Wawancara:
Informan I
Identitas Informan I
Hasil Wawancara :
26
Informan 2
Identitas Informan 2
1. Nama : Wagipah
2. Umur : 75 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Desa : Jeruk Wangi
Hasil Wawancara :
3. Adakah perbedaan dalam memberikan barang atau uang kepada orang kaya dan orang
miskin?
Jawab :
27
Informan 3
Identitas Informan 3
1. Nama : Nikmah
2. Umur : 45 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Desa : Jeruk Wangi
Hasil Wawancara :
Jawab :
28
Informan 4
Identitas Informan 4
1. Nama : Fitriani
2. Umur : 22 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Desa : Jeruk Wangi
Hasil Wawancara :
29
Informan 5
Identitas Informan 5
Hasil Wawancara :
30
Informan 6
Identitas Informan 6
1. Nama : Sunarti
2. Umur : 60
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Desa : Jeruk Wangi
Hasil Wawancara :
3. Adakah perbedaan dalam memberikan barang atau uang kepada orang kaya dan orang
miskin?
Jawab :
Tidak ada, mengembalikan barang atau uang sesuai dengan catatan yang ada.
31
Informan 7
Identitas Informan 7
1. Nama : Salamah
2. Umur : 64 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Desa : Banjaragung
Hasil Wawancara :
Ada, seperti di acara tilek bayi, njengakno, khitanan dan membangun rumah.
32
Informan 8
Identitas Informan 8
Hasil Wawancara :
Ada, seperti dalam acara khitanan, tilek bayi, njengakno dan lain-lain.
33
Informan 9
Identitas Informan 9
Hasil Wawancara :
Ada, kalau di desa saya potangan itu ada disetiap acara hajatan.
34
Lampiran.2
35
b. Hasil Angket
36
37
38
39
c. Buku Catatan Potangan
40
41
42
Dokumentasi Penelitian
43
Wawancara dengan Ibu Evi Munita Sandarwati
Pembagian Angket
44
Pembagian Angket
Pembagian Angket
45
Pembagian Angket
Pembagian Angket
46
BIODATA
1
Nama : Ummi Awwaliyah Af’idatul Hasanah
Alamat : Karanggondng, RT 05/01, Mlonggo, Jepara
Tempat Tanggal Lahir : Jepara, 05 Mei 2001
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : XI. IMMERSI. IPA
Asal Sekolah : MA NU HASYIM ASY’ARI BANGSRI
No. Telepon : 0895385011581
Nama Orang Tua : Solikul Hadi
2
Nama : Syamitha Resmadiani
Alamat : Sekuro, RT 23/05, Mlonggo, Jepara
Tempat Tanggal Lahir : Jepara, 24 November 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : XI. IMMERSI. IPA
Asal Sekolah : MA NU HASYIM ASY’ARI BANGSRI
No. Telepon : 082226341274
Nama Orang Tua : Sugiyanto
3
Nama : Syarifah Zainab Al-Kubro
Alamat : Bangsri, RT 03/09, Bangsri, Jepara
Tempat Tanggal Lahir : Jepara, 02 Februari 2001
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : XI. IMMERSI. IPA
Asal Sekolah : MA NU HASYIM ASY’ARI BANGSRI
No. Telepon : 087831915540
Nama Orang Tua : Muhammad Musawa
47