Anda di halaman 1dari 194

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i

HADITS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR SERTA PERBEDAAN HADITS QUDSI


DAN HADITS NABAWI......................................................................................................... 1

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS 1 (SUNNAH KABALAT TADWIH) : PADA


MASA NABI MUHAMMAD, PARA SAHABAT DAN THABI’IN ................................. 21

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS (MASA PERTUMBUHAN DAN


PEMBUKUAN HADITS) : KITAB AL MUWATHTH’AT, KUTBUS SAB’AH,
MUSTAKHRAJ, MUSTADRAK, ATHRAF ...................................................................... 32

CABANG-CABANG ULUMUL HADITS DIRAYAH DAN RIWAYAH ....................... 47

CABANG-CABANG ULUMUL HADITS .......................................................................... 63

SANAD DAN MATAN HADITS .......................................................................................... 85

HADITS DITINJAU DARI KUANTITAS RAWI : HADITS MUTAWATIR,


MASYHUR, AZIZ DAN GHARIB ...................................................................................... 96

HADITS DITINJAU DARI KUALITAS RAWI HADITS SHAHIH, HADITS HASAN,


DAN HADITS DHA’IF ....................................................................................................... 112

HADITS MAUDHU ............................................................................................................. 132

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM YANG


KEDUA, DAN SEBAGAI PENJELASAN TERHADAP AL QUR’AN DAN MACAM –
MACAM PENJELAS .......................................................................................................... 146

TAKHRIJUL HADITS: PENGERTIAN TAKHRIJ, MACAM-MACAM TAKHRIJ


AL-HADITS ......................................................................................................................... 162

BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADITS DAN PENYUSUN KUTUBUS SAB’AH 170

i
HADITS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR SERTA PERBEDAAN HADITS QUDSI
DAN HADITS NABAWI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

Muhammad Ilham Rizqi (11180510000125)


Nurul Aprina (11180510000133)
Muhammad Fikri Faiz (11180510000207)
Dwi Ulina Sari (11180510000001)
KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama Rahmatan lil Alamin. Bagi umat Islam, kehadiran Nabi
Muhammad saw. bukan sekedar sebagai “penyampai” ajaran Allah, namun beliau
adalah panutan yang baik “uswah hasanah”. Seseorang akan sempurna imannya jika
telah mengaplikasikan ajaran Allah dan Rasul-Nya yang terangkum dalam Al-Quran
dan hadits. Dengan demikian seseorang tidak mungkin dapat memisahkan apa yang
datang dari Rasulullah (hadits) dengan apa yang datang dari Allah (Al-Quran).
Keteladan Nabi Muhammad tidak hanya tercermin dalam sabda dan perbuatan,
tetapi juga sifat dan karakternya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dilihat dari
sisi ini, ulama hadis menjadikan sifat (fisik dan psikis) Nabi saw. (selain sabda,
perbuatan dan persetujuannya), sebagai bagian yang integral dalam terma hadis. Dalam
hal ini, istilah hadis tersebut biasanya mengacu kepada segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya
yakni fisik maupun psikis, baik yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya.
Dalam khazanah ilmu hadis, terdapat sejumlah istilah yang dari sisi terminologis
memiliki pengertian serupa, yakni: hadīts, sunnah, khabar, dan atsar.
Menurut mayoritas ulama hadis, keempat terma itu dianggap sinonim
(mutarādif), sehingga dalam pemakaiannya dapat dipertukarkan satu sama lain.
Sementara sebagian lainnya, beranggapan bahwa tiap-tiap terma itu mempunyai
kandungan makna yang berbeda. Dalam tulisan berikut ini, akan ditelaah secara
terminologis konsep hadis, similasi dan distingsinya dengan sunnah, khabar, dan atsar.

2. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar?


2. Apakah perbedaan hadits qudsi dan hadits nabawi?
3. Tujuan

1. Mengetahui pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar.


2. Mengetahui perbedaan hadits qudsi dan hadits nabawi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar

1.Pengertian Hadits

Hadis berasal dari bahasa Arab, al-hadīts, bentuk jadian dari kata hadatsa,
jamaknya adalah al-ahādīts,al-hudtsān, dan al-hidtsān. Secara etimologis, kata
ini memiliki beberapa arti, seperti; al-jadīd (yang baru), lawan dari al-qadīm
(yang lama), dan al-khabar (kabar atau berita yang diterima, sedikit maupun
banyak).1 Di sisi lain, dijelaskan pula bahwa secara literal, hadis diartikan sebagai
komunikasi, cerita, perbincangan religius atau sekuler, historis atau kekinian.2
Ketika menjadi istilah teknis, hadis didefinisikan secara beragam oleh
banyak ulama dari berbagai latar belakang keilmuan dan aliran. Ulama hadis
Sunnī misalnya, mendefinisikan hadis sebagai sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat, penampilan
fisik maupun budi pekerti.3 Berbeda dengan ulama hadis, ulama usul fikih
mengartikan hadis secara lebih sempit.4 Hal itu akan apabila ditelusuri kajian-
kajian yang mereka lakukan berkenaan dengan hadits Nabi.
2. Ulama hadits membahas segala sesuatu dari Nabi saw. dalam kapasitas
beliau sebgai imamyang memberi petunjuk, pemberi nasehat, sebagai suri
tauladan (uswah hasanah), dan penuntun (qudwah). Sehingga mereka mengambil
segaka sesuatu yang berkenaan dengan Nabi saw. baik berupa tingkah laku, ciri

1
Muhammad ibn Abū Bakr Abd al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār al-Shihāh, editor Mahmūd Khāthir Bik, (Beirut: Dār
al-Fikr, 1981), h. 125.

2
M. M. Azami, Studies in Hadīth Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publications,
1977), cet.1, h. 1-2.

3
Muhammad Dhiyā al-Rahmān al-Azhamī, Mujam Mushthalahat al-Hadīts wa Lathāif al-Asānīd, (Riyādh:
Maktabah Adhwā al-Salaf, 1999), cet.1, h. 131;

4
Fakhr al-Dīn Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn al-Rāzī, al-Mahshūl fī Ilm Ushūl al-Fiqh, pen-tahqīq Thāha
Jābir al-Ulwānī, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1997), cet.3, vol.4, h. 227.

3
fisik, pembawaan, sabda dan perbuatan, baik membawa konsekuensi hukum syara
maupun tidak.
3. Ulama ushul fiqh memandang Nabi sebagai penetap hukum Islam, dan peletak
kaeidah-kaidah bagi para mujtahid dalam peletakan hukum Islam. Oleh sebab
itu, yang menjadi perhatian khusus mereka dalah sabda, perbuatan, dan taqrir
Nabi yang membawa konsekuensi hukum dan menetapkannya.
4. Ulama Fikih memandang Nabi dari sisi perbuatannya yang bermuatan hukum
syara. Mereka mengkaji hukum syara; yang berkenaan dengan perbuatan
manusia, baik dari segi wajib, haram, mubah atau yang lainnya.

2. Pengertian Sunnah

Secara etimologis, sunnah memiliki beberapa arti; jalan yang ditempuh (al-
tharīqah al-maslūkah); kesinambungan (al-dawām); jalan yang baik (al-tharīqah
al-mahmūdah); dan jalan yang terus diulang-ulang, yang baik atau yang buruk
(al-tharīqah al-mutādah hasanah kānat am sayyiah).5 Ada yang mengungkapkan
bahwa sunnah adalah adat kebiasaan (al-ādah), yakni jalan yang terus diulang-
ulang oleh beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun yang
bukan ibadah.6
Adapun secara terminologis, sunnah juga didefinisikan secara beragam oleh
para ulama. Ulama hadis misalnya, beranggapan bahwa sunnah adalah sinonim
dengan hadis. Dengan demikian, segala yang disandarkan kepada Nabi saw., baik
perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, sīrah
ataupun maghāzī.7 termasuk dalam cakupun sunnah. Bahkan dalam terma yang
lebih luas lagi, sunnah tidak hanya disandarkan kepada Nabi saw., tetapi juga
kepada sahabat dan tābiīn.
1. Konsep sunnah bagi muhadditshūn sangat luas, karena mencakup segala
aspek yang terkait dan disandarkan kepada Nabi saw., baik yang dapat

5
Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq min Ilm al-Ushūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. 71.

6
Mahmūd Abū Rayyah, Adhwā alā al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difāan al-Hadīth, (Mesir: Dār al-Maārif,
t.th.), cet.6, h. 38.

7
Syarh al-Minhāj li al-Baydhāwī fī Ilm alUshūl, pen-tahqīq Abd al-Karīm ibn Alī ibn Muhammad al-Namlah,
(Riyādh: Maktabah al-Rusyd, 1999), cet.1, vol.2, h. 497.

4
dijadikan sebagai landasan hukum maupun yang tidak; baik yang bersumber
dari Nabi saw. sendiri maupun sahabat dan tābiīn; baik yang terjadi sebelum
maupun setelah kenabian. Perspektif ini muncul karena para ulama hadis
memandang sosok Nabi saw. sebagai uswah, yaitu seorang pemimpin dan
pemberi petunjuk kepada umatnya, sehingga segala perkataan, perbuatan,
persetujuan, dan sifatnya, patut untuk dijadikan sebagai panutan. Oleh karena
itu, mereka tidak membedakan apakah yang muncul dari Nabi saw. tersebut
berkaitan dengan hukum, moral, atau yang lainnya.
2. Ulama ushul fiqh, mengartikan sunnah secara lebih sempit. Hal ini
dikarenakan mereka memandang Nabi saw. sebagai legislator yang
meletakkan dasar-dasar hukum Islam bagi para ulama belakangan, sehingga
sunnah hanya berkaitan dengan hal-hal yang berasal dari Nabi saw. selain al-
Quran, yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum, baik berupa sabda,
perbuatan, persetujuan, maupun penolakannya.
3. Ulama fikih, mendefinisikan sunnah dengan perspektif yang berbeda dari
ushūliyyūn dan muhadditsūn. Dalam persepsi fuqahā, sunnah diartikan sebagai
sesuatu yang ditetapkan dari Nabi saw., yang tidak termasuk dalam kategori
wajib atau fardhu. Perspektif ini muncul karena mereka memandang Nabi saw.
sebagai seorang yang menunjukkan perbuatan-perbuatannya yang berdasarkan
hukum syariat. Sedangkan hukum yang terdapat dalam perbuatan hamba
tersebut, terpola dalam lima bentuk; wujūb (diwajibkan), sunnah (dianjurkan),
hurmah (dilarang), makrūh (dibenci), dan ibāhah (dibolehkan).8

3. Pengertian Khabar

Al-Khabar menurut istilah arti bahasa adalah berita (lawan kalimat perintah).
Dari segi istilah, khabar identik dengan hadist, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi (baik berupa marfu’, mauquf, dan maqthu’), baik
berupa perbuatan, perkataan, persetujuan, dan sifat.9

8
Dzikri Nirwana, Jurnal Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologis Hadits, Sunnah,
Khabar, dan Atsar), h. 48.

9
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015), hal 10.

5
4. Pengertian Atsar
Al- Atsar menurut bahasa berarti bekas sesuatu atau sisa dan sebagainya.
Menurut kebanyakan ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan
khabar dan hadist, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya
lebih umum dibanding dengan khabar.10

5. Struktur Hadits
Dilihat dari strukturnya, hadis nabi setidaknya mempunyai tiga komponen, yaitu
sanad atau isnad (rantai pengatur), matan (redaksi hadis), dan (mukharrij rawi).
Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Sanad hadis
ِ ‫اارتَفَ َع ِمنَ ْاْل َ ْر‬
Sanad dari segi bahasa berarti ‫ض‬ ْ ‫ َم‬, yaitu bagian bumi yang menonjol,
sesuatu yang berada dihadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda
memandangnya. Bentuk jamaknya adalah ‫ أسناد‬. Segala sesuatu yang anda sandarkan
kepada yang lain disebut ‫ مسند‬. Dikatakan ‫ أسند فى الجبل‬, maknanya “Seseorang
mendaki gunung”. Dikatakan pula ‫ فالن سند‬, maknanya “Seseorang menjadi
tumpuan”. 11
Adapun tentang pengertian sanad secara terminologi, para ahli hadis
memberikan definisi yang beragam, di antaranya:
‫صلَةإِلَى ْال َمتْ ِن‬
ِ ‫ط ِر ْيقَة ْالم ْو‬
ًّ ‫اَل‬
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis.
Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya.
‫صلَة ِل ْلمتْ ِن‬
ِ ‫الر َجا ِل ْالم َو‬
ِ ‫ِس ْل ِسلَة‬
Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadis.
Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang
yang menyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada
Rasulullah SAW, yang perkataan dan perbuatan, taqrir, dan lainnya merupakan
materi atau matan hadis. Dengan pengertian tersebut, sebuah sanad hanya berlaku
pada serangkaian orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara perseorangan. Adapun

10
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hal 20.

11
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Op. cit., hlm. 22.

6
sebutan untuk pribadi, yang menyampaikan hadis dilihat dari sudut orang perorangan,
disebut rawi.
Dari definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara terperinci
merupakan “Jalan matan hadis, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadis
dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW)”
Dengan demikian sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat)
hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur, mulai orang yang mencatat hadis tersebut
dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau
perawi bervariasi dalam lapisan sanad-nya, lapisan
dalam sanad tersebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam
tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadis tersebut.

2) Matan Hadits
Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya,
punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Matan kitab adalah yang
bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. Bentuk jamaknya
adalah ‘mutun’ (‫ )مت ْون‬dan ‘mitan’ (‫)مت َان‬.
ِ 12
Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah:
Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.
Dengan kata lain, matan adalah redaksi dari hadis. Terkait dengan matan atau
redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadis adalah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad
atau bukan.
2. Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih
kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya
dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak

12
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 8.

7
bertentangan dengan realita, fakta sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
Matan harus melalui proses penelitian mengenai isinya agar bisa dikatakan
maqbul (diterima).
Contoh matan:
“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah
bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk
dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim).
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang
dimulai dengan kata “barang siapa” hingga kata “tertolak” atau dengan kata lain
yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz:
“Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam
urusan (agamaku), maka ia tertolak”.13

3) Rawi Hadis
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadis (Naqil Al-Hadis). Sebenernya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah
yang hampir sama. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap thabaqoh atau tingkatannya
juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan
dan memindahkan hadis. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas, jika dilihat lebih
lanjut, adalah dalam dua hal: Pertama, dalam hal pembukuan hadis. Orang yang
menerima hadis-hadis, kemudian menghimpunnya kedalam suatu
kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan demikian rawi dapat disebut
dengan mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadis). Adapun
orang-orang yang menerima hadis dan hanya menyampaikannya kepada orang lain,
tanpa membukukannya, disebut sanad hadis. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan
bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi
disebut sanad hadis sebab ada rawi yang membukukan hadis.

