Anda di halaman 1dari 12

D.

Metode Penelitian
1. Sumber Penelitian
Penelitian ini bercorak library research, dalam arti semua sumber
data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik
yang dibahas. Karena studi ini menyangkut al-Qur’an secara
langsung, maka sumber utama dan pertama adalah Kitab Suci Al-
Qur’an.
Sumber-sumber lainnya adalah kitab-kitab Tafsir yang dibatasi pada
kitab-kitab yang dipandang representatif dan tersedia, yaitu: Tafsir
al-Qur’an al-hakim (Tafsir al-Manar) karangan Muhammad Rasyid
Rida yang termasuk kategori tafsir bi al-ra’yi; Tafsir al-Qur’an al-
Adzim karangan Isma’il Ibnu al-Katsir al Quraishi al-Dimashqi yang
lebih dikenal dengan Ibnu Katsir ; dan Tafsir Al-Wadhih Mahmud
Hijazi;
Dengan menyebut nama kitab-kitab di atas, bukan berarti
mengabaikan kitab tafsir lainnya, melainkan juga akan terus dilacak
dan digunakan sebagai sumber rujukan, khususnya dalam
melengkapi dan lebih mempertajam analisis serta bahasan penelitian
yang diproyeksikan menjadi disertasi jika memungkinkan.
Sebagai dasar rujukan untuk menganalisis makna kata-kata dan
term-term tertentu dari ayat-ayat al-Qur’an, digunakan al-Mufradat
fi al-Gharib al-Qur’an karangan Abu Qasim al-Husayn Ibn Muhammad
al-Raghib al-Asfahani (wafat 502H). Kitab ini pada umumnya menjadi
rujukan para penafsir al-Qur’an ketika membahas makna kata-kata
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa
pengarangnya diakui kepakarannya dalam bahasa al-Qur’an. Agar
pembahasan mengenai kata-kata dan term-term dalam al-Qur’an
lebih lengkap, maka kamus-kamus besar juga digunakan khususnya
Lisan al-Arab karangan Ibnu Manzur al-Anshari (1232-1311 M.)
Guna memudahkan pelacakan ayat-ayat al-Qur’an yang diperlukan
dalam membahas topik-topik tertentu, maka buku al-Mu’jam al-
Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim susunan Muhammad Fu’ad
‘Abdul Baqi’ dijadikan sebagai pegangan.
2. Metode Pendekatan dan Analisis pendekatan ilmu tafsir,yang
memiliki beberapa corak atau metode penafsiran al-Qur’an dan
masing-masing memiliki ciri khas.
Menurut al-Farmawi hingga kini setidak-tidaknya terdapat empat
macam metode utama dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu: metode
tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudu’i.
Metode penelitian ini adalah metode Maudu’i, artinya metode tafsir
yang berusaha mencari jawaban al qur’an tentang suatu masalah
dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, lalu
menganalisis lewat-ilmu-ilmu bantu yang relevan , untuk kemudian
melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur’an tentang masalah
tersebut
Alasan penggunaan metode Maudu’i dalam penelitian ini, karena
menurut penulis metoda inilah yang paling tepat untuk digunakan
mengkaji konsep-konsep al-Qur’an tentang komunikasi verbal. Hal
ini dilakukan dengan menghimpun seluruh ayat yang mengandung
kata atau menunjukkan kegiatan komunikasi verbal, seperti Qaul,
Kalam, Mau’idhah, dan Taushiyah. Setelah itu dilakukan analisis
dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah
komunikasi verbal seperti ilmu komunikasi, teknik presentasi efektif
atau public speaking methode. Dari upaya ini diharapkan dapat
melahirkan konsep yang utuh tentang komunikasi verbal perspektif
al-Qur’an yang komprehensif dan aplicable.
4. Langkah-langkah penelitian
Langkah pertama adalah identifikasi ayat yang memiliki bentuk-
bentuk pengungkapan istilah “komunikasi verbal” dalam al-Qur’an,
baik term Qaul atau term lain yang sepadan seperti Kalam, Taushiyah
atau mau’idhah.
Langkah ke dua pemaparan pandangan para pakar ilmu komunikasi
tentang teori-teori komunikasi verbal
Langkah ke tiga adalah memaparkan penafsiran para mufasir tentang
tafsir ayat yang memiliki term qaul, kalam maupun mau’idhah.
Langkah ke empat analisis dengan membandingkan pandangan para
mufasir dengan teori berbicara dalam perspekif para pakar dalam
ilmu komunikasi terutama menyangkut komunikasi verbal seperti
public speaking maupun presentasi efektif.
. Langkah ke lima adalah mengemukakan kesimpulan dari seluruh
bahasan sebalumnya dan sekaligus menjawab permasalahan pokok
yang dikemukakan di atas. Di sini akan terjawablah seluruh
permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana konsep komunikasi
verbal dalam al-Qur’an.
.
E. Kerangka Teori
1. Komunikasi
Secara etimologis, komunikasi merupakan terjemahan dari
communication yang mula-mula berkembang di Amerika. Secara
terminologis menurut Webster New Dictionary sebagaimana dikutip
oleh Sri Haryani komunikasi dapat diterjemahkan:”The art of
expressing ideas especially in speech and writting.” , atau dengan
kata lain, seni mengekpresikan ide-ide baik melalui lisan maupun
tulisan.
Terminologi lain dikemukakan oleh Hovland seperti yang dikutip
Efendi : “Communication is the process by which an individual as
communicator transmits stimuli to modify the behavior of other
individuals” , komunikasi merupakan suatu proses dimana seorang
komunikator mengirimkan stimuli untuk mengubah perilaku dari
orang lain atau komunikan

