Anda di halaman 1dari 18

Epistimologi Bayani, Burhani dan Irfani Agus Dian Alirahman

2 Epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti pengetahuan atau informasi. Secara etimologi, epistimologi merupakan
pengetahuan tentang pengetahuan. Menurut A. Tafsir, epistimologi yaitu membicarakan
sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan

3 Epistimologi membicarakan tentang cara untuk mencapai pengetahuan yang benar. Mengetahui
cara yang benar dalam memperoleh pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang diinginkan

4 1. Bayani 2. Burhani 3. Irfani

5 Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistimologi (bayani, burhani dan
irfani) tersebut digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang

6 Pemahaman paling sederhana pada ketiga epistimologi (bayani, burhani dan irfani) ini adalah
jawaban dari pertanyaan, dengan apakah manusia mendapatkan kebenaran

7 1. Bayani Berasal dari bahasa Arab al Bayani, secara harfiah bermakna sesuatu yang jauh atau
sesuatu yang terbuka. Sifat bayani lebih tekstual, sehingga posisi akal atau rasio tidak
mempunyai porsi yang cukup dan lebih menyandarkan pada teks. Dalam perpektif keagamaan
metode bayani lebih kental bersinggungan dengan aspek aksoterik (syariat)

8 2. Burhani Secara bahasa (arab) burhani berarti mensucikan atau menjernihkan. Sedangkan
menurut ulama Ushul, burhani merupakan pemisahan kebenaran dari kebatilan dan membedakan
kebenaran dari kesalahan melalui penjelasan Kecenderungan metode burhani menempatkan akal
atau rasio sebagai alat yang juga mampu dijadikan sebagai landasara berfikir untuk menemukan
kebenaran, sekalipun pada ranah keagamaan. Alasan kuat pada metode burhani, yaitu banyaknya
diketemukan dalam teks ayat al Quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar
(reason). Seperti taqilun, tafakkarun, tadabbarun dan lain- lain.

9 Secara bahasa (Arab) merupakan sesuatu yang berurutan secara kontinu dan bermakna diam
dan tenang. Secara terminologi, irfani adalah pengungkapan pengetahuan dan kebenaran yang
diperoleh melalui hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al Kasyf) setelah melalui riyadlah.
Rasulullah SAW. merupakan contoh konkrit yang melandari metode irfani ketika menerima
wahyu. Pendekatan irfani ini lebih bersifar subjektif, namun setiap orang merasakan
kebenarannya. Dalam ranah filsafat, Irfani dikenal dengan istilah intuisi

10 Orang yang mempunai corak berfikir bayani mempunyai kecenderungan bahwa sumber
kebenaran atau pengetahuan itu bersal dari teks. Menurut corak ini, rasio tidak memiliki
tempat dalam pembacaan mereka terhadap kebenaran. Kecenderungan corak berfikir melalui
bayani memasukan mereka pada golongan fundamentalis literalis.
11 Epistimologi burhani memberikan pemahaman bahwa kebenaran itu dapat diperoleh melalu
akal atau panca indera. Pemahaman epistimologi bayani memunculkan dua dikotomi, yaitu
rasional dan irrasional (kebenaran dan kesalahan).

12 Corak epistimologi irfani memberikan pemahaman bahwa kebenaran itu berasal dari
wahyu, ilham, intuisi dan sejenisnya. Kecendrungan irfani akan membangun pemahaman
sebuah struktur hirarki vertikal.

(Ketua Program Kulliyyatul Muballighin Al-Madinah Yogyakarta)

A. PENDAHULUAN

Epistemologi[1] adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu
sebagai proses yakni usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip
kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan
seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa
dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolute atau relative.

Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga
kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi
hidup manusia, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas
itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.[2] Batas-batas hidup
seseorang, berpengaruh pada kualitas kajiannya, sehingga banyak sekali revisi dan koreksi
dilakukan oleh seseorang terhadap hasil kajiannya yang terdahulu. Demikian juga batas-batas
pendidikan yang ditempuhnya, sehingga hasil kajian di saat ia menjalani tingkat pendidikan SI,
S2, S3 tentunya sedikit banyak juga berpengaruh pada kualitas hasil kajiannya, meskipun ini
tidak berlaku mutlak.

