Anda di halaman 1dari 14

SYARI’AH SEBAGAI KULTUR

(KAJIAN HUKUM DAN KEADILAN DALAM PENDEKATAN


ANTROPOLOGI1 MENURUT LAWRENCE ROSEN)

Oleh: Hairul Anwar


Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Syari’ah UIN Antasari
Banjarmasin Email: aufakaysa@gmail.com
Pendahuluan
Pembicaraan tentang hukum tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan
tentang keadilan. Keadilan merupakan nilai ideal dari setiap pembuatan maupun
pelaksanaan hukum. Keadilan sampai saat ini masih dianggap sebagai konsep
yang abstrak dan dipahami tanpa batasan yang jelasakan tetapi keadilan
merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, hal ini karena
salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan
hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat
hukum. Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat
beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan.
Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca
teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para sarjana, karena ketika
berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu
perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam 2. Tentang
rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang sangat mendasar yang perlu
diperhatikan: Pertama, pandangan atau pendapat awam yang pada dasarnya
merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian
antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil neraca
hukum yakni takaran hak dan kewajiban. Kedua, pandangan para ahli hukum
seperti Purnadi Purbacaraka yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu
adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum3.

1
Corak penelitian seperti ini adalah penelitian yang berada di dalam disiplin ilmu
antropologi agama, sosiologi agama dan psikologi Agama. Di sisi lain didapati juga penelitian
dalam disiplin ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan
sebagainya. Jika yang pertama berhubungan dengan agama yang hidup di dalam kehidupan
manusia atau masyarakat, maka yang kedua terkait dengan teks-teks yang berisi ajaran tentang
agama dalam berbagai interpretasinya. Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas
Islam, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), h. 56, dalam jurnal Feriyani Umi Rosidah, Pendekatan
Antropologi Studi Islam,Islamica,vol.2,no.1
2
Angkasa, Filsafat Hukum, (Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010), h..105.
3
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya
Jawab,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015, h. 176.

1
Filosofi utama dari hakekat hukum adalah keadilan, tanpa keadilan hukum
tidak layak disebut hukum. Realitas hukum dalam masyarakat kadang berbeda
dengan yang dicita-citakan yang menyebabkan semakin menjauhkan hukum
hukum dari hakekatnya. Keadilan menjadi jargon, belum menjiwai seluruh aspek
hukum. Tarik menarik antara keadilan, kepastian dan ketertiban hukum menjadi
isu penting dalam pengembanan hukum. Isu penting tersebut kemudian menjadi
problematika pokok ketika melaksanakan penegakan hukum. Penegakan hukum
oleh para pengemban hukum menghadapi dilema pilihan antara keadilan,
kepastian dan ketertiban. Dilema atas pilihan sangat rumit atas dampak yang
ditimbulkan, di mana akan ada pengorbanan dari satu atau dua cita hukum ketika
pilihan sudah ditentukan. Dalam penegakan hukum, ketika pengemban hukum
memilih untuk mengutamakan kepastian hukum maka dua cita hukum yaitu
keadilan dan ketertiban akan dikesampingkan4.
Akhir-akhir ini, keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan
topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan
penegakan hukum. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena
ditarik ke masalah politik membuat keadilan semakin suram dan semakin jauh
dari harapan masyarakat. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan
cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang
sebenarnya. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah
orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang
tidak fair , maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum
(law abiding) dan fair. Tindakan memenuhi atau mematuhi hukum adalah adil,
maka semua tindakan pembentukan hukum jika sesuai dengan aturan yang ada
adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan
kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk
memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dari sudut konsep filosofinya hakim adalah “wakil Tuhan” yang
bertugas untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, maka setiap
putusan hakim wajib mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adanya hakim sebagai “wakil Tuhan”
dilatarbelakangi secara historis, dalam teori hukum dan negara, suara Tuhan
tersebut dalam konteks renungan kefilsafatan tentang kedaulatan negara atau
4
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing,, 2010), h. 138.

