Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“Sumber Hukum Islam Dan Dalil Hukum”


Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen : Upi Nurjanah, Lc

Fawwaz Hamizan Dhiaurrohman


Hamdiah Kirei

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH BOGOR
2020M/1441H
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat sertahidayah-Nya kepada Kami semua sehingga Kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Sumber Hukum Islam Dan Dalil Hukum”. Salawat
serta salam Kami limpahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan kerabatnya. Dengan kehadiran makalah ini mudah-mudahan dapat
membantu dalam proses belajar mengajar dalam bermakna bagi kita semuanya Amin.

Namun, kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu ditemui


berbagai kesalahan, baik mengenai bahasa, susunan ataupun penulisannya. Untuk
itu kami sebagai manusia yang tak pernah luput dari salah dan kehilafan
serta terbatasnya kemampuan Kami mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca. Akhirnya kata kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................Error! Bookmark not defined.ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PEMBUKAAN.............................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................3

C. Tujuan...........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

A. Pengertian Sumber dan Dalil Hukum Islam.................................................4

B. Sumber dan Dalil Hukum Islam..................................................................10

1. Al-Qur’an................................................................................................10

2. As-Sunnah ............................................................................................... 6

3. Al-Ijma .................................................................................................. 7

4. Al-Qiyas .................................................................................................. 8

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I
PEMBUKAAN
A. LATAR BELAKANG
Seluruh tindakan manusia (ucapan, perbuatan dalam ibadah dan
muamalah) terdapat hukum-hukumnya. Hukum-hukum tersebut sebagian telah
dijelaskan di dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun sebagian
yang lain belum terdapat penjelasan, namun syari’at Islam telah memberikan dalil
dan isyarat-isyarat tersebut.
Para Imam Madzhab sepakat dengan dalil yang dikemukakan Imam
Syafi’i dalam kitab al-Risalah yakni al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber
hukum utama yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Selain dari al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat juga sumber dan dalil hukum Islam
yang lain.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan sumber dan dalil hukum Islam?
2. Apa saja yang termasuk sumber dan dalil hukum Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu sumber dan dalil hukum Islam.
2. Untuk mengetahui sumber dan dalil hukum Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum Islam
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi
adalah mashdar (‫)مصدر‬, yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk
segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (
‫رعية‬HHH‫ادراالحكام الش‬HHH‫ )مص‬secara terminologi berarti rujukan utama dalam
menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (‫)الدليل‬, jamaknya al-adillah (
‫)االدلة‬. Secara terminologi, dalil mengandung pengertian: Suatu petunjuk
yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum
syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun Dzani
(relatif).
B. Sumber Dan Dalil Hukum Islam
Dasar yang digunakan oleh ulama ushul tentang sumber hukum adalah
firman Allah swt dalam QS. An-Nisa: 59

‫سو َل َوأُ ۟ولِى ٱأْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَإِن‬ ۟ ‫وا ٱهَّلل َ َوأَ ِطي ُع‬
ُ ‫وا ٱل َّر‬ ۟ ‫ٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا أَ ِطي ُع‬
‫ول إِن ُكنتُ ْم ت ُْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱ ْليَ ْو ِم‬ ِ ‫س‬ُ ‫تَ ٰنَزَ ْعتُ ْم فِى ش َْى ٍء فَ ُردُّوهُ إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر‬
‫سنُ تَأْ ِوياًل‬ ٰ
َ ‫اخ ِر ۚ َذلِ َك َخ ْي ٌر َوأَ ْح‬ ِ ‫ٱ ْل َء‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian yang demekian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa: 59)

1. Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Quran adalah membaca, menelaah, mempelajari dan
menyampaikan. Sedangkan secara terminologi menurut ahli ushul fiqh dan ahli

4
fiqh, Al-Quran adalah kalam Allah SWT., yang menjadi mukjizat, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang dituliskan dimushaf, yang
dinukilkan secara mutawatir, dan dipandang sebagai ibadah bagi yang
membacanya.
a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam, yaitu:[2]
1. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan
dengan keimanan (rukun iman yang enam).
2. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan
dengan akhlak.
3. Hukum-hukum Amaliyah (kajian ilmu fiqh), yaitu hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia.
Hukum amaliyah dibagi kepada dua bagian, yaitu:
Hukum ibadah (hubungan manusia dengan Allah), misalnya shalat, puasa,
zakat, haji, nazar, sumpah, dan lai-lain.
Hukum muamalah (hubungan manusia dengan manusia), meliputi:
 Ø Hukum Ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga)
 Ø Hukum Madaniyah (muamalah pribadi, seperti jual beli, upah, jaminan,
perkongsian)
 Ø Hukum Jinayah (pidana)
 Ø Hukum Murafaat (acara)
 Ø Hukum perundang-undangan
 Ø Hukum ke-Tata Negara-an
 Ø Hukum Iqtisyadiyah (ekonomi) wa al-maliyah (harta).[3]
b. Dalalah Al-Quran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Al-Quran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan
adakalanya bersifat dzani.
1. Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak
bisa dipahami makna lain darinya.
Contohnya adalah firman Allah swt dalam QS. An-Nur: 4