13
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 8.

8
Kedua, dalam penyebutan silsilah hadis, untuk sanad, yang disebut sanad pertama
adalah orang yang langsung menyampaikan hadis tersebut kepada penerimanya,
sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasul SAW.
Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan
sebaliknya. Artinya, rawi pertama adalah sanad terahir, dan sanad pertama, adalah
rawi terahir.14
Untuk lebih memperjeles uraian tentang sanad, rawi dan matan di atas, lihat
penjelasan pada hadis berikut:
“Abu bakr bin Abi Syabah dan Abu Kuraib telah menceritakan (hadis) kepada kami,
katanya, “Abu Muawiyah telah menceritakan (hadis) kepada kami, yang
diterimanya dari Al-A’masy, dari Umarah bin Umar, dari Abd Ar-Rahman bin Yazid
dari Abdullah bin Mas’ud, katanya, ‘Rasulullah SAW. telah bersabda kepada kami,
‘Wahai sekalian pemuda! Barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan
pernikahan, maka menikahlah. Karena, dengan menikah itu (lebih dapat) menutup
mata dan lebih menjaga kehormatan. Akan tetapi, barang siapa yang beum mampu
melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena, dengan berpuasa itu dapat
menahan hasrat seksual.“ (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun nama Al-Bukhari dan Muslim, yang yang ditulis pada akhir matan
disebut rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Karena keduanya (masing-masing)
membukukan hadis, mereka disebut mudawwin (yang membukukan hadis).

2. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Dilihat dari segi posisinya, al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman hidup dan
sumber ajaran islam, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an sebagai
sumber yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu
dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disinilah hadis berfungsi sebagai penjelas al-
Qur’an, dikalangan ulama disebutkan secara beragam. Sebagai berikut:
1) Hadis sebagai Bayan Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini adalah bahwa hadits itu menjelaskan
atau memperinci kemujmalan Al-Quran. Karena Al-Quran bersifat mujmal
(global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan

14
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 8-9.

9
bagaimanapun diperlakukan perincian. Maka dari itu diperlukan adanya hadis
atau sunnah. Misalnya dalam Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji. Namun teknik operasional tidak
dijumpai didalam Al-Quran, teknik pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam
hadis.15

2) Hadis sebagai Bayan Takhshish


Dalam hal ini hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang
masih bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang
menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak
terbatas dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup
semua makna yang pantas dengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-
Muslimun (orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak laki-lakimu), dan lain-lain.
Misalnya, terkait informasi Al-Quran tentang ketentuan anak laki-laki yang dapat
mewarisi orang tua dari keluarganya, di dalam Al-Quran dijelaskan sebagai
berikut:
“Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk
laki-laki sama dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11).
Ayat ini tidak menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara
keluarga. Selanjutnya hal itu dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang
persyaratan khusus tentang kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak
berlainan agama dan tidak ada tindakan pembunuhan di antara mereka.16

3) Hadis Sebagai Bayan Taqyid


Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi
ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah
mutlak maksudnya adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada
dhohirnya tanpa memiliki limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang
sistematis. Adapun contoh hadits yang memiliki pembatasan hukum adalah:

15
Ibid, juz I, hlm. 9.

16
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 18-19.

10
“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar
atau lebih." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut
Lafadz Bukhari: "Tangan seorang pencuri dipotong (jika mengambil sebesar
seperempat dinar atau lebih." Menurut riwayat Ahmad: "Potonglah jika
mengambil seperempat dinar dan jangan memotong jika mengambil lebih kurang
daripada itu”.
Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara
hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam
ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-
Maidah (5) ayat 38).
Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-
laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini
mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang
untuk membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi
mereka yang mencuri seperempat dinar atau lebih.17

4) Hadis sebagai Bayan al-Taqrir


Bayan al-taqrir disebut juga bayan al-itsbat, yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Hadis ini berfungsi
juga sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Suatu
ketetapan hukum tentang suatu masalah memiliki dua sumber atau argumentasi,
yakni Al-Quran dan Sunnah. Selain itu sunnah dalam konteks ini melengkapi
sebagian cabang-cabang hukum yang berasal dari Al-Quran.18
Dalam Al-Quran banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah.
Misalnya ayat Al-Quran tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:

17
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 18.

18
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 16.

11
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi
petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu
melihat bulan, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah:
15).
Ayat ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi:
“Berpuasalah kamu setelah melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat
bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim).
5) Hadis sebagai Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang mendefenisikan suatu
ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-
Quran secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-
permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di sinilah hadis Nabi
mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi
terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik
semesta, Allah SWT.19 Misalnya hadits Nabi:
“Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari
pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari
pihak ibunya”. (HR. Malik No.977).
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami
perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum
akan larangan itu. Dalam Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat tentang
larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah
maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-keterangan tentang
dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara, anak
dan sebagainya. Disinilah hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan
yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Quran dalam membuat keputusan
itu.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah
SAW tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga,
sebagaimana Allah berfirman:

19
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 19.

12
“Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di
bumi”. (Q.S. Al-Syura: 52).

6) Hadits sebagai Bayan Nasakh


Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir
(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah
(menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan
yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.
Salah satu contohnya yakni:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits tersebut menasakh ketentuan dalam ayat, surat Al-Baqarah ayat 180.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
Menurut ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap al-Qur’an, hadis
diatas menasakh kewajiban berwasiat kepada para ahli waris, yang dalam ayat
diatas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seorang yang akan meninggal dunia
tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli waris, karena ahli
waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut. 20
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di
kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh
al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah
berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir.
Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus
mutawatir.

20
Dr. Zarkasih, M.Ag. Pengantar Studi Hadis, hlm. 20.

13
3. Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi

1. Pengertian Hadits Qudsi


Hadis Qudsi terdiri dari dua kata. Yakni, hadis dan Qudsi. Kemudian untuk
memahami makna “hadis Qudsi”, kedua kata ini dimaknai secar terpisah. “Hadis”
dimaknai segala sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak ada,
peristiwa, berita, ceritera, menyampaikan sesuatu risalah, peristiwa kenabian yang
datang dari Allah. Kemudian kata “Qudsi” dimaknai suci. bersih, sifat kesucian
Allah. Namun jika kata “Qudsi” dirangkai dengan kata lain, maka akan
mempunyai makna lain. Seperti, kata “Hadīratul Qudsi” atau Jannatul Qudsi”
diartikan “surga”, dan “Ruh al-Qudus” diartikan Malaikat Jibril. Jika kata hadis
dan Qudsi digabung menjadi satu yaitu, “hadis Qudsi”, maka akan para ulama
hadis mempunyai pengertian dalam berbagai pandangan antara lain.21
a. Imam al-Bukhari (194 H-256 H) dalam “al-jāmi’ al-Sahīh” memberikan
definisi bahwa hadis Qudsi ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Nabi darI
Tuhannya, dengan disampaikan secara makna dan secara lafal dari Allah
‘Azza wa Jalla. Contoh hadis Qudsi yang tercantum dalam kitab al-Bukhari
dalam bab tentang firman Tuhan adalah berikut ini yang artinya:
“Dari Anas Radliyallahu’anhu, dari Nabi saw, meriwayatkan dari Tuhannya,
Allah berfirman: «Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal,
maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, jika ia mendekatkan diri kepada-
Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia mendekatkan
diri kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan
berlari.” (H.R. Al-Bukhari).
b. Al-Jurjani (1339–1414) dalam karyanya, “al-Ta’rifāt” mendefinisikan bahwa
hadis Qudsi adalah hadis yang secara makna datang dari Allah, sementara
redaksinya dari Rasulullah saw. Sehingga hadis Qudsi adalah berita dari Allah
kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah saw,
menyampaikan hal itu dengan ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, al-Al-
Qur’an lebih utama dibanding hadis qudsi, karena Allah juga menurunkan
redaksinya (Al-Jurjani, 1405 H:113).

21
Idris, Abdul Fatah. Memahami Kembali Pemaknaan Hadist Qudsi. 2016. h. 142

14
c. Al-Munawi (1545 - 1622) dalam karyanya” Faidul Qadīr Syarh alJami’ al-
Sahīr memberikan pengertian hadis Qudsi ialah, berita yang Allah sampaikan
kepada Nabi-Nya saw secara makna dalam bentuk ilham atau mimpi.
Kemudian Nabi saw menyampaikan berita ‘makna’ itu dengan redaksi beliau
(Abdurrauf dkk, 1994: 468).

Menurut Fatwa Syaih Muhammad bin Salih al-‘Asīmīn (1929 - 2001) yang
menyatakan bahwa para ulama telah berbeda pendapatnya dalam memberikan
pengertian hadis Qudsi. Apakah hadis Qudsi itu kalam Allah atau apakah Allah
Ta’ala mewahyukan kepada Rasul-Nya dengan secara makna, sedangkan lafalnya
dari Rasulullah saw sendiri? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, bahwa Hadis Qudsi lafal dan maknanya dari Allah Ta’ala. Dikatakan
demikian, alasannya karena Rasulullah saw meriwayatkan dengan dsandarkan
kepada Allah SWT, serta diketahui bahwa asalusul ucapan itu karena sumbernya
disandarkan pada lafal orang yang mengucapkan, bukan pada pemindahannya.
Lebih-lebih orang yang mengucapkan adalah seorang Rasul yang sebaik-baik
manusia, baik dari segi tingkat kepercayaannya maupun segi keadilannya.
Kedua, bahwa hadis Qudsi merupakan hadis yang maknanya dari Allah SWT,
tetapi lafalnya dari Nabi saw. Ibnu al-‘Asīmīn dalam fatwanya mengatakan, jika
perbedaan pendapat yang pertama tidak lagi dibahasnya dalam persoalan ini,
karena dikhawatirkan dikatakan sebagai pendapat yang ekstrim dan
membinasakan, maka cukup berpendapat bahwa hadis Qudsi adalah hadis yang
diriwayatkan Nabi dari Tuhannya. Demikian cukup aman, jelas dan singkat.22

2. Pengertian Hadits Nabawi


Adapun yang dimaksud dengan hadis nabawi adalah hadis Nabi yang disandarkan
secara keseluruhan kepada Nabi baik makna maupun lafalnya dengan bentuk
ucapan, perbuatan, taqrir dan sifat-sifatnya. Ada dua sifat yang terkandung dalam
hadis Nabawi yaitu:
Pertama, Tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari
wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian

22
Al-‘Asīmi, 2001: 69

15
ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna
yang diterima dari pihak lain.
Kedua, Taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut
pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran
atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian
kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika
terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi
dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan
inilah makna dari firman Allah tentang Rasul Muhammad saw "Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu nya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan" (An-Najm: 3-4)23

3. Perbedaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi


Hadits Qudsi disebut pula hadis al-Ilahiy atau al-Rabaniy, yakni sebuah hadis
yang sama halnya seperti hadis Nabi, tetapi dimana keduanya secara subtansi
(kandungan maknanya) berbeda dari asal sumbernya. Hadis Qudsi maknanya
bersumber dari Allah swt, sedangkan hadis atau sunah pada umumnya bersumber
dari Nabi sendiri. Namun keduanya ketika disampaikan kepada audien (umat)
dilafalkan persis secara verbal oleh Nabi saw (Subkhi Shaleh, 1978: 11-13).24
Syaikh Manna’ al-Qaththan mengatakan dalam kitab Mabahits fi ‘ulum al-
Qur’an bahwa hadis berdasarkan sifatnya ada dua macam: (1) hadis yang bersifat
tauqifi. Kandungan hadis tauqifi ini diterima oleh Rasulullah melalui wahyu. Lalu
beliau menjelaskannya kepada umatnya dengan kata-kata atau redaksi kalimat
dari beliau sendiri. Atau disebut dengan hadis qudsi. Disini meski kandungannya
dinisbahkan kepada Allah namun dari sisi perkataan lebih layak dinisbahkan
kepada Nabi karena itu disebut dengan Hadis bukan Al-Quran kalamullah. Sebab

23
Idris, Abdul Fatah. Memahami Kembali Pemaknaan Hadist Qudsi. 2016. h. 146

24
Subkhi Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Bairut: Dār al- ‘Ilmi, 1978.

16
kata-kata itu dinisbatkan kepada orang yang mengatakan meskipun makna atau
kandungannya diterima dari pihak lain. Disebut hadis qudsi atau hadis suci karena
maknanya yang berasal dari Allah. (2) hadis yang bersifat taufiqi adalah hadis
yang disimpulkan oleh Rasulullah berdasarkan pemahamannya kepada Alquran.
Karena fungsi Rasulullah adalah untuk menjelaskan, menerangkan dan
mengambil istinbat dari Alquran dengan perenungan dan ijtihad.25
Dalam hal ini, wahyu akan turun untuk membetulkan bila terdapat kesalahan
dalam hadis nabi dan wahyu akan mendiamkannya bila Nabi benar. Hadis yang
disampaikan Rasulullah dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu dapat
dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah tentang sabda
Rasulullah Saw:
‫َو َما يَ ْن ِطق َع ِن ْال َه َوى ِإ ْن ه َو ِإ َّل َوحْ ي يو َحى‬
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang
diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.”(QS.
Al-Najm; 3-4)
Selain itu, terdapat (5) Hadis qudsi selalu menggunakan ungkapan orang
pertama: “Aku (Allah)...” atau “Hai hamba-Ku...” sedangkan hadis Nabawi tidak
perbedaan lainnya antara hadist qudsi dan hadist nabawi. (1) Pada hadis
nabawi Rasulullah saw menjadi sandaran sumber pemberitaan, sedangkan pada
hadis qudsi beliau menyandarkannya kepada Allah swt. Pada hadis qudsi, Nabi
memberitakan apa yang disandarkan kepada Allah dengan menggunakan
redaksinya sendiri. (2) Pada hadis qudsi, Nabi hanya memberitakan perkataan
atau qawli, sedangkan pada hadis nabawi pemberitaannya meliputi perkataan
(qawli), perbuatan (fi'li), dan persetujuan (taqriri). (3) Hadis nabawi merupakan
penjelasan dari kandungan wahyu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maksud wahyu yang tidak secara langsung, Nabi berijtihad terlebih dahulu
sebelum menjawab suatu masalah. Jawaban itu terkadang sesuai dengan wahyu
dan juga terkadang tidak sesuai. Jika tidak sesuai, maka datanglah wahyu untuk
meluruskannya. Hadis qudsi wahyu langsung dari Allah swt. (4) Hadis nabawi
lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat, sedangkan hadis qudsi

25
Maghfiro, Neneng. 2018. Perbedaan Hadist Qudsi dan Hadist Nabawi. bincangsyariah.com.

17
maknanya dari Allah dan redaksinya disusun oleh Nabi. menggunakan redaksi
tersebut.26

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits berasal dari bahasa Arab, al-hadīts, bentuk jadian dari kata hadatsa,
jamaknya adalah al-ahādīts,al-hudtsān, dan al-hidtsān. Secara etimologis, kata ini
memiliki beberapa arti, seperti; al-jadīd (yang baru), lawan dari al-qadīm (yang lama),
dan al-khabar (kabar atau berita yang diterima, sedikit maupun banyak). Di sisi lain,
dijelaskan pula bahwa secara literal, hadis diartikan sebagai komunikasi, cerita,
perbincangan religius atau sekuler, historis atau kekinian. Sunnah merupakan segala
yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan,
penampilan fisik dan budi pekerti, sīrah ataupun maghāzī. termasuk dalam cakupun
sunnah. Bahkan dalam terma yang lebih luas lagi, sunnah tidak hanya disandarkan
kepada Nabi saw., tetapi juga kepada sahabat dan tābiīn.
Al-Khabar menurut istilah arti bahasa adalah berita (lawan kalimat perintah). Dari
segi istilah, khabar identik dengan hadist, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi (baik berupa marfu’, mauquf, dan maqthu’), baik berupa perbuatan, perkataan,
persetujuan, dan sifat. Al- Atsar menurut bahasa berarti bekas sesuatu atau sisa dan
sebagainya. Menurut kebanyakan ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama
dengan khabar dan hadist, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya
lebih umum dibanding dengan khabar.