2
raja, melahirkan filsafat kedaulatan Tuhan, dan ketika dikaitkan dengan
persoalan hukum dan keadilan, melahirkan filsafat renungan bahwa
terminologi keadilan yang ada dalam kajian filsafat dapatkah dijadikan
sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep
keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat
ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis
sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya.
Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, berada dalam dunia sollen
tumbuh secara filsafati dalam alam hayal manusia, namun tidak bisa diingkari
bahwa semua orang mendambakan keadilan5. Di dalam Ilmu hukum keadilan itu
merupakan ide dan tujuan hukum namun secara pasti dan gramatikal keadilan itu
tidak dapat didefinisikan oleh ilmu hukum, oleh karenanya keadilan harus dikaji
dari sudut pandang teoritik dan filosofis. Atas dasar hal tersebut dalam tulisan
yang singkat ini akan dibahas mengenai hukum dan keadilan yang difokuskan
pada pendekatan antropologi menurut Lawrence Rosen.

Biografi Lawrence Rosen


Lawrence Rosen adalah seorang antropolog dan pengacara yang
mempelajari konsep-konsep budaya dalam masyarakat dan hukum. Dia telah
mengeksplorasi hukum Islam di masyarakat Afrika Utara dan perlakuan orang
Indian Amerika dalam sistem hukum umum Amerika Serikat. Dia juga bekerja
sebagai pengacara di sejumlah kasus hukum Indian Amerika.6
Rosen adalah Profesor Antropologi William Nelson Cromwell di
Universitas Princeton dan profesor tambahan di Fakultas Hukum Universitas
Columbia. Ia menerima gelar B.A. (1963) dari Universitas Brandeis, dan gelar
M.A. (1965), Ph.D. (1968), dan J.D. (1974) dari University of Chicago.7
Selaku peneliti, hobi utamanya Lawrence Rosen adalah keterkaitan antara
hubungan konsep budaya dan penerapannya dalam hubungan sosial dan hukum.
Perhatian utamanya dalam penelitian lapangan adalah di Afrika Utara; dia juga
bekerja sebagai pengacara di sejumlah kasus hukum Indian Amerika.8 Dia
mengajar mata kuliah hukum dan antropologi, sistem keagamaan komparatif,

5
Bahder Johan Nsution, Hukum dan Keadilan, (Bandung: Mandar Maju, 2015), h. 174.
6
https://www.macfound.org/fellows/88/
7
Ibid
8
https://anthropology.princeton.edu/people/emeritus-faculty/lawrence-rosen

3
Indian Amerika dan hukum, dan teori sistem budaya. Dia menerima Penghargaan
Pengajar Istimewa Kepresidenan pada tahun 1997 dan merupakan sarjana tamu
Phi Beta Kappa untuk tahun 1997-98.9
Karya-karya nya antara lain dalam bentuk buku antara lain:
 Meaning and Order in Moroccan Society: Three Essays in Cultural Analysis.
(with Clifford Geertz and Hildred Geertz). Cambridge: Cambridge University
Press, 1979
 Bargaining for Reality: The Construction of Social Relations in a Muslim
Community. Chicago: University of Chicago Press, 1984.
 The Anthropology of Justice: Law as Culture in Islamic Society. Cambridge:
Cambridge University Press, 1989.
 The Justice of Islam: Comparative Perspectives on Islamic Law and Society.
Oxford: Oxford University Press, 2000
 The Culture of Islam: Changing Aspects of Contemporary Muslim Life.
Chicago: University of Chicago Press, 2004
 Law as Culture: An Invitation. Princeton: Princeton University Press, 2008.
 Varieties of Muslim Experience: Encounters with Arab Political and Cultural
Life. Chicago: University of Chicago Press, 2008.
 Two Arabs, a Berber, and a Jew: Entangled Lives in Morocco. Chicago:
University of Chicago Press, 2015.
 Islam and the Rule of Justice: Image and Reality in Muslim Law and Culture,
Chicago: University of Chicago Press, 2018.10
Dan artikel-artikel antara lain:
 “A Guide to the ‘Arab Street’,” Anthropology Now, vol. 3, no. 2 (September
2011), pp. 41-47
 “Anthropological Assumptions and the Afghan War,” Anthropological
Quarterly, vol. 84, no. 2 (March/April 2011), pp. 535-58
 “Understanding Corruption,” The American Interest, vol. 5, no. 4
(March/April 2010), pp. 78-82 [Recipient of a David Brooks’ Sidney Award
for “one of the best essays of 2010.”]

