Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN METODOLOGI KAJIAN ILMU KALAM (TEOLOGIS)

DAN FILSAFAT ISLAM

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memenuhi tugas :

Mata Kuliah : Pendekatan Kajian Islam


Dosen Pengampu : Dr. Sandi Santosa, MA

Disusun Oleh:

Didik Awaludin
Didin Wahyudin

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA
2017

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai objek kajian ilmu dapat dikaji dengan berbagai macam pendekatan.
Pendekatan yang digunakan tidak terikat pada satu atau dua pola saja, akan tetapi pendekatan
yang digunakan cukup beragam dan disesuaikan dengan permaslahan yang terjadi. Abuddin
Nata seorang yang mendalami studi islam membagi 7 macam pendekatan yang dapat
digunakan dalam agama, termasuk agama Islam sendiri. 7 macam pendekatan studi Islam
menurut Abuddin Nata meliputi; 1. Pendekatan teologis normatif, 2. Pendekatan antropologi,
3. Pendekatan sosiologis, 4. Pendekatan filosofis, 5. Pendekatan historis, 6. Pendekatan
kebudayaan dan 7. Pendekatan psikologi.1 Dalam kajian studi Islam, sangat mungkin adanya
penambahan-penambahan pendekatan yang baru. Karena semakin berkembangnya
permasalahan dibutuhkan metode yang beragam untuk menyelesainkan permasalahan
tersebut. Makalah ini akan difokuskan pada dua pendekatan dalam kajian Islam yaitu
pendekatan ilmu kalam dan pendekatan filsafat islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan Metodologi Kajian Ilmu Kalam?
2. Bagaimana Pendekatan Metodologi Kajian Filsafat Islam?

BAB II

1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm VII.
1
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Metodologi Kajian Ilmu Kalam (Teologis)

Ilmu Kalam termasuk salah satu cabang ilmu keislaman yang muncul semenjak masa
yang terbilang awal. Dalam konteks pemikiran islam, ilmu kalam termasuk bagian dari proses
pengalaman Islam yang mengalir dalam bangunan peradaban Islam pada umumnya. Oleh
karena itu, sebagai bagian dari pemikiran islam, ilmu kalam tidak dapat dipisahkan dari
proses sejarah peradaban islam. Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah, dan
telah ada di masa lampau, masa sekarang dan akan tetap ada di masa yang akan dating. Akan
tetapi, setiap langkah menuju pemikiran kalam selanjutnya, diperlukan penguraian dan
analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas pandangan dunia islam.
Secara Harfiyah, kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Di dalam lapangan
pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, Sabda Allah, dan kedua
Ilm al-kalam. Pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatic dalam
Islam, dan sekaligus merupakan inti pembahasan dalam tulisan sekarang ini. Perkataan
kalam sebenarnya merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi
kaum muslimin. Secara harfiyah, perkataan kalam dapat ditemukan baik dalam Al-Quran
maupum berbagai sumber lain.
Sedangkan Teologi Islam, adalah istilah lain dari ilmu kalam dan ilmu tauhid, yang
berasal dari bahasa asing. Kemunculan istilah teologi dalam islam, tidak terlepas dari sejarah
dakwah islamiyah dalam rangka perluasan (ekspansi) daerah kekuasaan Islam pada awal
tahun hijriah, dengan bertambahnya pemeluk agama islam pada masa ini, maka peristilahan
di dalam bahasa ikut pula menyertai perkembangan ilmu tauhid.
Teologi berarti ilmu yang membahas tentang ketuhanan, yaitu membicarakan zat tuhan,
perkataan tuhan, dan perbuatan tuhan dari segala aspeknya yang berkaitan dengan ketuhanan
dengan menggunakan argumentasi rasional. Teologi bisa tidak bercorak agama, tetapi
merupakan bagian dari filsafat atau fhilosophical theology, atau filsafat ketuhanan.2
Teologi atau ilmu kalam lazim dipahami secara umum sebagai ilmu tentang ke-Tuhan-
an, sebab dilihat dari akar katanya, berasal dari theos (Tuhan) dan logos (ilmu,
pengetahuan). Teologi dengan demikian, berbicara tentang Tuhan. Tidak ada teologi tanpa
Tuhan. Wacana substantif dalam teologi selalu dan dipastikan berpusat pada Tuhan, dan
konteks teologi selalu berarti konteks ketuhanan.