2. Komunikasi Verbal
Secara garis besar bentuk komunikasi ada dua macam, yakni
komunkasi non verbal dan komunkasi verbal. Komunikasi non verbal
adalah kumpulan isyarat, gerak tubuh, intonasi suara, sikap dan
sebagainya yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi
tanpa menggunakan kata-kata .
Komunikasi non verbal memiliki berbagai perbedaan dengan
komunikasi verbal. Salah satunya, tidak mempunyai struktur yang
jelas, sehingga relatif lebih sulit untuk dipelajari. Disamping itu
intensitas terjadinya komunikasi non verbal juga tidak dapat
diperkirakan dan bersifat spontanitas. Namun demikian dalam
praktiknya banyak digunakan karena mempunyai beberapa manfaat,
setidaknya memperjelas apa yang disampaikan secara verbal, di
samping dapat menguatkan.
Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan simbol-
simbol yang mempunyai makna dan berlaku umum , seperti suara,
tulisan, atau gambar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam
komunikasi ini tidak hanya menyangkut komunikasi lisan saja, tetapi
juga komunikasi tertulis. Bahasa merupakan simbol atau lambang
yang paling banyak digunakan. Mengapa demikian? Karena bahasa
dapat mewakili banyak fakta, fenomena, dan bahkan sesuatu yang
bersifat abstrak yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu dalam
komunikasi bahasa inilah yang banyak digunakan oleh masyarakat.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan
aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang
digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Bahasa Verbal merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, maksud, serta tujuan. Hal tersebut dilakukan dengan
menggunakan kata-kata untuk merepresentasikan berbagai aspek
realitas individual.

3. Indikator Komunikasi Verbal Efektif


Seseorang yang piawai dalam melakukan komunikasi verbal lazim
disebut dengan komunikator efektif. Berdasar teori yang ada,
seorang komunikator baru disebut efektif jika memiliki indikator:
Cradibility, Capability, Clarity, Symphaty dan Enthusiasity.

a. Credibility
Credibility maksudnya citra diri. Hal ini berkaitan dengan prestasi,
spesifikasi keilmuan, kompetensi, pengalaman dalam bidang yang
ditekuni, nama baik, jasa-jasa dalam bidang tertentu, temuan,
popularitas, serta dedikasinya terhadap profesi ang ditekuni.
Bagi pembicara yang belum banyak dikenal audience, atau karena
jam terbang masih terbatas, MC atau moderator perlu
memperkenalkan/ membacakan curriculum vitaenya. Pengenalan ini
perlu, karena mustami’ akan lebih mengenal pembicara sehingga
lebih appreciate dan tergerak untuk mendengarkan ceramahnya.
Pada saat inilah, audience diam-diam mempertimbangkan, akan
mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ala kadarnya, atau tidak
usah sama sekali.
Membangun kredibilitas atau citra diri berarti membangun
kesuksesan penampilan. Tingkat kesuksesan pembicara sangat
relatif, tetapi setidak-tidaknya ada tiga kawasan, yang dapat
dijadikan tolok ukur: yakni kawasan teknologi, kawasan akademik
dan kawasan humanistik. Kredibilitas sang pembicara dalam
pandangan Audience dibangun berdasarkan kesan yang diperoleh
melalui penampilan sang pembicara ditinjau dari ketiga kawasan
tersebut di atas. Di samping itu, kredibilitas juga dapat dibangun
berdasarkan informasi tentang pembicara yang diperoleh audience
baik dari MC / moderator maupun dari sesama audience.