9
Ibid
10
https://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_Rosen_(anthropologist)

4
 “Orientalism Revisited: Edward Said’s Unfinished Critique,” Boston Review,
vol. 32, no. 1 (January/February 2007), pp. 31-32.11

Hukum dan Keadilan Menurut Lawrence Rosen dalam karyanya Islam and
The Rule of Justice : Image and Reality in Muslim Law and Culture
Lawrence Rosen menyebutkan dalam pengantara karyanya Islam and The
Rule of Juastice, bahwa dengan berbagai tindakan Taliban dan ISIS mengesankan
orang Barat cenderung ketakutan dan menganggap hukum Islam sebagai sistem
Hukum yang kaku, yang diikat oleh teks-teks formula. Maka untuk menepis
kesalahpahaman dan mengatasi beberapa pandangan terlalu sederhana tentang
hukum Islam ini, Rosen mencoba menganalisa hal tersebut untuk menghilangkan
prasangka dan persepsi salah tentang hukum Islam.12
Untuk menganalisa kesalahan persepsi ini, Rosen menggambarkan
beberapa kasus tertentu antara lain; ia mengeksplorasi penerapan hukum Islam
untuk perlakuan terhadap perempuan (yang memenangkan sebagian besar kasus
mereka), sebagai contoh, Pengadilan Muslim sering memberikan hak asuh kepada
ibu berpendidikan dan bekerja lebih baik daripada seorang ayah yang tidak
bermoral,13 hubungan antara Muslim dan Yahudi (yang sering melibatkan ikatan
pribadi dan keuangan),14 dan struktur korupsi yang meluas ( yang memainkan
peran kunci dalam mendorong Musim Semi Arab).15 Dari kasus ini dipelajari
peran mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa lokal. Penulis juga
memberikan bacaan yang dekat tentang persidangan Zacarias Moussaoui, yang
didakwa di pengadilan Amerika karena membantu melakukan serangan 9/11,
menggunakan wawasan tentang bagaimana keadilan Islam bekerja untuk
menjelaskan tindakan terdakwa selama persidangan.16 Buku ini ditutup dengan
sebuah pemeriksaan tentang bagaimana konsep budaya Islam dapat memikul
struktur konstitusi dan reformasi hukum yang telah dilakukan oleh banyak negara
Muslim.17

11
https://anthropology.princeton.edu/people/emeritus-faculty/lawrence-rosen Op.cit
12
Lawrence Rosen, Islam and The Rule of Justice: Image and Reality in Muslim Law and
Culture, (Chicago; London: The University of Chocago Press, 2018), h. 10
13
Ibid, h. 45 - 91
14
Ibid, h. 110 - 136
15
Ibid, h. 138 - 149
16
Ibid, h. 187 - 226
17
Ibid, h. 227 - 253