2
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. v
2
Jika demikian, bisa dikatakan bahwa tuhan adalah penanda utama teologi; Tuhan
adalah Alpha dan Omega teologi, titik berangkat sekaligus titik akhir dari refleksi dan
pemikiran dalam teologi. Seluruh fondasi teologi dibangun atas kehadiran Tuhan sebagai
faktor pertama. Karena demikian fundamentalnya pembicaraan tentangh Tuhan dalam
teologi, maka dapat disimpulkan bahwa subjek Tuhan adalah eidos, substansi, sekaligus
idea, yang memungkinkan teologi ada sebagai sebuah wacana.
Karena teologi terkait dengan Tuhan dan pengetahuan itu sendiri, maka dapatlah
disimpulkan bahwa teologi adalah:
1. Ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia
fisik.
2. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
3. Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari
kelompok-kelompok keagamaan tertentu dari para pemikir perorangan.
4. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah
dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
5. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten
dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau Allah.3
Teologi bertumpu pada tiga hal, yaitu pembicaraan, pengetahuan, dan kebenaran.
Ketiga matra ini tidaklah terpisahkan. Ketiganyalah yang menjadikan teologi sebagai sebuah
disiplin ilmu tentang Tuhan yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Dilihat dari aspek
metodologis, teologi (ilmu kalam) menurut Muhammad Al-Fayyadl dapat dibagi ke dalam
dua hal, yaitu teologi sebagai sistem keyakinan dan teologi sebagai kajian.

Pertama, sebagai sistem keyakinan, teologi menunjuk pada pandangan dunia yang
dibentuk oleh cita-cita ketuhanan (ideals of divinity) yang secara intrinsic terkandung di
dalam praktik keberagamaan itu sendiri. sebagai sistem keyakinan, teologi adalah
seperangkat doktrin yang diyakini dalam suatu agama, dan dijalankan secara penuh sadar
oleh pemeluknya. Karenanya, teologi merupkan sesuatu yang historis dan kontekstual. Ia
bersifat historis karena terjadi di dalam suatu lingkup kesejarahan tertentu (misalnya,
kemunculan Gereja dalam agama Kristen, atau peristiwa tahkim dalam Islam, yang kemudia
melahirkan ilmu kalam. Selanjutnya, ia bersifat kontekstual karena disituasikan oleh konteks
tertentu, yang historis dan partikular.

3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005), hlm. 1090.
3
Kedua, sebagai sebuah kajian, teologi menunjuk pada wacana yang dikembangkan dari
studi, telaah, dan pendekatan atas konsep-konsep ketuhanan. Dalam konteks ini, sebagai
sebuah kajian, teologi lebih bersifat kritis daripada normatif. Karena ia terdiri dari
sekumpulan wacana, maka teologi dalam pengertian ini adalah sebuah diskursus filosofis
tentang konsep ketuhanan.

Dalam kajian studi agama pendekatan kalam/teologi menjelaskan kepercayaan atau


pandangan agama terhadap tuhan. Dalam teologi Islam, tuhan adalah tunggal yaitu Allah. Dia
tidak bergantung pada makluk lain, namun semua makhluk bergantung pada-Nya. Allah tidak
memiliki anak, juga tidak diperanakkan dan ia tidak ada yang menyerupainya. Pendapat
teologi ini berasal dari kandungan surat al Ikhlas salah satu surat dalam al Quran yang
merupakan kitab suci umat islam. Berbeda dengan teologi kristen yang menganut Trinitas
yang berarti bahwa tuhan itu satu dalam tiga atau tiga dalam satu.

