Anda di halaman 1dari 11

1.

Kritik Hadits; Pengertian dan Urgensinya Kata kritik (Critic) berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya a judge (seorang hakim), yang berarti (1) a person who expresses an unfavuorable opinion or something, (2) a person who reviwes literacy or artistic works. Sedangkan kata kritik dalam bahasa Prancis adalah Critique mempunyai makna a detailed analysis and assesment . Karena itu, kata kritik (Critic) terdapat banyak arti, diantaranya: commentator, evaluator, analyst, judge, and pundit. sedangkan kata kritik dalam arti critique berarti evaluation, assesment, appraisal, appreciation, critism, review, study, commentary, exposision, dan exegesis. Dalam konteks tulisan ini kata kritik dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata annaqd dipakai untuk arti kritik, atau memisahkan yang baik dari yang buruk. Kata an-naqd ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata an-naqd dalam pengertian tersebut tidak dijumpai dalam alQuran maupun hadis. Namun kata yang memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Quran, yaitu kata tamyiz yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Bahkan seorang pakar hadis abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w. 261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang mebahas metode kritik hadis dengan al-Tamyiz. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabang ilmu hadis, al-jarh wa at-tadil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Memperhatikan pengertian dan perkembangan istilah tersebut, dalam bahasa Indonsia, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan identik dengan kata menyeleksi yang secara leksikal memiliki arti menyaring atau memilih. Secara istilah, kritik hadits Menurut Muhammad Tahir al-Jawaby sebagaimana dikutip Ah. Fudhaily adalah : Ilmu kritik hadis adalah ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau kedhaifan matn hadis tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam Sedangkan menurut M. M. Azami memaknai kritik hadits dengan Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis) antara

hadis-hadis sahih dari hadis-hadis daif dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik hadis (naqd al-hadits) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi hadis sehingga dapat ditentukan antara hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik hadits tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan hadits menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis. Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut diserahkan kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis (maan al-hadits). Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenya suatu berita yang tidak memilki sanad tidak dapat disebut sebagai hadits; demikian sebaliknya matan, yang sangat memerlukan keberadaan sanad. Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian / kritik hadis berkedudukan sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor-faktor tersebut adalah: 1. Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kita harus memberikan perhatian yang khusus karena hadis merupakan sumber dasar hukum Islam kedua setelah al-Quran dan kita harus menyakininya. 2. Tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, tetapi dalam perjalannnya hadis ternyata dibutuhkan untuk di bukukan. 3. Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadis. Kegiatan pemalsuan hadis ini mulai muncul kira-kira pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, demikaian pendapat sebagaian ulama hadis pada umumnya. 4. Proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama. Karena proses yag panjang maka diperlukan openelitian hadis, sebagai upaya kewaspadaan dari adanya hadis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