Di samping itu, kajian ilmu juga dibatasi oleh obyek yang menjadi fokus kajiannya, dan batas
obyek kajian akan membawa pada konsekuensi terhadap pilihan metodologinya. Metodologi
sebagai jalan penalaran sebuah kajian, akan mengikuti obyek kajiannya, sehingga jika seseorang
menetapkan pilihan obyek kajiannya pada satu sisi dari emosi seseorang, ini berarti menjadi
kajian psikologi, maka tentunya metode yang harus ditempuhnya adalah metode yang berlaku
dalam kajian psikologi, dan dengan sendirinya kajian teknik mesin tidak bisa dipakai sebagai
sebuah pendekatan metodologisnya. Jika seseorang memaksakan kajian psikologi dengan metode
teknik mesin, akan berakibat pada hasil kajiannya, yang tentu saja kemungkinan besar terjadi
penyimpangan dan tingkat kebenarannya diragukan.

B. OBYEK KAJIAN ILMU

Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-
ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan
yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia sendiri.[3]
kajian terhadap kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam
semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di
dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya, akan tetapi
kajiannya pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai
aspek kehidupan, melahirkan ilmu Humaniora, sedangkan kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan
itu yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan
ilmu filsafat.[4]

Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan filsafat adalah
berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari kebenaran
yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber
yang Satu, yaitu ayat-ayat-Nya. Dalam kaitan ini, maka ketiganya pada hakikatnya saling
berhubungan dan saling melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan
teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan
agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi yang Ilahi.

Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah bidang kajian ilmu
agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan pentafsiran manusia terhadap
doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran dan pemahaman manusia
tersebut dapat masuk pada kajian ilmu humaniora.[5] Sedangkan kajian filsafat dapat
memberikan penjelasan dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan kenabian, tetapi sifatnya
spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara yang teknis bagaimana
berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya, yang dibawa oleh para Nabi
utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.

Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid, dan tauhid dalam
konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep
antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip
dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia,
yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non syariah,[6] yang secara
institusional dipisahkan penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan pendidikan di
bawah Departemen Agama, dan yang umum penyelenggaraan pendidikannya di bawah
Departemen Pendidikan.[7]

Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan, yaitu alam, manusia dan kitab
suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau
memikirkannya, karena melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan
diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang memungkinkan manusia memanfaatkan
untuk kemungkinan hidupnya. Al-Quran 43:3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai obyek
berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah :

() ( )

Artinya : Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya). Dan Sesungguhnya Al Quran itu dalam Induk Al kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi
Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan Amat banyak mengandung hikmah.
Selanjutnya Al-Quran 45:5 mengatakan tentang alam semesta sebagai obyek pemikiran untuk
kepentingan hidup manusia:

()

Artinya : Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu
dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.

Pada tempat lain, Al-Quran 16:11-12 juga menambahkan:


( )
)

Artinya : Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma,
anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),

Sedangkan mengenai manusia Al-Quran 30:20-21 mengatakan:

( )
()

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.

________________________________________

[1] Secara historis, istilah epistemology digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Wilayah epistemologi ini
setidaknya berkaitan dengan tiga disiplin, yaitu metafisika, logika dan psikologi. Lihat Ledger
Wood, Epistemology, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy, New Jersey:
litlle Field, Adam &co., 1976, hlm, 94. epistemology dapat diartikan sebagai studi yang
menganalisa dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk
keyakinan. Lihat Alvin I. Goldman,Epistemics and the Sciences of Knowledge dalam The
Open Curtain, A. U.S. Soviet Philoshopy Summit, Boulder: Keith Lehrer and Ernest Sosa, 1991.
Persoalan epistemology menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang
philoshop Muslim modern Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, Jika sumber-sumber
pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka
tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknya. lihat Muhammad Baqir
ash-Shadr, Falsafatuna terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 25. bandingkan
dengan Paul Edward, The Encyclopedya of Philosophy, New York : Macmillan Publishing co.,
inc., 1972, Vol. III.