Pendekatan kalam/teologi dalam studi agama merupakan dogma yang bersifat normatif.
Bagaimanapun juga kebenaran agama satu tidak dibenarkan dalam agama lain, sehingga
dalam diskusi teologi lintas agama kerap kali muncul perselisihan tentang konsep ketuhanan.
Setiap pemeluk agama mempertahankan ideologi dan kepercayaannya dan mengabaikan yang
lain yang kemudian disebut klaim kebenaran (truth claim). Perselihan paham yang
berkelanjutan dan tidak jarang yang berakhir dengan tindak kekerasan.

B. Macam-macam Pendekatan Metodologi Kajian Ilmu Kalam (Teologis)

1. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar bila
dibandingkan dengan elemen lainnya.4 Model pendekatan ini, oleh Muh.Natsir Mahmud,
disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Hal itu karena pendekatan ini cenderung
mengklaim diri sebagai yang paling benar. Selain itu, pendekatan teologis normative
memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal
keliru.

4
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 28.

4
Dalam kerangka studi agama, normativitas ajaran wahyu dibangun, dikemas, dan
dibakukan melalui pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan normatif ini berangkat dari
teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama. Oleh karena itu,
pendekatan ini dianggap sebagai bercorak literalis, tektualis, dan skripturalis.5

Menurut Amin Abdullah, teologi senatiasa mengacu pada agama tertentu. Adapun ciri
yang melekat pada bentuk pemikiran teologis diantaranya adalah loyalitas terhadap
kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma
atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang
lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnya-lah
yang benar, sedangkan faham lainnya adalah salah, sehingga memandang bahwa paham
orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.

Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada
pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses
saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu
aliran dengan aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Oleh
karena itu, yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan
pengkotak-kotakan.

Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif


banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung
mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir
Mahmud mengatakan bahwa, Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang
diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad. Islam menurutnya
adalah bagian pemikiran ketimuran. Ada dua karakteristik pemikiran ketimuran
menurutnya:

a. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain
terkungkung.

5
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, (Surabaya: Arkola, 2005), hlm 109.

5
b. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanya merupakan contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif
Islamolog Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada
pandangan subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang dianutnya.

Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata
tidak dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak
pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik,
pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan
mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.

Uraian di atas bukan mengindikasikan bahwa pendekatan teologis normatif dalam


memahami agama hampir tidak dibutuhkan. Namun, pada kenyataannya, proses
pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab, sebagaimana halnya yang
terdapat dalam teologi, sangat diperlukan untuk mengawetkan ajaran agama. Selain itu,
pendekatan ini juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka
membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.

Jadi, pendekatan teologis memiliki arti yang berkaitan dengan aspek ketuhanan.
Sedangkan, normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal yang mengikuti aturan
atau norma-norma tertentu. Dalam konteks ajaran Islam, normatif merupakan ajaran
agama yang belum dicampuri oleh pemahaman dan penafsiran manusia.6 Dengan kata
lain, pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu
kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak
bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya
yang khas.

Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut
legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih
melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Al-Quran dan Hadits. Pendekatan
normatif dapat juga dikatakan pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa
melakukan kritis kesejarahan atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta
tidak memperhatikan konteks kesejarahan Al-Quran. Pendekatan ini mengasumsikan

6
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 63.
6
seluruh ajaran Islam baik yang terdapat dalam Al-Quran, Hadits maupun ijtihad sebagai
suatu kebenaran yang harus diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat lagi.7

Dalam konteks agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-
nilai luhur. Seperti halnya dalam bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa,
persamaan derajat dan sebagainya. Sementara itu, dalam bidang ekonomi, agama tampil
menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah,
agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat
dalam ajaran agama yang bersangkutan.

2. Pendekatan TeologisDialogis

Pendekatan teologisdialogis adalah mengkaji agama tertentu dengan


mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh
orientalis dalam mengkaji Islam.

Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh M. Natsir Mahmud,
dalam berbagai tulisannya terkait dengan pengkajian Islam menggunakan pendekatan
teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan
pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari
pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran, yang saling mengakui
eksistensi masing-masing agama.

Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah,


bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan? Pertanyaan ini menjadi titik tolak
untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat
dari teologi Kristen. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya,
Origan, yang mengeluarkan pernyataan controversial, yakni Ekstra Gelesiam Nulla
Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.

Selain itu, pendekatan teologis-dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt.


Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar
penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt
bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama
yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.

7
Masdar Hilmi dan A.Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, hlm. 64.
7
Sementara itu, C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1)
masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan
yang beriman, (2) sebagai konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin
masing-masing agama untuk dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara
damai, (3) melakukan kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini
berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada
apologis terhadap agama lain.

3. Pendekatan Teologis-Konvergensi

Pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap


agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran.
Adapun maksud dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial
dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi
demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal
dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.

Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith menghendaki
agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis, tetapi juga
dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat
pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah
konvergensi agama? Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith
(iman) dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith, agama-agama dapat disatukan,
sedangkan dalam belief tidak dapat menyatu.

Menurut Smith, belief seringkali normatif dan intoleran. Selain itu, belief bersifat
histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain.
Atas dasar belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan
menghasilkan konflik. Sebaliknya, dalam faith, umat beragama dapat menyatu. Jadi,
orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai
contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih.
Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam
Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap
keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula,
antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang
berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.

8
Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat
dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana
pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya
dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu
terdapat unsur konvergensi di dalamnya.

C. Pendekatan Metodologi Kajian Filsafat Islam


Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip Ramayulis, Perkataan filsafat berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu : (1) philein, dan (2) sophos. Philein berarti
cinta dan sophos berarti hikmah (wisdom).Perkataan philosophio merupakan perkataan
bahasa Yunani yang dipindahkan oleh orang-orang arab dan disesuaikan dengan tabiat
susunan kata-kata orang arab, yaitu falsafah pola : falala dan fila yang kemudian menjadi
kata kerja falsafa dan filsaf. Adapun sebutan filsafat yang diucapkan dalam bahasa Indonesia
kemungkinan besar merupakan gabungan kata arab falsafah dan bahasa Inggris philosophi
yang kemudian menjadi filsafat.8

Menurut pengertian umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau
esensi segala segala sesuatu. Dengan cara ini maka jawaban yang akan diberikan berupa
kebenaraan yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya.9

Sedangkan definisi filsafat menurut Sidi Gazalba, sebagaimana dikutip Abuddin Nata,
adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.17 Pendapat Sidi Gazalba di
atas memperlihatkan adanya 3 ciri pokok dalam filsafat. Pertama, adanya unsur berfikir yang
dalam hal ini menggunakan akal. Dengan demikian filsafat adalah kegiatan berfikir. Kedua,
adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan berfikir tersebut, yaitu mencari
hakikat atau inti mengenai segala sesuatu. Ketiga, adanya unsur ciri yang terdapat dalam
berpikir tersebut, yaitu mendalam. Dengan ciri ini filsafat bukan hanya sekedar berfikir,
melainkan berfikir sungguh-sungguh, serius, dan tidak berhenti sebelum yang difikirkan itu
dapat dipecahkan. Ciri lainnya adalah sistematik. Dalam hubungan ini filsafat menggunakan
aturan-aturan tertentu yang secara khusus dijelaskan dalam ilmu mantiq (logika). Selanjutnya
ciri berfikir tersebut adalah radikal, yakni menukik sampai kepada inti atau akar

8
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,
(Jakarta ; Kalam Mulia, 2009), hlm. 1
9
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 4.
9
permasalahan, atau sampai ujung batas yang sesudahnya tidak ada lagi objek serta ruang
gerak yang difikirkan, karena memang sudah habis digarapnya. Selain itu filsafat bersifat
universal, dalam arti fikiran tersebut tidak dikhususkan untuk suatu kelompok atau teritorial
tertentu. Dengan kata lain, fikiran tersebut menembus batas-batas etnis, geografis, kultural
dan sebagainya.