5
Berdasarkan pemaparan praktek hukum dan penomena masyarakat muslim
pada karyanya tersebut, secara umum Rosen menyimpulkan bahwa keadilan
hanyalah sebuah metafora. Tidak ada perumpamaan atau analogi yang akhirnya
dapat menentukan dengan tepat apa itu keadilan. Termasuk para filosuf dan ahli
fiqh, belum menghasilkan teori yang dapat diterima secara universal.18 Mengingat
keadilan menuntut keselarasan dengan budaya yang berkembang. Sebanyak
kemampuan menyelami kearifan budaya yang berkembang maka sebanyak itu
pula akan menemukan keadilan.
Menurut Rosen, orang Barat cenderung membingkai masalah dalam hal
hak, sementrara orang Arab menekankan bahasa keadilan, baik dalam menilai
keadaan dasar, karakter dan usia seseorang, hal ini nampak jelas bahwa sentiment
individu dan kolektif orang Arab merupakan bagian integral budaya masyarakat,
sehingga diperlukan term aturan keadilan dan aturan hukum.19
Sejalan dengan ini, Rosen menyatkan bahwa Hukum merupakan bagian
integral dari budaya, dan budaya untuk hukum.20 Sering dianggap sebagai domain
khas dengan aturan-aturan aneh dan bahasa asing, hukum sebenarnya merupakan
bagian dari cara budaya mengekspresikan perasaannya dalam urutan berbagai hal.
Dalam Hukum sebagai Budaya, Lawrence Rosen mengundang para pembaca
untuk mempertimbangkan bagaimana fakta-fakta yang dikemukakan dalam forum
hukum terhubung dengan cara-cara di mana fakta-fakta dikonstruksi dalam bidang
kehidupan sehari-hari yang lain, bagaimana proses pengambilan keputusan hukum
mengambil bagian dari logika dengan dimana budaya secara keseluruhan
disatukan, dan bagaimana pengadilan, mediator, atau tekanan sosial membentuk
rasa dunia sebagai konsisten dengan akal sehat dan identitas sosial.
Meskipun buku ini mengeksplorasi masalah secara komparatif, dalam
setiap contoh ia menghubungkannya dengan pengalaman masyarakat muslim di
beberapa Negara Arab dan Barat kontemporer. Perkembangan proses hukum juri
dan Kontinental dengan demikian menjadi cerita tentang perkembangan ide-ide
Negara Arab dan Barat tentang orang dan waktu; Teknik mediasi menjadi ujian
bagi gaya dan keberhasilan upaya serupa di Amerika dan Eropa; pernyataan
bahwa budaya seseorang harus dianggap sebagai alasan kejahatan menjadi
tantangan bagi hubungan norma budaya dan keanekaragaman budaya.
18
Ibid, h. 227
19
Ibid, h. 228
20
Lawrence Rosen, Law as Culture: An Invitation, (New York: Princeton University Press,
2006)

6
Singkatnyanya sangat jelas dalam beberapa penelitiannya yang lain, rosen
ingin menegaskan bahwa, ketika nilai-nilai hukum tersebut tidak melebur dalam
aspek budaya, maka ruh dari hukum yang dijalankan menjadi
21
kering.
Di sisi lain terhadap pengembangan penelitiannya dalam budaya
masyarakat muslim, secara khusus kelihatannya Rosen menyimpulkan beberapa
hal penting mencakup keadilan sebagai kesetaraan, timbal balik personalisme
terstruktur, ambivalensi terhadap kekuasaan dan proferti sebagi kepercayaan
kolektif.22
Keadilan sebagai Kesetaraan ini, bahwa dalam banyak dunia Arab keadilan
berarti kesetaraan, bukan kesetaraan dalam arti memperlakukan semua orang
secara identik.23 Poin utama yang harus digasibawahi adalah bahwa orang yang
benar-benar adil — memang siapa pun yang telah mengembangkan kapasitas
penalarannya — memandang keseluruhan orang dan bertanya kepada semua
orang tidak hanya apa garis dasar sosial mereka tetapi juga apa yang telah mereka
lakukan di luarnya. Penempatan kategori adalah titik awal, sedangkan penilaian
individu adalah proses yang membutuhkan pengetahuan dan pengalaman.24
Keadilan, dengan demikian, tidak memasukkan perasaan kaku bahwa
setiap orang harus diadili berdasarkan asal-usul sosial mereka, tetapi hak mereka
untuk dinilai dalam hal bagaimana mereka mungkin telah mengatasi atau
menambah awal kategori mereka dalam rangka menerapkan kecerdasan mereka
sendiri.25
Timbal balik personlisme terstruktur maksudnya bagaimana memasangkan
keadilan sebagai keterikatan pribadi dalam jaringan kewajiban yang dapat ditempa
dengan jaminan bahwa pemerintah tidak akan mencampuri hubungan seseorang
sampai mengganggu atau tidak seimbang dalam negosiasi ikatan tersebut.26
Ambivalensi terhadap kekuasaan. Skeptisisme tentang yang kuat berbeda
dari keberadaan sejumlah cara di mana keraguan sistemik seperti itu sebenarnya
dilembagakan dalam ritual dan praktik sosial. Membangun ambivalensi budaya
terhadap kekuasaan menjadi konstitusi dapat melibatkan berbagai mekanisme