26
Islamnyamuslim.com. 2016

18
Perbedaan antara hadist qudsi dan hadist nabawi meliputi; (1) Pada hadis nabawi
Rasulullah saw menjadi sandaran sumber pemberitaan, sedangkan pada hadis qudsi
beliau menyandarkannya kepada Allah swt. Pada hadis qudsi, Nabi memberitakan apa
yang disandarkan kepada Allah dengan menggunakan redaksinya sendiri. (2) Pada
hadis qudsi, Nabi hanya memberitakan perkataan atau qawli, sedangkan pada hadis
nabawi pemberitaannya meliputi perkataan (qawli), perbuatan (fi'li), dan persetujuan
(taqriri). (3) Hadis nabawi merupakan penjelasan dari kandungan wahyu, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Maksud wahyu yang tidak secara langsung, Nabi
berijtihad terlebih dahulu sebelum menjawab suatu masalah. Jawaban itu terkadang
sesuai dengan wahyu dan juga terkadang tidak sesuai. Jika tidak sesuai, maka datanglah
wahyu untuk meluruskannya. Hadis qudsi wahyu langsung dari Allah swt. (4) Hadis
nabawi lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat, sedangkan hadis
qudsi maknanya dari Allah dan redaksinya disusun oleh Nabi. menggunakan redaksi
tersebut.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa penulisan maklah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan terkait isi makalah
di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung
jawabkan. Kritik serta saran terhadap penulisan tentunya sangat diharapkan oleh
penulis demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015).


Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2013).
Dzikri Nirwana, Jurnal Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah
Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar).
Fakhr al-Dīn Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn al-Rāzī, al-Mahshūl fī Ilm Ushūl
al-Fiqh, pen-tahqīq Thāha Jābir al-Ulwānī, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1997).
Islamnyamuslim.com. 2016.

19
Maghfiro, Neneng. 2018. Perbedaan Hadist Qudsi dan Hadist Nabawi.
bincangsyariah.com.
Muhammad ibn Abū Bakr Abd al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār al-Shihāh, editor Mahmūd
Khāthir Bik, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981).
Muhammad Dhiyā al-Rahmān al-Azhamī, Mujam Mushthalahāt al-Hadīts wa Lathāif
alAsānīd, (Riyādh: Maktabah Adhwā al-Salaf, 1999).
Muhammad ibn Alī ibn Muhammad al-Syawkānī, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq
min Ilm al-Ushūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Mahmūd Abū Rayyah, Adhwā alā al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difā an al-
Hadīth, (Mesir: Dār al-Maārif, t.th.).
M. M. Azami, Studies in Hadīth Methodology and Literature, (Indianapolis:
American Trust Publications, 1977).

20
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS 1 (SUNNAH KABALAT TADWIH) : PADA
MASA NABI MUHAMMAD, PARA SAHABAT DAN THABI’IN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

Azzahra Syafiera Puteri (11180510000027)

Elsa Azzahraita (11180510000017)

Khoiruna Nur Fauziah (11180510000146)

Refi Ridwan Arzaki (11180510000351)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perkembangan hadist dari fase ke fase selalu menarik untuk di pelajari.
Karena peran hadist merupakan salah satu sumber hukum utama bagi umat islam. Dan hadist
merupakan pelengkap keberadaan al-Quran. Sehingga keberadaan hadis menjadi sangat
urgen sekali untuk mengungkap ajaran al-Quran yang masih bersifat global. Sebagaimana
kita ketahui, pada awal perkembangannya, studi hadis mengalami perkembangan yang sangat
pesat, sehingga studi hadis menjadi bahasan populer waktu itu, karena di masa-masa
sebelumnya para sahabat lebih fokus dalam mengkaji Al-Quran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan sejarah Hadist pada masa Nabi?
2. Bagaimana perkembangan sejarah Hadist pada masa Sahabat?
3. Bagaimana perkembangan sejarah Hadist pada masa Tabi’in?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Hadist pada masa Nabi
2. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Hadist pada masa Sahabat
3. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Hadist pada masa Tabi’in

22
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis pada Masa Nabi


Hadis pada masa Nabi dikenal pula dengan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu
dan pembentukan masyarakat Islam, karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan
masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan
dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Mereka selalu berusaha
menghafal ajaran-ajaran Islam melalui al-Qur’an, juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk
mendapatkan ajaran agama termasuk hadis-hadisnya. Wahyu yang diturunkan Allah SWT
kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya, sehingga apa yang
didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan
ubudiah mereka pada saat itu.
1. Kebijaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadis
Pada masa Nabi hadis belum dikodifikasi secara resmi sebagaimana yang terjadi pada
beberapa tahun berikutnya, yakni masa Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).
Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan
membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit,
sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang para
sahabat untuk menulis hadis-hadisnya sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri
bahwa Nabi bersabda:
َ َ‫ب َعل‬
‫ي قَا َل ِه َمام‬ َ َ‫ش ْيئًا َغي َْر ْالق ْرىنَ فَ ْليَ ْمحه َو َحدِث ْوا َعنِ ْي َو َّل َح َر َج َوم َم ْن َكذ‬ َ ‫ش ْيئًا ِإ َّل ْالقق ْرآنَ َو َم ْن َكت‬
َ ‫َب َعنِ ْي‬ َ ‫َّل ت َ ْكتب ْوا َعنِ ْي‬
ِ َ‫اَحْ سِبه قَا َل متَعَ ِمدًا فَ ْليَتَبَ َوأْ َم ْقعَدَه ِمنَ الن‬
‫ار‬
Artinya: “Janganlah kalian tulis dariku (selain al-Qur’an) dan barangsiapa yang menulis
dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah. Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa.
Barangsiapa berdusta atas namaku-Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka
hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis tercampur dengan al-Qur’an yang saat
itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh
‘Abd Allah ibn ‘Umar katanya: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari
Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-prang Quraisy
melarangku melakukannya. Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal

23
Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang.” Kemudian aku menahan diri (untuk
tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda:
ْ ‫ا ْكتبْ فَ َوالَ ِذ‬
‫ى نَ ْف ِس ْى بِيَ ِد ِه َما خ ََر َج َعنِى ا َِّل َحق‬
Artinya: “Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar
dariku selain kebenaran.”
Berdasarkan hadits di atas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk
menulis hadis, tetapi secara umum Nabi melarang umat Islam untuk menulisnya. Nabi
melarang menulis hadis karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an dan pada kesempatan
lain ia membolehkannya.
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan
dengan ini, yaitu:
a. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya
diberikan pada periode akhir kerasulan;
b. Larangan penulisan hadis ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat
menulis dengan baik, dikhawatirkan salah dan bercampur dengan al-Qur’an. Izin
menulis hadis diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan
salah serta bercampur dengan al-Qur’an;
c. Larangan menulis hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis hadis, karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan hadis dengan al-Qur’an;
d. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis bersifat khusus;
e. Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar
dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri;
f. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat.
2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadis
a. Melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
untuk membina para jemaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak
peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain.
c. Untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan
melalui istri-istrinya.
24
d. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika fath Mekkah dan haji
wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi
menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin
yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah,
siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persamaan,
keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah itu antara
lain; larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta
orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya; perintah memperlakukan istri
dengan baik, persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; dan
umat Islam harus selalu berpegang kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi.
e. Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan
musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan
berita itu tersebar di kalangan umat Islam.
3. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadis. Hal ini tergantung
kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah
SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal
dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula
masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib, dan Ibn Mas’ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Hadis-hadis yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal keluarga dan
pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan hadis-hadis
yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada
para sahabat yang secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah SAW,
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama
25
dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, dan
Abdullan Ibn Abbas.
Menurut Muhammad Musthafa ‘Azami, bahwa para sahabat menerima hadis dari
Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
a. Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering mengulang-
ulang apa yang telah diucapkannya.
b. Metode tulisan. Diantara para sahabat Nabi yang setelah menerima hadis dari beliau,
mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
c. Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, dan jika terjadi
perbedaan, mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.

B. Periode pada masa Khulafaurrasyidin

Periwayatan hadits pada masa sahabat besar (khulafa rasyidin) sejak tahun 11 H
sampai 40 H belum begitu berkembang, karena pada satu sisi perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharan dan penyebaran al-Qur’an. Mereka berusaha untuk membatasi
periwayatan hadits. Meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharan al-Qur’an, bukan
berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima ketika Nabi
masih hidup. Rasulullah saw bersabda :

‫ي ُمتعمدًا ف ْليتب َّوأْ من النَّار‬


َّ ‫م ْن كذَّب عل‬

Barang saiapa berdusta atasku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya
di neraka. (Al-Hadits)

Dari hadits diatas dapat diambil prinsip-prinsip periwayatan yang menopang


kelangsungan pemeliharaan hadits. pada waktu itu manusia berada pada puncak keadilannya
sehingga cukup dengan menggunakan kaidah periwayatan hadits yang sangat sederhana,
sesuai dengan kebutuhan waktu itu, untuk memastikan kesahahihan riwayat dan menjauhi
kesalahan.

26
Perkembangan ‘ulumul hadits setelah wafatnya Nabi dan memasuki pada era sahabat,
yang mana pada waktu itu sahabat mulai berhati-hati dalam periwayatan hadits dan masa ini
terkenal dengan masa taqlil ar-riwayah (penyedikitan riwayah), hal ini dilakukan karena
adanya kekhawatiran bahwa orang yang banyak meriwayatkan hadits akan tergelincir karena
salah dan lupa, lebih-lebih pada waktu itu para sahabat masih berkosentrasi pada al-Qur’an
yang baru saja terkodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua.

Pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu
hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut mampu mendatangkan saksi
untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Masa Utsman tahap kedua, masa
ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak
meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia
riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW. Para sahabat merupakan rujukan yang utama
bagi dasar ilmu riwayah hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan
suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat
hadis di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat dan
perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga telah
meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis. Mereka
juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya dapat diketahui hadis
makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk ditinggalkan. Dan dari sini muncullah
mushthalah al-hadits.

Pada akhir pemerintahan Utsman terjadi konflik antar elit politik (Ali dan
Mu’awiyah) yang menyebabkan terjadinya perpecahan umat. Beberapa kelompok
penyeleweng muncul dan membuat-buat sanad yang mereka sandarkan dalam hadits yang
sesuai dengan kebutuhan mereka bahkan diantara para penyeleweng itu membuat-buat hadits
sendiri yang tidak pernah diucapkan oleh Nabi saw. Karena hal tersebut maka para sahabat
mulai terpanggil untuk memelihara hadits dan mengadakan penelitian dan pembahasan hadits
dengan cermat. Telah banyak usaha yang ditempuh oleh para sahabat pada masa ini dan
sebelum abad pertama hijriyah berakhir telah ada beberapa cabang ulumul hadits sebagai
berikut :

a. Hadits marfu’

b. Hadits mauquf

27
c. Hadits maqthu’

d. Hadits muttasil

e. Hadits mursal

f. Hadits munqathi’

g. Hadits mudallas, dan lain-lain

Masing-masing jenis hadits ini terbagi menjadi dua yaitu :

1. Maqbul , yaitu hadits yang pada perkembangan berikutnya menjadi hadits sahih
dan hasan

2. Mardud, yaitu hadits yang pada perkembanagn berikutnya menjadi hadits dha’if
dengan berbagai peningkatan.

Masa yang kedua ini merupakan masa penyempurnaan dimana setiap cabang-cabang
ilmu hadits sudah dapat berdiri sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama
pada tahap pertama. Rentan waktu tahap penyempurnaan sekitar awal abad kedua sampai
awal abad ke tiga, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu :
Melemahnya hafalan dikalangan umat Islam yang dijelaskan dalam kitab Tadzkirat al-
Huffazh karya al-Dhahabi.
Panjang dan bercabangnya sanad hadits, hal ini terjadi karena hadits yang diterima dan
disebarkan ke berbagai daerah yang memungkinkan ada kecacatan.
Munculnya sekte atau kelompok yang menyimpang dalam Islam, yang menyebabkan
kekacauan. Sehingga para imam pada waktu itu berusaha untuk mengantisipasinya dengan
beberapa tindakan diantaranya :
 Pembukuan hadits secara resmi
 Sikap para ulama yang kritis terhadap rawi hadits
 Sikap tawaqquf (tidak menerima dan tidak menolak)
 Penelusuran hadits yang bertujuan untuk mengungkap kecacatan yang mungkin
tersembunyi.

28
Para ulama pada periode ini banyak yang melakukan perjalan untuk menyeleksi
hadits, mereka meneliti keadaan perawi dan kualitanya. Dengan demikian hadits yang
diriwayatkan oleh seseorang dapat diketahui kualitas dari hadits tersebut.

