Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

“KONTRIBUSI FILSAFAT BAGI KEMAJUAN ILMU MODERN”

NAMA KELOMPOK V :

1. ARIQ MUHAMMAD SYARIF (18640004)


2. DESY CAHYA NINGRUM (18640011)
3. ANIS DWI HIDAYATI (18640018)
4. OVI DIANAWATI (18640026)
5. M. NURMAN ARIFIN (18640034)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

FISIKA

2018/2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Filsafat hingga saat ini masih dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan kadang-
kadang diterapkan secara tidak tepat terutama di kalangan awam.Sebagian pihak ada yang
memandangnya sebagai suatu ilmu atau wacana luar biasa yang sangat tinggi kedudukannya, jauh lebih
tinggi dibandingkan maksud yang sebenarnya.Berdasarkan pandangan tersebut, filsafat menjadi sebuah
wacana atau ilmu pengetahuan yang hanya mungkin dilakukan dan dipahami oleh orang-orang yang
memilki keunggulan intelektual serta kebijaksanaan yang sangat tinggi.Jadi, dalam pemahaman ini, orang
biasa belum tentu dapat berfilsafat.Persepsi ini menempatkan filsafat sebagai pemikiran yang terlalu
abstrak dan tidak membumi untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.Pada umumnya,
penilaian terhadap hal tersebut tidak mempunyai manfaat praktis.1 (Wiramihardja, 2007)

Manusia pada waktu dilahirkan ke bumi tidak tahu dan tidak mengenal apa-apa yang ada
disekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal dirinya, kemudian mengenal
alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang berpikir, maka seketika itu ia mulai memikirkan
dari mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu, untuk apa sesuatu, kemudian apa manfaat sesuatu tersebut.
Sebenarnya pada ketika manusia telah mulai tahu dari mana asalnya, bagaimana proses terjadinya, siapa
dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena filsafat itu pada intinya adalah berusaha
mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik yang ada maupun yang mungkin ada, dari mulai mana
asal sesuatu, bagaimana sesuatu itu muncul dan untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu maka
akan muncul beraneka macam pandangan, pendapat dan pemikiran serta tanggapan yang akhirnya
menjadi suatu kesepakatan untuk diketahuisecara bersama-sama dan berlaku dilingkunganya.
Kesepakatan tentang sesuatu itu dan berlaku untuk umum sertamenjadi kebiasaan pada komunitasnya
secara turun temurun halitulah yang dinamakan tradisi, dari tradisi itulah berkembang menjadisuatu ilmu.
Seperti kalau mau menanam padi di sawah harus ada air,kemudian harus dipikirkan dari mana mengambil
air, bagaimanamenyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan ide untukmembuat kincir air atau
membuat saluran air ke sawah (irigasi), hal-hal yang seperti itulah yang akhirnya menjadi suatu ilmu.2

Terkadang manusia selalu mempersoalkan sesuatu apa pun, termasuk mengapa harus berfilsafat?
Banyak hal ditanyakannya, seperti benda, keadaan, hal konkret ataupun abstrak.Mengapa timbul
pertanyaan-petanyaan seperti itu?Hal tersebut karena filsafat seolah-olah mengherankan
sesuatu.Pertanyaannya pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa, seperti

1
Wiramihardja,S. A. Pengantar filsafat (Bandung:PT. Refika Aditama) (2007) diakses 08/10/2019.
2
Abbas .P. hubungan filsafat, ilmu, dan agama.(hubungan filsafat) (2010) diakses 08/10/2019.

2
pertanyaan tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat filsafati.Keheranan seperti itu
merupakan bekal bagi orang untuk berfilsafat, bahkan timbul pertanyaan yang tidak bersifat filsafati. Hal
ini penting karena dengan heran, orang akan bertanya sehingga ilmunya akan betambah lebih dalam.
Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam dan lebih luas, orang akan mampu menganalisis masalah dengan
lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan demikian, orang tersebut mampu
memahaminya, kemudian akan bertindak dengan benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang
akan membawa seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya. Masalah selanjutnya, yaitu mengapa harus
berflsafat?Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfilsafat atau sekedar bertanya secara
ilmiah, atau sesuai dengan bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat akan menemukan akar dan
hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita mengetahui terlebih dahulu
bagaimana berflsafat, atau lebih sederhananya apa filsafat itu.3

Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati, orang
tersebut tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu pengetahuan, di
samping perbincangan masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia patut memahami pengertian filsafat
secara dasar dengan tepat sehingga keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak akan terjadi. Tampaknya,
pertanyaan dan pemikiran yang sifatnya rasional merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk
hidup lainnya.Ia akan bertanya tentang segala hal. Untuk menjawab pertanyaannya, ia akan berusaha
mencari jawaban yang dapat memenuhi kebutuhan intelektualnya. Oleh karena itu, manusia berpikir
disebut sebagai a rationalanimal, animal rationale atau binatang yang mampu berpikir.Hal ini berlaku
apabila manusia dan hewan dikelompokkan ke dalam suatu golongan, dan tidak memperlihatkan
perbedaan yang esensial atau berbeda prinsip.Hal ini merupakan permasalahan dalam bidang antropologi
dan metafisika, khususnya yang menyangkut hakikat manusia.3

Berdasarkan dari pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan dipaparkan di
atas haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang sangat signifikan antara
filsafat dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, demikian pula halnya terjadi adanya hubungan antara
filsafat dengan agama dan hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga terjadi hubungan
yang saling terkait satu sama lainnya. Maka oleh karena itulah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, serta sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat pengetahuan manusia.Justru karena itu, maka dapat dikatakan

3
Wiramihardja,S. A. Pengantar filsafat (Bandung:PT. Refika Aditama) (2007) diakses 08/10/2019.

3
bahwa seluruh ilmu pengetahuan itu harus mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan
fungsional dengan filsafat.4

Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan pembahasan


mengenai ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal, termasuk diantaranya
mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan tersebut.Lantas kemudian orang
mulai dapat membedakan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, demikian pula halnya dapat
membedakan antara filsafat dengan agama, dan antara agama dengan ilmu pengetahuan.Penempatan
kedudukan yang berbeda, demikian pula perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang telah
disebutkan di atas seringkali menimbulkan berbagai macam sikap yang kurang atau bahkan tidak
menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena terjadi kesalahan pahaman tentang perbedaan itu.5

Sementara itu, menurut Berling dalam Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa orang-orang Yunani
mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban.Ketakjuban mereka dalam menyaksikan keindahan alam ini
menyebabkan mereka ingin mengetahui rahasia-rahasia alam semesta ini.Plato misalnya, mengatakan
bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub tersebut melahirkan sikap bertanya,
dan pertanyaan itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang
ditemukannya itu.6

Sementara itu, pada zaman modern seperti sekarang ini yang menjadi penyebab timbulnya filsafat
adalah karena adanya kesangsian.Apa yang dimaksud dengan sangsi? Sangsi itu setingkat di bawah
percaya dan setingkat di atas percaya. Apabila manusia menghadapi suatu pertanyaan, mungkin ia akan
percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua-duannya.Pada sikap percaya dan tidak percaya,
pikiran tidak bekerja dan ada problem. Akan tetapi, ketika percaya tidak dan tidak percaya pun tidak,
maka pikirannya akan bekerja sampai pada percaya atau tidak percaya. Selama tanda tanya di dalam
pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur. Dalam bahasa Yunani pertanyaan yang membentur-bentur
dalam pikiran itu disebut problema yang menunjukkan sesuatu yang di taruh di depan, merintangi
perjalanan kita dan harus disingkirkan agar tidak membentur kaki. Dengan demikian, sangsi
menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja.Pikiran bekerja menimbukan
filsafat.6

4
Abbas .P. hubungan filsafat, ilmu, dan agama.(hubungan filsafat) (2010) diakses 08/10/2019.

5
Abbas .P. hubungan filsafat, ilmu, dan agama.(hubungan filsafat) (2010) diakses 08/10/2019.

6
Susanto . filsafat ilmu.(Jakarta:filsafat ilmu),PT.Bumi aksara.(2013) diakses 08/10/2019

4
Para filosof sangat paham betul dalam memanfaatkanotak atau rasio dalam dirinya untuk
mengubah wajah dunia dan dirinya itu. Sehingga dengan kondisinya yang seperti itu, manusia sering
disebut dengan sebutan homo sapiens, makhluk pemikir. Dengan kecemerlangan nalar dan akalnya, di
dunia Barat pun dikenal tokoh-tokoh ilmuan yang telah menorehkan sejarah emasnya bagi generasi
penerus mereka.Sebut saja Newton yang berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan
penjelasan yang luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai ukuran
astronomis.Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan kalkulur yang disebut integral.
Alexander Abraham Bell, sang penemu mesin telepon.Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar.
Wilhewm Konrad Roentgen yang telah menemukan sinar X. Dan masih banyak tokoh lain yang telah
berjasa bagi umat manusia dan peradabannya melalui penemuannya yang luar biasa itu.6

Maka dari itu, sudah selayaknya manusia untuk belajar berfilsafat dan mengetahui makna dari
berfilsafat itu sendiri.Sehingga permasalahan yang sulit terpecahkan di dunia ini bisa diatasi dengan
mudah oleh orang-orang baru yang mengeluarkan ide-ide cemerlang mereka sesudah belajar berfilsafat.