b. Capability
Seorang pembicara efektif dituntut memiliki kecakapan atau
kemampuan memadai. Tidak harus pintar sekali memang, tetapi
memadai cukup dalam beberapa hal Di antaranya :
1). Kecakapan mengemukakan pikiran secara singkat, jelas, tetapi
padat. Sehingga dapat meyakinkan audience dengan mudah. Untuk
membina kecakapan ini, perlu melakukan beberapa upaya antara
lain, membuat persiapan yang matang dan mengemas materi
pembicaraan secara sistematis, runtut, dan logis.
2). Kecakapan mempertahankan pikiran atau pendapat, dalam forum
pertemuan yang bersifat dialogis atau komunikasi dua arah seperti
dalam diskusi atau seminar.
3). Kemampuan mengkoordinasikan dan mengkombinasikan secara
tepat komuniksi verbal dan non verbal.
c. Clarity.
Clarity dapat dideskripsikan sebagai kejelasan dan ketepatan
ucapan. Penerapan komunikasi verbal banyak bertumpu pada clarity.
Sebagai komunikator, seorang pembicara handal dituntut mampu
mengkomunikasikan pesan atau formasi kepada audience. Vokal
sebagai media pengungkapan ekspresi merupakan media
penyampaian informasi melalui pengucapan.
Sampai atau tidaknya penyampaian pesan dari seorang pembicara,
banyak ditentukan oleh keterampilan penguasaan teknik vokalnya.
Keterampilan tersebut sangat dipengaruhi tingkat kejelasan
penyampaian materi atau pesan.

d. Sympathy
Penampilan simpatik seorang Pembicara merupakan buah dari
perpaduan serasi antara ketulusan, kesabaran dan kegembiraan
Pembicara yang mampu tampil simpatik sepanjang ceramahnya akan
merasa puas dan memuaskan audience . Materi pembicaraan
disampaikan dengan cara simpatik, sehingga diikuti dengan penuh
antusias dan akhirnya dapat dipahami dengan jelas. Sementara
pembicara mendapatkan kepuasan bathiniah, karena melihat wajah-
wajah yang penuh antusiasme dan puas dengan apa yang didapatkan
darinya.
Indikator penampilan simpatik seorang pembicara dapat dideteksi
melalui intensitas senyum, kontak mata, keramahan sikap,
keterbukaan penampilan, serta keceriaan wajah. Bagi pembicara
yang memiliki open face, tidak terlalu sulit baginya untuk bersikap
simpatik. Tetapi seorang pembicara yang termasuk kategori neutral
face memerlukan usaha, dan bagi pemilik Close Face dituntut kerja
keras dalam berlatih.

e. Enthusiasity.
Orang Indonesia menyebut istilah di atas dengan antusiasme
Audience cenderung lebih menyenangi pembicara yang tampil
antusias, yang tercermin dari semangat tinggi, gerak lincah,
penampilan energik, stamina yang fit, wajah berseri-seri. Audience
tidak menyukai pembicara yang tampil tanpa antusiasme, misalnya ,
terlihat loyo, lesu, letih, letoy dan lemas. Apalagi wajahnya
melankolis, mengesankan sendu, sedih, nampak tertekan, tidak
berbahagia atau tampil terpaksa.
Untuk dapat tampil antusias atau gairah tinggi, seorang pembicara
harus memiliki fisik sehat serta hati yang gembira. Sulit rasanya
membayangkan seorang pembicara yang sedang tidak enak badan
atau sakit, dapat tampil prima penuh antusiasme. Jangankan dalam
keadaan sakit, dalam keadaan sehat pasca sakit pun seorang
pembicara masih membutuhkan proses adaptasi, sebelum dapat
tampil energik penuh antusiasme.
Dalam keadaan sehat, pembicara memiliki peluang tampil antusias,
karena tampak fit, fresh, segar, tegar, bugar, lincah, bergerak, penuh
aksi, ringan tubuh, dan luwes. Semua ini dapat memancing
antusiasme audience untuk mengikuti ceramah . Meskipun
menyenangi pembicara yang antusias dan lincah, namun demikian
audience tidak menyenangi sikap yang berlebihan , terlebih jika sikap
tersebut mengarah kepada kesan kenes, genit, sombong dan over
acting.
Efektifitas komunikasi verbal sangat ditentukan oleh kelima hal di
atas. Siapapun orangnya, jika menguasai kelima hal tersebut niscaya
akan mampu menjadi pembicara handal, karena memiliki daya pikat
untuk memukau audience.