C. Periode pada Masa Tabi’in

Pada masa pasca Khulafaur Rasyidin, hadis sudah berkembang ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam, seperti Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, Syam hingga Mesir, para tabi’in
sudah mulai gencar untuk memeperluas hadits di beberapa tempat sehingga penyebaran
hadits pada masa ini sudah sangat signifikan. Bahkan pada masa ini, puncaknya terjadi pada
masa Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) masa dinasti Abbasiyyah dimana masa ini merupakan
masa pengkodifikasian hadits, latarbelakang khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam
mengkodifikasi hadits disebabkan rasa kekhawatiran beliau akan hilangnya hadits, karena
pada masa itu keadaan para generasi penerus tidak menaruh perhatian besar terhadap hadits.
Selain itu, pada masa itu juga sudah banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku
bid’ah (alMubtadi’) seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah dan bahkan pada saat itu sudah mulai
bermunculan hadits-hadits palsu sehingga Umar bin Abdul Azizi mengkhawatirkan hilangnya
hadits-hadits Nabi SAW. Seruan Umar bin Abdul Aziz akan kodifikasi hadits mendapatkan
respon dan antusias umat Islam dan dari para ulama hadits, sehingga pada masa itu hadits
dapat berhasil dikodifikasikan.
 Sumber penerimaan hadits bagi tabi’in
Menurut berbagai sumber, tidak sedikit sahabat Nabi memperoleh hadits dari tabi’in.
Aisyah, Abu Hurairah, Mu’awiyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin
Zubair, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash diriwayatkan telah menerima hadits dari Ka’ab Al-
Akhbar (seorang tabi’, w. 32 H/625 M).
Sumber penerimaan hadits bagi tabi’ berasal dari tiga generasi; diriwayatkan bahwa
Al-Zuhri menerima hadits dari :
 Generasi sahabat Nabi SAW seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatbah,
dan Jabir bin Abdullah
 Generasi dari tabi’in sendiri seperti Sa’id bin Musayyab, ‘Urwah bin Zubair dan
‘Atha bin Abu Rabah
 Generasi Atba’ Tabi’in seperti Malik bin Anas
Perhatian tabi’in dalam pengajaran hadist

29
Para tabi’in yang tadi memperoleh hadits dari sahabat lewat Majlis, turut pula
mengajarkan cara yang sama; diriwayatkan bahwa ketika Abdul Malik (Khalifah Bani
Umayayah 65-86 H) berkuasa, ia berkunjung ke Masjidil Haram, terkagum melihat Masjidil
Haram dipenuhi oleh para pencari ilmu, maka ia menanyakan siapa saja syekh dari
Halaqah/Majlis Ta’lim tersebut. Dijawab bahwa mereka adalah ‘Atha, Sa’id bin Zubair,
Maimun bin Mahrun, Mujahid, dan lain-lain. Saat itu Khalifah mendorong pemuda-pemuda
Quraisy untuk mencari ilmu (hadist) serta menjaganya.
Tabi’in tidak hanya merasa cukup dengan penyampaian hadist lewat majlis di masjid ,
mereka juga mengadakan perjalanan untuk melaksanakan maksud tersebut. Sofyan Al-Tsauri
pernah berkata :’Seandainya tak ada yang datang untuk mengambil hadits aku akan
mendatangi rumah mereka”.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist merupakan salah satu sumber hukum utama bagi umat islam. Hadist juga
merupakan pelengkap keberadaan al-Quran. Sehingga keberadaan hadis menjadi sangat
urgen sekali untuk mengungkap ajaran al-Quran yang masih bersifat global. Sebagaimana
kita ketahui, pada awal perkembangannya, studi hadis mengalami perkembangan yang sangat
pesat, sehingga studi hadis menjadi bahasan populer waktu itu, karena di masa-masa
sebelumnya para sahabat lebih fokus dalam mengkaji Al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA

Idri. 2010. Studi Hadist. Jakarta : Kencana.


Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadist. Jakarta : Rajawali Press
Zuhri,Muh. 1997. Hadis Nabi : Sejarah dan Metodologinya. Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang : UIN Maliki Press
Almanar, Abduh. 2012. Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta : Referensi
Nuruddin’Itr. 1994. ‘Uluum Al-Hadits . Bandung : Remaja Rosda Karya.
Khon, Abdul Majid. 2008. ‘Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah

31
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS (MASA PERTUMBUHAN DAN
PEMBUKUAN HADITS) : KITAB AL MUWATHTH’AT, KUTBUS SAB’AH,
MUSTAKHRAJ, MUSTADRAK, ATHRAF

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3
Raudhatul Fauziah (11180510000023)
Rijalul Rahman (11180510000015)
Mohammad Hafiz (11180510000117)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

32
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat- umat terdahulu dalam menerima atau menyampaikan riwat tida pernah
memperhatikan sanad atau berupaya untuk mengetahui identitas, derajat keadilan, dan tingkat
daya hafal, para periwayatnya. Sehingga peristiwa–peristiwa yang bersejarah mereka
riwayatkan menurut cara merea amsing–masing, sementra pekara agama hanya bersmber dari
ucapan dan tulisan para rawi merka mata – mata tanpa ditanya kondisi sanadnya, apalagi
diteliti secara kritis.

Akan tetapi ketika ALLAH mejadikan agama ini sebagai penutup semua risalah dan
agama, dan dia berjanji akan memelihara dan melindunginya, maka dikhususkan bagi umat
ini dengan suatu karunia agar tetap memelihara kitab rabNYA dan menjaga hadist nabinya.
Lalu mereka ciptakan kaidah – kaidah mushthalah dengan teori ilmiah yang sangat baik dan
dengan kebenaran berbagi nash yang diriwatkan dapat di uji.

Usaha mempelajari sejarah pertubuhan dan perkembangan haist ini di harapkan dapat
mengetahui sikap dan tindakan umat islam yang sebenarnya. Khsusnya para ulam alhli hadist
terhadap hadist serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya
sampai akhirnya terwujud kitab- kitab hasil tadwin secara sempurna bahkan menguatnya
kajian hadist dalamdunia islam tidak lepas dari upaya umat islamyang melakukan caunter
baikterhadap sangkaan–sangkaan negatif kalangan oreantalis terhadap keaslian hadist. Sebab
studi tentang keberadaan hadist selalumenarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan
manusia yang makin kritis.

Olehkarna itu mengkaji sejarah inimelakukan upaya mengungkap fakta-fatayang


sebenarnya sehingga sulit ditolak keberadaanya. Perjalanan hadis pada tiap periode-
periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadipinya, yang diantara
satu periode dengan periode lainya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalanya
diajukan ciri-ciri khusus dari persoalan-persoalan tersebut.

33
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADITS

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis
selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu
secara eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang
disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang
sampai kepada mereka. Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis berkembang
sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada masa Nabi
SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika
menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu
dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau menemui sahabat lain yang dapat
dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan
hadis tersebut.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti
hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah S.A.W.
Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6

ِ ‫ٰۤياَيُّ َها الَذ ِۡينَ ا َمن ٰۡۤوا ا ِۡن َجا ٓ َءك ۡم فَا ِسق ۢ ِبنَ َب ٍا فَتَ َبيَن ٰۡۤوا ا َ ۡن ت‬
َ‫ص ۡيب ۡوا قَ ۡو ًما ۢ ِب َج َهالَ ٍة فَتصۡ ِبح ۡوا َعلى َما فَ َع ۡلت ۡم ن ِد ِم ۡين‬

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.

Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang
datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang
dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika
pembawanya orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka diterima. Akan tetapi
sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lainlain, maka

34
tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang lain yang menyebabkan
penyesalan dan merugikan.

Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena
orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi,
setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan
Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur
Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari masingmasing
sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas. Melihat kondisi
seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan berbagai
cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja
yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad.

Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapan suatu periwayatan: Sebutkan


kepada kami para pembawa beritamu.27 Ibnu Al-Mubarak bekata Isnad/sanad bagian dari
agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang
dikehendaki.28 Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadis tidak diterima, tuntutan
yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis dari para ulama di
atas lembaran kodifikasi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadis tidak di
terima, kecuali disertai sanad. Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin
berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in
hadapi.

Tahap pembukuan ilmu haadist berlangsung sejak abad ke3 sampai pertengahan ke4
hijriah, abad ke-3 merupakan masa pembukuan hadits dan merupakan zaman ke emasan
sunnah .sebab dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dalam sempurna tahap
ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadist rasul secara khusus. Untuk
itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hdist rasul yang mereka
kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga hadist-hadist yang di riwatan dari
abu bakar misalnya dikumpukan dalam suatu tempat dengan judul musnad Abu Bakar,
demikian pula hadist-hadist umar dan sebagainya. Kemudian datanglah Albukhari dengan
inisiatif baru yakni membukukan hadist-hadist shahih secara khusus dan di susun berdasarkan

27
Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, t.t., h. 363-364.

28
an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 1, t.t., h. 103.

35
bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan di pahami. Kitab yang disusunya diberi nama al
jami’ asshahih. Berikutnya datang lima imam lainya yang tiada lain adalah murid-muridnya
kecuali An Nasai mereka menyusun kitab masing-masing berdasarkan bab-bab fiqih dan
hadist yang mereka pilih secara selektif, meskipun penulis kitab sunnan itu tidak
mensyaratkan hadist itu harus shahih.29

Metode al bukhari memiliki keunggulan yang tidak tertandingi karna telah mencakup
pembukuan riayah dan ulumum al hadist kemudian kedua syaikhan (al bukhari dan musiam )
dalam melakukan pembukuan hadist shahih di ikuti oleh ibu khuzaimah (w.311H) Dan Ibnu
hiban (W.354 H) dalm tahap ini setiap cabang ilmu hadist telah berdiri sebagai suatu ilmu
tersndiri, seperti ilmu hadist shahih, ilmu hadist musrsal, ilmu la asma wa al kuna dan
sebagainya. Para ulma pun telah menyusun kitab khusus untuk setiap cabang tersebut.

Kemudian penulisan kitab merupakan suatu bagian yang integraldari seorang imam
hadist semua penyususan kitab Enam telah menyusun banyak kitab hadist. Demikian juga
penyusunan yang lain mereka menyusun kitab ilmu hadist dengan judul yang sesuai dengan
cabang ilmu hadist yang di bahas. Oleh karna itu, kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu
hadist di beri judul ulumul alhadist.30 sebagaimana kitab yang mencakup fikih tfsir dan ilmu
tauhid diberi judul ulumul al islam. Dalam beberapa tahap ini belum di jumpai suatu tulisan
yang pembahasannya mencakup seluruh akidah cabang-cabang ilmu hadist dengan batasan
istilah-istilahnya, karena mereka msih mengandalkan hafalan dan pengusaanya terhadap
semua itu kecuali kitab kecil yang berjudul al hilalal sagir karya imam at turmuji ( W.279
H). Meskipun kitab yang kecil ini hanya merupakan pennutup kitan jami’nya namun di
ajarkan kepada muridnya terpisah dan para ulama mempelajari kitab tersebut dari at turmuzi
secara terpisah pulakarna kitab tersebut engandung banyak ilmu yang berfaedah. 31 membahas
masalah-masalahpenting dari al-jarh wa at ta’dil, peringkat para rawi, tata tertib penerimaan
n periwayatan hadist dengan makna hadist mursal, definisi hadist hasan hadist gharib dan
penjelasannya.32

29
DR Nuruddin ‘ITR, Ulumul Hadist, hlm 48

30
Ar-risalat al mustahrafah, hlm 95.

31
Imam muslim dalam menyampaikan muqaddimah shahihnya-nya

32
Kitab syar ‘Illat at-Turmudzi,hlm 17-25.

36
B. KITAB – KITAB DIAWAL PEMBUKUAN

1. KITAB ALMUWATHTH’AT

Kitab ini menurut istilah ahli hadist adalah sebuah kitab yang tersusun
berdasarkan urutan bab-bab fiqih dan mencakup hadist-hadist marfu, maukuf
dan maktu sam seperti musannaf meskipun namanya berbeda. Secara umum,
kitab al Muwatta merupakan kumpulan hadis nabi, pendapat sahabat, qaul
tabi’in, ijma’ ahlu madinah dan pendapat dari imam Malik sendiri. Abu bakar
al abharani berpendapat bahwa ada 1726 hadis yang terdiri dari 600 musnad,
222 mursal, 613 munqathi’ dan 285 qaul tabiin. Di sisi lain menurut Muhmmad
fuad abdul Baqi’ mengatakan kitab al muwatta berisi 1824 hadis. Syuhudi
ismail berpendapat ada 1804 hadis. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan
sumber periwayatan dan kemungkinan karena perbedaan cara perhitungan.33
Ada banyak orang yang meriwayatkan al muwatta namun yang terkenal
ada kurang lebih 14 naskah. Diantaranya; naskah yahya bin yahya al masmudi
al andalusi, naskah ibn wahab, nasakah abu ubaidillah abd rahman abdullah bin
musalamah bin qa’nabi al harisi, naskah mu’an al qazzasi dan masih banyak
lagi. Menurut para ulama kitab al muwatta merupakan kitab fiqih dimana imam
malik mengumpulkan hadis kemudian melihat dari fiqhnya bukan keshahihan,
oleh sebab itu beliau menyusun berdasarkan bab bab bersistemtika fiqih.
Kitab ini mengeluarkan beberapa karya :
 Al- muwaththa karya imam malik bin anas al madani (wafat 179 H di
cetak berulangkali).
 Al muwaththa karya Ibnu Abi Dzi’b muhammad bin abdurrahman al
madani ( wafat 158 H)
 Al muwaththa karya Abu Muhammad Abdullah Bin Muhammad Al-
marwazi (wafat 239 H)

33
Haris fauzi, https://medium.com/@harisfauzi8/mengenal-kitab-al-muwatta-karya-imam-malik-
fc1c2a390dc9

37
Selain itu imam malik juga melihat dari segi periwayatan hadis
diantaranya periwayat bukan orang yang berperilaku jelek, bukan ahli bid’ah,
bukan orang yang suka berdusta dalam hadis, dan bukan orang yang tahu ilmu
akan tetapi tidak mengamalkannya.Imam Syafi’i pernah berkomentar bahwa di
dunia ini tidak ada kitab setelah al qur’an yang lebih shahi daripada kitab
Malik. Selain itu juga ada waliyullah al dahlawi menyatakan bahwa al
muwatta adalah kitab yang paling shahih, masyhur, dan paling awal
pengumpulannya. Joseph schacht merupakan salah satu orientalis melontarkan
beberapa kritikan terhadap kitab al muwatta, dia meragukan keotentisan dari
hadis tentang bacaan ayat sajdah dalam khuutbah jumat oleh seorang khatib.
Schacht juga mengkritik bahwa umur dari imam malik terlalu dini untuk
menyampaikan padahal masih banyak ulama lain yang hidup. Namun pendapat
ini ditentang oleh Musthofa azami bahwa schacht telah salah menghitung umur
dari imam malik. Dan tidak menjadi permsalah seprang budak meriwayatkan
hadis asal dia termasuk orang yang dapat dipercaya.34

2. KUTBUS SAB’AH

Kutubus Saba’ah, yang dalam Bahasa Indonesia nya yaitu Tujuh


Kitab. merupakan sebutan yang di gunakan terhadap enam buah kitab induk
hadist dalam islam. Ke tujuh kitab tersebut merupakan kitab hadis yang
disusun oleh para pengumpul hadis yang terpercaya dan kopeten. Kitab-kitab
tersebut menjadi rujukan utama oleh umat muslim yang merujuk kepada
perkataan nabi Muhammah SAW. Dalam tujuh kitab tersebut terdapat imam
parawi hadis yaitu: Ahmad bin Hambal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah. Dalam kitab karya mereka yang di
jadikan sebagai acuan dalam ber islam sebagai standar dalil hadis yang
terpercaya.