5
BAB II

RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang membedakan filsafat dan ilmu ?


2. Bagaimana kontribusi filsafat dalam menggembangkan pikiran dan keilmuwan modern ?
3. Bagaimana hubungan anatara ilmu dan filsafat ?
4. Bagaimana perhatian filsafat ilmu terhadap sains ?

BAB III
PROBLEM YANG DIANGKAT

Mempelajari filsafat bukan hanya semata-mata untuk mencari kebenaran, karena kebenaran yang
mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari belajar filsafat akan timbil pertanyaan, Apa
sebenarnya filsafat ? Mengapa orang-orang sering mengaanggap bahwa filsafat itu sulit untuk dipahami ?
Apakah ada hubungan antara filsafat dengan ilmu ? Apa yang membedakan filsafat dengan ilmu ?
manusia adalah mahluk social, menandakan yang mempunyai rasa ingin tahu, dimana jika sesuatu hal
yang dianggap ganjil di msayarakat, ,maka timbul rasa ingin tahu mengapa sesuatu halmyang dianggap
ganjil oleh masyarakat. Jika sudah m menyelidiki dan mengetahui hal tersebut, akan timbul rasa puas
setelah melalui proses-prose yang dilakukan untuk mengetahui hal tersebut, dan adanya ilmu-ilmu
modern yang berkembang dari hasil penelitian manusia dari hasilnya berfilsafat. Untuk mengetahui
jawaban- jawaban dari pertanyaan diatas, maka akan dijelaskan pada bab berikutnya.

6
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara ilmu dan filsafat

` 1. Definisi filsafat

Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani.
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, filsafat
merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti mencintai,
menghormati, menikmati, dan Sophia dan sofein yang artinya kehikmatan, kebenaran, kebaikan,
kebijaksanaan, atau kejernihan. Berdasarkan teori tersebut, berfilsafat atau filsafat berarti
mencintai, menikmati kebijaksaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa yang diucapkan ahli
filsafat Yunani kuno, Socrates, bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari
kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau berpengetahuan
benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksaan. Dalam
bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arabfilsafah, yang juga berakar pada istilah
Yunani.7

Pythagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, yang


kemudian dikenal dengan istilah filsafat.Pythagoras memberikan defenisi filsafat sebagai the love
wisdom.Menurutnya, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan
(lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan
perenungan tentang Tuhan.Pythagoras sendiri mengganggap dirinya seorang philosophos (pecinta
kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.8

Pengertian filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan dari
segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang harus mencari
kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang dimiliki dan kemampuan yang
ada, dan dikatakan statis karena orang dapat mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar
mencintai kebijaksanaan tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara
khusus filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang

77
Wiramihardja,S. A. Pengantar filsafat (Bandung:PT. Refika Aditama) (2007) diakses 08/10/2019.
8
Susanto . filsafat ilmu.(Jakarta:filsafat ilmu),PT.Bumi aksara.(2013) diakses 08/10/2019 .

7
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari hakikat segala
sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha mencari kebenaran yang hakiki. 9

Al-Kindi, seorang filosof muslim pertama memberikan pendapat bahwa filsafat adalah
penegetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena
tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus
menyesuaikan dengan kebenaran pula. Sebenarnya masih banyak defenisi, konsepsi, dan
interpretasi mengenai filsafat dari berbagai ahli yang merumuskan bahwa filsafat berhubungan
dengan bentuk kalimat yang logis dari bahasa keilmuan, dengan penilaian, dengan perbincangan
kritis, pra anggapan ilmu, atau dengan ukuran baku tindakan. Setiap filosof dari suatu aliran
filsafat membuat perumusannya masing-masing agar cocok dengan kesimpulan sendiri.9

Seorang murid Plato yang paling terkemuka ialah Aristoteles, menurutnya Sophia
(kearifan) merupakan kebajikan intelektual yang tertinggi, sedang philosophia merupakan
padanan kata dari “episteme” dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai
sesuatu objek yang sesuai. Aristoteles menulis tentang apa yang disebutnya dalam perkataan
Yunani prote philosophia (artinya filsafat pertama) sebagai bagian dari epistemenitu. Ia
memberikan dua macam defenisi terhadap protes philosophia itu, yakni sebagai ilmu tentang
asas-asas pertama (the science of firts principles) dan sebagai suatu ilmu yang menyelediki
sebagai peradaban dan ciri-ciri yang tergolong pada objek itu berdasarkan sifat alaminya sendiri.
Dalam perkembangannyakemudian prote philosophia dari Aristoteles disebut metafisika.Ini
merupakan suatu istilah tehnis untuk pengertian filsafat spekulatif.10

Secara historis, hal-hal yang mendorong timbulnya filsafat ini sebagaimana dijelaskan
Moh.Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani, ada dua hal.Pertama, dongeng dan takhayul
yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa.Diantara masyarakat tersebut ada saja orang-
orang yang tidak percaya begitu saja. Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran
dongeng tersebut, lalu disitulah muncul filsafat.Kedua, keindahan alam yang besar, terutama
ketika malam hari.Hal tersebut menyebabkan keingintahuan orang-orang bangsa Yunani untuk
mengetahui rahasia alam tersebut.keingintahuan untuk mengetahui rahasia alam berupa
pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga.9

9
Abbas .P. hubungan filsafat, ilmu, dan agama.(hubungan filsafat) (2010) diakses 08/10/2019.
10
Gie, T . L. penghantar filsafat ilmu(Yogyakarta:pengantar filsafat ilmu) liberty yogyakarta (2007) diakses
08/10/2019.

8
Namun, perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah
pertanyaan yang sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Apa warna langit pada
siang hari yang cerah?”, tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh mata kita.
Begitu pun pertanyaan seperti “Kapan awan akan mulai turun menjadi hujan?”’ pertanyaan
tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan melakukan riset saja.
Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat adlah pertanyaan mendalam, yang bobotnya berat
dan tidak terjawab oleh indera kita. Coba saja Anda jawab pertanyaan dari Thales, “Apa
sebenarnya bahan alam semesta ini?”, atau pertanyaan lain, “Dari unsur apa alam semesta ini
tercipta?” pertanyaan seperti inilah yang membuat indera kita tidak mampu menjawa bahkan
sains pun terdiam. Dan jawaban terhaadap pertanyaan Thales ini pun memerlukan pemikiran yang
mendalam.8

Filsafat, sebagai sebuah metode berpikir yang sistematis merupakan salah satu
pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran.Dalam konteks keagamaan, pemikiran tentang
berbagai hal dan urusan.Karenanya dalam filsafat juga dibicarakan bagaimana keberadaan Tuhan,
dan juga persoalan kenabian, kedudukan dan fungsi akal dan wahyu, penciptaan manusia serta
ibadah yang dilakukan oleh manusia.8

Manusia sebagai makhluk istimewa yang diciptakan oleh Allah SWT., memiliki potensi-
potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, baik itu potensi yang berupa fisik maupun
nonfisik.Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitu juga dengan potensi nonfisik yang terdiri atas
ruh, jiwa, akal, dan rasa, semuanya menunjukkan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan
istimewa.Dengan potensi ruh, jiwa, dan akalnya manusia mampu menjadi makhluk yang lebih
mulia kedudukannya dari makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia mampu berpikir, bernalar,
dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang
manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata hidupnya.9

Menurut Wirodiningrat, filsafat mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh,


mendasar, dan spekulatif. Menyeluruh artinya bahwa filsafat mencakup tentang pemikiran dan
pengkajian yang luas, sebagaimana objek filsafat yang dikemukakan, tidak membatasi diri dan
bukan hanya ditinjau dari sudut pandang tertentu. Kajian filsafat dapat dipakai untuk mengetahui
hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan
tujuan hidup. Sedangkan mendasar artinya bahwa filsafat adalah suatu kajian yang mendalam,
kajian yang mendetail, yang sampai kepada hasul fundamental atau esensial, sehingga dapat

9
dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan.Adapun filsafat memiliki ciri spekulatif,
karena hasil pemikiran filsafat yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya.Hasil
pemikirannya selalu ditujukan sebagai dasar untuk menghasilkan pengetahuan yang baru.8

Manfaat mengkaji filsafat menurut Franz Magnis Suseno adalah bahwa filsafat
merupakan sarana yang baik untuk menggali kembali kekayaan, kebudayaan, tradisi, dan filsafat
Indonesia serta untuk mengaktualisasikannya. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati
warisan rohani, tidak hanya secara verbalistik, melainkan juga secara evaluatif kritis, dan
reflektif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan identitas
modern bangsa Indonesia secara terus menerus.8

menurut para filsuf kegunaan secara umum filsafat adalah sebagai berikut.

 Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar biasa
sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha beharga.
 Rene Descartes yang termasyhur sebagai pelopor filsafat modern dan pelopor pembaruan
dalam abad ke-17 terkenal dengan ucapannya cogito ergosum (Karena berpikir maka saya
ada). Tokoh ini menyangsikan segala-galanya, tetapi dalam serba sangsi itu ada satu hal yang
pasti, ialah bahwa aku bersangsi dan bersangsi berarti berpikir. Berfilsafat berarti
berpangkalan kepada suatu kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi.
 Alfred North Whitehead seorang filsuf modern merumuskan filsafat sebagai berikut: “Filsafat
adalah keinsafan dan pandangan jauh ke depan dan suatu kesadaran akan hidup pendeknya,
kesadaran akan kepentingan yang memberi semangat kepada seluruh usaha peradaban”.
 Maurice Marleau Ponty seorang filsuf modern Existensialisme mengatakan bahwa jasa dari
filsafat baru ialah terletak dalam sumber penyelidikannya, sumber itu adalah eksistensi dan
dengan sumber itu kita bisa berpikir tentang manusia.

2. Definisi ilmu.

Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu
mengandung lebih daripada satu arti.Oleh karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus
menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang dimaksud.Menurut cakupannya
pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah

10
yang dipandang sebagai satu kebulatan.Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu
seumumnya (science-in-general).11

Ilmu adalah merupakan suatu pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan informasi yang
didapatkan dansegala sesuatu yang diketahui manusia.Itulah bedanya filsafat dengan ilmu, karena
ilmu itu sendiri merupakan pengetahuan yang berupa informasi yang didalami sehingga menguasai
pengetahuan tersebut yang menjadi suatu ilmu.Ilmu pengetahuan merupakan rangkaian kata yang
sangat berbeda namun memiliki kaitan yang sangat kuat.Ilmu dan pengetahuan memang terkadang
sulit dibedakan oleh sebagian orang karena memiliki makna yang berkaitan dansangat berhubungan
erat.Membicarakan masalah ilmu pengetahuan dan definisinya memang sebenarnya tidak semudah
yang diperkirakan.Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat
menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu.12

Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.
Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai bentuk
aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan
senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta
suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri. S.Ornby mengartikan ilmu sebagai susunan atau kumpulan
pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Poincare,
menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperoleh suatu ilmu adalah dengan melalui pendekatan
filsafat.Menurut Slamet Ibrahim, pada zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat
dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada.Seorang filosof (ahli filsafat) pasti menguasai
semua ilmu pengetahuan.Perkembangan daya berpikir manusia yang mengembangkan filsafat pada
tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi.Wilayah kajian
filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu.Sehingga ada anggapan
filsafat tidak dibutuhkan lagi.Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih
praktis.Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan

11
Gie .T.L. pengantar filsafat ilmu(Yogyakarta:pengantaer filsafat ilmu) liberty Yogyakarta(2013) diakses
08/10/2019

12
Dafrita, I.E. ilmu dan hakekat ilmu pengetahuan dalam nilai agama. (ilmu dan hakekat ilmu pengetahuan dalam
nilai agama ) (2015), diakses 08/10/2019.

11
universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu.Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada
posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.13

Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun itu menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.Karl Pearson,
mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta
pengalaman dengan istilah yang sederhana. Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang
alam, masyarakat dan pikiran.Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-
hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.12

Pengertian ilmu sebagai pengetahuan itu sesuai dengan asal-usul istilah Inggris science yang
berasal dari perkataan latinScientia yang diturunkan dari kata scire.Perkataan yang terakhir ini
artinya mengetahui.Tetapi pengetahuan sesungguhnya hanyalah hasil atau produk dari sesuatu
kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Perkataan latinscire juga berarti belajar. Dengan demikian,
dapatlah dipahami bilamana ada makna tambahan dari ilmu sebagai aktivitas. Demikianlah Charles
Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu
dapat dipandang sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, maka dari makna ini orang dapat
melangkah lebih lanjut untuk sampai pada metode dari aktivitas itu. Menurut Prof. Harold H. Titus,
banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh
pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa kebenaranya.11

3. Hubungan antara filsafat dan ilmu.

Filsafat berbicara tentang ilmu, begitulah Kattsof mengutarakan jalinan filsafat dengan
ilmu.Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukannya
di dalamnya ilmu. Sementara itu Saifullah memberikan kesimpulan umum bahwa pada dasarnya
filsafat tiada lain adalah hasil pemikiran manusia, hasil spekulasi manusia betapa pun tidak
sempurnanya daya kemampuan pikiran manusia. Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan,
dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis,
spekulatif, dan empiris ilmiah.Perbedaan antara keduanya, terutama untuk filsafat menentukan
tujuan hidup dan ilmu menentukan sarana untuk hidup.Karenanya, filsafat inilah kemudian
disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan.8

13
Wahid, A. korelasi agama, filsafat, dan ilmu(korelasi agama,filsafat , dan ilmu)(2012)diakses 08/10/2019.

12
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan,
namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat
mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan
keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk me-
ngisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih
memahami khazanah intelektual manusia. Harold H. Titusmengakui kesulitan untuk menyatakan
secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan
sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, di samping di kalangan ilmuwan sendiri terdapat
perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, demikian juga di kalangan filsuf
terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat. Adapun persamaan
(lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan
berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan,
terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta sangat
konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan
sistematis.12

Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana
ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam
pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra
serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat
berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup
hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan
kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh,
filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah
hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji
hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Dengan
memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan
menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka
filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan
objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan
dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik
tekan pendekatan yang berbeda.12

Filsafat mencoba mencari kebenaran dengan cara menjelajahi atau menziarahi akal-budi
secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), mengakar, sistematis (logis dengan urutan dan

13
adanya saling hubungan yang teratur) dan intergral (universal atau berpikir mengenai
keseluruhan) serta tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri,
yaitu logika. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan menggunakan metode atau cara
penyelidikan (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) atau sangat terkait dengan
tiga aspek, yaitu aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil hokum. Selanjutnya kebenaran ada
yang bersifat spekulatif atau kebetulan saja adalah kebenaran yang bersifat dugaan atau perkiraan
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, secara riset dan secara eksperimental.Kebenaran ilmu
pengetahuan adalah kebenaran yang bersifat positif, bukan bersifat spekulasi atau kebetulan saja,
yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini yang dapat diuji.Baik kebenaran filsafat
maupun kebenaran ilmu pengetahuan kedua-duanya bersifat nisbi atau relatif, artinya sifatnya
sementara dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia,
yang sangat tergantung kepadasituasi dan kondisi, termasuk perubahan alam.9

Mengenai lapangan pembahasan ilmu dan filsafat.Lapangan ilmu penegetahuan


mempunyai daerah-daerah tertentu, yaitu alam dengan segala kejadiannya.Sedangkan lapangan
filsafat adalah tentang hakikat yang umum dan luas.Megenai tujuannya, tujuan ilmu pengetahuan
ialah berusaha menentukan sifat-sifat dari kejadian alam yang di dalamnya juga terdapat
manusia.Sedangkan filsaaft bertujuan untuk mengetahui tentang asal-usul manusia, hubungan
manusia dengan alam semesta dan bagaimana akhirnya (hari kemudiannya). Mengenai cara
pembahasannya, filsafat dalam pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan serta
penyelidikannya mempergunakan pikiran dan akal. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam
pembahasan dan penyelidikannya mempergunakan panca indera dan percobaan-
percobaan.Mengenai kesimpulannya, ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulan-
kesimpulannya dapat diterapkan dengan dalil-dalil yakin yang didasarkan pada penglhatan dan
percobaan-percobaan. Sebaliknya, filsafat dalm menentukan kesimpulan tidak memberi
keyakinan mutlak, sebagai kesimpulan selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan
perbedaan-perbedaan pendapat di antara ahli-ahli filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama,
serta keyakinan.8

Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa
keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta
dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis,
berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada
pengetahuan yang terorganisir dan sistematis.Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih
berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat

14
analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan
klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-
gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga
lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia,
filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan
secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam
mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas,
filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta
seni. Dengan kata lain, filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang
ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya
mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian
filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam
menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan
pendekatan yang berbeda.12

B. Persoalan – persoalan Ilmiah dan pertanyaan tentang ilmu

Masalah yang dapat digolongkan sebagai masalah ilmiah adalah masalah yang lahir sebagai
focal point dari pemikiran ilmiah dan hasil dari masalah tersebut selalu berakhir dengan
penggunaan teori. Terdapat dua kategori permasaahan ilmiah yaitu permasalahan empiris dan
permasalahan konseptual. 14

A. Masalah empiris merupakan masalah yang menghasilkan suatu perasaan atau pemikiran
untuk mencari penjelasan akan suatu fenomena yang terjadi. Masalah empiris dapat dikatakan
sebagai sebagai masalah yang hadir dari sekumpulan pertanyaan yang berkutat mengenai
substansi suatu objek yang berada dalam sebuah domain ilmu pengetahuan. Kemudian
Laudan turut menjelaskan kaitan antara fakta dengan masalah, menurutnya kedua hal ini
berbeda. Masalah empiris dapat hadir dari fakta namun tidak semua fakta bisa disebut
empiris. Ketika fakta tersebut menjadi menarik dan berpotensi untuk diteliti dan dicari
penjelasan dan klarifikasinya, maka fakta tersebut sudah berubah menjadi sebuah masalah
empiris (Laudan, 1977). Ada 3 tipe masalah empiris 1. Tipe yang pertama adalah unsolved
problems, dalam hal ini masalah-masalah yang tidak cukup terselesaikan oleh teori manapun
sehingga mengindikasikan harus diadakannya penyelidikan teoritis lebih lanjut dikemudian

14
Laudan , larry. the role of empirical problems (London:towards theory of scientific growth), university of
California press. (1997) hal 11-44 diakses 08/10/2019

15
hari. Unsolved problems bukan berarti tidak memiliki potensi untuk terjawab akan tetapi
lebih disebabkan oleh banyaknya ambiguitas yang datang dari para ahli akan status dan
potensi masalah ini. 2. tipe yang kedua adalah solved problems, dimana suatu masalah
empiris sudah terselesaikan secara penyelidikan ketika para ilmuan tidak lagi menganggap
masalah tersebut sebagai unanswered questions. Penggunaan teori telah dirasa cukup dan
mampu memuaskan para ilmuan akan masalah yang ada. Namun, bahwa keberhasilan suatu
teori dalam menganalisa fenomena tidak bersifat abadi pada setiap masa. Untuk itu semua
masalah harus diteliti dari berbagai sudut pandang teori.
3. Ketiga, yakni anomalous problems. Anomalous problems adalah masalah empiris yang
menghasilkan keraguan-keraguan yang beralasan tentang kesesuaian empiris sebuah teori.
Situasi seperti ini terjadi ketika data yang dihimpun dalam upaya menjawab masalah ternyata
berkontradiksi dengan klaim yang diusung oleh suatu teori. Keadaan lain dapat dikatakan
anomali ketika sebuah teori dalam domain tertentu gagal untuk menjawab suatu
permasalahan sedangkan disisi lain sebuah teori baru muncul dalam domain yang sama dan
mampu untuk menjawab permasalahan yang ada.

B. Permasalahan konseptual adalah masalah yang muncul dari dua teori atau lebih, sehingga
apabila masalah empiris merupakan masalah yang hadir akibat melihat suatu fenomena kemudian
mencari teori efektif untuk mendapatkan jawabanan, permasalahan konseptual berada ditingkat
yang lebih jauh dari itu. Singkatnya, sudah sejauh mana teori awal bekerja dalam upaya pencarian
solusi. Apakah teori awal lebih konsisten dibandingkan dengan teori kelanjutannya atau lainnya.15

Masalah konseptual juga dibedakan menjadi dua tipe:

1. Pertama adalah internal conceptual problems yang terjadi ketika teori tidak memunculkan
kekonsistenan dalam komponen internalnya, atau tidak terjadinya kejelasan pada sistem analisis
kategori dasar masalah. Yang kedua adalah external conceptual problems yang terjadi ketika
sebuah teori awal (T) dikonfrontasi oleh teori kelanjutan (T’), yang pendukung teori T lebih
menganggap T’ sebagai teori yang rasional dan lebih mudah ditemukan. Permasalahan seperti
demikian memunculkan permasalahan konseptual.

2. Kedua adalah logical inconsistency atau incompatibility, dimana sebuah teori tidak konsisten
dengan teori lain yang telah disepakati bersama. Dengan hadirnya masalah konseptual, maka
dapat diketahui kapasitas dan potensi dari teori yang ada. Misalnya pada sisi eksternalnya,

15
Laudan.larry. conceptual problem (London:toward a theory of scientific growth)university of california press
(1977) hal 29-44 diakses 08/10/2019.

16
munculnya ketidakkonsistenan dalam teori memunculkan indikator baru, yakni teori yang ada
memiliki kelemahan. Ketika teori saling berkonfrotasi dan hal tersebut berlangsung secara
berkelanjutan maka bobot dari masalah yang ada cukup berat dan kompleks. Dengan
permasalahan konseptual peneliti dapat menemukan teori mana yang ternyata memiliki
kualifikasi lebih baik sehingga tidak mampu dikalahkan dan mampu bertahan dalam menjelaskan
sebuah fenomena.

Selanjutnya selain permasalahan ilmiah terdapat pula pertanyaan ilmiah. Roselle & Spray (2011)
menyebutkan adanya quoestion based research yang merupakan standar umum perguruan tinggi
dalam melakukan riset ilmiah. Hal ini digunakan sebagai pendekatan dasar dengan
mengembangkan pertanyaan yang memerlukan dasar substansif ketika melakukan suatu
penelitian.16

Terdapat langkah-langkah yang dilakukan dalam pertanyaan ilmiah

1. pertama yaitu memilih topik dan subtopik, hal ini dapat didapatkan melalui sumber
literatur atau melakuan observasi fakta yang ada sebagai sumber dalam membangun
pengetahuan dalam menentukan topik. Peneliti akan melakukan penyempitan tema dan
memilih subtopik untuk membatasi penelitian serta menyusun pertanyaan nantinya. Kedua,
merumuskan pertanyaan inti dengan tidak mengarah pada jawaban mengenai proses,
fenomena, atau terminologi tetapi lebih kepada analisis perbandingan variasi kasus.
Pertanyaan yang baik dapat dimulai dengan menggunakan subtopik pilihan

tersebut sebagai variabel dependen dan mencari variabel independen untuk mengeksplor
sebab-akibat.
2. Kedua yaitu menentukan variabel. Peneliti akan menemukan faktor pembentuk peristiwa
yang diobservasi, disertai faktor mana saja yang dianggap penting. Variabel dependen
merupakan faktor utama adanya penelitian, sedangkan variabel independen merupakan faktor
penyebab yang mempengaruhi.
3. Ketiga yaitu setelah menentukan variabel dependen dan variabel independen maka peneliti
dapat menarik hipotesis awal.

16
Roselle.laura and Sharon. Topic selection and question development(new York:dalam research and writing in
international relations)(2011) hal 5-15 diakses 08/10/2019.

17
C. Ilmu – Ilmu Modern Sebagai Filsafat

Filsafat modern adalah pembagian dalam sejarah Filsafat Barat yang menjadi tanda
berakhirnya era skolastisisme.17 Waktu munculnya filsafat modern adalah abad ke-17 hingga
awal abad ke-20 di Eropa Barat dan Amerika Utara.18Filsafat Modern ini pun dimulai sejak
munculnya rasionalisme lewat pemikiran Descartes, seorang filsuf terkemuka pada zaman
Modern.
Diantara pemikir-pemikir zaman modern ada Descartes (1596-1650) yang berteorikan
Rasionalisme, ajarannya punya pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.Dalam perkembangannya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat
tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John
Locke (1632-1704).Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari
pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul
Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan
empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan
pernyataannya yang terkenal sapere aude yang artinya berani berfikir sendiri, pernyataan ini
jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan.19
Dalam era filsafat modern ini yang berlanjut pada abad ke-20, muncullah berbagai aliran
pemikiran, yaitu:20
1. Rasionalisme.
Latar belakang munculnya konsep pemikiran Rasionalisme ialah keinginan untuk
membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi
ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil yang dihadapi. Descartes mengingin kancara
baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran pasti yang ditemukan dalam
keragu-raguan. Segala sesuatu bias disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada
kepastian.Pelopor dari alirannya adalah Rene Descartes (1596-1650).
2. Empirisme.
Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan
orang terhadap filsafat mulai merosot.Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna
lagi untuk hal lain tetapi ilmu pengetahuan sangat besar sekali manfaatnya bagi kehidupan.