5. Jumlah kitab hadis yang banyak dengan model penyusunan yang beragam. Bayaknya metode memunculkan kriteria yag berbeda mengenai hadis, terkadang kitab-kitab hadis hanya mengumpulkan /menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut. 6. Telah terjadi periwayatan hadis secara makna, hal ini di khawatirkan adanya keterputusan sumber informasinya. Sungguh telah banyak problem yang menimpa otentikan hadis, mulai dari persoalan ekternal, yakni aksi gugat mengugat yang datang dari kalangan non muslim (orientalis) maupun muslim sendiri, yang mempersolakan keberadaan hadits. Tokoh-tokoh yang mempersoalkan keberadaan hadis misalnya Ignas Goldziher dan Yosep Scahcht, dua orientalis ini sangat getol mengkritik hadis (meragukan otentisitasnya). Adapun persoalan yang mengemukakan dari sisi internal, adalah persoalan yang bersangkutan dari figur Nabi, sebagai figus sentral. Sebagai Nabi akhir zaman, otomatis ajarn-ajaran beliau berlaku bagi keseluruhan umat, dari berbagi tempat, waktu sampai pada akhir zaman, sementara hadis itu sendiri turun pada kisaran kehidupan Nabi. Disamping itu tidak semua hadis mempuyai asbab al-wurud, yang menyebabkan hadis bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang melatarbelakangi menculnya suatu hadis, menjadikan sebuah hadis kadang difahami secara tekstual dan secara kontektual. Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan fungsinya yang terkadang sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepa;al-Quran negara, sebagai panglima perang, sebagai hakim dan lainya. Keberadan Rasulallah ini menjadi acuan bahwa untuk memahami hadis perlu dikaitkan dengan peran apa yang beliau mainkan. Oleh karenaya penting sekali untuk mendudukan pemahaman hadis pada tempatnya yang proposional, kapan dipahami secara tekstual, kontektual, universl, temporal, situasional maupun lokal. Itulah pentingnya mengenal ilmu penelitian/kritik hadis, hal ini akan memudahkan kita memahami hadis disamping itu kita juga bisa menilai kualitas hadis itu. 2. Munculnya Kritik Hadits Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Umi Sumbulah bahwa: Jika kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilahmilah antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadits telah ada sejak masa Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar secara langsung dari beliau, tetapi dari sahabat lainyang mendengarkannya. Dengan demikian, para sahabat dapat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadits yang mereka terima. Pada dasarnya, aktifitas tersebut tidak dikarenakan ada kecurigaan terhadap pembawa berita bahwa ia telah berdusta, namun kebih didasarkan bahwa berita yang berasal dari Rasulullah memang benar-benar ada. Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa konfirmasi di era Rasulullah ini dipandang sebagai embrio atua cikal bakal lahirnya ilmu kritik hadits, yang dalam tahap berikutnya menurut Jalaluddin Al Sututhi sebagaimana dikutup Umu Sumbulah menjadi salah satu dari 93 cabang ilmu hadits. Praktik kritik hadits dengan pola konfirmasi ini berhenti dengan wafatnya Rasulullah, namum buka berarti bahwa kritik hadits tela kehilangan urgensinya. Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, kritik hadits lebih bersifat komparatif. Tercatat sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar asSiddiq (w. 13 H=634 M) dengan mensyaratkan adanya saksi yang mendukung terkait kasus waris bagi nenek yang ditinggalkan cucunya, yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dalam kasus salam yang dilakukan oleh Abu Musa al Asyari juga mensyaratkan untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan ucapan itu. Di samping kedua metode kritik di atas, pada periode ini juga menggunakan periode kritik yang merupakan pengembangan dari metode komparatif. Perbedaannya pada tidak hanya mengandalkan pada kekuatan hafalan belaka, namun juga dilakukan perbandingan pada data tertulis yang ada. Diantara para kritikus misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 65 H), Aisyah (w. 52 H=678 M), Abdullah bn Umar (w.83 H), Abdullah ibn Amr ibn Al Ash (w. 65 H); Abu said Al Khuddzuri (w. 79 H), serta Anas ibn Malik (w. 92 H.). 3. Perkembangan Kritik Hadits Pasca Sahabat Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan hadis palsu (maudhu). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-hadis yang

benar-benar berasal dari Nabi, dan yang tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadis yang tersebar menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadis makin bertambah besar, karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak. Mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis. Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah tercatat usaha para ulama yang berusaha untuk merumuskan kaidah kesahihan hadis, sampai kemudian para ulama menetapkan persyaratan hadis sahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan dhabit) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (illat). Para ulama hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudhu para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis shahih sebagai tolok ukurnya. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matan hadits. Subhi Shalih dan Mahmud Tahhan mengartikan hadits dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria berikut:


Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith (cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau kepada sahabat atau kepada tabiin, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya). Dari definisi di atas dapat ditarik simpulan bahwa untuk memenuhi kriteria keshohihan hadits, terdapat lima poin syarat yang harus dipenuhi. 1.

artinya setiap perowi benar-benar meriwayatkan hadits


tersebut langsung dari orang (guru) diatasnya. Begitu seterusnya hingga akhir sanad.

2.

artinya setiap perowi adalah seorang muslim yang sudah


baligh dan berakal sehat yang tidak memiliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya.

3.

artinya setiap perowi adalah seorang pemelihara hadits


yang sempurna, baik menjaganya dengan hati (hafalan) maupun dengan tulisan.

4.

artinya hadits tersebut tidak berpredikat syadz yaitu hadits


yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqoh (terpercaya)

5.

artinya hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat. Yaitu


sifat samar yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaanya, kendati secara lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat.