[2] Ilmu pengetahuan atau sains tetap memiliki batas-batas penjelasan. Batas-batas itu tidak
meski terletak pada pencarian atau pembuktian baru dari laju eksperimen sains, tetapi terbukti
bahwa semenjak kelahiran suatu teori sains, batas-batas itu telah dimunculkan sebagai bidang-
bidang khusus untuk membedakan suatu disiplin atas yang lain. Sebuah rumusan teoritis sains
dilegitimasi melaui kontradiksi dan kritik. Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science,
terj. Frederick G. Lawrence, Cambridge : Cambridge : University, 1993, hlm. 12.

[3] Para filosof Muslim, sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, ar-Razi, Ibnu al-Rawandi, dll,
meski begitu simpatik terhadap filsafat Hellenistik, semuanya menyatakan bahwa yang mereka
lakukan dengan filsafat itu adalah untuk mempelajari konsep-konsep Alquran baik menyangkut
penciptaan dunia, validitas nubuat, kebanmgkitan, dan lain-lain. Di pihak lain, para filosof itu
juga mempelajari ayat-ayat Tuhan yang terkait dengan eksplorasi ilmiah eksperimental. Lihat
Majid Fakhri,Philoshopy and History, dalam John S. Badeau, Majid Fakhri , The Genius of
Arab Civilization, Canada : MIT. Pres, 1983, hlm. 58

[4] Sebagai perbandingan, al-Farabi mengklasifikasikan ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu Bahasa, 2.
Logika (ilm al-manthiq), 3. Ilmu Matematika (ulum al-talim) terdiri : a) Aritmatika, b)
Geometri, c) Optika, d) Ilmu Perbintangan, e) Music, f) ilmu tentang Berat, g) Ilmu Pembuatan
Alat, 4. Fisika atau Ilmu Kealaman, 5. Metafisika, 6. Ilmu politik terdiri : a) Ilmu Politik, b)
Yurisprudensi, c) Teologi Dialektis. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-
Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 145-148.

Dalam dunia keilmuan modern, biasanya yang dipakai adalah klasifikasi yang diajukan oleh
Dewey, yaitu sebagai berikut: 1) kelompok ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural Sciences);
biologi, antropologi fisik dan ilmu pasti, 2) kelompok ilmu-ilmu kemasyarakatan (Social
Science) ilmu hokum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi budaya dan social, 3) kelompok
ilmu-ilmu Humaniora ( Humanities Studies); ilmu agama, filsafat dan bahasa . Lihat Verhaak dan
R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan ; telaah atas cara kerja ilmu-ilmu, Jakarta:
Gramedia, 1989

[5] Keyakinan terhadap agama juga dapat dinilai dan diukur menurut kriteria tertentu
sebagaimana teori-teori ilmiah, yaitu: 1) kesucian dengan data, keyakinan agama harus dapat
memberikan pengertian yang meyakinkan tentang hal-hal yang dialaminya yang dianggap
penting oleh masyarakat. Data keagamaan ini bisa berupa pengalaman keagamaan individu,
ritual dan lain-lain, 2) koherensi, konsistensi dengan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh
orang lain dapt menentukan kelangsungan sebuah teradisi paradigma, 3) runang-Lingkup,
keyakinan agama dapat diperluas untuk menafsirkan jenis-jenis pengalaman yang lain dari data
keagamaan, 4) Fertilitas, di dalam agama, teori harus dapat diuji dan dinilai melalui riset-riset
baik yang sekarang maupun yang akan datang dan dinilai kemampuannya mempengaruhi
transformasi pribadi. Lihat Ian G. Barbour, Religion in the Age of Science, London: SCM Press,
1990, hlm. 34-35.