17
Bertens, Kees 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
18
Baird, Forrest E. 2008. From Plato to Derrida. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall.
19
Akhmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.
20
Akhmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.

18
Kemudian ada anggapan bahwa pengetahuanlah yang bermanfat, dan benar hanya diperoleh
lewat indera (empiri), dan empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut
lahir dengan nama Empirisme.Sebagai tokohnya ialah Thomas Hobbes (1588-1679), John
Locke (1932-1704), David Hume (1711-1776).
3. Kritisisme.
Aliran ini muncul pad aabad ke-18, suatu zaman dimana seorang ahli pikir yang cerdas
mencoba menyelesaikan pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme. Zaman baru ini
disebut zaman Pencerahan (aufklarung). Zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir
dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya).Setelah itu, manusia telah bebas
dari otoritas yang datangnya dari luar manusia, demi kemajuan peradaban manusia.
Sebagai latar belakang dari aliran ini manusiame lihat adanya kemajuan ilmu
pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang sangat bagus.
Di sisil ain, jalannya filsafat terasa tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat
dapat berkembang dengan ilmu pengetahuan.Tokoh – tokohnya antara lain Isaac Newton
(1642-1727), Immanuel Kant (1724-1804).21
4. Idealisme.
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri
atas roh-roh (sukma) atau jiwa.ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu.Aliran ini
merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-
muladalamfilsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang
menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya.
Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea
itu.Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide
sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan
pengaruhnya dari benda itu.Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham
idealisme hilang sirna sekali.Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang
disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.Aliran ini muncul pada abad ke-
18.Pelopor aliran ini ialah J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Schelling (1775-1854), G.W.F.
Hegel (1770-1831), Arthur Schopenhauer (1788-1860).22
5. Positivisme.
Positivisme ini lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya ialah apa yang telah
diketahui adalah sesuatu yang factual dan yang positif, sehingga aliran yang menganut

21
Akhmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.
22
Akhmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.

19
metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti
apaadanya, sebatas pengalaman- pengalaman objektif saja. Jadi, setelah fakta diperoleh,
fakta-fakta tersebut di olah dan di atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi) pada masa
depan.Beberapa tokoh aliran ini ialah August Comte (1798-1857), John S. Mill (1806-1873),
Herbert Spencer (1820-1903).23

23
Akhmadi, Asmoro. 2007. Filsafat Umum. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.

20
2. Perhatian Filsafat Ilmu Terhadap Science

A. Observasi
Menurut Louis O. Kattsoff menerangkan bahwa observasi merupakan suatu pernyataan yang
maknanya dapat diuji dengan penglaman yang dapat diulangi baik oleh orang yang mempergunakan
pernyataan tersebut maupun oleh orang lain,pada perinsipnya dapat dilakukan verifikasi
terhadapnya[1]. Sementara dalam Stathis Psillos menjelaskan bahwa istilah dan predikat seperti
'meja', 'pointer', 'merah', 'persegi', 'lebih berat dari' disebut sebagai observasional karena mereka
mendapatkan maknanya langsung dari pengalaman: kondisi dengan segala fakta yang melibatkannya
diverifikasi dalam pengalaman berdasarkan pada kondisi yang sebenarnya. Hal tersebut berbeda
dengan istilah teoritis yang seharusnya mendapatkan maknanya melalui teori. Banyak empiris
mengambil istilah teoritis menjadi semantis yang bertujuan untuk menjelaskan maknanya atas dasar
makna yang observasional. Perbedaan yang jauh antara kedua jenis istilah ditantang pada 1960-an
ketika tesis bahwa semua observasi adalah theory-laden (mengandung banyak teori) menjadi populer
karena banyak filsuf dianut holisme semantik (Pandangan bahwa semua hal (atau konsep)
memperoleh maknanya dari teori dan jaringan dari pernyataan nomologi)[2].
Observasi sebagai teori laden adalah pandangan bahwa semua observasi tergantung pada teori.
Hal ini kembali pada pemikiran Duhem bahwa pengamatan dalam ilmu bukan hanya tindakan
melaporkan fenomena, namun juga adalah penafsiran fenomena dalam terang beberapa teori dan latar
belakang keyakinan yang melatarbelakanginya. Untuk Duhem, interpretasi teoritis yang selalu
menelusup kedalam pengamatan embeds (deskripsi) fenomena yang diamati ke dalam bahasa abstrak,
ideal dan simbolik sebuah teori. Ini berarti bahwa teori-teori yang berbeda akan memberikan
interpretasi yang berbeda pada beberapa fenomena[3].
Oleh karena itu, tegasnya, fenomena yang diamati tidak sama jika diinformasikan oleh teori yang
berbeda. Saran Duhem adalah bahwa situasi ini tidak bermasalah sejauh ada beberapa latar belakang
keyakinan umum yang diterima bahwa pendukung teori yang bersaing dapat mengajukan banding ke
dalam interpretasi pengamatan. Ketertarikan dalam Observasi merupakan teori-laden muncul kembali
pada tahun 1960, kali ini menggambar pada massa bukti empiris yang berasal dari psikologi yang
menyatakan bahwa pengalaman persepsi secara teoritis bisa ditafsirkan.

21
Dalam kasus bebek-kelinci yang terkenal, misalnya, seseorang tidak hanya mengamati bentuk
terdiri dari garis lengkung tertentu. Satu melihat kelinci atau bebek. Tidak ada pengalaman persepsi
yang murni, meskipun interpretasi teoritis adalah, sebagian besar, terjadi dalam keadaan tidak sadar.
Hanson, Kuhn dan Feyerabend mendorong teori-ladenness-of-observasi tesis ekstrem yang, dengan
menyatakan bahwa setiap teori (atau paradigma) menciptakan pengalaman sendiri; menentukan arti
semua istilah yang terjadi di dalamnya dan tidak ada bahasa yang netral yang dapat digunakan untuk
menilai teori yang berbeda (atau paradigma). Hal ini melahirkan isu-isu incommensurability
(ketidakterbandingan) artinya dua teori yang berbeda tidak bisa diukur dengan standar yang sama. Ia
menolak bahwa pengamatan adalah standar yang bisa dipakai untuk melihat apakah sebuah teori
terbukti atau tidak. Benar tidaknya sebuah pengamatan ditentukan oleh kerangka teorinya. Contoh
yang bisa kita pakai misalnya adalah konsep “panjang” dalam fisika Newtonian dan fisika relativistik.
Dalam fisika Newtonian, “panjang” adalah sebuah entitas yang independen terhadap kecepatan
benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi, namun dalam fisika relativistik “panjang” tidaklah
independen terhadap kecepatan benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi.[4] Dengan kata lain
“panjang” dalam fisika Newtonian adalah mutlak, sedangkan dalam fisika relativistik adalah relatif.
Feyerabend lalu melakukan serangan melalui bukunya Against Method. Seperti yang
diungkapkan dengan judulnya, Feyerabend melawan positivisme yang mengatakan bahwa kebenaran
hanya bisa dicapai melalui metode ilmiah. Positivisme di dalam ilmu pengetahuan mengatakan bahwa
kebenaran hanya bisa dicapai melalui pengamatan. Pengamatan menurut penganut positivisme adalah
sesuatu yang betul-betul bebas nilai dan oleh karena itu objektif. Feyerabend menolak klaim ini. Ia
berpendapat bahwa pengamatan tidaklah bebas nilai, melainkan terkandung di dalamnya metode yang
dipakai (theory laden).[5]
Dengan kata lain, metodologi yang berbeda akan menghasilkan pengamatan yang berbeda, oleh
sebab itu pengamatan sama sekali tidak objektif.Seperti halnya Kuhn, Feyerabend justru melihat
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, atau bahasa Kuhn perubahan paradigma, justru terjadi disaat
metodologi ilmu pengetahuan dilanggar. Contohnya adalah pada kasus Galileo. Pembelaannya pada
heliosentrisme justru dilakukan dengan melanggar standar ilmu pengetahuan Aristotelian yang
berlaku pada waktu itu.Ini bisa terjadi karena realitas sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa
yang bisa dijangkau oleh metode ilmiah, secanggih apa pun metode ilmiah tersebut. Karena itulah
Feyerabend mengambil jalan anarkistik untuk mencapai kebenaran di dalam ilmu pengetahuan, atau
dengan kata lain “anything goes”.Inilah yang membuat ia dipandang sebagai seorang anarkis ilmu
pengetahuan.