34
Haris fauzi, https://medium.com/@harisfauzi8/mengenal-kitab-al-muwatta-karya-imam-malik-
fc1c2a390dc9

38
Di antara karya-karya kitab tersebut yaitu:

1. Imam Ahmad bin Hambal, kitab utama yang terbesar dari karya nya yaitu
kitab Al-Musnad Al-Kabir yang merupakan sebesar-besarnya kitab
“Musnad” dan sebaik-baik karangan beliau dan merupakan penelitian hadis
terbaik di antaranya. Beliau tidak memasukkan kitab kedalam kitab nya
kecuali dibutuhkan sebagai hujjah dalam kitab musnad ini terdapat 25.000
lebih isi hadis.
2. Imam Al-Bukhari, Beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat 600.000
hadits kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits shahih dan 1000
hadits TIDAK shahih. Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari,
judul lengkap buku beliau ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-
Mukhtashar min Umūri Rasūlillah Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa
Ayyamihi (Jami’us Shahih), yakni kumpulan hadits-hadits shahih. Beliau
menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun bukunya ini. Beliau
memperoleh hadits dari beberapa hafizh, antara lain Maky bin Ibrahim,
Abdullah bin Usman Al Marwazy, Abdullah bin Musa Al Abbasy, Abu
Ashim As Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari. Imam Az-
Zahabi, mengatakan, kitab hadis yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab
yang tinggi nilainya dan paling baik, setelah Alquran.
3. Imam muslim, Dalam bidang hadits, beliau memiliki karya Jami’ush Shahih.
Jumhur ulama mengakui kitab Shahih Muslim adalah secermat-cermat
isnadnya dan sekurang-kurang perulangannya. Kitab ini berisikan 7.273 buah
hadits, termasuk dengan yang terulang.
4. Imam Abu Dawud, Abu Dawud menghasilkan sebuah karya terbaiknya yaitu
Kitab Sunan Abi Dawud. Kitab ini dinilai sebagai kitab standar peringkat 2
(kedua) dalam bidang hadits setelah kitab standar peringkat pertama yaitu
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam kitabnya tersebut Abu Dawud
mengumpulkan 4.800 buah hadits dari 500.000 hadits yang ia catat dan hafal.
Karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul dan tidak kurang dari 13
judul kitab telah mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar),
mukhtasar (ringkasan), tahzib (revisi) dll.

39
5. Imam At-Tarmidzi, At Tirmidzi adalah seorang murid dari Imam Bukhari
dan beberapa guru lainnya seperti: Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa. Kitab
beliau yang terkenal, Jami’ at-Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan
fiqh dengan penjelasan yang terperinci. Beliau juga memiliki kitab Ilalul
Hadits.
6. Imam An-Nasa’I, beliau merupakan seorang ahli hadits yang memiliki As-
Sunan Al Kubra yang merupakan karya kitab terbesarnya. Beliau mempunyai
keahlian dalam bidang hadits dan ahli fiqih dalam mazhab Syafi’i. Di kota
Damaskus ia menulis kitab Khasais Ali ibn Abi Thalib (Keistimewaan Ali
bin Abi Thalib).
7. Imam Ibnu Majah, karya utama beliau dalam bidang hadits adalah Sunan
Ibnu Majah enam kitab hadits yang lain dari kumpulan tersebut adalah
Musnad, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At
Tirmidzi dan Sunan An Nasa’i (disebut dengan Sunan, karena kitab ini
mengandung ahadits yang menyinggung masalah duniawi/mu’amalah).

3. KITAB MUSTAKHRAJ abad ke-4H

Mustakhraj (jamaknya mustakhrajāt) secara etimologi dari kata


(kharaja) yang berarti keluar, (istakhraja) berarti mengeluarkan. Teknik
pembukuan Mustakhraj secara terminologi diartikan: “Yaitu seorang hafiz
bermaksud mengeluarkan hadis-hadis dari sebuah kitab hadis seperti Sahih li
al-Bukhari atau Sahih Muslim dan atau yang lain dengan menggunakan sanad
sendiri yang bukan sanad kitab tersebut, maka bisa bertemu pada sanad itu
pada syaikhnya atau orang di atasnya walaupun pada sahabat serta memelihara
urutan, matan dan jalan sanadnya.”
Al mustahraj adalah kitab yang disusun mengambil hadist-hadist dari
kitab tertentu, tetapi jalur sanad yang di ambil oleh penyususnya berbeda dari
jalur sanad yang di tempuh oleh kitab hadist tersebut yang termasuk kitab jenis
al mustakhraj adalah :
 Al-Mustakhraj `ala al-Sahihain:
a. karya Abu Nu`aim al-Asbahani (w. 430 H).

b. karya Ibn al-Akhram (w. 344 H).

40
c. karya Abu Bakr al-Barqani (w. 425).

 Al-Mustakhraj `ala al-Jami` li al-Bukhari:


a. karya al-Isma`ili (w. 371 H).

b. karya al-Gatrifi (w. 377 H).

c. karya Ibn Abi Duhl (w. 378 H).

 Al-Mustakhraj `ala al-Sahih li Muslim:


a. karya Abu `Awanah al-Asfarayaini (w. 310 H).

b. karya al-Hayiri (w. 311 H).

c. karya Abu Hamid al-Harawi (w. 425 H).

d. Al-Mustakhraj `ala Sunan Abi Dawud, karya Qasim Ibn Asbag.

 Al-Mustakhraj `ala Kitab al-Tauhid li Ibn Khuzaimah, hasil kerja


AbuNu`aimalAshbahani.
Kitab tersebut ditulus pada kurun waktu setelah masuk abad ke-4 H
dengan ditemukan sand jalur lain semacam ini menjadi smakin kuatlah
kedudukan hadist yang ditkhrij tadi dengn cara ini kemungkinan besar
sebuah hadis yang semula tidak shahih bisa naik derajad menjadi sahih.

4. KITAB MUSTADRAK

Al mustadrak termasuk al jami’ yaitu kitab hadist yang memuat


berbagai studi islam yang meliputi bidang akidah syariah dan akhlak. Saelain
itu didalamnya terdapa berbagai hal yang berkaitan dengan tarikh, tafsir, sirah
nabi, sahabatnya, maghazi peristiwa masa silam dan lain lain. Berbagai ulasan
yang di sebar al hakim dalm al mustdrak inilah yang kemudian menjadi jelas
titik-titik lemah al hakim dalam membongkar status hadist jika di
perbolehkannya tasahhul pada bagian yang bukan akidan dan syariah tetap
dipegang maka al hakim konsisten dalam menerapkan pola yang dianut,
sebaliknyapun begitu.
Dalam pandangan Dzhabi tedapat al mustadrak menurut syakir
mengandug bias juga seperti di paparkan dalam syahr mughtasar ‘ulum al

41
hadist’.35 namun al dzahabi sudah diakui dalam bidang hadist sebagai
analisisnya dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu dalam kajian ini
penulis meminjam karya al zahabi sebagai acuan utama untuk menganalisis
hadist. Utnuk mengetahui konsistensi al hakim dalam menentukan status
hadist akan diklarifkasi terlebih dahulu martabat keshahihan hadist yang
tercantum dalam al mustadrak, kitab-kitab al mustadrak yang terkenal :
 Al mustadrak karya al imam al hakim al naisaburi
 Al mustadrak karya abu dzar al harawi
 Al mustadrak izamat karya addaru khutni
Langkah-langkah klarifikasi hadist al mustadrak

1. Klarifikasi hadist berdasarkan syarat rawi


Hadist yang di akui keshahihannya secaramutlak oleh al dzahabi dalam al
mustadrak berjumlah 1930 hadist. Semua hadis tersebut ada yang secara
explisit disebukan memenuhi kriteria shahih, ada juga ayang disebutkan
hanya memenuhi kriteria al bukhari atau muslim, serta ada juga yang tidak
disebutkan secara explisi tetapi memenuhi kriteria dengan istilah shahih al
isnad(shahih sanadnya), bahkan ada hadist yang tidak dinilai sah sekali
oleh alhakim.36
a. Hadist yang sesuai dengan syarat shahihnya
b. Hadist yang sesuai dengan syarat al bukhari
c. Hadist yang sesuai dengan syarat muslim
d. Hadist yang sesuai dengan syarat al hakim
e. Hadist yang tidak dinilai alhakim
2. Klarifikasi hadist berdasarkan kualitas rawi
Untuk menentukan shahih atau tidaknya suatu hadist dalam al mustadrak
yang di pakai adlah penilaina ulama terhadap atawi-rawi hadist yang
terdapat dalam kitabnya37.

35
Lihat Syakir. Op.cit.hlm.30

36
Di Dalam BAB IV ada sekitar 480 hadist yang tidak dinilai oleh al-Hakim. Artinya tidak semua
hadist yang di nailai oleh Mustadrak dinilai shahih oleh al-Hakim

37
Maman abdurahman, teori hadist sebuah pergeseran pemikiran. Hlm147

42
5. KITAB ATHRAF

Kitab Aṭraf merupakan kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadis


yang dapat menunjukkan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian
mengumpulkan seluruh sanadnya baik sanad satu kisah ataupun sanad dari
beberapa kitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan
musnad para ṣahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalu
menyebutkan pangkal hadits yang dapat menunjukkan ujunngya, seperti hadits
nabi: “Kullukum ra`in…”, “Buniyal Islamu ‘Ala Khamsin…”, dan “Al-Imanu
Bidh’un wa Sab’una Syu’batan…”, demikian seterusnya.
Contoh Dalam Kitab ‫تحفة األشراف على معرفة األطراف‬
Dalam kitab ini pengarang (Abu al-Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman al-
Mizzi) menggunakan rujukan utama Kutūb al-Sittah (Ṣahih Bukhari dan
Muslim, serta sunan Abu Dawud, Nasa’i, Tirmiḍi, dan Ibnu Majjah) dan
menambahkan rujukan tambahan yaitu kitab Marāsil karya Abu
Dawud, Muqaddimah Kitab Muslim, al-Ilāl karya Tirmiḍi, al-Musyammil
lahu, Syamāil lahu, `Amālu al-Yaum karya Imam Nasa’i).
Dalam kitab ini pengarang juga membuat kategori tertentu untuk menyebutkan
suatu periwayatan hadis, misalnya :
- ‫ع‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam dalam Kutūb al-Sittah.
- ‫خ‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari
- ‫م‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim
- ‫ت‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmiḍi
- ‫س‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Nasa’i
- ‫ق‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi
- ‫د‬untuk hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud
Kemudian dalam penulisannya, pengarang menyusun hadis dengan
mengelompokkan nama sahabat sesuai urutan huruf hujaiyyah. Misalnya
untuk huruf ‫الف‬pengarang memasukkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkan hadis yang nama depannya dengan huruf ‫الف‬seperti Abyaṭ, Abi
al-Lahmi, Ubay bin Umarah dan Ubay bin Ka’ab. Begitu seterusnya, imam
mengelompokkan nama sahabat sesuai huruf awalnya.

43
Dalam menyebutkan hadis, pengarang hanya menyampaikan potongan hadis
tertentu kemudian memberikan keterangan-keterangan untuk nantinya bisa
dilacak dalam kitab induknya. Dalam contoh tersebut, sebelum menyampaikan
sepenggal hadis, pengarang memberikan tanda ]‫[د ت س ق‬, ini memberikan
petunjuk bahwa hadis yang disampaikan itu diriwayatkan oleh imam Abu
Dawud, Tirmiḍi, Nasa’i dan Baihaqi. Selain itu pengarang juga memberikan
keterangan sanad dari masing-masing periwayat hadis setelah menyebutkan
hadisnya.

Kitab-kitab Aṭhraf yang terkenal


Di antara Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah:
- Athrafu Ash-Shahihain
karya Muhamad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (wafat 401 H).
- Al-Isyraf ‘Ala Ma’rifati Al-Athraf atau Athraf As-Sunan Al-Arba’ah
karya Al-Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan dikenal sebagai Ibnu Asakir.
- Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf atau Athraf Al-Kutub As-Sittah
karya Al-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf bin abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H).
- Ithaful Muharah bin Athrafil Asyarah,
karya Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hja Al-Asqalani (wafat 852 H)
- Al-Asyarah atau kitab yang sepuluh adalah: Al-Muwaththa’, Musnad Asy-
Syafi’ie, Musnad Ahmad, Musnad Ad-Darimi, Shahih Ibnu Khuzaimah,
Muntaqa Ibnul Jarud, Shaih Ibnu Hibban, Mustadrak Al-Hakim, dan Sunan
Ad-Daruquthni.Jumlahnya menjadi 11 karena Shahih Ibnu Khuzaimah hanya
berisi seperempatnya saja.
- Athraf Al-Masanid Al-Asyarah, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad
Al-Buwaishiri (wafat 840 H). Al-Asyarah atau munad yang sepuluh adalah:
Musnad Abu Dawud At-Thayalisi, Musnad Abu Bakar Al-Humaidi, Musnad
Musaddad bin Musarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Al-Adani, Musnad
Ishaq bin Rawaih, Musnad Abu Bakar bin AbiSyaibah, Musnad Ahmad bin
Mani’, Musnad ‘Abd bin Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi
Usamah, dan Musnad Abi Ya’la Al-Mushili.

44
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis. Secara sederhana
ilmu artinya pengetahuan, knowledge,dan science. Atau ilmu hadis adalah ilmu yang
mempelajari tentang keterangan suatu hal yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa
hadis itu diterima atau tidak. Pada dasarnya, penulisan ilmu hadis baru dimulai sejak abad
ke 2 Hijriyah. Sejarah perkembangan dari masa Nabi Muhammad telah ada dasar-dasar ilmu
hadis serta pada masa Nabi masih hidup penulisan hadis dilarang keras oleh Nabi, karena
khawatir akan bercampur dengan Al-Quran dengan hadis. Pada masa sahabat para sahabat
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran
yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua,
pada masa sahabat ilmu hadis timbul secara lisan atau secara eksplisit.
Pada masa Tabi’in (abad ke-4 H) telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah
dengan ilmu lain. Pada masa Tabi’ Tabi’in, imu hadis telah timbul secara terpisah dari ilmu-
ilmu lain, tetapi belum menyatu. Sedangkan, pada masa setelah Tabi’ Tabi’in ilmu hadis
berdiri sendiri sebagai ilmu hadis.Ilmu hadist merupakan ilmu yang bermula dari keinginan
untuk memeahami segla sesuatu yang disandarkan kepada perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan nabi Muhammad SAW. Pemahaman tentang hadist sebagai hukum islam kedua
setelah Al Qur’an megacu pada upaya untuk memahami lebih rinci hukum Al Qur’an.
B. SARAN
1. Hendaknya kita bisa lebih memahami hadist
2. Hendaknya kita bisa mengetahui keaslian hadist
3. Dan juga harusnya kita berkonsultasi dalam mmahami hadist kepada ahlinya

45
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman , Maman. teori hadist sebuah pergeseran pemikiran.

