Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Agama sebagai objek kajian tentu saja tidak bisa dilakukan dengan hanya mengandalkan
satu pendekatan saja, sebab agama memiliki dimenasi-dimensi unik yang dapat dilihat dalam
beragam perspektif atau pendekatan. Studi keagamaan selalu memberikan kecenderung yang
beragaman dalam upaya memahami realitas keberagamaan sebagaimana yang banyak dilakukan
para sarjana dalam lintas disiplin keilmuan. Menyadari entitas agama yang disebut, maka tentu
upaya studi keagamaan dengan beragam pendekatan tentu merupakan sebuah keniscayaan dalam
upaya untuk memahami agama dalam kerangka pendekatan yang beragama sebagaimana yang
dilakukan para sarjana sosial yang berupaya menggunakan perangkat ilmu sosial dalam upaya
mengkaji keagaman, termasuk menghubungkan disiplin keilmuan tertentu dalam upaya
memahami gejala atau fenomena yang berkaitan dengan keagamaan.
Tulisan ini merupakan resume dari buku yang diedit oleh Pater Connolly yang berupaya
mengumpulkan ragam pendekatan yang digunakan dalam upaya memahami agama atau lebih
praktis disebut keagamaan. Secara teknis, tulisan ini memberikan ringkasan terhadap beberapa
artikel yang ditulis berbagai sarjana dengan pendekatan disiplin keilmuan masing-masing dalam
upaya mendekati dan memahami realitas keberagamaan. Agama yang dimaksud di sini tentu saja
merujuk pada semua tradiri keberagamaan karena prinsip umum yang digunakan merujuk pada
nilai umum yang dimiliki semua agama, walaupun tentu saja ditemukan kesan konteks yang
dilihat dalam tulisan ini berdasarkan pengalaman Kristen di Barat, tetapi ini juga berlaku pada
agama-agama yang ada di Timur. Selain itu, penting juga dikemukan bahwa buku ini sebenarnya
merupakan referensi bagi mahasiswa peminat kajian keagamaan, maka tentu mengikuti
kecenderungannya buku ini lebih sebagai sebagai pengantar dalam studi keagamaan.
Sesuai dengan

judulnya buku ini menyajikan beragam pendekatan yang

digunakan dalam upaya memahami agama. Buku ini terdiri atas tujuh artikel yang cukup panjang
dan fokus tujuh dalam upaya memperkenalkan pendekatan yang paling banyak digunakan dalam
mengkaji agama, walaupun titik tekan berbeda, tetap tetap satu objek kajian, yaitu agama. Semua
pendekatan yang diterapkan merupakan pendekatan luar (outsider approaches), kecuali teologi
yang cenderung berisifat dari dalam (insider). Ragam pendekatan yang dmaksudkan supaya
pengkaji agama dapat lebih terbuka (open mind) melihat agama sebagai objek kajian yang luas.
Untuk itu, sebagai sebuah perdebatan yang tidak bisa dihindari ketika agama didefinisikan dalam
ruang istilah tertentu, maka Cannolly mencoba mencakup semua definisikan yang dikemukan
1

para ahli dengan mengatakan bahwa agama merupakan berbagai keyakinan yang mencakup
penerimaan pada yang suci (sacred) wilayah transempiris dan berbagai perilaku yang berkaitan
untuk mempengaruhi relasi seseorang dengan wilayah transempiris tersebut.
Pendekatan Antropologis (David N. Gellner)
Pendekatan antropologi dalam studi agama beranjak dari konsep kuncil antropologi
modern yang diyakini mampu menyajikan pendekatan yang holisme, yakni pandangan bahwa
praktek sosial harus diteliti dalam konteks yang lebih esensial sebagai praktek yang berkaitan
dengan masyarakat sebagai objek yang dikaji. Menyadari hal ini tentu para antropolog harus
melihat agama dan praktek yang lebih luas, terutama dalam realitas kehidupannya seperi
pertanian, kekeluargaan, dan politik, magik dan pengobatan yang terlibat secara bersama-sama,
walaupun sebenarnya agama tidak bisa dilihat dalam sistem otonom disebut yang tidak memberi
berpengaruh pada praktik sosial lainnya.
Pendekatan antropologi ini sebenarnya di kalangan antroplog terjadi perbedaan
pandanganyang seakan tidak bisa didamaikanbagaimana seharusnya agama didefenisikan
dan dimaknai. Contoh menarik disebut, misalnya Tylor meyakini bahwa keyakinan pada ada
yang spiritual. Berbeda dengan Tylor, Spiro berpandangan bahwa sesuatu institusi yang terdiri
dari interaksi yang dipola secara kultural dengan adanya di luar manusia yang dipostulasikan
secara kultural merupakan esensi dari agama. Sarjana belakangan seperti Southwold mencoba
memberikan rincian tentang perbedaan antropolog dalam mendefenisikan agama ini dengan
beberapa kategori umum, di antaranya: 1) Concern pada sesuatu yang Ilahiah dan hubungan
manusia dengan-Nya; 2) Dikotomi elemen dunia menjadi sacred dan profane dan perhatian
utama pada sacred; 3) Orientasi pada keselamatan dari keadaan biasa dalam kehidupan duniawi;
4) Praktek-praktek ritual; 5) Keyakinan yang tidak dapat ditujukan secara logis atau empiris, atau
sangat mungkin tetapi harus ada sebagai dasar keimanan; 6) Suatu kode etis yang didukung oleh
keyakinan-keyakinan itu; 7) Sanki supernatural karena terjadi pelanggaran terhadap kode
tersebut; 8) Mitologi; 9) Adanya suatu kitab suci atau tradisi oral yang mulia; 10) Adanya
kependekataan (nabi) atau spesialis elit keagamaan; 11) Berkaitan dengan suatu komunitas
moral, suatu gereja (dalam pemahaman Durkheim) dan 12) Ada kaitannya dengan kelompok
etnis atau kelompok yang sama.