F. Telaah Pustaka
Telaah pustaka berikut untuk mendisplay karya terdahulu yang
terkait atau diduga memiliki kaitan dengan topik yang akan dibahas.
Hal ini diproyeksikan untuk memperoleh kepastian orisinilitas serta
jaminan tidak adanya duplikasi dengan penulisan atau penelitian
terdahulu. Diakui ada beberapa tulisan atau penelitian terdahulu
yang membahas tentang persoalan komunikasi atau pandangan al-
Qur’an tetapi bukan pandangan al-Qur’an tentang komunikasi verbal.
Sepanjang penelaahan penulis, belum ada penelitian ilmiah yang
secara spesifik mengkaji masalah komunikas verbal dalam perspektif
al-Qur’an, dan penulis memanfaatkan celah tersebut. Tulisan Prof.
Toshihiko Izutsu yang berjudul Ethica Religious Concepts in the
Qur’an (1966) merupakan revisi dari dari buku Izutsu sebelumnya
yang berjudul The Structure of the Ethical Terms in the Qur’an
(1959). Dari judul tersebut tergambar bahwa kajian Izutsu
difokuskan pada pada pembahasn mengenahi konsep-konsep etika
agama (Islam) secara umum dalam al-Qur’an.
Muhammad Jarot Sensa (2005) dalam karyanya Komunikasi
Qur’aniyah: Tadzabbur untuk pensucian jiwa, tidak membahas
masalah komunikasi verbal dalam al-Qur’an, melainkan membahas
persoalan dimensi al-Qur’an, fungsi al-Qur’an, metode memahami al-
Qur’an, pengaruh yang ditimbulkan al-Qur’an, Nabi Muhammad
sebagai komunikator Qur’aniyah, serta aktivitas komunikasi
pensucian.
Melihat judul buku ini sepintas kilas penulis menduga akan
memperolah banyak informasi terkait karena kemiripan judul.
Setelah mencermati isi buku secara keseluruhan, rupanya penulis
salah duga karena isinya jauh panggang dari api.
A.Muis (2001) Komunikasi Islami. Prof. DR. Andi Abdul Muis,
SH.dalam buku tersebut membahas masalah dakwah di era global;
Komunikasi dakwah dan visi media; Dakwah Islam dan wawasan
kebangsaan; Dakwah Islam dan kekuasaan politik; Dakwah Islam
dan budaya masyarakat. Lembaga dakwah dan cendikiawan muslim
masa depan. Meskipun buku tersebut membahas masalah
komunikasi, tetapi tidak menyentuh persoalan komunikasi verbal
dalam al-Qur’an
Jalaluddin Rahmat (1996) dalam karyanya Psikologi Komunikasi
membahas Karakteristik manusia komunikan; Sistem komunikasi
intrapersonal; Sistem Komunikasi interpersonal; Sistem komunikasi
kelompok dan sistem komunikasi massa. Buku tersebut juga
membahas persolan komunkasi, tetapi juga tidak menyentuh
persoalan komunikasi verbal dalam perspektif al-Qur’an
Harifuddin Cawidu (1991) telah menulis Konsep Kufr dalam al-
Qur’an: Suatu kajian teologis dengan pendekatan tafsir tematik.
Dalam disertasi yang diterbitkan oleh Bulan Bintang tersebut
dipaparkan Bentuk-bentuk pengungkapan kufr dalam al-Qur’an dan
sebab-sebab kekufuran; Jenis-jenuis kufr dan karakteristiknya;
Akibat-akibat kufr dan sikap terhadap orang-orang kafir. Dalam buku
tersebut, meskipun membahas muatan al-Qur’an, tetapi idak
membahas persolan komunikasi verbal
Mencermati karya-karya di atas, tidak terlihat adanya duplikasi,
meski terdapat kesamaan kosakata sepeti istilah komunikasi, atau
al-Qur’an, tetapi sudut pandang maupun fokusnya berbeda jauh.