[6] Dikotomi keilmuan dalam system pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dapat juga
dilihat secara politis dari kebijaksanaan pendidikan bisa masa kolonial. Penggabungan system
pendidikan umum dengan system pendidikan Islam tidak terlaksana sebagai akibat konsekuensi
logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau ikut campur tangan dalam
persoalan Islam.

Sejak permulaan inilah, pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model pendidikan sendiri
yang berbeda dan terpisah dari system pendidikan Belanda, maupun Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia. Lihat Karel A. Streenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta:
LP#ES, 1986, khusus bagian asal-usul system pendidikan yang dualistis. Bandingkan dengan
Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid; Its Implications for Thought and Life, Temple : The International
Institute of Islamics Thought, hlm.48.

[7] Dalam Islam, suatu realitas adalah sekaligus merupakan wujud, pengetahuan dan wujud
kebahagiaan. Tidak ada pemilihan di antara bagian-bagian itu. Pengetahuan mempunyai
pengetahuan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan primordial, yang merupakan Yang
Kudus dan sumber segala hal yang Kudus. Dengan demikian pengetahuan Islam adalah
perwujudan dari cermin Dia sendiri, Yang Maha Mengetahui. Sayyed Husein Nasr, Knowledge
and the Sacred, Edinburgh, 1981, hlm.4.

Pendahuluan
1. Latar belakang
Islam muncul pada abad ke-7 Masehi, sebagai apa yang disebut sebuah gerakan ideologis.
Ideologi adalah sebuah istilah yang sarat-nilai, dan mencakup semua sistem kepercayaan.
Persisnya, ideologi adalah kumpulan doktrin, mitos, simbol, dan sebagainya dari gerakan sosial,
kelas, atau gerakan lainnya yang menghasilkan pengetahuan.1[1] Oleh sebab itu, Pengetahuan
mengenai sejarah berbagai peristiwa yang menyangkut peradaban islam baik yang timbul dimasa
lampau maupun masa sekarang merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui. Islam
merupakan agama satu-satunya yang banyak melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dan banyak
melahirkan berbagai ilmuwan-ilmuwan hebat pada masanya yang dapat merubah peradaban
dunia, pengetahuan itu lahir dari semangatnya orang-orang islam yang mengkaji apa yang
diturunkan oleh Tuhan-Nya yaitu Al Quran dan Sunah-Sunah Nabi Muhammad SAW yaitu
Hadis dan belum ada agama lain yang dapat menandingi pencapaian Umat Islam pada waktu itu.
Tetapi pada masa renaissance eropa, ilmu-ilmu islam diserap bangsa eropa dan pada waktu itu
Umat Islam mengalami kemunduran yang amat memprihatinkan dan hampir seluruh wilayah
islam dalam cengkraman bangsa eropa. Yang diakibatkan dari banyaknya umat islam yang
meninggalkan dalam mengkaji Al Quran. Oleh karena itu, kita harus memahami dan mengetahui
prinsip dasar epistemologi Islam agar sejarah kelam Umat Islam tidak terjadi lagi.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian epistemologi dan Islam?
b. Bagaimana sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan rasa)?
c. Bagaimana kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam?
d. Bagaimana peranan dan fungsi pengetahuan Islam?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Epistemologi dan Islam


a. Pengertian Epistemologi

1
Menurut Harun Nasution, pengertian epistemologi ; episteme berarti pengetahuan dan
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh
pengetahuan.2[2]

Selanjutnya, Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai

berikut; Epistemologi berarti : ilmu filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat

pengetahuan.

Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-

masalah yang meliputi:

1) Filsafat yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.

2) Metode yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas

kebenaran pengetahuan.

3) Sistem yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

Diskursus ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan masalah kebenaran dan bahkan

menjadi bagian yang tak terpisahkan. Maka definisi epistemologi adalah salah satu cabang pokok

bahasan dalam wilayah filsafat yang memperbincangkan seluk beluk pengetahuan. Seperti sudah

banyak dikenal, bahwa perbincangan epistemologi tidak dapat meninggalkan persoalan-

persoalan yang terkait dengan sumber ilmu pengetahuan dan beberapa teori tentang kebenaraan.