Contoh penelitian antropologi menarik disebut dilakukan Middleton tentang agama


Lugbara di Uganda dan Zaire. Penelitian ini dilakukan sekitar tahun 1949-1952 dengan
menggunakan pendekatan etnografi dalam upaya memahami realitas agama Lugbara tersebut.
Penelitian lain yang juga penting dilakukan Roben Horten, antropolog British dalam karyanya
African Traditional Thougth and Western Science, secara khusus membahas tentang cara-cara
di mana agama-agama Afrikan dan ilmu Barat satu sama lain saling berbeda dan memiliki
kemiripan. Lebih lanjut Horten, menyimpulkan bahwa meskipun agama-agama di Afrika
berbeda, tetapi mampu dijelaskan melalui sains yang berfungsi sebagai pengontrol dan
memprediksi dunia natural karena sains bersifat terbuka sementara keagamaan tradisional
cenderung tertutup.
Perkembangan belakangan antropolog mengembangkan penafsiran terhadap peristiwa
yang terjadi pada agama yang ada di masyarakat. Antropolog yang cukup masyhur dalam hal
yang disebut adalah Clifford Geertz, ia memperkenalkan istilah thick description (deskripsi
tebal) untuk mendeskripsikan apa yang sedang dikerjakan masyarakat harus ditafsirkan apa yang
mereka pikirkan, apa yang mereka kerjakan tidak dapat dideskripsikan dari luarnya (outside).
Contoh menarik dikemukan misalnya tentang puja (penyembahan) yang berlaku pada
masyarakat Jainis, India merupakan suatu deskripsi tipis akan menggambarkannya bahwa
seseorang datang kepada patung dan meletakkannya bahan tertentu seperi makanan, bunga, air
dan lainnya sebelum pemujaan. Berdasarkan hal ini, peneliti kemudian menyimpulkan dengan
menggunakan asumsi yang diambil dari budaya peneliti sendiri bahwa seseorang yang datang
menyembah Jain yang suci, yakni patung itu sendiri, terlibat dalam suatu dialog atau doa
dengannya dan memohon sesuatu kepadanya.
Begitu juga penelitian yang tepat terhadap kontekssegala sesuatu yang biasanya
dilakukan dalam penyembahan Jaindan diskusi secara partisipatif dengan mereka akan
memungkin membuat deskripsi tebal. Tidak diragukan lagi akan panjang dan serba mencakup,
namun ikhtiar ringkasnya dapat diberikan sebagai berikut: orang yang melakukan penyembahan
sedang mengingat kualitas yang baik dari orang suci yang diyakini melampaui dunia ini
untuk memahami ini antropolog harus berada di lapangan dalam waktu yang lama, dan sedapat
mungkin menghargai penduduk lokal dan peristiwa yang ada untuk melaksanakan agenda
penelitian dengan menghindari pemaksaan pertanyaan agresif kapan pun juga dan menggunakan
observasi partisipatif.
3

Pendekatan Feminis (Sue Morgan)


Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis
dari perspektif teoritis yang ada sebelumnya dengan menggunakan gender sebagai kategorisasi
analisis utamanya. Para feminis religius seperti Anne Carr mencoba menyatukan satu keyakinan
bahwa feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan
kehidupan kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian
pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam yang didasarkan pada
banyak pandangan interdisipliner seperti antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan
utama dari tugas feminisme adalah mengidentifikasi sejauhmana terdapat persesuaian antara
pandangan feminisme dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaiamana menjalin
interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.
Dalam perkembangannya, feminisme dalam agama dikenal dengan sekitar abad ke 19,
terutama ketika itu didominas dua isu utama, yaitu perdebatan tentang persamaan akses terhadap
jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme injil. Selain itu, menguatnya feminisme berkaitan
dengan kemajuan gerakan perempuan sekuler yang menyebabkan meningkatnya kesempatan
dalam pendidikan dan pekerjaan, yang berakibat memunculkannya feminis religius Inggris dan
Amerika. Penguatan gerakan feminisme ini juga terlihat dalam tuntutan perempuan terhadap
otonomi spiritual yang banyak ditemukan dalam sekte-sekte yang dibangun perempuan seperti
Shakers yang didirikan oleh Ann Lee atau gerakan gerakan Sains Kristen Mary Baker Edy,
walaupun tentu saja gerakan feminis religius ini mendapat perlawanan dari kelompok feminisme
liberal yang secara tegas menentang ideal Injil tentang subordinasi dan demestifikasi perempuan,
serta kelompok ini juga menuntut adanya kesetaraan politik dan sosial.
Pada tahun 1890, teoritisi feminis liberal Amerika, Elizabeth Cady Stanton dan Mantilda
Joslyn Gage menghasilkan dua buah karya yang berisikan kritikan terhadap Injilyang
dianggap ketika merupakan kritikan yang paling tajam. Dalam konteks ini, Gage
memperlihatkan kesadaran yang tajam dari peran gereja dalam mendukung patriarki.
Menurutnya, sejarah Kristen semata-mata dibangun berdasarkan pada ketidakadilan jenis
kelamin dan ketidakberdayaan perempuan yang meliputi banyak hal. Dalam penjelasanya, Gage
menyakan bahwa perempuan juga diciptakan dalam image ketuhanan, maka meniscayakan
repsentasi simbolik sama yang lebih dahulu menjadi perdebatan feminis religius kontemporer
yang signifikan hampir selama 100 tahun lamanya.
4

Memasuki abad 19, para feminis membangun analisis yang mereka tawarkan
beradasarkan mainstream gerakan perempuan, sehingga para sarjana agama perempuan
kontemporer menerima dorongan ideologis yang sangat besar dari persoalan yang dimunculkan
oleh gelombang feminisme kedua tahun 1960 dan 1970. Sebagaimana pendekatan teoritis pada
pendahulunya, proyek kritis feminsime kontemporer dimulai dengan pembahasan yang
komprehenshif terhadap misoginitas agama Barat terhadap perempuan. Pada tahap analisis,
feminisme tidak hanya mendokumentasikan sumber- agama yang memiliki persepsi distortif
terhadap perempuan, tetapi juga berusaha mengemukan alasannya. Salah satu teori eksplanatoris
yang paling berpengaruh dikemukan Rosemary Radford Reuther, menyatakan bahwa
pencemaran keagamaan terhadap perempuan bergantung pada serangkaian kesalahan teologis
dan dualisme antropologis. Sarjana lain yang cukup berpengaruh dalam kajian feminisme awal
ini adalah Carol P. Christ dan Judith Plaskow, mereka dalam penelitian menemukan adanya
ketegangan yang berlangsung begitu jauh dalam teologi feminis didasarkan pada sikap yang
berbeda terhadap pengalaman perempuan, siginfikansi sejarah masa lalu dan inti simbol
keagamaan. Ketegangan ini menggambarkan perbedaan klasik dalam teori feminis apakah untuk
tujuan kesetaraan dan pembedaan. Feminis reformis dalam upaya mengkonstruksi turut
menerima tradisi keagamaan cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki perempuan
dalam kerangka kerja dengan pembebasan esensial antara jenis kelamin, menyerukan kembali
prinsip feminis sebagai akhir dominasi patriarki.
Pandangan kritis tentang tentang feminis awal membawa pada tahap rekonstruksi
komprehensif terhadap kategori utama pemikiran keagamaan. Tercatat sejak tahun 1980,
pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan
sumber materil baru dan digunakan paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru untuk
memperbaiki model androsentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengamalaman
perempuan di dalamnya. Penelitian Daly tentang korelasi antara simbolisme keagamaan
maskulin secara ekskusif dengan kekuatan laki-laki temporal, secara serius diambil oleh feminis
reformis dengan pemahaman ganda terhadap image deikemampuan yang sama antara laki-laki
dan perempuan dalam menggambarkan image Tuhan secara penuhdan suatu apresiasi suatu
watak metaforis bahasa teologis.
Perkembangan belakangan, menunjukkan bahwa munculnya suara perempuan dari
seluruh dunia, bagi kalangan kesarjanaan feminis kontemporer memunculkan tantangan
5