22
B. Hipotesis

Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam dunia yang ditelaah ilmu, sekelompok
molekul atau sel tidak meloncat-loncat, melambaikan tangan, bersuit-suit, dan mengatakan “hai, lihat
saya! Disini! Saya adalah batu atau pohon atau kuda”. Apanya suatu benda tergantung pada merek
yang diberikan manusia kepada benda tersebut. Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung
kepada hubungan konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut. Kenyataan ini membawa kita
pada salah satu segi yang paling sulit dari metodologi keilmuan yakni peranan dari hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar variabel. Hubungan hipotesis ini
diajukan dalam bentuk dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan
kemungkikan hubungan tersebut. Hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba-coba (trial and
error). Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan atau mungkin merupakan perluasan dari
hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang baru.
Dalam kedua hal diatas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian rupa, sehinga hubungan
yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis
biasanya diajukan dalam bentuk pernyataan “jika X, maka Y”. Jika kulit manusia kekurangan
pigmen,maka kulit itu mudah terbakar saat disinari matahari. Hipotesis ini memberikan penjelasan
sementara paling tidak tentang beberapa hubungan pigmentasi dengan sinar matahari. Hipotesis ini
juga mengungkapkan kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan apa yang
diperlukan jikakita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang
diajukan statusnya hanyalah sementara. Sekiranya kita menghadapi suatu masalah tersebut,kita dapat
mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan tersebut. Secara teoritis
maka sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat
rasionalisme yang bersifa pluralistik. Hanya di sini dari sekian hipotesis yang diajukan itu hanya satu
yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran keorespondensi yakni hipotesis yang didukung fakta-
fakta empiris.[6]
C. Induksi

23
Positivisme memberikan sumbangan yang besar bagi filsafat. Hal tersebut bukan tanpa
alasan, pertama karena positivisme secara sistematis memisahkan dengan tegas antara ilmu
pengetahuan, filsafat dan teologi. Seperti yang dinyatakan oleh Mikhael Dua bahwa jika filsafat dan
teologi sibuk dengan persoalan dasar tentang manusia dan kosmos, sementara ilmu pengetahuan harus
berhenti saja pada data dan pengalaman sehingga dapat diobservasi dan diukur dalam eksperimen.
Positivisme memiliki cara sendiri mengenai kebenaran. Fokus kebenaran ilmiah adalah data yang
dapat diamati dan diukur. Sebaliknya kebenaran ilmiah tidak menyangkut segi-segi yang tidak
teramati dan diukur[7].
Menurut positivisme, Ilmu pengetahuan hanya bisa bekerja dengan logika induksi. Logika
deduksi sebagai pembeda dari induksi menyimpulkan sesuatu ditarik dari proposisi yang lebih luas.
Contoh deduksi yaitu jika kita mengatakan: “ semua manusia mati”, kita boleh menyimpulkan
bahwa Ali, manusia dari jambi, dapat mati. Hal ini berbeda dengan model induksi yang menurut
Aristoteles dalam Mikhael Dua menyatakan bahwa induksi dilihat sebagai metode penyimpulan yang
bertolak dari proposisi-proposisi khusus (partikular) atau bukti-bukti positif[8]. Aristoteles dalam
Zaprulkhan menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induksi, yaitu induksi sempurna dan
dan induksi luas. Induksi sempurna berarti kesimpulan umum diambil dari pengetahuan tentang tiap
contoh yang diteliti dan kesimpulan tersebut tidak melampaui evidensi, sementara induksi luas berarti
kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat
khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas[9]. Secara amat sederhana jika kita mengatakan bahwa
besi dapat memuai pada temperatur X dan tembaga pada temperatur Y, dan perunggu pada temperatur
Z, dan kita tahu bahwa besi, tembaga, dan perunggu termasuk kelas logam,maka kita boleh
menyimpulkan bahwa semua logam dapat memuai jika dipanaskan[10].
Dalam ilmu pengetahuan induksi dipakai untuk dua tahap metodologi ilmiah yang berbeda, yaitu:
(1) digunakan untuk merumuskan hipotesis dan (2) digunakan sebagai metode untuk membuktikan
kebenaran suatu hipotesis ilmiah[11]. Dalam hal pertama, para pendukung induksi selalu menegaskan
bahwa sebuah hipotesis harus didasarkan pada generalisasi yang bertolak dari sejumlah besar
pengamatan. Seperti yang dilakukan Bertrand Russell dalam melakukan induksi seperti pernyataan-
pernyataan berikut: jika sejumlah A diamati, dan dalam setiap A terkandung sifat B,maka semua A
mengandung sifat B. Atau mencoba mengadopsi contoh yang telah dijelaskan tadi,jika kita tahu
bahwa besi apabila dipanaskan itu memuai karena ada perubahan pada molekul besi,dan begitu juga
terjadi pada jennis logam yang lain,maka kita boleh mengatakan bahwa pemuaian logam disebabkan
karena perubahan yang terjadi pada molekul logam. Induksi dalam hal ini dapat disebut sebagai
klasifikasi atau generalisasi.

24
Lebih jauh Mikhael Dua mengungkapkan bahwa induksi juga bisa dilihat sebagai suatu metode
verifikasi. Seperti reduksi yang dilakukan Aristoteles dimana seorang ilmuwan diajak untuk melihat
apakah remalan yang terkandung dalam hipotesis yang berisi proposisi ilmiah benar-benar terjadi.
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu hipotesis dekat dengan fakta. Inilah yang
merupakan induksi yang bertahap sebagai pengujian terhadap hipotesis ilmiah. Dalam proses tersebut
semakin banyak implikasi empiris sebuah hipotesis,semakin banyak pula hipotesis tersebut diuji, dan
karena itu, semakin besar pula hipotesis tersebut diterima.
Metode induksi versi aristoteles inilah yang dinamakan induksi tradisional atau dikenal dengan
nama induction by simple enumeration (induksi melalui penjumlahan sederhana) dan tidak dapat
diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar[12].
Francis Bacon dalam Zaprulkhan berhasil menemukan metode induksi baru yang benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara mengamati alam semesta tanpa prasangka setelah itu
menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan yang berkali-kali dilakukan dengan cara
yang bermacam-macam. Jikalau fakta-fakta dengan cara demikian telah ditetapkan, fakta-fakta itu
diikhtisarkan. Menurut Bacon, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan hukum-
hukumnya, seterusnya naik ke bentuk-bentuknya atau unsur-unsur tertentu dari sifat yang tunggal.
Lebih lanjut Bacon memaparkan bahwa metode induksi ini adalah suatu metode atau suatu proses
penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua sifat yang tidak termasuk sifat yang tunggal
ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sesebgai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-
fakta yang diamati. Seperti contoh: Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia mengandaikan panas
sebagai terdiri dari gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda.
Supaya sifat panas dapat ditemukan, ia membuat daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda
dingi, dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia berharap
bahwa daftar-daftar ini akan menampakkan beberapa corak watak panas yang senantiasa berada
dalam di dalam benda-benda panas dan yang senantiasa tidak berada di dalam benda-benda dingin
begitu juga dengan corak watak panas yang berada pada benda-benda yang panasnya bermacam-
macam. Dengan metode seperti ini diharapkan menemukan hukum-hukum yang umum, yang (setelah
pengujian dengan variasi keadaan yang baru) dapat naik dari hukum yang rendah tingkatannya
menuju ke hukum yang tertinggi. Suatu hukum disarankan harus diuji dengan diterapkan pada
keadan-keadaan baru, jika hukum tersebut bekerja, maka hukum tersebut ditetapkan.
Seorang filsuf yang merasakan kesulitan akan masalah induksi adalah David Hume. Ia menekankan
sejumlah fakta –betapapun besar jumlahnya- secara logis tidak pernah bisa disimpulkan suatu
kebenaran umum.[13]