21
Ibid, h. 17
22
Lawrence Rosen, Islam and The Rule of Justice, Op.cit, h. 245
23
Ibid, h. 245
24
Ibid, h. 232
25
Ibid.
26
Ibid, h. 247

7
yang sangat luas, dari rotasi jabatan hingga melembagakan siklus pemilu dan
terlibat dalam redistribusi melalui bentuk perpajakan. Negara-negara Arab telah
mencoba berbagai cara untuk membatasi kekuasaan: Beberapa telah
mengamanatkan batas masa jabatan, pemilihan dengan perwakilan proporsional,
reservasi sejumlah kursi parlemen untuk segmen masyarakat yang berbeda, dan
sebagainya. Kekuasaan mungkin secara signifikan dilimpahkan ke daerah-daerah
lokal bukan sebagai cara untuk menunda perbedaan etnis atau pengakuan agama
tetapi sebagai cara untuk menekankan domain di mana adat dapat mengatur isu-
isu spesifik.Ada orang-orang yang berpendapat bahwa konstitusi Irak dan Tunisia,
misalnya, salah dalam memberikan derajat otonomi lokal, sementara yang lain
menyatakan bahwa ketidakhadirannya di Afghanistan akan menjadi kesalahan
besar.27
Properti sebagai Kepercayaan. Tanah dan sumber daya publik perlu
dikonseptualisasikan sebagai aset publik, bukan dalam arti bentuk-bentuk
sosialisme yang dicoba di Aljazair atau Mesir tetapi sebagai mampu
didistribusikan ke berbagai individu, kelompok, dan lembaga. Beberapa bentuk
kepemilikan kolektif memiliki akar yang mendalam di beberapa bagian dunia
Arab. Orang-orang Arablah yang, dalam pengembangan hukum air, menetapkan
prinsip-prinsip penggunaan yang bermanfaat dan yang mencari, dalam
kepercayaan yang mematikan ( wakaf ), kendaraan untuk mengamankan
tanggungan dan membuat frustrasi penggusuran mereka yang berkuasa.28
Pada bagian akhir Rosen memberikan penilaian bahwa bentuk penalaran
hukum kasus yang diinspirasikan oleh Islam juga tidak mencari sebagai tujuan
akhir dari tindakan yang dapat direplikasi yang meruntuhkan perbedaan temporal
antara masa lalu dan masa kini menjadi suatu keseluruhan yang abadi, sanksi
agama. Sebaliknya, hukum Islam berfokus pada prosedur sehingga
memungkinkan perbedaan berkembang, pemukiman menjadi bervariasi,dan
kemampuan untuk menegosiasikan hubungan menjadi titik asal mula kebebasan
daripada menjadikan kebebasan bermanuver sebagai ancaman terhadap hasil yang
seragam. Akibatnya, supremasi hukum lebih merupakan supremasi keadilan di
mana keyakinan akan timbal balik dapat memeriksa dominasi ekonomi dan

27
Ibid, h. 249
28
Ibid, h. 251

8
keyakinan untuk diadili karena seluruh orang diakui sebagai hak yang dipegang
terhadap seluruh dunia.29

Analisa Pemikiran Lawrence Rosen


Pembicaraan tentang hukum hampir tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan mengenai keadilan. Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai
ideal dalam pembuatan maupun pelaksanaan hukum, meskipun sebagai
konsep yang abstrak keadilan seringkali dipahami tanpa batasan yang
jelas. Perkembangan pemikiran hukum Islam pun tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi keadilan.
Ibnu Qayyim merumuskan sebuah gagasan menarik, yaitu bahwa
syariah adalah keadilan dan keadilan adalah syariah. Qayyim menolak
sebuah pemilahan wilayah antarasyariahdansiyasah. Pemilahan wilayah
tersebut ia pandang tidak tepat karena syariah dan siyasah adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan secara hitam-putih. Qayyim menyetujui sebuah
pemilahan antara keadilan dan kezaliman. Keadilan adalah bagian atau bahkan
syariah itu sendiri, sedangkan kezaliman bukan termasuk bagian syariah.30
Qayyim tidak sendiri dalam cara pandang itu, karena keadilan disepakati para ahli
hukum Islam sebagai sebuah nilai ideal. Sejalan dengan gagasan keadilan di
bidang hukum, keadilan dalam bidang politik, ekonomi, soial masyarakat dan
keilmuan31 dalam Islam pun dijadikan nilai ideal. Salah
satu kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi politik Islam adalah yang adil.
Pada kondisi yang darurat, kriteria keadilan itu bisa diterapkan lebih luas.
Keadilan mendapatkan tempat yang besar dalam ajaran Islam sehingga dipandang
sebagai idiom khas agama Islam, sebagaimana kasih sayang dalam ajaran
Nasrani.32

29
Ibid
30
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai’ al-Fawaid. Juz II, (Beirut: Dar alKutub al-’Ilmiyyah,
1994). h. 121.
31
Kriteria adil dalam bidang keilmuan dapat dijumpai dalam periwayatan hadits. Kriteria
perawi hadits adalah adil dan dlabith. Adil menujukkan kepada kualitas-kualitas moral yang harus
dimiliki oleh seorang perawi. Kualitas-kualitas moral tersebut mencakup menjaga ketakwaan
(menjauhi perbuatan-perbuatan tercela) dan muru’ah (keperwiraan). Adapundlabith menyangkut
kredibilitas yang bersifat praktis. Perawi harus kuat ingatannya agar apa yang ia sampaikan
memiliki validitas yang akurat. Lihat dalam al-Tahanawi. Qawa’id fi Ulum al-Hadits, (Beirut:
Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah. 1972), h. 33-34.
32
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective On
Islamic Law and Society, (Oxford: Oxford University Press. 2000), h. 155

9
Keadilan dan hukum ibarat dua sisi dari satu mata uang. Masyarakat selalu
menilai hukum sebagai adil atau tidak adil, dan sebaliknya selalu melihat keadilan
dalam perspektif tertib (order). Hubungan antara hukum dan keadilan itulah yang
kemudian menjadi obyek perbincangan para ahli hukum. Sebagian ahli hukum
mendefinisikan hukum dalam perspektif keadilan sehingga hukum yang tidak adil
tidak ada. Pandangan demikian bermasalah karena dalam kenyataannya ada
hukum-hukum yang tidak adil namun tetap berjalan. Para ahli hukum alam
meletakkan penekanan pada hukum dan melihat keadilan hanya semata dekorasi
hukum. Pendapat itu didasarkan pertimbangan bahwa hukum tidak mungkin tidak
adil karena istilah adil hanya dapat didefinisikan berkaitan dengan hukum.33
Teori-teori hukum Islam memang tidak memilah secara tegas antara
hukum positif dan moralitas.34 Kepercayaan kepada Tuhan mengandung
unsur hukum, berupa perintah dan larangan yang terejawantah dalam
al-ahkam al-khamsah.35 Keadilan dapat diketahui melalui kehendak
Tuhan karena Tuhanlah sumber kebenaran. Gagasan keadilan dalam
hukum Islam merepresentasikan pandangan yang mengaitkan keadilan
dengan kebenaran. Bertindak adil adalah bertindak secara benar.
Mencari keadilan sama dengan mencari kebenaran.36 Kebenaran adalah
representasi dari kehendak Tuhan kepada manusia yang dijabarkan
melaluial-ahkam al-khamsah, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan
haram. Keadilan substansif dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan
kehendak pembuat syara’ (Allah) terhadap manusia, baik kehendak
tersebut dipahami melalui deduksi logis (kaedah lughawiyyah), deduksi
analogis (qiyas), atau deduksi dari kaedah-kaedah umum syariah (almaqhashid
al-syariyyah).
Berkenaan dengan penelitian Rosen, haruslah diakui bahwa penjelasannya
tentang hukum dan keadilan merupakan salah satu pemikiran teribaik dalam
menepis pandangan keliru dan menganggap hukum Islam sebagai sistem Hukum
33
W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1955) h. 69-70
34
Lihat hubungan antara hukum Islam dan moralitas dalam Manzoor Ahmad. Morality and
Law, (Karachi: Asia Printers and Publshers. 1986) h. 79-94. Interdependensi antara hukum dan
moralitas, dan agama yang tampak dalam hukum Islam sering mengesankan bahwa hukum Islam
tidak memiliki pengertian hukum sebagai hukum positif.
35
al-ahkam al-khamsah adalah lima kriteria hukum yang menjadi ukuran bagi tindakan
manusia, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, danharam.Al-ahkam al-khamsah membentuk
ukuran hukum dan moralbagi umat Islam. Penjelasan lebih lanjut baca dalam Abdul Wahhab
Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. (Beirut: dar al-Qalam. 1978), h. 105-112.
36
Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni. 1986) h. 51-52

10
yang kaku, yang diikat oleh teks-teks formula. Bahwa dalam penerapan hukum
untuk mewujudkan keadilan, pada prakteknya selalu memperhatikan norma sosial
dan budaya yang berkembang pada lingkup masyarakat muslim, bahkan budaya
Islam dianggap sebagai asupan dasar struktur konstitusi dan reformasi hukum
yang telah dilakukan oleh banyak negara Muslim sebagaimana contoh-contoh
praktek penegakan hukum yang telah dia kemukakan. Hai ini sejalan dengan
penegasannya bahwa keadilan hanyalah sebuah metafora, karena tidak ada
perumpamaan atau analogi yang pada akhirnya dapat menentukan dengan tepat
apa itu keadilan. Keadilan hanya dapat ditemukan ketika mereka mampu
menyelaraskan keputusannya dengan budaya yang berkembang ditengah
masyarakat itu sendiri. Bahkan lebih tegas lagi Rosen menilai bahwa masyarakat
Arab menekankan bahasa keadilan, baik dalam menilai keadaan dasar, karakter
dan usia seseorang, sehingga nampak jelas bahwa sentiment individu dan kolektif
orang Arab merupakan bagian integral budaya masyarakat yang sejalan dengan
teorinya bahwa hukum merupakan bagian integral dari budaya, dan budaya untuk
hukum.
Dalam hukum Islam adat kebiasaan masyarakat memang dapat menjadi
hukum, sejalan dengan salah satu metode penetapan hukum Islam sesuai dengan

kaidah ‫محكمة‬ ‫العادة‬,37 namun tidak semua adat kebiasaan dan budaya masyarakat
menjadi hukum, mengingat dalam hakum Islam juga harus mematuhi norma-
norma hukum ketuhanan. Perintah dan larangan dalam hukum Islam haruslah
sejalan dengan ketentuan syariat Islam yang dibawa oleh sang Nabi Muhammad
pembawa risalah. Semua ketetapan hukum dan kesimpulan hukum dalam Islam
melalui berbagai macam metode Istimbat hukum dalam mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan baik kaidah perumusan hukum maupun metode ijtihad 38 haruslah
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber pokok
dalam Hukum Islam.
Representasi contoh-contoh penerapan hukum yang disebutkan Rosen,
merupakan refleksi atau jawaban atas penyelesaian berbagai masalah dan tuntutan
37
Lihat: Amir Syarifuddin, Usuhul fiqh 2, (Jakarta: Kencana Prenadamedia grup, 2008), h.
418
38
Kaidah Perumusan Hukum disebut juga qaidah ululiyah merupakan kaedah bayani, atau
kaedah kebahasaan seperti lafaz ‘am dank has, dilalah, amar dan nahi, mafhum mantuq dan
lainya. Metode isthimbat atau ijtihad seperti Istihsan, maslahah mursalah, istishab, adat atau ‘urf,
madzhab shahabi, syar’u man qablan, saddu al Zari’ah dan lain-lain. Lihat: Amir Syarifuddin,
Ibid, h. 1 – 459, Lihat Pula: Rachmat Syafi’I, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.
97 - 343

11
hukum dalam mewujudkan keadilan yang terjadi dari masyarakat muslim sesuai
dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat. Hal tersebut tentu saja sejalan
dengan persepsi praktisi hukum dan hakim dalam menterjemahkan hukum Islam
sesuai dengan kaidah dan metode Istimbat hukum Islam, karena tidak ditemukan
pada contoh-contoh penerapan hukum itu yang bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan hukum Islam.