tersendiri secara metodologis karena penguatan tersebut menuntut suatu konsep analitis kunci
untuk menggabungkan pengalaman perempuan yang khas dari berbagai status etnis yang ada.
Serangkaian perdebatan tidak bisa dihindari untuk perbaikan kategori teoritis tersebut dalam saat
yang bersamaan antara pengalaman perempuan dan patriarki yang juga disertasi berbagai
tuduhan etnosentrisme dan imprealisme yang dilancarkan oleh kecenderungan banyak feminis
religius untuk menggambarkan pengalaman perempuan. Sebagai suatu koreksi penyeimbang
terhadap studi agama yang berpusat pada laki-laki, analisis feminis selanjutnya dimodifikasi
dengan tumbuhnya perhatian kritisisme diri (self-critical attention) terhadap kelas, ras dan
daerah tertentu.
Begitu juga suatu pendekatan yang lebih inklusif terhadap studi gender dalam agama
untuk menghindari persoalan ghettoization (pembuatan kategori artifisial terpisah dari yang lain)
yang dihadapi feminis menjadikan perempuan sebagai satu-satunya fokus substansi kajiannya.
Kutub ekstrim kesarjanaan feminis reformis dan radikal sama-sama tidak efektif karena terlalu
banyak menitikberatkan pada integrasi dan persamaan yang menafikan potensi perubahan,
sementara terlalu banyak menekankan pada pemisahan dan kekuasaan perempuan yang secara
sederhana membalikkan struktur kekuatan, atau menolak sisi yang cukup menguntungkan dalam
diri perempuan sebagai titik tolak melanjutkan perjuangan. Selama dua abad yang lalu, studi
agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas seksisme dalam setiap aspek
kajian keagamaan teologis.
Pendekatan Fenomenologis (Clive Erricker)
Pendekatan

fenomenologi

berkaitan

khsus

dengan

tugas

fenomenolog

untuk

menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap
pemahaman tentang humanitas dengan cara yang positif. Pendekatan fenomonologis awalnya
merupakan upaya untuk membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Hegel
disebut sebagai orang yang meletakkan landasan fenomenologis dalam karya yang berpengaruh
The Phenomenology of Spirit (1806). Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manispestasi (erschinungen). Tujuan Hegel
menunjukkan ini bahwa seluruh fenomena membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena
dalam berbagai keberagaman, bagaimanapun didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar
(geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi menjadi unsur
6

dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keberagamaan pada dasarnya mesti dipahami
sebagai suatu realitas transenden yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dilihat dalam dunia.
Pengaruh lain yang membentuk fenomenologis ini adalah filsafat Edmun Husserl, walaupun
sebenarnya ia sendiri tidak membahas agama, tetapi konsep yang didasari pada karyanya
dianggap menjadi titik tolak metodologis yang bernilai pada studi fenomenologis terhadap kajian
agama.
Sebagaimana model pendekatan lainnya, fenomenologi juga memunculkan perdebatan
kritis yang terus menerus berlangsung dan beberapa fenomenolog yang berupaya mengikuti
pendekatan deskriptis yang lebih sederhana. Sejauh ini, ada beberapa sarjana penting yang
berkaitan dengan fenomenologi, yaitu Van der Leeuw, ia mendasarkan pada beberapa disiplin
tentang filsafat dan psikologi hingga antropologi, sejarah dan teologi dalam mempertautkan
antara agama dan seni. Hasilnya, pendekatan yang dihasilkan merupakan pendekatan yang
komplek dan luas, tetapi mudah dipahami. Dia menyadari akan kesulitan metodologis, maka ia
menyebut ada beberapa kesadaran yang terus menerus berkembang bahwa realitas itu sangat
banyak yang menyiasakan sedikit harapan bahwa kita mungkin akan dapat menginterpretasikan
realitas semata-mata melalui prinsip dan metode tunggal yang ada.
Sarjana lain yang penting juga disebut adalah Nathan Soderblom dan William Brede
Kristensen merupakan sarjana yang cukup khas, ia merupakan seorang Kristen liberal yang
memiliki komitmendalam pengertian yang luasdibanding para sarjana lainnya yang satu
masa dengannya. Van Leeuw menganggapnya sebagai pelopor terjadinya perubahan arah dalam
sejarah agama karena pandangan yang teliti dan tajam serta mendalam tentang apa yang
tampak. Begitu juga, Kristensen melihat fenomenologi agama sebagai perangkap pendekatan
historis dan filosofis, tetapi dalam memahaminya ia memiliki tujuan yang berbeda. Menurutnya,
tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara sistematis tentang karakteristik
data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan
elemen esensial dan tipikal dari agama, maka di sini tugas deskriptif bukan interpretatif.
Fenomenologi adalah prasyarat bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama. Kristensen
juga menegaskan pentingnya memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman, suatu
prinsip yang menjadi aksioma dalam studi fenomenologi selanjutnya.
Sarjana lain yang juga memiliki kontribusi dalam kajian fenomenologi adalah Rudolf
Otto, ia berhasil meletakkan yang suci sebagai kategori a priori otonom sebagai suatu kategori
7