4. Obyek Kritik Hadits Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Quran. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Quran yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis/ kritik hadits. Agar dapat meneliti hadits secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Obyek kritik hadits secara garis besar terbagi ke dalam 3 wilayah utama, yakni kritik sanad hadits, kritik matan hadits serta kritik atas penulisan dan pembukuan hadits. a). Kritik Sanad Hadits Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadis selalu bersandar kepadanya. Yang berkaitan dengan istilah sanad adalah katakata, seperti al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas yang artinya; menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal, dan mengangkat), maksudnya ialah menyandarkan hadis kepada orang yang menyatakanya. Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadis Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang cukup panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian kaum muslimin bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi. Hal ini dikarenakan bahwa dalam periwayatan hadits, ada beberapa metode yang digunakan, yaitu: al sima, al qiraah, al ijazah, al munawalah, al mukatabah, al ilam, al washiyah serta al wijadah. Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteriakriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi, (2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; samitu/samina, akhbarni, yang disuingkat dengan thanidan dhatani

samitu, haddatsana yang disungkat dengan thana, na, dana, dan akhbarana disingkat dengan ana, raana, akha, ara dan abana an dan ann. Sedangkan lambag periwayaran hadits dengan metode al sima yang tidak disepakati penggunaannya adalah qala lana dan dzakara lana. Menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (adil dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; samitu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakarani. Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, dan kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya. Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadits yang lain. Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (adil dan dhabit). Jadi sebenarnya sejarah penelitian / kritik sanad sudah ada sejak jaman sahabat, misalnya ada hadis yang dikeluarkan seseorang, maka para sahabat akan mengecek siapa yang meriwayatkan hadis itu, bagaimana keadaan orang itu dan kualitas hafalan serta tinggkahlakuanya, karena hal itu akan mempengaruhi kualitas hadis. Sedang masa setelah para sahabat bisa kita lihat dari produk kitab-kitab dari para ulama tentang kriteria dan kualits sanad atau perawi yang tentunya dia akan berpengaruh kepada kualaitas hadis. b). Kritik Matan Hadits Penyampaian hadis oleh Nabi pada awalnya berjalan alamiah, langsung diterima oleh sahabat tanpa melalui syarat yang ketat atau dengan menggunakan al-ad wa at-tahammaul yang rumit, karena beberapa faktor yang menyebabkan pengetahuan para sahabat tidak sama, ada yang langsung dia dengar dari Nabi ada yang lewat orang lain, dari sinilah lahir embrio salah satu cabang ilmu hadis yakni ilmu riwayah. Dengan kata lain ilmu ini adalah metode penelitian (penilaian) hadis melalui siapa perawi hadisnya hal ini akan sama dengan penelitian sanad hadis dan lebih jauh lagi akan menginjak kepada penelitian matan hadis.

Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafaa min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad, dengan definisi lebih sederhana bahwa; matan adalah ujung sanad (qayah as sanad), dengan kata lain yang dimaksud matan ialah materi hadis atau lafal hadis itu sendiri. Sejak kapan muncul kritik matn hadis? Pada masa Rasulallah hal ini sudah dilakukan para sahabat ketika rasulallah masih hidup. Kritik matn dilakukan pada waktu itu menurut Ahmad Fudhaili telah membentuk pola yang selanjutnya sebagai inpirasi metode selanjunya, yaitu metode perbandingan (comparison), atau pertanyaan silang dan silang rujuk (cross question and cross reference). Maksud kritik matn pada masa sahabat adalah sikap kritis para sahabat terhadap sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka. Sebagai contoh: Zubair ibn harb menceritakan kepada kami (muslim), ia berkata Jabir menceritakan kepada kami dari Mansur dari Hilal ibn Yusuf dari Abi yahya dari abdullah ibn Amr berkata: diceritakan kepaku bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: Salat seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri). Abdullah ibn Amr berkata: maka aku mendatangi Nabi da aku dapati beliau sedang solat dalam keadaan duduk. Aku letakkan tanganku di atas kepala beliau. ada apa wahai Abdullah ibn Amr. Aku menjawab. Wahai Rasulallah! Diceritakan kepadaku bahwa engkau pernah bersabda salat seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri), sedangkan engkau sendiri salat dengan keadaan duduk. Nabi menjawab.Benar!. Akan tetapi aku tidak seperti kalian. Tindakan yang dilakuakan Aisyah dan Abdullah ibn Amr adalah cross reference yaitu mengklarifikasi antara berita yang diterima kepada sumber Rasullah sebagai sumber berita. Hal tersebut untuk mengkomfirmasi adanya kontradiksi antara informasi tentang sabda nabi dari sumber lain dengan perbuatan beliau. Sikap kritis ini juga kita akan temukan pada sahabat-sahabat lain, yang berusaha untuk memahami ataupun mengecek hadis Nabi. Inilah upaya untuk penyempurnaan pemahaman Kritik matn pada masa Nabi lebih mudah dilakuaknm dibanding kritik matn setelah masa sahabat. Pada masa Nabi sahabat yang mnmukan kejanggalan atau kesulitan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi secara langsung, hal itu dilakukan karena Nabi sebagai subjek paling mengetahui maksud tindakan atau perkataan beliau. Kritik hadis pasca sahabat dilakukan para ulama dengan cara seperti yang dilakukan oleh para sahabat, hanya sasja para ulama harus membutuhkan ekstra keras untuk mmbandingkan data (dalil) yang lain untuk memahami hadis Nabi..