G. Sistematika Pembahasan
Untuk merampungkan pemecahan masalah dalam penelitian ini
dapat diberikan gambaran sistematika pembahasan yang terdiri dari
dari bab-bab yang saling berkaitan dan saling menunjang.
Pada Bab I Pendahuluan, dikemukakan latar belakang masalah;
Rumusan masalah; Tujuan pembahasan; Metode pembahasan;
Kerangka teori; Telaah pustaka; dan Sistematika pembahasan:
Pada Bab II Dasar-dasar Konseptual Komunikasi Verbal,akan
dikemukakan : Definisi Komunikasi Verbal; Urgensi Komunikasi
Verbal; Komunikasi Verbal yang Efektif ; Penunjang dan Hambatan
Komunikasi Verbal.
Pada Bab III Komunikasi Verbal Dalam Perspektif al-Qur’an : Qaulan
Layina;
Qaulan Maisura; Qaulan Karima; Qaulan Baligha; Qaulan Ma’ruufa;
Qaulan Sadiida; Istilah lain;
Bab IV Konsep Komunikasi Verbal Efektif Berbasis Al-Qur’an: al-
Muru’ah; al-Kafa’ah; an-Nasyat al-Hayawi; al-Dharif; al-Wudhuh
Bab V. Kesimpulan dan Penutup

G. Hasil Penelitian
1. Identifikasi ayat al-Qur’an tentang komunikasi verbal
Setelah dilakukan penelusuran berdasar etimologi, maka dapat
diidentifikasi istilah yang mengandung makna komunikasi verbal,
baik secara denotatif maupun konotatif. Yang termasuk kategori
denotatif adalah:
a. Qaulan Baligha ( QS. an-Nisa’: 63)
b. Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44)
c. Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS.
Al-Ahzab: 32)
d. Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28 )
e. Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23)
Sedang yang termasuk kategori konotatif adalah:
a. Mau’idhah ( an-Nisa’: 66)
b. Da’wah: (an- Nahl :125; Yusuf:108)
c. Nashihah ( at-Taubah: 91; al-A’raf: 21, 62,68,79,93; Hud:34;
Yusuf:11; Qashas:12)
d. Taushiyah ( al-Ashr: 3)