An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 1, t.t

Ar-risalat al mustahrafah

Fauzi, Haris, https://medium.com/@harisfauzi8/mengenal-kitab-al-muwatta-karya-imam-


malik-fc1c2a390dc9
Kitab syar ‘Illat at-Turmudzi,hlm
Syakir. Op.cit.hlm.30
Nuruddin ‘ITR, Ulumul Hadist,
Muslim, Imam. dalam menyampaikan muqaddimah shahihnya-nya
Umar, Ahmad Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, t.t

46
CABANG-CABANG ULUMUL HADITS DIRAYAH DAN RIWAYAH

Rijalil Hadits, Jarhiwat Ta’dil, Asbabil Wurud dan Mukhtalif al-Hadits

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4
Syukrina Mulsi Putri (11180510000007)
Azzahra Lovely Andrieany (11180510000009)
Muhammad Novrijal (11180510000058)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

47
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti yang kita tau, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai
dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada Hadits Shahih, Hadits Hasan
dan Hadits Dha’if. Masing-masing memiliki persyaratan sendiri-sendiri. persyaratan
itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang
dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan hadits itu sendiri. Maka persoalan
yang ada dalam ilmu hadits ada dua. Yang pertama yang berkaitan dengan sanad dan
yang kedua yang berkaitan dengan matan.
Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah
sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits
yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang terpercaya atau tidak.
Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan
akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung didalamnya berasal dari Nabi
atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau
tidak.

48
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Dirayah dan Riwayah
Ilmu Hadits—yakni ilmu yang berpautan dengan hadits banyak ragamnya.
Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian saja. Pertama, Ilmu
Hadits Riwayah dan dan yang kedua ilmu hadits Dirayah.
Sebagian ulama Tahqiq mengatakan:
‫طا َو َعدَالَةً َو ِم ْن‬ َ ‫سلَ َم ِم ْن َح ْيث أ َ حْ َوا ِل ر َواتِ ِه‬
ً ‫ض ْب‬ َ ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ ِ‫صا ِل ْال َح ِد ي‬
َ ِ‫ث بِ َرس ْو ِل هللا‬ َ ِ‫ِع ْلم يَ ْب َحث فِ ْي ِه َع ْن َك ْي ِفيَ ِة أِت‬
َ‫غي ِْرذَالِك‬ َ ‫صا ّلً َوإِ ْن ِق‬
َ ‫طا عًا َو‬ َ ‫َحيْث َك ْي ِفيَ ِة ال‬
َ ِ‫سنَ ِد إِت‬
“Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang membahas cara persambungan hadits
kepada Shahib ar-Risalah, junjungan kita Muhammad dari segi keadaan para
perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad,
putus dan bersambungnya dan yang sepertinya.”
‫علم يبحث فيه عن المعنى المفهوم من الفاظ الحديث والمراد منها على قواعد اللغة العربيت وضوابط الشريعة ومطابقا‬
‫سلَ َم‬ َ ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ْلحوال النبي‬
“Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang membahas makna-makna yang
dipahamkan dari lafal-lafal hadits dan yang dikehendaki dari sesuatu lafal dan
kalimat, dengan bersandar kepada aturan-aturan (kaidah-kaidah) bahasa arab dan
kaidah-kaidah agama dan sesuai dengan keadaan Nabi.”
Kebanyakan ulama menta’rifkan ilmu hadits riwayah dan dirayah sebagai
dibawah ini:
‫سلَ َم‬ َ ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سلَ َم وافعاله وتقريراته وصفاته‬ َ ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ علم يعرف به اقوال النبي‬:‫علم الحديث رؤاية هو‬
“Ilmu Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda Nabi,
perbuatan Nabi, taqrir-taqrir Nabi dan sifat-sifat Nabi”
Maudhu’-nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi saw., yakni perkataan,
perbuatan, taqrir dan sifat beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya.
‫ علم يعرف به احوال السند والمتن من حيث القبول والرد وما يتصل بذلك‬:‫علم الحديث دراية هو‬
“Ilmu hadits Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan
dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkutpaut dengan itu.”
Maudhu’-nya (objeknya), adalah mengetahui segala yang berpautan dengan
pribadi Nabi saw., agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia
akhirat. Adapaun ghayah dari ilmu hadits dirayah adalah mengetahui mana yang
diterima dan mana yang ditolak dari hadits-hadits Nabi saw. Ilmu hadits dirayah adalah
49
mizan bagi hadits riwayah sebanding ushul bagi ilmu fiqh, manthiq bagi ilmu tauhid,
balaghah bagi bahasa Arab. Di masa dahulu dinamai ‘Ulum al-Hadits dan Ushul al-Hadits.
Ilmu ini timbul bersama-sama dengan hadits riwayah semenjak dari lahir periwayatan
hadits, walaupun ketika itu masih tersebar belum dibukukan secara teratur.
Inilah dua pokok dan batangnya ilmu hadits. Dari dua pokok yang asasi ini,
muncullah berbagai cabang, dahan, ranting, daun dan bunga.38

B. Rijalil Hadits
Pengertian Ilmu Rijalul Hadits
Kata Rijal al-hadits berarti orang-orang di sekitar hadis atau orang-orang
yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis nabi. Secara terminologis,
ilmu ini didefinisikan dengan ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat
hadis baik dari kalangan sahabat, sahih, maupun generasi-generasi berikutnya.39
Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para
perawi dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba’ al-tabiin.40
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Ilmu rijal al-
hadits ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadits dalam islam dan mengambil
porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Dari penjelasan di atas kami menyimpulkan bahwa ilmu rijal al-hadits adalah
ilmu yang membahasa para rawi, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun dari
generasi-generasi sesudahnya.

Fungsi dan Kegunaan Ilmu Rijalul Hadits


a. Tempat khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui
keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
b. Secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan aspek-aspek
tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang
diriwayatkan, dan murid-muridnya.

38
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009) hlm. 111

39
Indri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 66-67.

40
M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 111.

50
c. Dengan ilmu ini penelitian sanad hadis dapat dilakukan karena ilmu ini memberikan
informasi lengkap tentang biografi periwayat hadis serta beberapa informasi penting
lainnya yang berkaitan dengan hal ihwal periwayat hadis.
d. Dalam sejarah Islam, pada akhir masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib telah terjadi
pemalsuan hadis dan pada masa pemerintahan Bani Umayah sampai akhir abad
pertama hijriyah pemalsuan itu berkembang pesat. Untuk menjaring hadis-hadis palsu
itu, ilmu Rijal al-Hadis dan kitab-kitabnya sangat diperlukan.
e. Ilmu ini berguna untuk mendapatkan pengetahuan tentang sanad, karena menguasai
sanad hadis berarti menguasai separoh ilmu hadis.41
Kami menyimpulkan bahwa fungsi dan kegunaan ilmu Rijalul hadits adalah
pembahasan para rawi hadis dengan penekanan aspek-aspek biografi hidup dan
penjelasan persoalan-persoalan rawi dan sanad.

Munculnya Ilmu Rijalul Hadits


Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya
penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman,
maka makin banyak dan panjang jumlah perawi dalam sanad. Maka perlu untuk
menjelaskan keadaan perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan
munculnya bid’ah- bid’ah dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya.
Karena itu tumbuhlah ilmu Rijal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan
ummat-ummat lainnya.
Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan
abad- 2. Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang
ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam
Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al
Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara
berturut-turut muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa
kodifikasi ini pembahasan tentang perawi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya
bersifat musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke
masa.

41
Alfatih Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 312.

51
Ulama pertama kali yang memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu
ini ialah al-Bukhari (256) kemudian usaha itu dilanjutkan oleh Muhammad ibn sa’id (230
H), selanjutnya menyusul ibn Abd al-Barr (463 H) dengan kitabnya al-Isti’ab. Pada
awal abad ketujuh hijrah menyusul ‘Izzudin ibn al-Atsir (630 H), kitab ini memuat uraian
tentang para sahabat Nabi SAW, atau Rijal al-Hadits pada thaqabah pertama,
meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.

Sasaran Pokok dari Ilmu Rijalul Hadits


a. Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Secara bahasa, kata Tarikh ar-Ruwah berarti sejarah para periwayatan hadis.
Menurut etimologis ini, ilmu Tarikh ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas segala hal
yang terkait dengan para periwayat hadis. Dalam pengertian terminologisnya, ilmu ini
difokuskan pengetahuan tentang para periwayat hadis dari segi keberadaan mereka
sebagai periwayat hadis bukan dari segi-segi lain dalam kehidupan mereka.42
Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu yang mencoba mengenal para
perawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits tersebut.
Ilmu ini mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-
perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke negeri-negeri yang
berbeda-beda, masa belajarnya sebelum atau sesudah mengalami kekacauan pikihran
dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan-persoalan
hadits.43
Kesimpulannya, ilmu Tarikh ar-Ruwah merupakan ilmu mencakup penjelasan
tentang keadaan para perawi, biografi, dan penjelasan lain yang berkaitan dengan
persoalan hadits. Melalui ilmu ini dapat diketahui keadaan para periwayatyang
menerima hadis dari Rasulullah dan yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.

C. Jarhiwat Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adalahan seseorang.

42
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 67-68.

43
Ahmad Izzan, Saifudin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 115.

52
 Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
 At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
 Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan
seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya
mensucikannya dan membersihkannya.
 Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang
merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan
kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam,
baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
 At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi, dengan sifat-sifat yang mensucikannya,
sehingga nampak ke‘adalahannya, dan diterima beritanya.44
Dari berbagai macam pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus
perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau
menolak riwayat mereka.
Ilmu jarh wat--ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seoraang perawi itu bias dierima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
“dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain
dipenuhi.45
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah, yakni
melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; mukhalafah, yakni berbeda
dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui

44
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005) h.
78

45
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 109

53
identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran
(sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan
yaitu:
a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai
orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di
kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi
diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan
kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Beasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang
adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah
dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya
bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil
telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-ta’dil itu
bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafazh-lafazh
itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5
tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusun menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai
berikut.
 Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam
keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau
ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis.
 Tingkatan kedua, memperkuat ka-tsiqah-an rawi dengan membubu satu sifat
yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang
dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna.
 Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang
mengandung arti ‘kuat ingatan’.
 Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an tetapi dengan
lafazh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan ‘adil.
 Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi tetapi tidak diketahui adanya
ke-dhabit-an, misalnya, orang yang berstatus jujur, orang yang baik hadisnya,
orang yang bagus hadisnya, orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis lain
yang tsiqah.

54
 Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat
tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “Insya Allah”, atau lafazh tersebut
di-tashir-kan (pengecualian arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu
penghrapan, misalnya, orang yang jujur insya Allah, orang yang
diharapkan tsiqah, orang yang sedikit kesalehannya, dan orang yang diterima
hadis-hadisnya.46

D. Asbabil Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal
dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan
sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan
menurut istilah adalah :
‫كل شيء يتوصل به الى غا يته‬

“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”


Dan ada juga yang mendifinisikan dengan suatu jalan menuju terbentuknya
suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu.
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
‫الماء الذي يورد‬

“Air yang memancar atau air yang mengalir “47


Dengan demikian asbabul wurud dapat diartikan sebab sebab adanya sesuatu.
Dalam artian ilmu hadits asbabul wurud bisa diartikan sebagai latarbelakang atau
sebab sebab munculnya hadits.
Menurut as-suyuthi, secara terminologi asbabul wurud diartikan sebagai
sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat
umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh
(pembatalan) dalam suatu Hadis.48

46
Ibid.,h.164-165

47
Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38-.39

48
Ibid, hlm. 38

55
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi
lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis
(pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk
menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.49
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan
untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Said Agil Husin Munawwar untuk
merumuskan pengertian asbabul wurud, perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-
shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :
‫علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الحديث والزمان الذي جاء به‬
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan
masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud
adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau
lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat
berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau
khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah
tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh
ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.50
Maka Sebelum seseorang memahami hadis nabi, ia harus mengetahui Asbab
al- wurud hadis (latar belakang hadis) terlebih dahulu. Jika dalam al-Quran terdapat
asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya ayat) maka di dalam hadis terdapat asbab al-wurud,
dan perlu diketahui tidak semua hadis nabi memiliki asbab al-wurud-nya.
Macam-macam Asbabil Wurud. Tentang asbaabul wuruudil hadist, Imam
Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i atau lebih dikenal dengan Imam As-Syafi’i, dalam
kitabnya Ar-Risaalah mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1) Pertama, ada kalanya suatu hadist lahir karena Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal
oleh para sahabat. Akan tetapi, dalam periwayatan (transmisi)-nya, si periwayat tidak
menyampaikan hadis tersebut secara sempurna (misalkan, tidak menyebutkan
pertanyaan yang melahirkan jawaban tersebut). Atau, hadist tersebut hanya

49
Ibid, hlm. 39

50
Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 09

56
diriwayatkan oleh orang yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban Rasulullah
tersebut. Namun ia tidak mengetahui masalah atau latarbelakang yang melatari
jawaban Rasulullah pada hadist tersebut.
2) Kedua, ada kalanya Rasulullah menetapkan suatu ketentuan atas suatu masalah.
Kemudian pada kesempatan lain, menyangkut masalah yang sama, beliau menetapkan
pula suatu ketentuan yang tampaknya berbeda. Akan tetapi, sebagian orang tidak
mengetahui peristiwa yang melatarinya dalam kesempatan berbeda itu, sehingga
mengesankan ada ketidakkonsistensi atau bahkan pertentangan. Padahal sebenarnya
bukanlah demikian.
Maka memahami matan hadist dengan memperhatikan asbaabul wuruud-nya,
akan mendapatkan pemahaman yang minimal mendekati apa yang dimaksudkan Nabi
saat mencetuskan hadist tersebut.51
Fungsi Asbabul Wurud. Paling tidak ada enam fungsi asbabul wurud antara lain
untuk:
 Menentukan adanya adanya takhshish hadits yang bersifat umum.
 Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak.
 Men-tafshil (memerinci) hadits yang masih bersifat global.
 Menentukan ada tidaknya nashikh mansukh dalam suatu hadits.
 Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
 Menjelaskan maksud suatu hadits yang masih musykil (sulit dipahami atau janggal)52