5
‫اجلِدُو ُه ْم ثَ َمانِينَ َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ ُ ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَ َع ِة‬
ْ َ‫ش َهدَا َء ف‬ ِ ‫صنَا‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ يَ ْر ُمونَ ا ْل ُم ْح‬
َ‫سقُون‬ ِ ‫ش َها َدةً أَبَدًا ۚ َوأُو ٰلَئِ َك ُه ُم ا ْلفَا‬
َ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS.
An-Nur: 4)
2. Dzani yaitu lafal-lafal yang dalam Al-Quran mengandung pengertian lebih
dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Contohnya adalah firman Allah swt dalam QS. An-Nisa: 43
‫ار ٰى َحت َّٰى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َواَل ُجنُبًا إِاَّل‬ ُ ‫صاَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم‬
َ ‫س َك‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا ال‬
‫سفَ ٍر أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ا ْل َغائِ ِط أَ ْو‬
َ ‫ض ٰى أَ ْو َعلَ ٰى‬ َ ‫سلُوا ۚ َوإِنْ ُك ْنتُ ْم َم ْر‬ِ َ‫سبِي ٍل َحت َّٰى تَ ْغت‬ َ ‫عَابِ ِري‬
َ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ۗ إِنَّ هَّللا َ َكان‬َ ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم‬َ ‫سا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬ َ ِّ‫ستُ ُم الن‬
ْ ‫اَل َم‬
َ ‫َعفُ ًّوا‬
‫غفُو ًرا‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sholat sedang kamu dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah maha pemaf lagi
maha pengampun.” (QS. An-Nisa:43).[4]
c. Keistimewaan Al-Qur’an
1. Lafadz dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW., melalui malaikat Jibril dengan jalan wahyu. Nabi tidak
boleh mengubah baik kalimat ataupun pengertiannya selain dari
menyampaikan seperti apa yang diterimanya.

6
2. Bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan lafadz dan gaya bahasa Arab, seperti
yang difirmankan Allah swtdalam QS. Az-Zukhruf: 3
َ‫إِنَّا َج َع ْلنَاهُ قُ ْرآنًا ع ََربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬
“Sesungguhnya kami jadikan Al-qur’an itu sebagai bacaan yang berbahasa
Arab.” (QS. Az-Zukhruf: 3)
3. Bahwa Al-Qur’an disampaikan atau diterima melalui jalan tawatur yang
menimbulkan keyakinan dan kepastian tentang kebenarannya. Dia di hapal
dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebar luaskan ke seluruh
negeri Islam bertubi-tubi, tanpa berbeda dan diragukan didalamnya, baik
ayat ataupun susunannya. [5]

2. As-Sunnah
As-Sunnah secara etimologis yaitu kabar, kejadian, sesuatu yang baru, perkataan,
hikayat, dan cerita[6]. Sedangkan secara terminologi ialah perkataan Nabi,
perbuatannya dan taqririnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau
diamkan dengan arti membenarkannya).
a. Macam-macam sunnah[7]
1. Dilihat dari materi dan isinya sunnah terbagi pada:
a) Sunnah Qauliyah (perkataan Nabi)
b) Sunnah Fi’liyah (perbuatan Nabi)
c) Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan seorang sahabat yang
dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak dicegah
oleh Nabi.
2. Dari segi banyak-sedikitnya orang yang meriwayatkan, hadist dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a) Hadits Mutawatir
b) Hadits Masyhur
c) Hadits ‘Ahad
3. Dilihat dari penerimaan dan penolakkan hadits, maka hadits terbagi pada:
a) Hadits Shahih
b) Hadits Hasan

7
c) Hadits Dha’if
b. Fungsi As-Sunnah
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-Quran dalam hukum adalah:[8]
1. As-sunnah berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal
mengkhususkan yang umum.
2. Hukumnya sudah disebutkan dalam Al-Quran kemudian As-Sunnah
menguatkannya dan menambahkannya.
3. As-Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-
Quran.
c. Qath’i dan Dzani
Bila ditinjau dari pihak datangnya, maka sunnah mutawattir itu qath’i dari Rasul.
Karena nukilannya itu berturut-turut mempergunakan hal-hal yang pasti, dan
beritanya itu shahih. Sunnah masyhur qath’i itu datangnya dari sahabat.
Sunnah uhad dzaniyah itu datangnya dari rasul, karena sanadnya tidak
mempergunakan qath’i. Bila dibandingkan nash al-Qur’an dan As-Sunnah dari
pihak qath’i dan dzanni, maka dapat disimpulkan bahwa dalil Al-Quran itu
semuanya qath’i. Dan dari nash inilah datangnya dalil qath’i dan dalil dzanni
sedangkan sunnah dari padanyalah datangnya qath’i wujud. Dan keduanya ini
(Qur’an dan Sunnah) kadang-kadang dalilnya itu qath’i dan kadang-kadang
dzanni.