D. Pola Pendekatan Filosofis Dalam Kajian Islam

Menggunakan pendekatan filosofis dalam kajian Islam dapat dideskripsikan dalam dua
pola:10
1. Upaya ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami
serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya dengan menggunakan
paradigma dan metodologi disiplin filsafat.
2. Upaya ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami
serta membahas nilai-nilai filosofis (hikmah) yang terkandung dalam doktrin-doktrin
ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang selanjutnya
dilaksanakan dalam praktek-praktek keagamaan.
Untuk menjelaskan pola yang pertama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu
metode yang dapat ditempuh dalam kajian Islam melalui pendekatan filosofis. Sebagai suatu
metode, pengembangan suatu ilmu, dalam hal ini kajian Islam, memerlukan empat hal
sebagai berikut:11
a. Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan didiplin ilmu. Dalam hal ini
dapat berupa bahan tertulis yaitu, Al-Qur'an dan As-Sunnahserta pendapat para ulama
atau filosof. Dan bahan yang diambil dari pengalaman empirik dalam praktek
keberagamaan.
b. Metode pencarian bahan
Metode pencarian bahan, untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat
dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing
prosedurnya telah diatur sedemikian rupa.
c. Metode pembahasan,
10
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 22.
11
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 22-23.
10
Metode pembahasan, untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode
analitis-sintetis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap
sasaran pemikiran secara induktif, deduktif, dan analisa ilmiah.

d. Pendekatan.
Pendekatan biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori
keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam
hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia
semacam paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
Hal ini selanjutnya erat hubungannya dengan disiplin keilmuan.
Sedangkan dalam pola kedua, pendekatan filosofis dilakukan untuk mengurai nilai-nilai
filosofis atau hikmah yang terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang terdapat
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti hikmah dalam penerapan syariat Islam atau hikmah
dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Pola ini banyak ditempuh oleh
beberapa ulama, antara lain Imam As-Syatibi melalui karyanya: Al-Muwafaqatu fi Ushul Al-
Syariati.
Pola pendekatan tersebut diharapkan agar seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah
tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari
pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah
menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan
filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang
bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk
(forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.12

E. Model Pendekatan Filosofis Dalam Kajian Islam


Jamali Sahrodi menyebutkan setidaknya ada tiga jenis atau model yang termasuk
pendekatan filsafat modern (kontemporer) yang digunakan dalam kajian Islam, yaitu:
pendekatan hermeneutika, pendekatan teologi-filosofis, dan pendekatan tafsir falsafi.13
1. Pendekatan Hermeneutik
12
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 45.
11
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan,
dan dari kata hermeneuein ini dapat ditarik kata benda hermenia yang berarti penafisran
atau interprestasi dan hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Kata ini sering
diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai
utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk
membawa pesan kepada manusia.14

Hermeneutika secara terminologis dapat didefinisikan sebagai tiga hal: 15

a. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan


bertindak sebagai penafsir.

b. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak
diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.

c. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk


ungkapan yang lebih jelas.

Fungsi hermeneutika adalah untuk mengetahui makna dalam kata, kalimat dan teks.
Hermeneutika juga berfungsi menemukan instruksi dari simbol. Menurut Josef Bleicherr,
hermeneutika dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu :16

a. Hermeneutika sebagai metodologi.

b. Hermeneutika sebagai filsafat/filosofis.

c. Hermeneutika sebagai kritik.

Salah satu kajian penting hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi yang pas
antara nash (text), penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader) dalam
dinamika pergumulan penafsiran/pemikiran nash termasuk dalam nash-nash keagamaan
dalam Islam. Perlu disadari, semestinya kekuasaan (otoritas) atas nash adalah hanya
mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang (author) yang tahu persis apa
13
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 45.
14
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.23
15
Fakhruddin Faiz, Hermeutika Qurani, (Yogyakarta: Qalam, 2007), hlm.19
16
Khoiruddin Nasution, Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash dalam Studi Hukum Islam
Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.18-
19
12
yang sebenarnya Dia kehendaki dan maui dalam firman-firman-Nya sebagaimana
tertuang dalam nash. Manusia sebagai penafsir (reader), hanya mampu memosisikan
dirinya sebagai penafsir atas nash yang diungkapkan Tuhan dengan segala kekurangan
dan keterbatasannya. Dengan demikian, penafsiran yang paling relevan dan paling benar
mestinya hanyalah keinginan dan kehendak si pengarang, dan bukan terletak di tangan
penafsir.17

2. Pendekatan Teologis Filosofis

Kajian keislaman dengan menggunakan pendekatan teologi-filosofis bermula dari


kemunculan pemahaman rasional di kalangan mutakallimin (ahli kalam) di kalangan
umat Islam yaitu Mazhab Mu'tazilah.

Mu'tazilah menyodorkan konsep-konsep teologi (ilmu kalam) dengan berbasiskan


metodologi dan epistemologi disiplin filsafat Yunani yang pada saat itu tengah
berpenetrasi dalam perkembangan intelektual dunia Islam (masa pemerintahan Bani
Abbas) akibat proyek penterjemahan ilteraturliteratur Yunani yang dilakukan para sarjana
muslim pada kurun waktu tersebut. Kehadiran mazhab teologi rasional ini berupaya
memberikan jawaban-jawaban dengan pendekatan filosofis atas doktrin-doktrin pokok
Tauhid yang pada saat itu tengah menjadi materi-materi perdebatan dalam blantika
pemikiran Islam.

Kemunculan gerakan Mu'tazilah merupakan tahap yang amat terpenting dalam sejarah
perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan golongan rasionalis murni, namun
jelas mereka adalah pelopor yang amat bersungguhsungguh untuk digiatkannya
pemikiran tentang tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap
mereka yang rasionalistik dimulai dengan titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan
yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap ini adalah konsekwensi logis
dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis. Kebetulan pula pada masa-masa
akhir kekuasaan Umayyah itu sudah terasa adanya gelombang pengaruh Hellenisme di
kalangan umat Islam. Karena pembawa rasional mereka, kaum Mu'tazilah merupakan
kelompok pemikir muslim yang dengan cukup antusias menyambut invasi filsafat itu.
Meskipun terdapat berbagai kesenjangan untuk memberi sistem kepada faham Mu'tazilah
tingkat awal itu, namun tesis-tesis mereka jelas merupakan sekumpulan dogma yang
ditegakkan di atas prinsip-prinsip rasional tertentu. Karena berpikir rasional dan
17
Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Quran, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hml.103
13
sistematis itu sesungguhnya tuntutan alami agama Islam, maka penalarannya, di bidang
lain, juga menghasilkan pemikiran yang rasional dan sistematis pula, seperti di bidang
hukum syari'ah yang dirintis oleh Imam Syafi'i, perumus pertama prinsip-prinsip
jurisprudensi (Ushul Al-Fiqh).18

3. Pendekatan Tafsir Falsafi

Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi, menjelaskan bahwa tafsir falsafi


adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik
yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat
dengan ayat-ayat Al-Qur'an maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang
dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Timbulnya tafsir jenis ini tidak
terlepas dari perkenalan umat Islam dengan filsafat Hellenisme yang kemudian
merangsang mereka untuk menggelutinya kemudian menjadikannya sebagai alat untuk
menganalisis ajaran-ajaran Islam, khususnya Al-Qur'an.19
Tafsir falsafi juga diartikan sebagai suatu tafsir yang bercorak filsafat. Dalam
menjelaskan makna suatu ayat, mufassir mengutip atau merujuk pendapat para filsuf.
Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau didefinisikan
berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai
dengan pandangan mereka.20
Ibnu Sina adalah salah satu contoh tokoh yang berkecenderungan tafsir jenis ini ketika
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satu karyanya dalam bidang ini adalah al-isyarat
wal tanbihat: al-qismu tsani al-taii'ah, salah satu contoh dari tafsir falsafi Ibnu Sina,
dalam hal penafsiran filosofis, sebagai berikut:




Artinya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
18
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 21-22
19
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm.163
20
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 113-114
14
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-
lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS. An-Nuur Ayat 35)

Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda, denotatif dan konotatif.
Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah
kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah
kedua-duanya, yakni bahwa Allah SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari
semua kebaikan. Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas.
Kata misykat (lentera) merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan jiwa
yang berakal. Karena misykat itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan
cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material yang kaitannya dengan
akal mustafad (acquired intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara
mishbah (lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan
akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal
mustafad pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah.
Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu muncul
az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya.21
Selain tiga model pendekatan filsafat dalam kajian Islam yang telah disebut di atas,
Tasawuf Falsafi juga bisa disebut sebagai disiplin kajian berpendekatan filsafat. Tasawuf
falsafi, atau biasa juga disebut tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasannya. Tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.22

21
Husein Aziz, Bahasa Al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010), hlm.23
22
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.67
15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai


pendekatan. Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau ajaran terkadang masih
sulit untuk mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang peneliti dalam melakukan
penelitian, diwarnai dengan pola pikir berdasarkan doktrin yang dianutnya. Kecenderungan
seperti itu, cenderung melahirkan hasil penelitian yang bersifat apologis dan menutup mata
terhadap kemungkinan adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.

Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk
memahami cara mendekati islam,baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-
doktrinal secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, seraya
16
menafikan sudut pandang lainya yang kehadirannya sama-sama penting. Apabila Islam hanya
dilihat dari satu sisi saja, maka akibat yang ditimbulkannya adalah reduksi dan distorsi
makna. Implikasi logis dari hal tersebut adalah gambaran Islam yang utuh, tanpa diwarnai
oleh sikap apologetik dan truth claim sepihak, akan sulit dicapai.

Sedangkan Pendekatan filosofis merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam
kajian Islam untuk memahami aspek-aspek ajaran Islam dengan metodologi yang biasa
digunakan filsafat atau menelaah dan mengurai nilai-nilai filosofis (hikmah) yang terkandung
dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga
diharapkan ajaran-ajaran Islam tersebut dapat diinternalisasikan dan diamalkan secara lebih
subtansial dan sarat fungsi, tak kering makna.

Pendekatan filsafat dalam kajian Islam telah dilakukan banyak tokoh sejak masa
klasik sampai masa kontemporer dalam berbagai disiplin ilmu. Beberapa model pendekatan
filsafat tersebut antara lain: 1). Pendekatan Hermeneutik, 2). Pendekatan Teologi-Filosofis,
3). Pendekatan Tafsir Falsafi, dan 4). Pendekatan Tasawuf Falsafi.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Husein. 2010 Bahasa Al-Quran Perspektif Filsafat Ilmu. Pasuruan: Pustaka
Sidogiri.
A.Muzakki dan Masdar Hilmi. 2005. Dinamika Baru Studi Islam. Surabaya:
Arkola.
Bagus Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Faiz, Fakhruddin. 2007. Hermeutika Qurani. Yogyakarta: Qalam.
Hanafi,Ahmad. 1974. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang.
Madjid, Nurcholis. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
M. Yusuf, Kadar. 2012. Studi Al-Qur'an. Jakarta: Amzah.
Nasution, Khoiruddin. 2008. Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash
dalam Studi Hukum Islam Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi,
Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
17
Nata, Abuddin. 2003. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta ; Kalam Mulia.
Sahrodi, Jamali. 2008. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Syamsuddin, Syahiron. 2003. Hermeneutika Al-Quran. Yogyakarta: Islamika.

18

Anda mungkin juga menyukai