Pertama, terkait dengan perbincangan apakah ilmu pengetahuan itu diperoleh lewat akal pikiran

semata (Rasionalisme), ataukah lewat pengamatan semata (Empirisme) ataukah dimungkinkan

lewat cara lain yakni intuisi (Intuisionisme). Kedua, terkait dengan pembahasan apakah

kebenaran pengetahuan manusia itu dapat digambarkan dengan pola korespodensi, koherensi

atau praktis pragmatis.

2
Istilah epistemologi sendiri pertama kali muncul pada pertengahan abad XIX oleh J.F

Rarrier dalam bukunya institute of metaphysics. Persoalan epistemologi tersebut sebenarnya

sudah dimulai dalam pertentangan antara Heraclitus (535-475 SM) melawan Paramenindes (504-

473 SM) yang pada dasarnya merupakan sengketa fundamental, sebab yang mereka persoalkan

sudah berupa masalah kebenaran pengetahuan. Bagi Heraclitus, yang ada hanya gerak; tidak ada

sesuatu pun yang dapat disebut ada, melainkan semuanya menjadi. Segala-galanya dalam

keadaan menjadi, segala permulaan adalah mula dari akhir, segala hidup adalah mula dari mati.

Dalam dunia tidak ada yang tetap, semuanya berlaku panta rhei semuanya mengalir. Dunia

adalah tempat gerak yang bersambung, tempat kemajuan yang tidak berakhir, yang baru

mendapatkan tempatnya dengan menghancurkan dan menewaskan yang lama.

Sedangkan Parmenindes membulatkan pokok keterangannya dengan semboyannya yang pendek:

hanya yang-ada itu ada, yang-tidak ada tidak ada. Tidak ada yang lain kecuali yang ada.

Sebab itu tidak ada yang menjadi dan tidak ada pula yang hilang, adalah mustahil bagi akal.

Menjadi menyatakan perpisahan dari yang tidak ada ke yang-ada, didahului oleh yang tidak

ada, sedangkan yang-ada itu ada tetap selama-lamanya dan tidak berubah-ubah.

Disini terlihat bahwa pertentangan teori pengetahuan antara Heraclitus dan Paramenindes

menyangkut pertentangan antara yang berubah dan tetap. Kedua pandangan yang ekstrem itu

juga memperlihatkan hal ini, yakni bahwa yang satu menekankan sumber pengetahuan pada

panca indera dan yang lain memberi titik berat pada kemampuan rasio dan mengabaikan

kemampuan indera.3[3]

Persoalan yang ditampilkan oleh Helaclitus dan Paramenindes diatas, dalam sejarah

filsafat telah melahirkan pertentangan yang tajam dalam epistemologi yang masing-masing

diwakili oleh aliran Empirisme dan Aliran Rasionalisme.

3
b. Pengertian Islam

Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek

peristilahan. Menurut bahasa, kata islam berasal dari kata - - , yang mempunyai arti,

yaitu keselamatan, perdamaian, dan penyerahan diri kepada Allah SWT.[3]

Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti

menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu Nurcholis

Majid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian

Islam.

Pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari Firman Allah

yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,

masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-

langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami

dari ayat 61 surat al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka

condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dari uraian diatas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi

kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya

mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Hal demikian

dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan

sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah

menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.

Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai agama), adalah

agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajawan yang bukan

hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.

Sementara itu, maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama

perdamaian; dua ajaran pokoknya, yaitu kesesaan Allah dan Kesatuan atau persaudaraan umat

manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka kata Islam menurut istilah adalah mengacu

kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari

manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. Posisi Nabi dalam ajaran Islam

diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam tersebut kepada umat

manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam nabi terlibat dalam member keterangan,

penjelasan, uraian, dan contoh prakteknya. Namuan keterlibatan ini masih dalam batas-batas

yang dibolehkan Tuhan.4[4]