3. Al-Ijma
Ijma artinya cita-cita, rencana, dan kesepakatan[9] atau ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologi, ijma
adalah kesepakatan mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW., tentang suatu hukum syara dalam perkara yang
bersifat amaliyah.
a. Macam-macam ijma
1. Dilihat dari sudut cara menghasilkan hukum, maka ijma dibagi, menjadi:
a) Ijma sharih (tegas), yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid dan
menyatakan persetujuannya terhadap kesimpulan tersebut.

8
b) Ijma sukuti (persetujuan yang diketahui dengan diamnya sebagian
ulama), yaitu bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan
pendapatnya, sedangkan ulama yang lainnya hanya diam tanpa
komentar.

4. Al-Qiyas
Qiyas secara etimologi yaitu perbandingan atau mengukur. Sedangkan secara
terminologi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Wahhab Khallaf, qiyas merupakan
menyamakan suatu kasus yang tidak terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus
yang terdapat dalam nash, karena adanya persamaan illat kedua kasus itu.[10]
a. Rukun qiyas
Suatu masalah dapat di-qiyaskan apabila memenuhi rukun-rukun qiyas
diantaranya, yaitu:[11]
1. Asal, yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan
(musyabbah bih).
2. Furu’, yaitu suatu maslah yang akan di-qiyaskan disamakan dengan asal
yang disebut musyabbah.
3. Illat, yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan
persamaan sebabinilah baru dapat di-qiyaskan masalah kedua (furu’)
kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat
dikompromikan antara asal dengan furu’.
4. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada
ketetapan hukumnya pada asal.
b. Syarat qiyas
Adapun untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah harus memenuhi
syarat-syaratnya, diantaranya:[12]
1. Hendaknya hukum asalnya tidak berubah-ubah.
2. Asal serta hukumnya sudah menurut ketegasan Al-Quran dan Hadits.
3. Hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh hukum furu’ terdahulu dari hukum asal, karena untuk
menetapkan hukumb berdasarkan pada illatnya (sebab)

9
5. Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
6. Tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
7. Tiap-tiap ada illat itu bertentanganmenurut ketentuan-ketentuan agama,
artinya tidak boleh menyalahi Al-Quran dan Sunnah.
c. Macam- macam qiyas
1. Qiyas Aulawi, yang terdapat dalam al- far’u lebih utama dari pada yang
terdapat pada asal. Misalnya meng-qiyaskan hukum haram memukul
kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat
dalam QS. Al-Isra (17): 23.
2. Qiyas Musawwa, qiyas yang berlakunya pada far’u sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada asal karena kekuatan illat-nya sama.
Misalnya men-qiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya
secara tidak patut. Sebagimana terdapat dalam QS. An-Nisa (4): 2.
3. Qiyas Adna, qiyas yang berlakunya pada far’u lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada asal. Misalnya,sifat yang memabukkan
pada hukum sifat yang memabukkan pada hukum qiyas bir umpamanya
lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras
khamar, yang digharamkan dalam QS. Al-Maidah (5): 90.

Ada beberapa ayat Al-Quran yang menganjurkan umatnya untuk menggunakan


akal. Dan hal inilah ulama dijadikan hujjah penggunaan qiyas. Salah satu ayat itu
ialah Surat Yusuf (12): 111
‫ق الَّ ِذي بَيْنَ يَ َد ْي ِه‬ ْ ‫ب ۗ َما َكانَ َح ِديثًا يُ ْفت ََر ٰى َو ٰلَ ِكنْ ت‬
َ ‫َص ِدي‬ ِ ‫ص ِه ْم ِع ْب َرةٌ أِل ُولِي اأْل َ ْلبَا‬
ِ ‫ص‬ َ َ‫لَقَ ْد َكانَ فِي ق‬
َ‫َي ٍء َو ُهدًى َو َر ْح َمةً لِقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬ ِ ‫َوتَ ْف‬
ْ ‫صي َل ُك ِّل ش‬
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal, Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf (12): 111)

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber dan dalil hukum Islam merupakan segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan dalam menemukan dan atau menetapkan hukum syara dengan
pertimbangan yang tepat dan benar. Yang termasuk dalam sumber dan dalil
hukum Islam diantaranya Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas,
Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta
memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena
sumber ajaran agama Islam merupakan media penuntun agar kita dapat
melaksanakan semua perintah Allah dan semua larangan-Nya. Agama Islam pun
tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk-beluk agama Islam. Karena
terdapat tingkatan sumber ajaran agama Islam yang harus kita pedomani.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudhori Biek, Syaikh M. Tanpa tahun. Terjemah Ushul Fiqh. Pekalongan:


Raja Murah. Ahli Bahasa Zaid. H. Alhamid
Ashshiddieqy, T.M. Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Cv. Mulja
Djakarta
Ashshiddieqy, T.M. Hasbi.1999. Pengantar Ilmu Fiqh Cet. II. Semarang: Pt.
Pustaka Rizki Putra.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.
H. A. Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh, Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mardani.2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai