Madzahib al-Tafsir
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 13
1
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 3
BAB II .............................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN............................................................................................................... 5
PENUTUP ...................................................................................................................... 15
KESIMPULAN ....................................................................................................... 15
2
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan petunjuk seluruh umat manusia dan menjadi sumber utama
rujukan umat islam. Dalam memahami kandungan Al-Qur’an, seseorang melakukan
penafsiran. Penafsiran Al-Qur’an berbagai macam bentuk dan coraknya. Keberagaman
tersebut memunculkan banyak perbedaan. Dalam melakukan penafsiran seorang mufassir
harus memperhatikan beberapa kaidah, seperti kemampuan bahasa arab, nahwu, sorof,
munasabah, asbabul nuzul, dan lain sebagainya.
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
3
C. Mengetahui tokoh dari Tafsir Sufi dan Tafsir Falsafi
D. Mengetahui kekurangan dan kelebihan dari Tasir Sufi dan Falsafi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Sufi
Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering
didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-
Quran dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh
seorang sufi dalam suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Muhammad Husen
alDzahabi adalah transmisi jiwa menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan
kata lain munajatnya hati dan komunikasinya ruh. Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir
yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsîr shûfi
nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas
perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak.15
Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si
penulis seperti tafsîr al-Quran al-‘Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-
Sulami dan ‘Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Quran karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari
ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar’i yang
menguatkan; (2) tidak bertentangan dengan syariat/rasio; (3) tidak menafikan makna
zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak.
Corak penafsiran sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran
secara potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir, bathin, hadd, dan
matla’. Keempat tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila corak
penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak
awal turunnya al-Quran kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam
penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran ini al-Quran melalui hierarki
sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat,
5
dan pendapat kalangan tabi’in. Di samping itu, selain penafsiran yang didasarkan
melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat
dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian.
Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial. Jika
para Rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada umat
manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna
menyebarkan risalah akhlaqiyyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu pada
keluhuran budi pekerti.17 Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyyah memberi
peluang bagi kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan
berkat kebersihan hati mereka ketika mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap
muraqabah kepada Allah SWT. Sebuah konsep mistik yang oleh Ibn ‘Arabi
dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai kedudukan yang
disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian umum
yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para Rasul dan Nabi yang
menerima nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah
sebagai utusannya, kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu
kenabian tertutup sampai akhir zaman nanti.18 Walhasil, dalam penafsiran sufi
mufassir-nya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Quran melalui jalan i‘tibari
dengan menelaah makna harfiah ayat secara zhahir, tetapi lebih pada menyeruakan
signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara simbolik, atau dikenal
dengan penafsiran isyari. Yaitu, bukan dengan mengungkapkan makna lahiriyahnya
seperti dipahami oleh penutur bahasa Arab kebanyakan, tetapi dengan
mengungkapkan isyarat-isyarat yang tersembunyi guna mencapai makna batin yang
dipahami oleh kalangan sufi. Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi
adalah Tafsir al-Quran al-Azhim karya Sahl al-Tustari (w. 283 H). Haqaiq al-Tafsir
karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412 H). lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi,
dan ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya al-Syirazi (w. 606 H).
B. Tafsir Falsafi
6
Karakteristik dari corak tafsir Falsafi adalah penggunaan ilmu filsafat sebagai
penafsiran Al-Qur’an. Cara yang ditempuh adalah pena’wilan teks-teks agama dan
hakikat hukumya yang sesuai dengan pandangan filosof. Selain itu juga menggunakan
metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan
filosofi.
Setiap corak ataupun metode dalam penafsiran Alquran memiliki ciri masing-
masing. Jika menurut Muhammad Ali ar-Ridhā’ȋ al-Isfāhani memberikan karakteristik
tafsir falsafi sebagai berikut.
1
Syafieh, , PERKEMBANGAN TAFSIR FALSAFI DALAM RANAH PEMIKIRAN ISLAM, Jurnal At-Tibyan Volume
2 No. 2, Desember 2017, hlm. 146
2
Aldomi Putra, KajianTasir Falsafi,al-Burhan Vol.7 No.1 Tahun 2017,hlm.25
7
Muhammad Ali ar-Ridha’i al-Isfahani menjelaskan bahwa yang menjadi rujukan
atau sumber-sumber dalam menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an secara falsafi merujuk
pada :
3
Aldomi Putra, KajianTasir Falsafi,al-Burhan Vol.7 No.1 Tahun 2017,hlm 26
4
Aldomi Putra, KajianTasir Falsafi,al-Burhan Vol.7 No.1 Tahun 2017,hlm.22
8
metode filsafat.5 Dalam menyikapi hal ini para ulama Islam terbagi menjadi dua
golongan, yakni :
5
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 20
6
U. Abdurrahman, METODOLOGI TAFSIR FALSAFI DAN TAFSIR SUFI, ‘Adliya, Vol. 9 No. 1, Edisi: Januari-
Juni 2015,hlm.250-252
9
perdebatan kalami seputar pemikiran-pemikiran yang masuk kedalam dunia Islam,
sehingga perdebatan tersebut menghasilkan interpretasi terhadap ayat-ayat mutasyābihāt
dan penatakwilan sifat-sifat Tuhan yang sesuai dengan arah dan pendapat masing-masing.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an secara falsafî relatif banyak ditemui dalam sejumlah
kitab tafsir yang membahas ayat-ayat tertentu yang memerlukan pendekatan secara
falsafî, namun demikian secara spesifik tafsir yang menggunakan pendekatan falsafî
secara keseluruahan terhadap semua ayat Alquran relatif tidak begitu banyak. Diantara
kitab tafsir yang menggunakan corak ini adalah tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Shadr
al-Mutaalihin al-Siyraziy.7
Karya tafsir Ibn Sina adalah ‘Rasail Ibn Sina’. Metode Ibn Sina dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan memandang Al-Qur’an dan filsafat, kemudian
menafsirkan Al-Qur’an secara filsafat murni.
Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibn Sina adalah surah al-Haqqah ayat 17 :
ٰٓ ُو ْالملَك
ش َر ِبكَ فَ ْوقَ ُه ْم يَ ْو َم ِٕى ٍذ ثَمنِيَة َ على ا َ ْر َج ۤا ِٕى َه ۗا َويَحْمِ ُل
َ ع ْر َ َ َّ
“.. dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung arsy Tuhanmu di atas kepala
mereka” (QS. Al-Haqqah [69] : 17)
Menurut Ibn Sina, Arsy adalah planet ke-9 yang merupakan pusat planet-planet
lain, sedangkan delapan malaikat adalah delapan planet penyangga yang berada di
bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu merupakan akhir wujud ciptaan jasmani.
7
Aldomi Putra, KajianTasir Falsafi,al-Burhan Vol.7 No.1 Tahun 2017,hlm.23
10
“Fushus al-Hikam” ia menafsirkan surah al-Hadid [57] ayat 3 dengan pendekatan
filosofis:
Dia menafsirkan ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam,
Setiap wujud yang lain berasa dari wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena
kejadiannya paling dekat dengan wujud pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud
yang terakhir ialah segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya.
Dialah wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dan
Dialah kerinduan utama karena itu Dia akhir dari segala tujuan.
Ibn Rusd
Penafsiran Ibn Rusyd ini lebih cenderung pada perpaduan pemikiran filosof dan
teori-teori yang ada dalam nas-nas Al-Qur’an. Dimana Ibn Rusyd mempertimbangkan
dengan matang agar tidak terjebak dalam pemikiran filosof radikal yang mampu
menjerumuskan alam pikiran kepada jalan yang menyesatkan. Contoh tafsir Ibn Rusyd
pada surah Hud [11] ayat 7:
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya berada di
atas air, agar Ia uji siapa diantara kamu yang paling baik amalnya”. (QS. Hud [11] : 7)
Menurutnya alam bukanlah diajadikan dari tiada tetapi dari sesuatu yang memang
sudah ada. Sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud yang lain yaitu air yang
diatasnya terdapat tahta kekuasaaan Tuhan. Sedangkan dalah al-Anbiya ayat 30 dan
Ibrahim ayat 47-48 disebutkan bahwa bumi dan langit pada umumnya berasal dari unsur
yang sama, kemudian dipecah dari benda yang berairan. Dengan demikian sebelum bumi
dan langit telah ada benda lain yang dalam sebagian ayat diberi nama air, dan dalam ayat
yang lain disebut uap. Uap dan air berdekatan selanjutnya langit dan bumi dijadikan dari
11
uap atau air bukan dijadikan dari unsur yang tiada, dalam arti unsurnya bersifat kekal dari
zaman yang qadim.
Thabathaba’i
“...Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”(QS.Al-Baqarah [2] : 167)
Menurutnya siksaan di neraka tidak akan kekal, karena Tuhan Maha Pengasih dan
sangat luas, sehingga bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih akan menyiksa
hambanya selamnaya. Alasan lainnya yang dikemukakan bahwa balas dendam terhadap
perbuatan orang yang menganiaya hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Sedang Allah Swt.
tidak pernah berbuat dzalim terhadap hamba-Nya serta balas dendam, maka siksaan di
neraka akan putus atau tidak kekal.8
Berbicara tentang karya tidak lepas dengan sebuah kelebihan dan kekurangan, tak lain
halnya tafsir sufi. Di dalamya terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan, antara lain
sebagai berikut.
a) Kelebihan
• Mampu memaknai ayat pada wilayah esoterik atau melalui dimensi
bathiniyah
• Mengungkap makna Al-Qur’an secara dzahir dan bathin
8
Ibid,hlm. 146-149
12
Yang dimaksud aspek dzahir yaitu teks ayat, sedangkan aspek bathin yaitu
upaya penta’wilan ayat yang tekstual.9
• Mengungkap isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Qur'an10
• Tepat untuk rujukan orang yang hendak meningkatkan martabat spiritual
• Penafsiran banyak yang memfokuskan ayat akhlak.
b) Kekurangan
• Hanya dapat difahami kalangan tertentu
Biasanya tafsir yang bercorak sufistik hanya mampu difahami oleh para
sufi atau orang yang menafsirkan ayat itu sendiri karena mereka
menafsirkan dengan mengandung subjektivitas sendiri.