Penutup
Penulis ingin mengatakan bahwa syariat adalah kultur, bahwa hukum islam
yang sudah hidup, tumbuh dan berkembang serta membudaya dalam praktek dan
tradisi masyarkat muslim adalah citra / potret atau gambaran dan kenyataan
hukum Islam yang mengalir di mayarakat. Adapun gap atau pertentangan yang
terjadi mengakibatkan ketidakadilan, adalah kenyataan bahwa masih banyak
masyarakat muslim yang kurang memahami hukum Islam secara inklusif dan
menyuluruh. Sehingga diperlukan penengah atau hakim yang mampu
menyelesaikan berbagai pertentangan kepentingan sesuai dengan tuntunan dan
norma-norma keadilan bardasarkan hukum Islam. Sebagai pengganti Sang Nabi
dalam menterjemahkan hukum Tuhan untuk membangun budaya dan peradaban
manusia. Keadilan tentu saja akan terwujud ketika para penengah, tokoh agama,
tokoh masyarakat, para hakim dan praktisi lainnya mampu menterjemahkan,
menerapkan, menegakkan hukum sebagaimana para nabi menterjemahkan hukum

Tuhan, sejalan dengan pernyataan Nabi ‫ إنما بعثت لتأمم مكارم الخألقا‬39 dan
‫ بعثت بالحنيفية السمحة‬40 serta firman Allah ‫مافرطنا فى الكتاب من شيء‬.41

Daftar Pustaka

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: dar al-Qalam. 1978
al-Tahanawi. Qawa’id fi Ulum al-Hadits, Beirut: Maktabah al-Matbu’at al-
Islamiyyah. 1972
Amir Syarifuddin, Usuhul fiqh 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia grup, 2008
Angkasa, Filsafat Hukum, Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010

39
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan imam lainnya dari Abu Hurairah. (Lihat Al-
Bukhari, kitab al-Akhlaq : 273)
40
AL HANIFIYAH AL SAMHAH - Lihat: Ibnu Hajar al-Asqhalani , Fathu Bari Syarah
Sohih Bukhari 1/244,
41
QS. Al-An’am/6: 38

12
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan
Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing,, 2010
Bahder Johan Nsution, Hukum dan Keadilan, Bandung: Mandar Maju, 2015
https://anthropology.princeton.edu/people/emeritus-faculty/lawrence-rosen
https://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_Rosen_(anthropologist)
https://www.macfound.org/fellows/88/
Ibnu Hajar al-Asqhalani , Fathu Bari Syarah Sohih Bukhari
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai’ al-Fawaid. Juz II, Beirut: Dar alKutub
al-’Ilmiyyah, 1994
Imam Bukhori, Shahih Bukhari
Lawrence Rosen, Islam and The Rule of Justice: Image and Reality in Muslim
Law and Culture, Chicago; London: The University of Chocago Press, 2018
Lawrence Rosen, Law as Culture: An Invitation, New York: Princeton University
Press, 2006
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective On
Islamic Law and Society, Oxford: Oxford University Press. 2000
Manzoor Ahmad. Morality and Law, Karachi: Asia Printers and Publshers. 1986
Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam, Surabaya: Pustaka
Eureka, 2005
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam
Tanya Jawab,Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015
Rachmat Syafi’I, Ilmu Usul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2015
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni. 1986
W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press.
1955

13
SYARI’AH SEBAGAI KULTUR
(KAJIAN HUKUM DAN KEADILAN DALAM PENDEKATAN
ANTROPOLOGI MENURUT LAWRENCE ROSEN)

Makalah Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas


Metode Pendekatan Pemahaman Hukum Islam (Inter, Multidisipliner, dan Transdisipliner)
Semester Genap 2018/2019

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Akh. Fauzi Aseri, MA (Koordinator)


Dr. Zainal Fikri, M.Ag
Dr. Mujiburohman, M.A

Diajukan oleh:

Hairul Anwar
NIM: 180311020050

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


PROGRAM DOKTOR ILMU SYARI’AH
TAHUN 2019

14

Anda mungkin juga menyukai