2. Komunikasi Verbal Dalam Perspektif al-Qur’an


Dalam paparan singkat tentang hasil penelitian ini hanya akan
dipaparkan satu butir dari denotatif saja yakni Qaulan Layyina. Istilah
Qaulan Layyina terdapa dalam al-Qur’an Surah Thaha ayat 44 :
‫أويخشى‬ ‫يتذكرون‬ ‫لعله‬ ‫لينا‬ ‫قوال‬ ‫فقوال‬ ‫طغى‬ ‫إنه‬ ‫فرعون‬ ‫إلى‬ ‫هبا‬ ‫إذ‬
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Thaha: 44).
Ayat ini memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk pergi
menemui Fir’aun yang telah melampaui batas dengan menindas
secara kejam Bani Israil. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diperjelas dengan
uraian: pergilah kamu berdua kepadanya dan berbicaralah dengan
kata-kata yang lemah lembut, serta bersikaplah simpatik dan
bersahabat padanya. Cobalah sadarkan dia tentang dirinya sendiri
yang tak kurang dan tak lebih hanyalah seorang hamba di antara
hamba-hamba-Ku. Dan janganlah kamu berdua lalai, selalu ingatlah
kepada-Ku dan menyebut nama-Ku selagi kamu menjalankan tugas
suci ini. Dan dengan membawa kecakapanmu menyampaikan
keterangan dan dalil-dalil yang kuat dan hujjah-hujjah yang tidak
dapat dibantah, mudah-mudahan dia (Fir’aun) menyadari akan
dirinya dan takut kepada-Ku.
Di dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan bahwa ayat ini
merekomendasikan untuk memberi peringatan dan melarang
sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan
atau kata-kata yang baik dan hendaknya hal itu dilakukan dengan
menggunakan perkataan yang lemah lembut, lebih-lebih jika hal itu
dilakukan terhadap penguasa atau orang-orang yang berpangkat.
Bukankah Allah sendiri telah memperingatkan dalam firmannya:
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-
kata yang lemah lembut.
Al-Qurtubi menjelaskan lebih lanjut makna lemah lembut yaitu kata-
kata yang tidak kasar, dikatakannya bahwa segala sesuatu yang
lembut akan melembutkan dan segala sesuatu yang lembut lagi
melembutkan, ringan untuk dilakukan. Kalaupun Musa diperintahkan
untuk berkata-kata yang lembut, maka hal itu merupakan
keleluasaan bagi orang lain (Fir’aun) untuk mengikuti jejak, meniru
dari apa yang dikatakannya dan yang diperintahkannya kepada
mereka untuk berkata-kata yang baik. Dan hal itu telah difirmankan
Allah: Dan katakanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik.
Dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan metode yang harus diterapkan
dalam berdakwah, yaitu: Berbicaralah kalian kepada Fir’aun dengan
pembicaraan yang simpatik dan lemah lembut, agar lebih dapat
menyentuh hati, untuk mengundang empati, sehingga dapat lebih
menariknya untuk menerima dakwah. Dengan sikap simpatik dan
perkataan yang lemah lembut, hati orang-oang yang durhaka akan
menjadi halus dan kekuatan orang-orang yang sombong akan luluh.
Oleh sebab itu, datang perintah yang serupa kepada Nabi Muhammad
saw:
‫هيىاحسن‬ ‫بالتى‬ ‫وجادلهم‬ ‫الحسنة‬ ‫والموعظة‬ ‫بالحكمة‬ ‫ربك‬ ‫سبيل‬ ‫الى‬ ‫إدع‬.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
(An-Nahl 16: 125)