2. Sumber Pengetahuan

Wawasan tentang yang kudus telah menghilang dari konsepsi barat tentang pengetahuan

merupakan titik sentral dalam teori islam tentang pengetahuan. Sesungguhnya, yang

membedakan cara berpikir islami dari cara barat, adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari

cara berpikir yang pertama bahwa Allah SWT berkuasa atas segala hal dan bahwa segala

sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah

SWT. Oleh karena itu sumber pengetahuan adalah yang kudus, maka tujuan pengetahuan itu

tidak lain adalah kesadaran mengenai yang kudus. Semua filsuf Muslim yang berpendidikan,

seperti Ibn Miskaweh (932-1030), Al Ghozali (1059-1111), Ibnu Khaldun (1332-1406), Shah

4
Wali Ullah (1703-1763) dan Allama Muhammad Iqbal, semuanya berpendapat bahwa sumber

semua pengetahuan, adalah yang kudus dan yang ilahi.5[5]

Sumber agama islam atau kadang-kadang disebut sumber ajaran islam atau sumber pengetahuan

islam bersumber dari Al Quran yang memuat wahyu Allah dan Al Hadis yang memuat Sunnah

Nabi Muhammad SAW. Komponen utama agama islam (akidah, syariah, dan akhlak)

dikembangkan dengan akal pikiran yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Dengan

kata lain, yang dikembangkan lebih lanjut supaya dapat dipahami manusia adalah wahyu Allah

dan Sunnah Rosulullah. Dengan demikian, sumber pengetahuan ajaran islam merupakan

pengembangan agama atau ajaran islam. Sumber utamanya sama yaitu al quran dan al hadits,

tetapi untuk ajaran islam ada sumber tambahan atau sumber pengembangan akal pikiran

manusia.

a. Al Quran (wahyu)

Wahyu berasal dari kata Arab al wahy artinya suara, api, dan kecepatan. Disamping itu wahyu

juga mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Namun dari sekian banyak arti itu,

wahyu lebih dikenal dalam arti :apa yang disampaikan Allah kepada para nabi. Dalam islam

wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada nabi muhammad saw. Semua tersimpan baik

dalam al quran, karena itu, berupa wahyu dalam bahasa arab. Al quran adalah sumber agama

islam pertama dan utama. Menurut keyakinan umat islam yang diakui kebenarannya oleh peneliti

ilmiah, al quran adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) allah, sama benar dengan

yang disampaikan oleh malaikat jibril as kepada nabi muhammad saw sebagai rosul allah sedikit

demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di mekkah kemudian di madinah.

Tujuannya untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan

kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

5
Didalam alquran secara gamblang menyatakan dalam bentuk sebuah cerita, bahwa pada awal

penciptaan , allah mengajarkan kepada adam nama benda-benda. Adam sebenarnya, merupakan

simbol manusia, sedangkan nama benda-benda berarti unsur-unsur pengetahuan, baik yang

duniawi maupun yang bukan duniawi. Ketika allah bertanya kepada malaikat mengenai nama

benda-benda, yang adam sudah mengetahuinya dapat mengatakannya, para malaikat itu mengaku

tidak tahu, karena seperti dengan tepat mereka katakan, mereka hanya mengetahui apa yang telah

diajarkan oleh Allah kepada mereka. Lalu Allah memerintahkan semua malaikat agar memberi

hormat kepada adam, yang mereka lakukan pula, kecuali setan yang membangkang dan oleh

karenanya mendapat kutukan. Dalam hal ini pun, memberi hormat merupakan simbol pengakuan

atas keunggulan. Adalah menarik untuk dicatat bahwa keunggulan adam atas malaikat itu

disebabkan oleh pengetahuan, nama benda-benda yang telah diajarkan Allah kepadanya, dan

bukan karena keshalehannya, para malaikat lebih unggul dari padanya. Yang perlu dicatat adalah

bahwa pengetahuan yang memberikan keunggulan kepada Adam adalah pengetahuan tentang

benda-benda seperti yang dikatakan oleh al quran dan bukan kesholehan beragama artinya

kesholehan beragama seperti yang lazim dipahami oleh orang awam. Terdapat di dalam al quran

ayat yang menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan itu menjadikan manusia lebih utama dari pada

malaikat, oleh karena itu pulalah, maka manusia dijadikan khalifah dibumi.dengan demikian, al

quran merupakan awal suatu kitab yang menerangkan tentang ilmu pengetahuan, dan agama

yang dikenal oleh sejarah manusia. Al quran menerangkan percobaan-percobaan laboratorium

sebagaimana dilakukan berbagai eksperimen sekarang ini.

b. Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata indonesia itu berasal dari bahasa arab al aql artinya
pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu
pengetahuan). Dalam bahasa indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.
Perkataan akal dalam bahaa asalnya (arab) mengandung beberapa arti diantaranya mengikat dan
menahan. Makna akar katanya adalah ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami, dan
berpikir. Para ahli filsafat dan ahli kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga)
untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara
dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakan (menjadikan tidak berwujud) benda-benda
yang ditangkap oleh pancaindera.6[6] Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang
mempunyai fungsi sangat besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya sangat tinggi
dalam Islam, ia berpotensi sebagai alat untuk berfikir, memahami dan mengambil kesimpulan,
khususnya dikalangan para filosof dibagi kepada dua yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya
masing-masing. Akal aktif berkaitan dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis
merupakan fakultas pemahaman.
Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa , yang tidak dimiliki oleh
hewan yakni akal. Akal mempunyai kemampuan bertanya secara kritis. Kelebihan yang paling
istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap kuiditas atau
esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Prinsip-prinsip pokok yang berkenaan dengan akal menurut Ibnu Rusyd :
1. Akal aktif yang dinamakan al aqlu al faal (active intellect) adalah sumber dari segala akal
manusia, bersifat satu dan universal.
2. Akal manusia terdiri dari akal aktif dan akal kemungkinan yang dinamakan al aql bi al quwwah
(receptive intellect), jika akal yang aktif merupakan sumber, maka akal kemungkinan adalah
pikiran yang berkuasa sehari-hari terhadap diri manusia
3. Akaal dan jiwa manusia adalah satu, bersifat universal dan abadi. Jasmani manusia boleh
meninggal, tetapi akal dan jiwa tetap hidup, menjadi bebas dari jasmani yang kasar itu,
menyatukan diri dalam akal aktif yang menjadi induknya. Hal seperti itu disebut mono-psychim.
4. Akal manusia ada yang bersifat fily, yaitu pemikiran yang praktis, dan ada pula yang bersifat
nadhary yaitu pemikiran mendalam dan teoritis yang memandang segala sesuatu dengan ilmu
pengetahuan.
5. Akal manusia (ratio) harus bebas dan berdiri sendiri di atas segala-galanya, sedangkan agama
dengan wahyu Tuhan merupakan penyempurna bagi akal itu.7[7]

6
7
Melihat prinsip pokok itu, akal dapat dibagi menjadi dua, yaitu akal aktif dan akal kemungkinan.
Keduanya ada yang bersifat fily yakni praktis dan nadhary yakni bersifat teoritis. Menurutnya
akal, jiwa, dan rasio merupakan tiga hal yang menyatu untuk memandang dan memahami segala
sesuatu dengan ikmu pengetahuan demi mencapai kebenaran.

c. Rasa
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu sangat penting. Begitu
pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra dipandang
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal alam sekeliling
kita. Bahkan satu riwayat menyatakan : apabila seorang manusia kehilangan salah satu
indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu. Melalui mata manusia menangkap hal-hal
yang tampak apakah bentuk, keberadaan, sifat atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia.
Melalui telinga dapat mendengar suara. Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal
dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia yaitu rasa, (masam, manis , asam, pahit dan lain-
lain) yang tentunya tidak dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga .Indra peraba untuk
memegang. Tak kalah pentingnya juga indra penciuman yang dapat menyerap aspek lain dari
objek-objek fisik yaitu bau Setelah melihat fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk
mendapatkan pengetahuan. Persoalan sekarang, cukupkah indra memenuhi kebutuhan akan ilmu
sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya?. Apakah misalnya penglihatan
manusia telah mampu memberikan pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan,
bintang ? Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang itu kecil. Namun
apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya atau semata-
mata kesan yang tercerap oleh mata belaka?. Apakah kesan-kesan inderawi itu sama dengan
kenyataan? tidak, ternyata indra itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah bagi kaum muslimin
dalam Alquran untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan indera juga penalaran dalam
memahami alam.

3. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam

Pandangan Islam akan kebenaran merujuk kepada landasan keimanan dan keyakinan

terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Quran. Sebagaimana yang diutarakan oleh fazrur
rahman bahwa semangat dasar dari Al-quran adalah semangat moral, ide-ide keadilan social dan

ekonomi. Hokum moral adalah abadi, ia adalah perintah Allah. Manusia tak dapat membuat

dan memusnahkan hokum moral : ia harus menyerahkan diri kepadanya. Pernyataan ini

dinamakan Islam dan Implementasinya dalam kehidupan di sebut Ibadah atau pengabdian

kepada Allah. Tetapi hokum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah

diketahui.

Dalam kajian epistemologi Islam dijumpai beberapa teori tentang kebenaran :

a. Teori Korespondensi

Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah apabila terdapat suatu fakta

bersesuaian, yang beralasan dengan realitas, yang serasi dengan situasi actual, maka kebenaran

adalah sesuai fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya interpretasi.

b. Teori Konsistensi

Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan

suatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.

Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik dengan

putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar,

hubungan itu saling berhubungan dengan kebenaran sebelumnya.

c. Teori Prakmatis

Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau semata-mata tergantung kepada

berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam

kehidupannya.8[8]

4. Peranan dan Fungsi Pengetahuan Islam

8
Ilmu atau pengetahuan dalam Islam mempunyai peran dan fungsi yang cukup penting.

Tak dapat dipungkiri keberadaan ilmu menempati posisi sangat tinggi karena mempunyai peran

dan pengaruh cukup besar pada perkembangan, perubahan dan kemajuan umat manusia.

Jalaluddin Rakhmat mengungkap peran penting ilmu menurut Islam antara lain :

a. Ilmu pengertahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab akibat

dan tujuan dialam semesta. Dalam banyak ayat Alquran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh

pengurus dan pencipta yang tunggal, karena itu tidak pernah ada kerancuan (tahafut) di

dalamnya. Alam bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk

main-main dan bukan perbuatan sia-sia. Keteraturan dalam ilmu biasanya disebut hukum-hukum

yang terdapat dalam afaq disebut alquran sebagai qadar atau takdir sedangkan aturan dalam

anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah.

b. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah

sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang dan segala yang langit dan dibumi

untuk manusia.

c. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus.

Adapun fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana sebagaimana dikutip Endang Saifuddin

Anshari antara lain:

a. fungsi Deskriptis : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah

sehingga mudah dipelajari oleh peneliti

b. Fungsi pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan yang lalu yang menemukan hasil ilmu

pengetahuan yang baru

c. Fungsi prediksi : meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia

dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya

d. Fungsi kontrol : berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.


Dalam Ensiklopedi, Dawam Raharjo menyatakan satu fungsi ilmu yakni, perbaikan atau

pembaharuan, dalam istilah Alquran ishlah .Mahdi Ghulsyani menerangkan manfaat ilmu

antara lain :

a. Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah.

b. Ilmu dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan

tujuan-tujuannya.

c. Dapat membimbing orang lain.

d. Dapat memecahkan berbagai problem masyarakat.

Terakhir, seraya mengutip pandangan Murtadha Muthahhari, Quraisy Shihab menyingkap

hubungan penting antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai berikut :

a. Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.

b. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati

dirinya.

c. Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin

d. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan

bagi jiwa

e. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan bagaimana dan agama menjawab yang

dimulai dengan mengapa.

f. Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama selalu menenangkan

jiwa pemeluknya yang tulus.9[9]

Anda mungkin juga menyukai