25
Popper sendiri melihat argumentasi positivisme tentang induksi tersebut tidak dapat
dipertahankan dari sudut logika. Sebaliknya,dengan mengakui pengalaman sebagai sumber
pengetahuan,dimana apa yang di rasa, dilihat, didengar itu ditampung dan ditarik kesimpulan yang
lebih umum, tesis positivisme ini hanya berhasil menunjukkan induksi sebaagai proses psikologis.
Induksi dalam pengertian ini dilihat sebagai kemampuan seorang ilmuwan untuk melihat makna
generalitas berdasarkan data-data yang ada. Tetapi makna generalitas atau konsep apapun tidak dapat
ditarik secara logis dari data-data. Begitu juga sebagai pembuktian. Dalam hal ini induksi tidak dapat
dilihat sebagai metode untuk membuktikan kebenaran sebuah hipotesis yang de fakto lebih luas dari
data-data itu sendiri.
Hume dan Gestalt menegaskan pemikiran ini. Hume menyatakan bahwa sebuah ide hanya dapat
dikembangkan melalui imajinasi dan asosiasi. Begitu juga gestalt yang berhasil menunjukkan bahwa
seluruh pengetahuan rasional merupakan hasil dari imajinasi kreatif. Bahkan konsep-konsep umum
yang bersifat rasional, seperti kausalitas tidak dapat dikenal selain karena kebiasaan. Dengan
perkataan lain,psikologi merupakan faktor penting yang menyetir munculnya gagasan hipotesis.
Apa yang dikemukakan Hume dan psikologi Gestalt tersebut menjelaskan bahwa induksi bukan
sebuah metode yang tepat dalam ilmu pengetahuan.karena sebuah ide tidak dapat ditarik dari
pengalaman atau data secara logis[14].

D. Falsifikasi
Terkait problem induksi, Karl Popper mengakui ketepatan Hume bahwa metode induksi tidak
dapat dijustifikasi secara logis. Berdasarkan ketidakpuasan tersebut, Popper melakukan kritik
fundamental terhadap metode indukstif yang dia formulasikan secara filosofis-empiris. Popper telah
berhasil menyodorkan suatu pencerahan bagi masalah induksi dan dengan itu serentak juga ia
mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurutnya suatu teori bersifat
ilmiah tidak karena sudah dibuktikan melainkan, karena dapat diuji. Ucapan seperti “semua
logam akan memuai jika dipanaskan” dapat dianggap ilmiah kalau dapat diuji dengan percobaan-
percobaan sistematis untuk menangkalnya. Seandainya kita dapat menunjukkan satu jenis logam yang
tidak memuai apabila dipanasakan, maka ucapan tersebut tidaklah benar dan harus diganti dengan
ucapan lain yang lebih tepat. Apabila suatu teori setelah diuji tetap tahan, maka itu berarti bahwa
kebenarannya diperkukuh. Semakin besar kemungkinan untuk menyangkalnya maka semakin kukuh
pula kebenarannya. Secara singkat itulah yang disebut popper sebagai the thesis of refutability yaitu
suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secaraprinsipal terdapat kemungkinan untuk
menyangkalnya atau dengan kata lain perlu adanya kemungkinan untuk mengkritik. Ilmuwan sejati

26
tidak akan menakuti kritik. Tap sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui jalan
kritikilmu pengetahuan dapat maju.[15]
Salah satu tesis kunci dalam pemikiran Popper adalah bahwa hukum-hukum di dalam teori ilmiah
selalu melampaui data-dataeksperimental yang bersifat inderawi. Metode induksi di dalam ilmu
pengetahuan berupaya menunjukkan bahwa dari data-data inderawi yang diperoleh, ilmuwan dapat
sampai pada hukum-hukum yang bersifat pasti, dan tidak sekedar probabilitas. Kritikan Popper terkait
masalh ini adalah semua sensasi inderawi yang datang pada seseorang selalu sudah melibatkan
penafsiran inderawi yang datang pada orang tersebut, sehingga kemungkinan adanya perbedaan
penafsiran sudah selalu terbuka. Penafsiran tersebut sangat bergantung pada pengandaian-
pengandaian ilmuwan yang sedang melakukan penelitian. Maka dari itu kebenaran induksi tidak akan
pernah mencapai pada tingkat absolut.
Yang esensial menurutnya ialah penemuan bukti-bukti baru yang mampu memfalsifikasi suatu
pernyataan. Jika suatu pernyataan yang diklaim ilmiah tidak dapat difalsifikasi , isi dari pernyataan
tersebut pastinya tidak memadai. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa suatu teori ilmu
pengetahuan yang memadai adalah teori yang bersifat konsisten, koheren serta selalu dapat
difalsifikasi. Tidak ada teori ilmiah yang selalu dapat cocok serta logis dengan bukti-bukti yang ada.
Dengan kata lain teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu pengetahuan.
Menurut Popper, pikiran manusia memiliki peran aktif di dalam membentuk pengetahuan, dan tidak
hanya berperan pasif menerima data melalui pengalaman inderawi seperti yang diungkap oleh locke.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, hal ini berarti bahwa kemajuan selalu datang, ketika seseorang
ilmuwan membuat rumusan hipotesisyang hendak melampaui apa-apa yang dapat diketahui melalui
pengalaman.kemajuan tidak datang dari penambahan informasi baru untuk mengkonfirmasi teori baru
yang sudah ada, melainkan secara spekulatif berupaya menjelajah ke informasi-informasi baru yang
belum diketahui sebelumnya, sehingga teori yang ada dapat dimodifikasi sesuai dengan informasi-
infromasi tersebut.
Seluruh teori yang dikembangkan Popper ini dirumuskan dengan pengandaian bahwa pikiran
manusia mempunyai karakter tetap untuk selalu berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang
menyibukkan dirinya. Konsekuensinya, tujuan utama dari ilmu pengetahuan adalah menghasilkan
pernyataan-pernyataan yang memiliki informasi tinggi dan tidak bersifat mutlak,tetapi memiliki
tingkat kebenaran tertentu yang masih terus dapat diperbaharui.
Pandangan yang bersifat simplistik tentang prosees falsifikasi adalah bahwa suatu teori langsung
dianggap tidak memadai karena dapat langsung difalsifikasi. Pandangan yang cukup memadai tentang
proses falsifikasi adalah bahwa suatu teori dianggap tidak memadai karena ada bukti baru yang
bisamemfalsifikasi teori tersebut dan sudah ada teori alternatif yang menggantikannya.

27
Apabila sebuah eksperimen berhasil memfalsifikasi sebuah teori, ada dua kemungkinan disini,
yakni ada sesuatu yang slah dalam eksperimen tersebut, atau ada faktor-faktor yang tidak
dipertimbangkan didalam perumusan teori sebelumnya[16].
E. Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apapun juga teori yang
menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar
bagaimanapun meyakinkan, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari
sebuah disiplin keilmuan. Sebenrnya tujuan akhir dari setiap disiplin keilmuan adalah
mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai
oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti halnya fisika. Bila dalam fisika saja keadaanya sudah
seperti ini dapat dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoritis pada disiplin-
disiplin keilmuan dalam dalam bidang sosial yang terdiri dari berbagai teori yang tergabung dalam
disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif teoritis yang bersifat
umum. Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan
pernuyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab
akibat. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat ini memungkinkan kita untuk meramalkan
apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah dapat kita katakan bahwa teori
adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala
terjadi. Sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa”
yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah yang berbentuk teori dan hukum ini harus mempunyai
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal. Dalam usaha
mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu
kita melihat berbagai contoh dimana teori-teori yang memiliki tingkat keumuman yang lebih rendah
disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat mengikat keseluruhan teori tersebut. Makin
tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,maka makin “teoritis” konsep tersebut. Pengertian teoritis
disini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin
teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala
fisik yang tampak nyata.

28
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dendekatan empiris dalam langkah-langkah yang
disebut dengan metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten
dan komulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan
fakta dan yang tidak. Secara sederhana berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat
utama yaitu 1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya
kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. 2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris
sebab teori teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris
maka tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.[17]

F. Eksplanasi
Seperti yang diungkap oleh bird bahwa salah satu tugas pokok ilmu adalah memberikan
eksplanasi. Problematika induksi menunjukkan pertanyaan dari prediksi seperti pertanyaan apa yang
akan terjadi dengan sesuatu yang sedang diobservasi tersebut. Namun science tidak hanya tertarik
dengan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan terjadi tapi juga tertarik dengan pertanyaan mengapa
hal yang demikian itu terjadi. Apabila dihadapkan pada sebuah epidemi dengan gejala baru kita
mungkin menginginkan science untuk menjelaskan kepada kita tentang bagaimana epidemi tersebut
berprogres, berapa banyak orang akan mengembangkan gejala tersebut, untuk berapa lama dan pada
konsentrasi apa. Kita juga berharap bahwa science akan muncul dengan jawaban jawaban mengenai
mengapa epidemi tersebut terjadi dan mengapa manusia menunjukkan gejala yang mereka inginkan.
Meskipun berbeda, dua pertanyaan tersebut berhubungan. Satu cara memprediksi bagaimana sebuah
epidemi itu berkembang itu dengan meneliti dan mempelajari tentang organisme yang
menyebabkannya. Hal tersebut dilengkapi dengan penjelasan bahwa apa yang telah kita teliti
mungkin bisa untuk memprediksi jawaban terkait apa yang akan kita teliti. Sebaliknya, jika ada
banyak alternatif penjelasan yang memungkinkan, maka kita mungkin bisa mengungkap penjelasan
yang sebenarnya dengan men cek apa yang sebenarnya terjadi terhadap prediksi-prediksi yang
berbeda yang dibuat berdasarkan masing-masing eksplanasi yang bersaing[18].
Jenis eksplanasi itu beragam dan dapat diklasifikasikan. Demikian macam-macam eksplanasi sebagai
berikut:
(A) penjelasan kausal (jendela pecah karena dilemparkan batu)
(B) penjelasan eko- (penjelasan dalam hal hukum alam) (kalium terlarut karena merupakan hukum
alam bahwa kalium bereaksi dengan air untuk membentuk hidroksida larut);
(C) penjelasan psikologis (Ia berada di kafe sepanjang hari dengan harapan bisa melihat wanita itu
lagi);

29
(D) Penjelasan psikoanalitik (tidak suka nya seseorang dengan tikus berasal dari represi ketakutan
masa kecil terhadap ayahnya)
(E) penjelasan "Darwin" (Cheetah dapat berjalan pada kecepatan tinggi karena keuntungan selektif
untuk menangkap mangsa mereka);
(F) penjelasan fungsional (Darah beredar dalam rangka untuk memasok berbagai bagian tubuh
dengan oksigen dan nutrisi)
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, itu adalah pertanyaan filosofis yang menarik apakah ini
benar-benar semua jenis yang berbeda dari eksplanasi, memang apakah mungkin ada satu eksplanasi
yang mencakup segala macam penjelasan. Namun melihat dari perspektif ragam eksplanasi itu
berdiri,memang satu sama lain memiliki perbedaan. Contohnya, penjelasan kausal tidak sama dengan
penjelasan eko (penjelasan dalam hal hukum alam). Jika kedua jenis eksplanasi itu sama, maka akan
ada hukum bahwa batu yang dilemparkan ke kaca selalu dapat memecahkan kaca itu. Namun
kenyataannya tidak. Batu yang kecil (kerikil) apabila dilemparkan ke plastik kaca tebal maka kaca itu
tidak akan pecah.
Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis logis, yang dikenal
sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological Model) atau Model Hukum yang
Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi[19].
Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan (disebut
explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premis-premis (disebut
explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal yang cocok. Agar eksplanasi bisa
diterima, explanans itu harus benar.
Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian direduksi menjadi
hubungan logis antara pernyataan-pernyataan. Explanandum adalah konsekuensi dari explanans. Ini
adalah metode yang umum dalam filsafat positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi
tidak dipertimbangkan.Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya
hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam hukum-hukum.
Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah.
Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan sebagai pernyataan yang
benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah
teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung
konstanta individual.Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan (derived theory).
Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori ilmiah berurusan dengan properti
umum, yang diekspresikan oleh pernyataan-pernyataan universal.

30
Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal individual tidaklah diizinkan.
Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun,
terdapat hukum-hukum (misalnya, hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi
terbatas dan merujuk ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya.
Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat universal tanpa
pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung rujukan terhadap obyek-obyek
individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti
hukum-hukum ilmiah bukanlah alat untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan
pernyataan sejati yang menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis.
Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa eksplanasi dan prediksi
memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memprakirakan,
dan sebuah prakiraan adalah sebuah eksplanasi yang sah.
Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi hukum-hukum. Dalam
kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat dibuktikan dengan bantuan hukum-
hukum ilmiah lainnya.
Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi induktif, di mana
explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel, dalam eksplanasi semacam itu,
explanans hanya memberi derajat probabilitas yang tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan
konsekuensi logis dari premis-premis bersangkutan.
Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang mencakup (covering law); di
mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak
deterministik; hukum-hukum statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi
induktif itu mirip dengan eksplanasi deduktif.
1. Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka memerlukan
hukum-hukum universal).
2. Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum. Dalam eksplanasi
deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari explanans. Sedangkan dalam eksplanasi
induktif, hubungan itu bersifat induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis
yang dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan.
3. Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan.
4. Explanans itu harus benar.
[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana yogya, 1992) hal. 33
[2] Stathis Psillos, Philosophy of Science A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007) hal 244
[3] Stathis Psillos ...,Ibid., hal 169

31
[4] Feyerabend, Paul Karl, dalam The Philosophy of Science, An Encyclopedia, (Routledge, 2006), hal.
306
[5] Feyerabend, Paul Karl ..., Ibid., hal.305-306
[6] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 100-101
[7] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis, (Yogyakarta: Titian
Gilang Printika, 2007), hal. 40
[8] Mikhael Dua , ibid, hal 41
[9] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015)
hal. 132-133
[10] Mikhael Dua..., op-cit, hal 41
[11] Mikhael Dua..., ibid, hal 54
[12] Zaprulkhan ,op-cit., hal 133
[13] Zaprulkhan... ,ibid., hal. 138
[14] Mikhael Dua..., op-cit, hal. 59
[15] Zaprulkhan... ,op-cit., hal. 139
[16] Reza A. A Wattimena, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar , (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hal. 183-
187
[17] Mohammad Adib..., Op-cit, hal. 97
[18] Alexander Bird, Philosophy of Science Fundamentals of Philosophy, (Edinburgh: Routledge, 1998),
hal. 41-42
[19] Alexander Bird ..., Ibid., hal. 44

32
BAB V
PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu cara yang
digunakan untuk mengetahui kebenaran atau kebijakan tentag alam semesta dan isinya melalui pemikiran
yang mendalam dan tidak terbatas terhadap suatu kajian atau objek yang diteliti. Sedangkan ilmu adalah
serangkaian pengetahuan yang sistematis, dapat diuji, dan dan hanya sampai pada tahap tahu yang
diperoleh melalui beberapa proses untuk mendapatkannya.

Filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan dalam suatu pembelajaran. Filsafat dan ilmu merupakan
suatu pengetahuan yang hampir sama. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencari
kebenaran, tetapi memilki metode-metode yang berbeda dalam menemukan suatu kebenaran tersebut.
Ilmu membutuhkan pemikiran yang mendalam agar bisa dipahami dengan sangat baik.Maka dari itu
filsafat dan ilmu sangat berhubungan erat karena saling berkaitan dalam menemukan kebenaran.Meskipun
kebenaran keduanya hanya sementara atau sewaktu-waktu dapat berubah dikarenakan perkembangan
zaman yang semakin maju dan perubahan kondisi alam.Filsafat mencoba menjawab petanyaan-
pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka dari itu bisang kajian filsafat lebih luas daripada
ilmu.

Dalam mempelajari filsafat kita mendapatkan banyak manfaat yang salah satu adalah bisa
mengembangkan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai rasa keingintahuan yang dalam
terhadap sesuatu yang dianggap baru.Filsafat juga bisa membuat pemikiran-pemikran menjadi tidak
terbatas pada satu objek kajian saja, tetapi pada banyak objek lainnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, P. (2010). Hubungan filsafat, ilmu, dan agama. Hubungan filsafat.

Dafrita, I. E. (2015). Ilmu Dan Hakekat Ilmu Pengetahuan Dalam Nilai Agama. Ilmu Dan Hakekat
Ilmu Pengetahuan Dalam Nilai Agama.

Gie, T. L. (2007). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Laudan, Larry. 1997. The Role of Empirical Problems, dalam Larry Laudan. 1997. Toward a
Theory of Scientific Growth. London: University of California Press, pp 11-44.

Larry, Laudan. 1977. Conceptual Problem, dalam Larry Laudan. 1977. Toward a Theory of
Scientific Growth. London: University of California Press, pp 45-29.

Nessa, M. N. (2014). Buku Ajar Filsafat Ilmu. Buku Ajar Filsafat Ilmu.

Roselle, Laura and Sharon Spray, 2011. Topic Selection and Question Development, dalam
Research and Writing in International Relations, New York: Pearson Longman, pp 5-15.

Surajiyo. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Susanto. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wahid, A. (2012). Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu. Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu.

Wiramihardja, S. A. (2007). Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.

34
35

Anda mungkin juga menyukai