Faedah-Faedah Mengetahui Ilmu Asbabul Wurud Al-Hadits. Ada beberapa


faedah dari mempelajari sebab-sebab keluarnya hadits adalah sebagai berikut:
 Takhshish al-’ Am (Mengkhususkan yang Umum)
 Taqyid al-Muthlaq (Membatasi yang Mutlak)
 Tafshil al-Mujmal (Merinci Hal yang Masih Global)
 Menentukan Perkara Naskh dan Menerangkan Mana Nasikh dan Mansukh
 Memperjelas Hal yang Tidak Jelas

51
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-hadits.html?zx=9d5909e453344ff2

52
Jalal ad-Din as-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis, hlm. 11

57
 Untuk menolong memahami dan menafsirkan al-Hadits. Sebab sebagaimana diketahui
bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab tentang terjadinya sesuatu itu merupakan
sarana untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya.
 Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at (hukum).
 menjelaskan kemusykilan dan menunjukan illat suatu hukum, dll.53
Maka, dengan memahami ilmu asbabul wurud al-hadits, kita dapat mengetahui
dan memahami dengan mudah makna, pesan dan maksud yang terkandung dalam
suatu hadits. Akan tetapi, tidak semua hadits memiliki asbabul wurud, seperti halnya
tidak semua ayat al-Quran memiliki asbab an-Nuzul-nya.
Contoh Asbabul Wurud, Agama Islam didukung oleh orang durhaka.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim di dalam kitab shahihnya, Rasulullah SAW bersabda:
‫إن هللا ليؤيد هذاالدين بالرجل الفاجر‬
“Sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bantuan orang durhaka”.
Tentu hadis ini adalah hadis yang sahih baik dari segi sanad maupun matan,
namun ternyata masih banyak orang yang mempermasalahkan tentang hadis di atas
dari segi pemahamannya. Bagaimana tidak, dalam hadis ini disebutkan bahwa Allah SWT
menguatkan agama Islam dengan bantuan seorang yang durhaka, padahal pada
dasarnya Islam melarang umatnya untuk melakukan perkara durhaka. Lebih jauh,
bagaimana mungkin suatu perbuatan yang dilarang dalam Islam dapat menguatkan Islam
itu sendiri.
Pemahaman terhadap hadis di atas tidak dapat dipahami tanpa mengetahui
latar belakang datangnya hadis tersebut. Setelah kita melihat ternyata hadis ini memiliki
asbab al-wurud dan dengan melihat asbab al-wurud hadis ini maka kerancuan dalam
memahami teks hadis di atas akan hilang.
Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm Al-Sunnah
al- Nabawiyah, menyebutkan. Dalam Kitab Shahih Muslim, Imam Muslim kembali
meriwayatkan sebuah hadis yaitu dari Abu Hurairah yang berkata, “Kami ikut
bergabung bersama Rasulullah SAW ketika perang Hunain, beliau bersabda untuk
seorang laki-laki mengaku sebagai orang Islam, “Orang ini adalah ahli neraka.”

53
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-hadits.html?zx=9d5909e453344ff2

58
Saat perang berkecamuk, laki-laki tadi ikut berperang dengan penuh semangat.
Hingga ia terluka. Kemudian Ada yang berkata: “Wahai Rasulullah laki-laki yang
engkau sebutkan tadi sebagai ahli neraka, pada hari ini sungguh telah berperang
dengan penuh semangat dan meninggal dunia”. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda.
“Ia masuk neraka.”
Sebagian sahabat ketika itu merasa bingung dan bimbang, karena bagaimana
mungkin orang yang berjihad dan meninggal dalam jihad masuk ke dalam neraka
bukankah dia mati dalam kedaan syahid dan masuk ke dalam syurga sebagai
imbalannya?
Tiba-tiba pada saat seperti itu ada sahabat yang berkata: “Ia tidak meninggal
dunia melainkan karena luka yang sangat parah, pada malam hari ia tidak lagi kuat
menahan luka tersebut lalu ia bunuh diri. Kesaksian ini lalu disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW lalu beliau bersabda: “Allah Maha Besar sesungguhnya aku adalah
hamba Allah dan rasulnya”. Kemudian beliau memerintahkan kepada bila Bilal untuk
menyampaikan di depan orang banyak:
ِ َ‫الرج ِل الف‬
‫اج ِر‬ َ ‫ َوإِ َن‬،‫إِنَه ّلَ يَدْخل ال َجنَةَ إِ َّل نَ ْفس م ْس ِل َمة‬
َ ِ‫َّللاَ لَي َؤيِد َهذَا الدِينَ ب‬
Artinya: Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim dan
sesungguhnya Allah telah menguatkan agama ini dengan orang yang durhaka.54

E. Mukhtalif al-Hadits
Dalam memahami hadits tidak jarang ada hadits yang saling bertentangan.
Kalau yang saling bertentangan adalah hadits shahih dengan hadits dha’if, tentu yang
menang adalah hadits shahih. Atau jika hadits yang saling bertentangan salah satunya
berasal dari Nabi sedangkan yang satunya tidak, otomatis hadits yang tidak berasal
dari Nabi akan tersingkir. Namun masalahnya, ada hadits yang saling bertentangan,
setelah diteliti ternyata kedua hadits ini berasal dari Nabi. Untuk mengatasi masalah
ini para ulama berusaha mencari penyelesaian. Ilmu untuk menyelesaikan masalah ini
disebut Mukhtalif al-Hadits. Menurut bahasa, ikhtilaf artinya perselisihan atau
pertentangan. Pemikiran ini muncul karena ulama para ulama menemukan realita,
bahwa secara harfiyah, hadits itu bertentangan.

54
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafu Ad Damsyiqi. 1991. Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya
Hadits Hadits Rasul. H.M. Suwarta Wijaya B.A. Drs Zafrullah Salim. Edisi ke 1. Jakarta. Kalam Mulia. Hlm.
96

59
Menurut para ulama, jika kandungan hadits yang secara lahiriah bertentangan
itu disatukan, disebut dengan al-jam’u wa al-taufiq (‫)الجمع والتوفيق‬. Kalau tidak dapat,
dicari kemungkinannya, yang satu menjadi qaid atau menjadi mukhassis bagi yang
lain. Dengan cara ini maka kedua hadits dapat dimanfaatkan secara proporsional.
Atau juga, yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya. Karena itu ada yang
menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilaf al-hadits, Musykil al-Hadits, Ta’wil al-
Hadits, atau Talfiq al-Hadits.
Al-Shan’ani mengambil contoh, sebuah hadits yang berbunyi:
)‫ (أخرجه أحمد والبخارى وأبو داود والترميذى وانساء وابن ماجه‬.‫قوله صلى هللا عليه و سلم فيما سقت السماء العشر‬
(Sabda Nabi saw. “semua tanaman yang diairi oleh hujan terkena zakat
sepersepuluh”). Bertentangan dengan hadits yang berbunyi
)‫قوله صلى هللا عليه وسلم "ليس فيما دون خمس أوسق صدقة" (أخرجه أحمد والشيخان وأهل السنن‬
(Sabda Nabi saw. “hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq tidak terkena zakat).
Kedua hadits yang lahiriahnya bertentangan ini dapat disatukan dengan cara
meletakkan hadis pertama sebagai dalil umum, sedangkan hadis kedua sebagai
mukhasshish. Untuk ini berlaku kaedah
‫تقديم الخاص فى العمل على العام‬
(mendahulukan mengamalkan dalil khas—hadis kedua diatas—atas dalil umum, yang
disebut duluan).55
Konon kasus tentang pertentangan antara dua hadist itu sudah ada semenjak
masa sahabat, sehingga, kebutuhan terhadap ilmu ini sudah ada semenjak itu. Selanjutnya
ilmu ini tidak hanya dibutuhkan oleh ulama Hadits, tetapi juga ulama lain seperti ulama
Fiqh.
Orang yang pertama menyusun buku yang berbicara tentang problema ini
adalah Imam al-Syafi’I (150 – 204 H) dengan kitabnya Ikhtilaf al-Hadits. Ulama lain yang
mengikuti jejaknya antara lain, ‘Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainuri (213 –
276 H) dengan kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, ada juga Al-Imam Abu Ja’far ibn
Muhammad al-Thahawi dengan kitabnya Musykilul Atsar serta Al-Imam Abu Bakr
Muhammad ibn al-Hasan dengan kitabnya Musykil al-Hadits wa Bayanuku.56

55
Al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, op. cit., J. 2. Hlm. 426

56
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011) hlm, 139.

60
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits
Nabi Saw. Secara garis besar ilmu hadits terbagi menjadi dua, yaitu hadits riwayah
dan hadits riwayah.
Hadits riwayah mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan dan
penulisan atau pembukuan Hadits Nabi. Sedangkan Hadits Dirayah adalah ilmu yang
mempelajari tentang kumpulan kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan rawi dan
marwi dari segi di terima atau di tolaknya.
Ulumul hadits mempunyai cabang-cabang diantaranya: Rijalil Hadits, Jarhiwat
Ta’dil, Asbabil Wurud, Mukhtalif al-Hadits.

B. SARAN
Untuk mengetahui informasi tentang sebuah hadits baik dari segi sanad
maupun matannya maka perlu diketahui terlebih dahulu ilmu-ilmu yang mempelajari
tentang hal tersebut.

61
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi ash-Shiddieqy Teuku Muhammad. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Indri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Solahudin dan Suryadi, Agus. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Suryadilaga, Alfatih. 2013. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu. Bandung: Pustaka
Setia.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Zuhri, Muhammad. 2011. Hadits telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Ibnu Hamzah. 1991. Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-
Hadits Rasul. Jakarta: Kalam Mulia.
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-
hadits.html?zx=9d5909e453344ff2

62
CABANG-CABANG ULUMUL HADITS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.


DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

Fauziyah Darin Saffana (11180510000075)


Fikri Prasjaya Pratama (11180510000149)
Muhammad Febiandri Satya Ananda (11180510000019)
Syarifah Labibah (11180510000006)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

63
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini, banyak istilah yang digunakan dalam memperlajari Ulumul Hadits. Namun, tidak
sedikit orang yang belum paham betul apakah pengertian dari banyak istilah tersebut.
Khususnya istilah dan pengertian dari cabang-cabang Ulumul Hadits.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa saja cabang-cabang Ulumul Hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan ilmu Maanil Hadits?
3. Apakah Ilmu Taarikhul Ruwat?
4. Apakah pengertian Ilmu Gharibi Hadits?
5. Bagaimana Pengertian Nasikh dan Mansukh?

64
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cabang-Cabang Ilmu Hadits


Ilmu Hadits (Jama’: Ulumul Hadits, Arab:‫ ) ِع ْلم َح ِديْث\عل ْوم ال َح ِديْث‬adalah ilmu yang
mempelajari tentang hadits Nabi Muhammad SAW, yang merupakan pedoman kedua setelah
Al-Quran. Ilmu Hadits, memiliki beberapa cabang, diantaranya:
1. Ilmu Maanil Hadits
2. Ilmu Tarikhul Ruwat
3. Ilmu Ilail Hadits
4. Ilmu Gharibi Hadits
5. Ilmu Nasikh dam Mansukh
Cabang ilmu tersebut tentunya memiliki peran yang penting, untuk mengetahui jenis dari
suatu hadits. Selengkapnya akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
B. Ilmu Ma’anil Hadist
Ma’anil berasal dari kata ma’ani, yaitu bentuk jamak dari kata ma’na.
Secara bahasa kata ma’ani berarti maksud atau arti. Para ahli mendefinisikannya sebagai
pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga
sebagai gambaran dari pikiran. Adapun menurut istilah, ilmu ma’anil hadits berarti ilmu yang
mempelajari hal ihwallafazh atau kata bahasa arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan
kondisi.
Pada zaman Nabi dan sahabat, bahkan tabi’in dan tabi’ut belum dikenal istilah ilmu
ma’anil hadits. Istilah tersebut merupakan istilah baru dalam studi hadis kontemporer.
Namun, menurut sejarah, ilmu tersebut telah diaplikasikan pada zaman Nabi, meski mungkin
masih sangat sederhana. Ilmu ma’anil pertama kali di kembangkan oleh Abd al- Qahir al-
Jurzani. Objek kajian ilmu ma’anil adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu di
temukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan
rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Disamping itu, objek kajian ilmu ma’anil hampir sama denganilmu nahwu. Kaidah-
kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu
nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak

65
pada wilayahnya. Ilmu Nahwu lebih bersifat murad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’anil
lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain).
Objek kajian dari ilmu Ma’anil hadits ini adalah hadist Nabi, yang merupakan bukti
kebijaksanaan Nabi dalam mengajarkan agama Allah. Hadist yang menjadi kajian ilmu ini
adalah seluruh hadist, baik yang tekstual maupun kontekstual, agar tidak terjadi pemaknaan
ganda atau pemahaman yang bertentangan.
Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadist yang bersangkutan, setelah
dihubungkan segi-segi yang berkaitan dengannya, misal latar belakang kejadiannya, tetap
menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadist yang bersangkutan.
Sedangkan pemahaman dan penerapan hadist yang kontekstual dilakukan bila dari suatu
hadist tersebut, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadist tersebut dipahami dan
diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat, melainkan dengan makna tersirat atau
kontekstual (bukan makna sebenarnya).57
Ilmu ma’anil hadits sangat penting dealam konteks pengembangan studi hadist, antara
lain:
 Untuk memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadist.
 Untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif.
 Untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian Haditsriwayah
saja tidak cukup

Berikut adalah sebuah hadist sebagai contoh penerapan ilmu ma’anil hadist:
“Abu Hurairah radhiyallahu anhu menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Pandanglah orang yang ada di bawahmu, jangan kamu pandang orang yang ada di
atasmu, karena hal ini akan lebih menyadarkanmu untuk tidak meremehkan nikmat Allah
yang ada pada dirimu.” (Muttafaq alayh)
Hadis ini menjelaskan perintah untuk melihat orang-orang yang nasibnya kurang baik
(miskin) daripada kita, dan larangan untuk memandang atau melihat orang-orang yang lebih
kaya raya dari kita, karena hal seperti itudapat memunculkan rasa iri dan menjadi kufur

57
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm.6.