Contoh lain perkataan lemah lembut ialah perkataan Musa kepada


Fir’aun:
‫فتخشى‬ ‫إلىربك‬ ‫واهديك‬ ‫تزكى‬ ‫أن‬ ‫إلى‬ ‫لك‬ ‫هل‬
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)
dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut
kepadanya (An Nazi’at, 79:18-19)
Selanjutnya Allah mengemukakan alasan, mengapa Musa
diperintahkan untuk berkata lemah lembut:
‫أويخشى‬ ‫يتذكر‬ ‫لعله‬
Bahwa kata la’alla (mudah-mudahan) dalam kalimat ini
menunjukkan tercapainya maksud sesudah kata itu. Yakni, perintah
untuk menjalankan risalah, mengajarkan atas apa yang
diperintahkan Allah dan berusaha untuk mengerjakan seperti halnya
orang lain mengerjakan atau bahkan lebih.
Dari beberapa uraian di atas dapat diartikan, makna qoulan layina
yaitu kata-kata yang lembut yang disampaikan secara simpatik
sehingga dapat menyentuh hati, meninggalkan kesan mendalam,
sehinga menarik perhatian orang untuk menerima dakwah. Kata-
kata yang lembut menyebabkan orang-orang yang durhaka akan
menjadi halus dan kekuatan orang yang sombong menjadi luluh.
Untuk itulah kata lembut tidak berarti kata-kata yang lemah, karena
dalam kelembutan tersebut tersimpan kekuatan yang dahsyat yang
melebihi kata-kata yang diungkapkan secara lantang dan kasar,
terlebih jika disertai sikap yang tidak bersahabat, justru akan
mendatangkan sikap antipati dan memusuhi.
Kata yang lembut mengandung keindahan. Indah untuk didengarkan
dan untuk disampaikan serta mudah k dicerna siapa pun. Oleh
karenanya dalam berdakwah, kata-kata yang lembut hendaknya
lebih diutamakan, sehingga orang yang mendengarkannya tidak
merasa terganggu , bahkan justru tumbuh rasa simpati, empati
untuk selalu mendengarkannya kata demi kata, bahkan
menjadikannya suatu prinsip hidup.
Sikap simpatik yang tercermin pada kehalusan sikap dan kelembutan
kata, mutlak diperlukan untuk menjamin efektifitas komunikasi
verbal dan optimalisasi hasil.
Al-dharief yang disebut khafifuddam oleh orang Mesir merupakan
padanan istilah Barat symphatety dan di Indonesia disebut simpati
atau penampilan yang simpatik. Hal tersebut merupakan buah dari
perpaduan serasi antara al-ittishalatul lisaniyah (komunikasi verbal)
dan al-ittishalatul isyarah (komunikasi non verbal).
Keharusan kerja keras untuk berlatih juga berlaku bagi da’i yang
memiliki kecenderungan untuk berpenampilan over estimate maupun
under estimate. Untuk dapat tampil simpatik, kedua kecenderungan
tersebut harus didekonstruksi terlebih dahulu sampai mencapai titik
netral, baru direkonstruksi menjadi sebuah penampilan yang
simpatik.
Jika seorang pembicara mampu tampil simpatik di depan mustami’,
semua tutur katanya akan diikuti dengan seksama. Tidak ada satu
kata pun yang terlewatkan untuk diikuti oleh mustami’, apalagi satu
kalimat, atau terlebih lagi satu paragraf. Semuanya akan dicermati
dengan sepenuh hati, karena tersentuh penampilan pembicara yang
simpatik. Akhirnya, hati pun tergerak untuk menggerakkan semua
anggota tubuh agar melaksanakan ‘apapun’ yang disampaikan oleh
sang da’i.
Inilah yang disebut dengan komunkasi verbal yang efektif. Yakni apa
yang disampaikan pembicara, dapat diterima mustami’ sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Jika pembicara
bermaksud menanamkan pemahaman tentang suatu konsep, dan
konsep tersebut dapat dipahami oleh mustami’ sesuai dengan yang
dimaksudkan, proses da’wah tersebut dapat disebut efektif. Jika
pembicara bermaksud menggerakkan mustami’ untuk melakukan
suatu tindakan selaras dengan ketentuan Allah, dan para mustami’
benar-benar melakukannya, maka komunikasi verbal tersebut dapat
dikatakan efektif. Efektifitas komunikasi verbal sangat dipengaruhi
oleh kadar simpati pembicara.
Para guru agama atau da’i seharusnya dapat tampil simpatik dan
berbicara lembut, karena sebenarnya merupakan ‘bintang iklan’
risalah, yang memiliki otorita untuk menyampaikan berbagai
informasi dengan muatan value yang bersumber dari Allah maupun
Rasulullah. Jika para guru agama atau para da’i tidak mampu
bersikap simpatik atau bertutur dengan lembut, akan kontra
produktif bagi penyebaran risalah Allah.

Daftar Pustaka

‘Abd a-Hay al-Farmawi,1977, al-Bidayah fi al-Tafsir, al-Maudhu’i, al


–Matma’at al-Hadarat al –Arabiyat, Cet ke-2.
Ahmad Al-Ansori al-Qurtubi,Ibnu, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, Darul
Hud, juz V.
Baidan, Nahruddin, 2000, Rekonstruksu Ilmu Tafsir, Yogyakarta,
Dana Bakti Primayasa.
Bovee L.Courland, dan John V. Thill, 1995, Bussines Communication
Today, Fourth Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.,
Cawidu, Harifudin, 1991, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian
Teologis dengan pendekatan tafsir tematik, Jakarta: Bulan Bintang
Efendi U.Onong, 1981, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung,
Alumni
George L. Grice, 1993, Mastering Public Speaking, Masachussetts:
Simon Company
Glann,Ethel C. 1990, Public Speaking Today and Tomorrow, New
Jersy: Prantice Hall Inc.
Haryani, Sri, 2001, Komunikasi Bisnis, Yogyakarta, UUP AMP YKPN,
Husin al-dzahabi,M., 1962, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I, Kairo, Dar
al kutub al-haditsat
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Terjemah dan Tafsir, terjemahan
Salim Bahreisy, Said Bahreisy, PT. Bina Ilmu, 1990.
Khalil,Komaruddin, 2005, Kiat Sukses Menjadi Pembicara yang
Mengugah dan Mengubah, Bandung : MQS Publishing
Nasr, SH, 1972, Ideals and Realies of Islam, London, George Allen &
Unwin Ltd.,

Anda mungkin juga menyukai