makna dan nilai. Ia mempostulasi otonomi agama sebagai hal yang berbeda dari wilayah
kehidupan lainnya dan dia memberikan dasar epistemologi terhadap pengetahuan keagamaan,
yang secara psikologis dapat disebut mencapai sensus numiris (pengalaman akan yang suci).
Pada tahapan ini, Otto telah berhasil memecahkan beberapa persoalan dasar yang mengganggu
studi fenomenologi, ia menyatukan sejumlah aliran dan pendekatan yang terpisah dengan
menganalisis pengalaman keagamaan dengan cara memasukkan subjektifitas yang menurutnya
bagaimanapun juga menjadi dasar studi objektif. Sejauh ini, sedikitnya ada 2 (dua) kategori
pendekatan fenomenologi, yaitu kategori fenomenologi yang concern melaksanakan suatu kajian
agama deskriptif dan kategori fenomenologi kritis yang menarik suatu teori yang tidak hanya
melibatkan dalam mengidentifikasikan pada serangkaian fenomenologi, tetapi membenarkan
signifikansi dengan melihat nilai pentingnya bagi kebermaknaan manusia. Pilihan yang lebih
baik adalah mengakui bahwa gagasan mengenai agama secara fenomenologi sesungguhnya
merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasarkan istilah yang dimilikinya sendiri
daripada berdasar sudut pandangan teolog atau ilmuan sosial.
Perkembangan pendekatan fenomenologi bagi Smart, dimulai dengan mengkaji
perkembangan tradisi keagamaan besar dan menerapkan suatu tipologi struktural yang
memungkinkan dalam studi komparatif. Kenyataan yang dikemukan membawanya pada suatu
pemahaman terhadap fenomenologi bahwa hubungan antara agama dan evolusi sosial mengubah
watak pada yang dikaji. Smart lebih lanjut, memperluas konteks kajian sehingga melampaui
batas tradisional dalam hal klasifikasi subjek penelitian. Sebagaimana hasil pemahamannya
bahwa pendekatan fenomenologi terbatas pada agama institusional dengan signifikansi global
menjadi pendekatan pandangan dunia yang menjangkau pemahaman religius dan non religius
dalam kaitan dengan persoalan eksistensial dan persepsi eksperiensial. Dari penyelidikan yang
telah dilakukan sedemikian jauh, kita dapat menyatakan bahwa fenomenologi sebagai suatu
gerakan dari penuntut status studi agama ilmiah dan bahwa keragaman klasifikasi, objek dan
metode kajian menunjukkan pluralitas fenomenologi di bawah satu disiplin. Merujuk pada
realitas yang disebut tidak ada kesepakatan yang konsisten mengenai hubungan yang tepat antara
informan teoritis pendekatan ini, baik mulai dari Husserl hingga Jung. Pendekatan kritis dalam
bidang sejarah agama atau studi agama yang bersifat ilamiah belum melampaui putusan historis
tentang pendekatan fenomenologi, tetapi perdebatan seputar nilai fenomenologi diberikan oleh
kritik baru, khususnya dalam bidang antropologi, filsafat dan studi kultural. Fenomoenologi telah
8

dikritik dari perspektif yang berlawanan karena ia menghindarkan diri dari tanggungjawab
mengidentifikasi kebenaran epistemologi sebagai dasar ditemukannya pengetahuan. Dapat
dinyatakan bahwa kelemahan utama kerja fenomenologi sebagai suatu kerja deskriptif yang
terfokus pada penelitian objektif, secara tepat mengalahkan dirinya sendiri karena
kecenderungan untuk mengelilingi pertanyaan ini.
Pendekatan Filosofis (Rob Fisher)
Pendekatan fiolosofis dalam studi agama memfokuskan pada problem koherensi dan
konsistensi yang terdapat dalam konsep Tuhan dan dasar-dasar yang mendukung keyakinan
keagamaan untuk justifikasi penyataan keagamaan yang mengemukan segala hal tentang makna,
orang, dunia dan Tuhan. Apa yang dikemukan menjelaskan bahwa akal dan rasionalitas hanya
membentuk salah satu aspek fenomena agama dan bahwa berbagai studi agama pada dasarnya
harus terkait dalam upaya mendeskripsikan, memahami keyakinan dan praktek yang dilakukan
dalam tradisi keagamaan. Pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan
penelitian dan penyidikan yang berfokus pada bagaimana ide dan konsep dalam sejarah filsafat
memungkin untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dari tentang doktrin atau memahami
pandangan para teolog secara lebih akurat.
Pendekatan filosofis dalam studi agama atau yang disebut teologi-filosofis ini
sedikitnya memunculkan 2 (dua) hal. Pertama, tidak mungkin membicarakan pendekatan
filosofis terhadap agama karena terdapat banyak pendekatan filosofis, maka sejak awal mesti
berhati-hati dalam mengidentifikasi secara pasti bentuk pendekatan mana yang digunakan.
Kedua, pendekatan yang digunakan bergantung pada konteks di mana orang itu melakukan
penelitian. Pada tingkat yang lebih luas, sepanjang persoalan yang berkaitan dengan filsafat,
pertanyaan yang selalu muncul adalah apa keterkaitan filsafat dengan agama, maka tentu filsafat
akan mengajarkan untuk berpikir, apa relevansi kajian filsafat dengan agama. Dalam masingmasing kasus, hubungan antara konteks bersifat implisit dan samar merupakan yang paling fatal
mengakibatkan masyarakat curiga dan menolak upaya filosofis dalam upaya studi agama.
Pendekatan filosofis dalam pengkajian agama membentuk persepsi umum yang
mengambil 3 (tiga) bentuk. Pertama, mengambil bentuk tuduhan tentang ketidakrelevanan,
perselihan dan perdebatan filosofis tidak berhubungan dengan realitas, tetapi lebih terfokus pada
argumen untuk menyatakan keadaan, menemukan kekeliriuan yang terdapat di dalamnya,
9

mencoba mengemukan ulang keadaan itu menemukan kekeliruan yang terdapat dalam ungkapan
ulang keadaan dan seterusnya. Kedua, persoalan relevansi dikaitkan dengan persoalan nilai guna
filsafat. Filsafat digunakan untuk apa? Filsafat membahas seluruh bentuk pertanyaan dan sama
sekali tidak pernah sampai pada jawaban atau kesimpulan. Dalam masalah nilai tidak dapat
dipisahkan dengan masalah bukti, sebab argumen selanjutnya berkaitan dengan masalah nilai
yang berkaitan juga dengan persoalan eksistensi Tuhan. Ketiga, merupakan konsekuensi dari
pemahaman akan ketidakmampuan filsafat menghasilkan kesimpulan yang tidak tegas, sebab
filsafat pada dasarnya adalah persoalan pribadi mengenai keyakinan dan pendapat yang
dipertahankan secara personal yang tidak bisa dipertentangkan. Pada dasarnya, filsafat tampak
tidak memiliki hubungan dengan agama, sebab titik concern-nya bahwa keduanya disatukan,
maka filsafat mendistorsi dan merusak apa yang menjadi inti agama. Sekalipun filsafat dan
agama bukan tidak saling berkaitan, keduanya harus dipisahkan. Dalam menanggapi persoalan
dikemukan Delferd menyatakan ketika mengkaji agama, tidak mungkin menghindari
penggunaan filsafat. Suatu pendekatan filosofis terhadap agama merefleksikan pertanyaan yang
muncul dalam pengalaman keagamaan pra-teologis dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata
lain, tugas filsafat adalah melihat persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor yang
menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius dan membahas bahasa yang
digunakan umat beriman dalam membicarakan keyakinan mereka. Begitu juga rasionalitas kerja
reflektif agama dalam proses keimanan yang menuntut pemahaman yang meniscayakan adanya
hubungan antara agama dengan filsafat.
Filsafat sebagai pendekatan dalam pengkajian agama dalam perkembagan awalnya
sebenarnya tidak terlihat kecenderungan ini karena para filosof Yunani tidak memasukkan atau
menghubungkan filsafat dengan agama. Pendekatan filosofis dalam mengkaji agama ini baru
terlihat dalam tradisi Judeo-Kristen yang berupaya menggunakan filsafat dalam memahami unsur
agama. Sedikitnya ada 3 (tiga) alasan yang berkaitan dengan yang dikemukan. Pertama, agama
Kristen menolak bila dijadikan suatu peribadatan lokal atau agama negara dan menuntut
kesetiaan yang sempurna dari setiap orang. Kedua, agama Kristen menolak mite politeistik
dengan menegaskan adanya Tuhan monoteistik dan universal yang memberikan penyelamatan,
khususnya diri Yesus Kristus. Ketiga, Tuhan ini adalah pencipta personal dan pengatur alam,
yang memberikan janji kebangkitan dan kehidupan abadi bagi yang mengimani Kristus.
Pendekatan filsafat dalam studi agama memunculkan persoalan serius, terutama dalam tentang
10

eksistensi Tuhan, yang mengakibatkan beberapa pemikiran yang mucul seperti bagaimana
memahami agensitas dan perbuatan Tuhan, persoalan tentang perbuatan Tuhan dalam sejarah,
persoalan tentang perbuatan Tuhan di alam yang memiliki implikasi pada hubungan ilmu dan
keyakinan keagamaan. Pada dasarnya, pendekatan filosofis dalam studi agama untuk
memberikan perangkat berpikir tentang sesuatu dan berbincang dengan lainnya.
Pendekatan Psikologis (Peter Connolly)
Psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam studi agama tentu saja penting terlebih
dahulu dijelaskan apa yang disebut psikologi agama (psychology of relogion) dan psikologi
keagamaan (relogius psychology). Psikologi agama mengacu pada penerapan metode dan data
psikologis ke dalam studi tentang keyakinan, pengalaman dan sikap keagamaan, sedangkan
psikologi keagamaan mengacu pada penggunaan metode dan data psikologi oleh orang yang
agamis dengan tujuan memperkaya dan atau membela keyakinan, pengalaman dan perilaku
keagamaan. Tentu ini merupakan pembedaan yang valid dan bermanfaat. Menyadarin hal ini,
terdapat kecurigaan baik di kalangan agamawan dan mainstream psikolog bahwa terdapat
kecenderungan yang terus menerus tentang terjadinya pelanggaran batas yang tidak semestinya.
Beberapa agamawan menganggap bahwa upaya menerapkan psikologi ke dalam agama tanpa
mengakui keunikan atau generis karakter agama merupakan kesalahan mendasar. Dari perspektif
ini, psikologi keagamaan yang oleh banyak orang dipahami sebagai teman agama, dilihat
meruntuhkan status unik agama dengan mencari penjelasan psikologis tentang agama yang
secara defenitif melampaui cakupan ilmu empiris. Dari sudut pandang psikologi non-religius,
karya-karya yang tampak masuk dalam kategori psikologi agama sesungguhnya dapat menjadi
karya psikologi keagamaan yang tersamar, lebih berusaha melunakkan pengaruh penelitian
psikologis tentang klaim keunikan fenomena keagamaan, dari pada menawarkan pandangan
psikologis tentang keunikan fenomena keagamaan.
Dalam perkembangannya, pendekatan psikologi dalam studi agama tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan berlangsung beberapa proses yang cukup panjang, terutama di kalangan
psikolog sendiri tidak semua meyakini agama sebagai sesuatu yang menarik dari aspek psikologi
atau ditemukan juga kenyataan bahwa adanya beragam kecenderungan psikolog itu sendiri, ada
yang taat beragama dan ada juga yang tidak beragama sama sekali. Beberapa karya penting yang
dianggap sebagai rintisan pendekatan psikologi dalam studi agama atau disebut juga psikologi
11

agama ditemukan pada beberapa sarjana seperti E.S. Ames, G.A. Coe, dan J.B. Pratt, G.H. Hall
yang secara khusus mendirikan sekolah psikologi agama pertama di Universitas Clark,
pendidikan yang dikembangkan ini dengan spesialisasi pendidikan moral dan keagamaan anakanak. Begitu juga beberapa karya yang dihasilkan seperti Starbuck tentang The Psychology of
Religion merupalan kajian tentang konversi keagamaan. Kemudian, karya yang sama juga
dihasilkan oleh Leuba melakukan penelitian tentang hal yang sama sebagai penguat kajian yang
ada sebelumnya. Belakangan yang disebut sebagai karya penting dalam bidang psikologi agama
ini dihasilkan oleh William James dalam karyanya The Principles of Psychology dan The
Varieties of Religious Experience yang dianggap sebagai teks klasik dalam bidang psikologi
agama. Beberapa pendekatan psikologi dalam mengkaji agama merepsentasikan spektrum
psikologi kualitatif lunak karena mengambil inspirasi teoritisnya dari pengalaman personal dan
penelitin klinis. Teori-teori yang ditemukan diuji dalam konteks psikologi terapi, bengkel
perkembangan individu, eksperimentasi individu dengan menginduksikan keadaan kesadaran
yang berubah.
Pendekatan Sosiologis (Michael S. Northcott)
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Dalam sosiologi, dipahami bahwa
agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial, maka Tuhan, ritual, nilai, keyakinan dan
perilaku merupakan bagian dari bentuk upaya memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek
dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Para psikolog mengkaji praktek
keagamaan untuk membuktikan hubungan institusi, struktur, ideologi, kelas dan perbedaan
kelompok yang dengannya masyarakat terbentuk. Sosiolog juga mencurahkan perhatiannya pada
studi kolektivitas religius sebagai mikro-kosmos masyarakat, di mana proses dan pola sosial
dapa diamati dengan jelas karena komunitas keagamaan yang tertutup seperti biara dan sekte
tertentu atau gerakan keagamaan baru.
Dalam sejarah pendekatan sosiologi dalam studi agama karya-karya penting founding
father sosiologi seperti Comte, Durkheim, Marx, dan Weber secara umum mengacu pada wacana
teologi atau perilaku atau sistem keyakinan keagamaan dianggap sebagai dasar utama
pendekatan sosiologi dalam studi agama. Belakangan, isu kebangkitan agama dalam konteks
global memberi ruang yang besar pada signifikansinya sosiologi dalam studi agama dalam
12