• Maknanya sulit untuk ditangkap secara tematis
Karya tafsir sufistik banyak menggunakan metode tahlily dan metode
penafsirannya mengikuti mushaf Utsmani. Metode inilah yang
menyebabkan seseorang sulit untuk menangkap makna al Qur’an secara
sitematis.11
• Tolok ukur validitas tafsirnya kurang begitu jelas
• Tafsirnya diambil dari isyarat-isyarat yang samar
• Bercampur dengan teori filsafat
Adanya percampuran dengan teori filsafat ini menyebabkan tafsir sufi
tidak bisa berkembang seperti tafsir lain12
• Dengan mengambil makna bathin, dikhawatirkan syariat agama
dilecehkan karena seringkali didapatkan dari hasil pengalaman
ruhaniyahdan juga kurang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
• Banyak menyimpang dari kaidah penafsiran dan tata gramatikal arab
9
Ulil M. Abshor, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Jurnal Syifa al-Qulub, Vol.2 No 1 Juli
2017, hlm.8
10
Ibid., hlm.11
11
Ibid., hlm.12
12
http://kutaradja92.blogspot.com/2014/02/tafsir-sufi.html?m=1 Diakses pada hari Minggu, 12
September 2021 pukul 05.43
13
Dikatakan demikian karena dalam tafsir sufistik mengandalkan makna
bathin sehingga tata bahasa dan kaidah – kaidah bahasa arab kurang begitu
diperhatikan.
• Banyak karya tafsir yang tidak berhasil dituntaskan 1 Al Qur'an penuh
• Banyak campur tangan tokoh lain ketika melakukan penafsiran
Maksudnya yaitu dalam sebuah karya sering kali diselesaikan oleh
beberapa tokoh. Dengan kata lain satu tokoh berusaha menafsirkan,
kemudian kadang kala belum sampai tuntas kemudian dihimpun oleh
tokoh yang lain.
• Jarang ditemui wujud konkretnya
• Mengandung tingkat subjektivitas yang tinggi
Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga
tafsir falsafi. Berikut kelebihan dan kelemahan dari tafsir falsafi :
Kelebihan :
1. Membangun khazanah keislaman sehingga nantinya akan mampu mengetahui
maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat.13
2. Membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang
diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada
masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan Bahasa.14
Kelemahan :
13
https://qurantoedjoeh.wordpress.com/2013/12/31/tafsir-falsafi/
14
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 21 dikutip Syafieh, PERKEMBANGAN TAFSIR FALSAFI DALAM RANAH PEMIKIRAN ISLAM, Jurnal
At-Tibyan Volume 2 No. 2, Desember 2017, hlm. 143
14
1. Pola bernalar filsafat. Nalar filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang bukan
dari Islam sendiri, selain penafsiran corak filsafat sering terlihat terlalu mendalam
dalam memaknai ayat dan terkesan berlebihan.15
2 Cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena
peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek
historisitas kitab suci.16
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
15
Aldomi Putra, KajianTasir Falsafi,al-Burhan Vol.7 No.1 Tahun 2017,hlm.31
16
ibid
15
Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya. Ada juga yang mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat
al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-
Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Quran bisa
berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafisirkan dengan menggunakan
teori-teori filsafat. Dengan kata lain, Tafsîr al-Falâsifah berarti menafsirkan ayat-ayat al-
Quran berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra’y. Berbicara
tentang karya tidak lepas dengan sebuah kelebihan dan kekurangan, tak lain halnya tafsir
sufi. Kelebihan dan kekurangannya terdiri dari mampu memaknai ayat pada wilayah
esoterik atau melalui dimensi bathiniyah. Dan kekurangannya hanya dapat difahami
kalangan tertentu, biasanya tafsir yang bercorak sufistik hanya mampu difahami oleh para
sufi atau orang yang menafsirkan ayat itu sendiri karena mereka menafsirkan dengan
mengandung subjektivitas sendiri,maknanya sulit untuk ditangkap secara tematis, karya
tafsir sufistik banyak menggunakan metode tahlily dan metode penafsirannya mengikuti
mushaf Utsmani. Metode inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk menangkap
makna al Qur’an secara sitematis. Adapun untuk kelebihan membangun khazanah
keislaman sehingga nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari
berbagai aspek, terutama aspek filsafat dan untuk kelemahannya Pola bernalar filsafat.
Nalar filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang bukan dari Islam sendiri, selain
penafsiran corak filsafat sering terlihat terlalu mendalam dalam memaknai ayat dan
terkesan berlebihan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ulil M. Abshor, Pendekatan Sufistik dalam Menafsirkan Al-Qur'an, Jurnal Syifa al-
Qulub, Vol.2 No 1 Juli 2017
https://qurantoedjoeh.wordpress.com/2013/12/31/tafsir-falsafi/
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah,
Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),
17