Pada perkembangan selanjutnya, untuk mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling tidak menggunakan kriteria ke shahihan hadis adalah sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matn hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Tidak bertentangan dengan akal sehat 2) Tidak bertentangan dengan al-Quran yang telah muhkam 3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir 4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu 5) Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan; 6) Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya kuat. Tolok ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan hadits yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka hadits tersebut tidak dapat dikatakan matan hadits yang sahih. Saha al Din al Adabi mengambil jalan tengah iantara keduanya, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan hadits ada 4, yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan petujunjuk Al Quran; 2. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat; 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah, dan; 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Untuk membedakan lebih jelas tentang kritik sanad dan matn lihat tabel perbandingan berikut yang penulis nukil dari berbagai sumber: Tabel Perbedaan Kritik Sanad dan Matan Aspek Perbedaan Sanad Secara umum: 1. Analisa/melihat keabsahan (kualitas) perawi; dhabit, shiqhoh. dll 2. Lebih kepada asal sumber informasi (Orang). Matn Secara Umum:

1. Lebih kepada isi/teks hadis

2. Pemahaman hadis dengan perbandingan: cross ques cross reference.

3. Kajian bisa dengan berbag cara. Bahasa, asbab al w

hadis, atau crosscek deng dalil/data lainya. Pada masa Nabi dan sahabat 1. Kesaksian langsung bisa di cek dari para sahabat (perawi) 2. Bisa langsung cross check kepada Nabi 3. Tidak ada pencelaan terhadap perawi

1. Pemahaman langsung bisa ditanyakan/ di diskusikan kepada Nabi

2. Cenderung ada keseragam pemahaman karena bisa cros cek kepada nabi

3. Ada keragaman pemahan tidak banyak karena 4. Bersifat konfirmalistik untuk pemahaman yang didamp memperkuat informasi yang Nabi dan para Sahabat diterima dan dari siapa 5. Proses konsolidasi untuk mendapatkan kenyakinan dalam mengamalkan info yang diterima dari Nabi. 6. Belum ada kritria keabsahan perawi secara sistematis. 7. Metode sederhana dan tidak atau belum sistematis Setelah Sahabat 1. Melihat keabsahan perawi dari riwarat hidup perawi, sehingga memberikan penilaian baku atas perawi (analisis biografi)

1. Conten analisis (analisa te

2. Lihat dari aspek bahasa da sejarah

3. Ada selalu perbedaan pemahaman dan tidak bis 2. Tipis dimungkingkan adanya satu karena sumber /refe perbedaan. Karena sudah yang berbeda. ada kriteria keabsahan 4. Ada kebebasan untuk perawi yang dirumuskan memahami hadis dari ber oleh para ulama hadits aspek kehidupan karena permasalahan kehidupan semakin komplek 5. Berpotensi adanya multi intepretatif dari masa ke c). Kritik Penulisan dan Pembukuan Hadits Ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa keberadaan hadis jelas berbeda dengan al-Quran. Untuk kasus al-Quran, hampir bisa dikatakan tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan dan kodifikasinya, bahkan Rasul sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya

10

menjadi penulis wahyu. Sementara untuk hadis, kodifikasi hadis secara resmi, massal dan serentak --khususnya Kutub al-Sittah-- memiliki rentang yang cukup panjang dengan masa Nabi. Realitas tersebutlah yang mencuatkan pandangan beberapa pihak untuk mempersoalkan orisinalitas dan otentitas hadis Nabi.

11

Anda mungkin juga menyukai