masyarakat yang berkembang. Konsekuensinya, studi sosiologi terhadap agama mulai keluar dari
garis tepi disiplinya dan memanifestasikan tumbuhnya minat pada mainstream sosiologi yang
memfokuskan perhatiannya di sekitar persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan sosial dan
protes sosial, globalisasi, nasionalisme dan postmodernisme. Secara khusus, menurut Durkheim
fokus sosiologi agama untuk menjebatani ketegangan dalam menghasilkan solidaritas sosial,
menjaga kelangsungan masyarakat ketika berhadapan pada tantangan yang mengancam
kelangsungan hidup. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat melalui deskripsi simbolik
umum mengenai kedudukan mereka dalam kosmos, sejarah dan tujuan mereka dalam keteraturan
segala sesuatu. Agama juga menskaralkan kekuatan atau hubungan yang terbangun dalam suku
karena agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat ke
dalam suatu proyeksi social bersama, sekumpul nilai dan tujuan social bersama. Karya Durkheim
memiliki pengaruh besar terhadap sosiologi agama yang dapat dilihat melalui versi tertentu dari
tesis sekularisasi. Pendekatan sosiologi dalam studi agama dapat diidentifikasi dalam beberapa
karakter, yaitu stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas; kategori biososial, seperti sek,
gender, perkawinan, keluarga, masa anak-anak dan usia; pola organisasi, seperti ekonomi,
pertukaran dan birokrasi, proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi
personal, penyimpangan dan globalisasi. Kategori yang disebut dalam studi sosiologi ditentukan
oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dam reflektif atas realitas empiris dari
organisasi dan perilaku keagamaan.
Pendekatan Teologis (Frank Whaling)
Studi keagamaan biasanya mencakup lima kategori yang saling melengkapi. Pertama,
mencakup tradisi besar, seperti Hindu, Budha, Kristen, Yahudi dan Islam; Kedua, mencakup
tradisi kecil seperti Jain, Sikh, Taoist, Zoroastrian; Ketiga, meliputi tradisi yang telah mati seperti
tradisi Timur Dekat, Gnostik, Manichaeans, Yunani-Romawi, dan lainnya; Keempat, meliputi
ritual dan simbol dalam kesukuan; Kelima, meliuputi gerakan keagamaan yang baru muncul
belakangan, khususnya abad modern; Keenam, meliputi pencampuran tradisi agama dengan
sekulerisme, nasionalisme, humanism dan lainnya. Secara khusus teologi memiliki perhatian
khusus pada gagasan transendensi yang dianggap tidak perlu diperdebatkan. Dalam studi
keagamaan titik fokus lebih kepada orang-orang yang beriman dan pengalaman atau keyakinan
ketimbang objek keyakinan. Teologi berkepentingan dengan transendesi per se, yang tidak
13

demikian halnya dalam lingkungan studi keagamaan. Dalam prakteknya, ada perbedaan yang
mendalam antara teologi dan studi keagamaan karena studi yang dilakukan lebih mendalam
menggunakan dua model disebut. Peran teologi dan implikasinya seperti yang berkembang di
dunia Barat, maka kerangka kerja ini didasarkan pada arketipe kunci, yaitu humanisme, Tuhan
dan alam.
Dalam konteks global, ada beberapa model teologi dalam studi agama, yaitu teologi
agama tertentu tidak menjadi kunci bagi rethinking keagamaan, studi agama memiliki tempat
dalam model yang disebut, studi agama dan teologi seakan menyadari bahwa keduanya memiliki
tugas dalam proses yang berlangsung dalam studi keduanya. Dalam menganalisis teologi agamaagama para sarjana agama terdapat beberapa perbedaan teologi dalam konteks tradisi agamaagama. Perbedaan ini bisa jadi merupakan perbedaan substansi atau perbedaan cara kerja teologi
(ways of doing theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi ini dapat bertepatan dengan
perbedaan lintas tradisi ayau justeru bersesuaian. John Hick mengemukan gagasan penting dalam
sikap teologi dalam tradisi keagamaan yang lebih luas, yaitu ekskusivisme, merupakan suatu
pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaan sendiri; inklusifisme,
suatu pandangan yang mengakui bahwa tradisi keagamaan lainnya memuat kebenaran, tetapi
puncak kebenaran tetap berada pada keagamaan yang diyakini; pluralisme, berpandangan bahwa
tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam keragaman konsep menganai yang sejati
(the real) dan memberi respon kepadanya.
Penutup
Ragam pendekatan yang dikemukan tentu saja menegaskan bahwa studi keagamaan telah
melahirkan berbagai disiplin ilmu baruyang belakang disebutcenderung mengkawinkan
atau menghubungkan ilmu sosial dalam studi agama seperti antropologi agama, fenomenologi
agama, filsafat agama, psikologi agama, sosiologi agama, dan lainnya. Selain yang
dikemukan tentu juga menegaskan bahwa studi keagamaan terus mengalami perkembangan
seiring perkembangan keilmuan yang berlangsung, maka tentu studi keagamaan sebagai sebuah
model pengkajian tidak dapat hanya dilihat dalam satu pendekatan saja, sebab agama sebagai
sebuah objekterkadang juga subjektersedia atau bisa diterapkan berbagai pendekatan dalam
upaya memahami realitas, fenomena, entitas dan lainnya dari subtansi agama itu sendiri.[]

14

Referensi
Peter Cannolly, ed., Approaches to the Study of Religion, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS,
2002)

15

Anda mungkin juga menyukai