66
nikmat dengan apa yang Allah berikan pada kita. Hadist ini secara tersirat menuntun kita
untuk selalu bersyukur dan tidak meremehkan nikmat-Nya serta membantu orang-orang yang
membutuhkan.58
C. Definisi Tarikh al-Ruwah
Secara bahasa yaitu dari kata ‫تاريخ‬artinya sejarah, tanggal, waktu; dan ‫الرواة‬bentuk
jamak dari kata ‫الراوي‬artinya tukang cerita, atau pembawa cerita.59 Secara istilah Dr.
Mahmud Tahhan menjelaskan ilmu ini sebagai pengertian tentang sejarah kelahiran perawi,
pemerolehan riwayat dari para syaikh, pencarian ḥadiṡ ke berbagai kota dan wafatnya
perawi.60 Artinya, ilmu tarikh ar-ruwah merupakan ilmu untuk mengenal para perawi ḥadiṡ
yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap ḥadiṡ melalui pendekatan ilmu
sejarah. Ia secara khusus membahas perihal para perawi ḥadiṡ dengan penekanan pada aspek-
aspek kronologis seperti tanggal kelahiran, nasab atau garis keturuan, guru sumber
mengambil ḥadiṡ, jumlah ḥadiṡ yang diriwayatkan dan siapa saja murid-muridnya.
Ulama-ulama sebelum abad ke lima Hijriyah menamai ilmu ini dengan nama yang
berbeda-beda. Sebagian mereka menamainya dengan ilmu tarikh, sebagian yang lain
menamainya dengan Ilmu tarikh ar-ruwah, sedang sebagian yang lain menamainya dengan
ilmu wafayatu ar-ruwah. Ulama-ulama angkatan sesuah abad ke lima Hijriyah menyebutnya
dengan ilmu al-tawarikh wa al-wafayat. Jadi tarikh al-Ruwah ialah Ilmu yang mengenalkan
kepada kita akan perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatka hadits, ilmu ini
menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa
dia mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari padanya
negrinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatannya, sejarah kedatangannya ke tempat-
tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits.61
Ilmu tarikh ar-ruwah, ialah:

58
Thohar, Hamimi. Terjemah Bulughul Maram, (Yogyakarta: Al Birr Press, 2009), hlm. 519.

59
Munir Baalbaki dan Ruhi Baalbaki, Kamus Almaurid Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya:
Halim Jaya, 2006), h. 165 dan 392.
60
Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah Hadis, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah), cet. VII
h. 259.
61
dr.M.’Ajaj al-khathib,. Ushul al hadist,. Hal : 227

67
.ِ‫اح َي ِة الَتِ ْي تَتَ َعلَق ِب ِر َوا َيتِ ِه ْم ِل ْل َح ِد ْيث‬ ِ ‫ي ي َع ِرف ِب ِر َوا َي ِة ْال َح ِد ْي‬
ِ َ‫ث ِمنَالن‬ ْ ‫ا َ ْل ِع ْلم الَ ِذ‬
Artinya:
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadis.”
Ilmu ini mempelajari keadaan dan identitas para perawi,seperti kelahirannya,
wafatnya,guru-gurunya, orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka,
tempat mereka mengadakan lawatan.62

D. Sejarah Perkembangan
Sejarah pertumbuhan Ilmu Tarikh al-Ruwah sendiri seiring dan sejalan dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan periwayatan dalam Islam, karena dalam memilih dan
memilah hadis-hadis shahih ini harus melalui penelitian terhadap para rawi dalam sanadnya,
yang memungkinkan untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan mardud.
Para pakar dalam Ilmu Hadis memberi perhatian yang cukup besar, karena mereka
memerlukan untuk mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya. Mereka
mengkhususkan diri dan meluangkan waktu untuk berkelilig dunia dalam keterkaitannya
dengan input sekitar rawi, umur, kediaman, pendengaran hadisnya dari para guru. Lewat rawi
ke berbagai tempat, kecenderungan madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada
kredibilitas para rawi. Karena informasi tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam
periwayatan hadis dilihat dari aspek pribadi dan intelektualnya yang mereka perlukan. Tarikh
merupakan salah satu sarana untuk menolak dan melawan segala bentuk kedustaan atas nama
Nabi SAW. Dalam sejarah tercatat, Sufyan al-Sauri pernah menyatakan bahwa:”tatkala para
rawi telah menggunakan kedustaan, mereka lawan dengan informasi dari tarikh.63

Diriwayatkan oleh al-Khatib dari Afir Ibn Ma’dan al-Kala’iy, pernah Umar Ibn Musa
datang di tengah-tengah kami di Himah, lalu kami mengerumuninya. Ia menyatakan,
diceritakan kepada kami oleh gurunya yang salih, maka tatkala perkataannya sudah lama, aku
menyela dengan bertanya, siapa guru kami yang shalih? Katakanlah kepada kami, supaya
Kami mengetahui. Ia menjawab, Khalid ibn Ma’dan. Aku bertanya lagi kepadanya, tahun

62
Suparta, Munzier.2002, Ilmu Hadis
63
Ibid, hlm. 254.

68
berapa kamu bertenmu dengannya? Dijawab, aku bertemu dengannya tahun 108. Aku
bertanya lagi, di mana kamu bertemu? Dijawabnya, di Armenia dalam perang Armenia.
Kemudian aku berkata kepadanya, “Takutlah kamu kepada Allah, wahai guru dan janganlah
engkau berdusta. Khalid bin Ma’dan wafat tahun 104. Apakah mungkin engkau bertemu
setelah empat tahun wafatnya? Aku tambahkan lagi keteranganku kepada engkau, bahwa
khalid tidak pernah berperang dalam perang Armenia, dia hanya berperang di Roma.64
Produk dari civitas ilmiah tersebut ialah terkumpulnya di hadapan para pakar hadis yang
banyak menyimpan biografi rawi dan khobar tentang mereka. Hanya saja perlu dicatat,
bahwa ada perbedaan besar antara tarikh al-ruwat dan buku biografi. Dalam buku biografi
jelas sekali mencatat sejarah perjalanan seseorang dari masa kecil sampai akhir waktu
biografi tersebut tertulis, mencatat peristiwa-peristiwa monumental dengan rinci, memotret
perkembangan fisik dan perkembangan pemikiran yang terjadi dan sebagainya. Sementara
dalam kajian tarikh al-ruwah, lebih memfokuskan potret rawi sekitar keberadaannya dalam
hal meneruskan hadis.
Satu realitas yang tidak dapat dipungkiri adalah munculnya kitab-kitab tarikh dalam
bentuk dan sistem penyusunan yang beragam yang merekam puluhan ribu bahkan ratusan
ribu biografi rawi dari masa sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya. Satu hal lagi yang
perlu dicatat adalah tarikh ar-ruwah pada dasarnya bukan sekedar merangkum biografi para
rawi, tetapi yang lebih penting adalah memuat kredibilitas rawi tersebut dalam periwayatan
hadis, yang ini terangkum dalam justifikasi terhadap mereka atau penilaian jarh ta’dil nya.

E. Metode yang digunakan para penyusun dalam menyusun karya tentang sejarah
para perawi
Ada berbagai macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits diantaranya :
65

1. Berdasarkan tingkatan – tingkatan (thaqabat)


Membahas keadaan para perawi tingkat demi tingkat, atau generasi demi generasi.
Satu tingkatannya mencerminkan sejumlah perawi yang hidup dalam masa yang
hampir bersamaan. Kitab-kitab thaqabat terkemuka adalah : ath-Thabaqat Al-Kubra (

64
Ibid
65
dr.M.’Ajaj al-khathib,. Ushul al hadist (al-Tahhan, 2010) (Dr. H. Munzier Suparta, 2002)

69
karya Muhammad ibn Sa’d (168-230 H) dan Thabaqat Ar-Ruwat ( karya Khalifah ibn
Khayyath al –‘Ushfuriy)
2. Berdasarkan tahun
Menyebut tahun wafat seorang perawi, lalu menyebut biografinya dan berita-
berita lain tentang perawi itu. Ini jelas tampak dalam Tarikh al-Islam karya adz-
Dzahabiy.
3. Menyusun sejarah perawi secara Alfabetis.
Jenis semacam ini memberikan kemudahan bagi penelitian. Dari jenis ini,
yang mula-mula sampai ke tangan kita adalah al-tarikh al – kabir karya Imam
Muhammad Ibn Isma’il al-bukhari (194-256 H).
4. Berdasarkan nama-nama negeri tempat para perawi.
Penyusun akan menyebutkan nama-nama ulama’ suatu negeri dan ahli-ahli
yang masuk (singgah) kedalamnya. Kadang-kadang orang yang meriwayatkan dari
ulama-ulama’ itu juga disebutkan. Biasanya penyusun mengawalinya dengan
menyebutkan :
a) keutamaan-keutamaan negeri yg bersangkutan.
b) Menyebutkan sahabat-sahabat yang tinggal disana atau pernah singgah atau
pernah lewat.
c) Menyebut ulama-ulama lain secara alfabetis.
Diantara kitab yang paling tua dalam bidang ini adalah Tarikh Naisabur karangan Al
Hakim ( 321-405 H ). Para Ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi-perawi lelaki,
bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-
pengembang hadits, seperti Aisyah dan istri-istri nabi yang lain.
Ilmu inilah yang dinamakan ilmu Tarikh dan ada pula yang menamakan Tarikh Al-Ruwah.
Ilmu ini hampir sama dengan ilmu thobaqot dan ilmu jarah dan ta’dil. Tetapi di dalam buku
karangan Hasbi Ash-Siddiqi menjelaskan perbedaan diantara ilmu-ilmu tersebut.66

F. Kitab-kitab Tarikh Al Ruwah


Adapun kitab-kitab Tarikh Al Ruwah yang harus diketahui oleh penggali sunah
Rasululallah antara lain ialah:

66
dr.M.’Ajaj al-khathib,. Ushul al hadist

70
1. At Tarikhul kabir, karya imam Muhammad ibn Isma’il Al Bukhori 194-252H.
Dalam kitab tersebut menerangkan biografi dari guru-gurunya yang pernah
memberikan hadits kepadanya, baik dari golongan tabi’in maupun sahabat sampai
berjumlah kurang lebih 40.000 orang. Baik mereka laki-laki ataupun perempuan, baik
mereka yang tsiqah maupun ghoiru tsiqah. Nama-nama perawi itu disusun secara
alfabetis, akan tetapi nama yang pertama ditaruh pada bab pendahuluan adalah nama
yang menggunakan Muhammad. Setiap nam dijadikan satu bab dan disusun secara
alfabetis atau arabiyah dengan mengutamakan nama leluhurnya. Kitab tersebut terdiri
dari 4 jilid besar-besar. Pada cetakan Haiderabad tahun 1362 H, kitab tersebut
dijadikan 8 jilid.

2. Tarikh Nisabur, karya imam Muhammad bin Abdullah Al Hakim An Nisabury ( 321-
405 H ). Kitab ini merupakan kitab Tarikh yang terbesar dan banyak faidahnya bagi
para fuqoha’. Hanya saja kitab ini telah hilang. Ia hanya ditemukan dalam koleksi
cuplikan yang terdiri dari beberapa lembar.
3. Tarikh Bagdad, karya Abu Bakar Ahmad Ali Al Bagdady, yang terkenal dengan
nama Al khatib Al Bagdady ( 392-463 H ). Kitab yang besar faidahnya ini memuat
biografi dari ulama-ulama besar dalam segala bidang ilmu pengetahuan sebanyak 7831
orang dan disusun secara alfabetis. Perawi-perawi yang tsiqah, lemah dan yang
ditinggalkan haditsnya dimasukkan semuanya di dalam kitab ini. Ia terdiri dari 14 jilid
dan dicetak di kairo pada tahun 1349 H ( 1931 M ).67

Selain kitab-kitab tersebut di atas masih banyak lagi kitab-kitab Tarikh Al Ruwah,
antara lain Al Ikmal firaf’il-ibtiyab ‘anil mu’talif wal mukhtalif, karya Al Amir Al Hafidz
Abi Nashr ‘Ali bin Hibatillah bin Ja’far yang terkenal dengan nama Ibnu Ma’kula Al
Bagdady. Ada juga kitab Tahdzibul Kamal fi asmair-rijal, karya Al Hafidz Jamaludin Abil
Hajjad Yusuf Al Mizay Ad-dimasyqy ( 654-742 H ).
Tarikh yang tertua adalah Tarikh Naisabur karya Imam Muhammad ibn Abdillah al-
Hakim al-Naisaburiy (321-405H) yang merupakan karya terbaik dan paling sering digunakan
ulama dan Tarikh Baghdad karya Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Baghdadiy yang lebih dikenal

67
dr.M.’Ajaj al-khathib,. Ushul al hadist

71
dengan nama al-Khatib al-Baghdadiy (392 – 463 H) yang merupakan kitab yang paling
agung dan paling bermanfaat.
G. Pengertian Ilmu ‘Ilal Hadis
Menurut bahasa i’lal adalah jamak dari ‘illah yang berarti penyakit ) ‫) المرض‬, berasal
dari kata ‘ulla-ya’illa-i’talan ( ‫ )عل – يعل – واعتل‬artinya penyakit yang disebabkan karena
cacat dan diqiyaskan dengan kata ma’alun-mu’allalun (‫ معلل‬- ‫)معل‬. 68
Akan tetapi sebagian
ulama hadits dan sebagian ahli bahasa kata ma’lul (‫ )معلول‬jarang menggunakan kata ini.69
‘Illah menurut istilah ahli hadis adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat
mengurangi status keshahihan hadis meski secara zhahirnya tidak nampak ada cacat.
Adapun yang dimaksud dengan ‘illal hadits, menurut muhaddisin adalah:

‫ص ٍل م ْنقَ ِطعٍ َم ْرف ْوعٍ َم ْوق ْوفٍ َواِدْخَا ِل‬ ِ ‫ص َح ِة ْال َح ِد ْي‬
ْ ‫ث ك ََو‬ ِ ‫ض ِة ِم ْن َحيْث اَنَ َها ت َ ْقدَح‬
ِ ‫فى‬ ِ ‫ب ْال َخ ِفيَ ِة ْالغ‬
َ ‫َام‬ ِ ‫ِع ْلم يَ ْب َحث ِع ِن اْْل َ ْسبَا‬
. َ‫ث َو َما شَا َبهَ ذَلِك‬ٍ ‫ِي‬ ْ ‫فى َحد‬ ِ ‫ث‬ِ ‫ْال َح ِد ْي‬
Artinya: “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan
kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati, menyebut
marfu’ terhadap hadits mauquf, memasukkan hadits ke dalam hadits lain, dan hal-hal yang
seperti itu” 70
Jadi ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar
dari segi penyebab hadith menjadi cacat, seperti menyambung hadith yang sebenarnya putus,
menjadikan hadith marfū’ padahal mauqūfatau memasukkan matan hadith.
Pendapat lain mengatakan ’ilal hadis secara bahasa artinya penyakit, sebab alasan atau
halangan. Dengan demikian, tidak ’ilalnya hadis tersebut tidak berpenyakit, tidak ada sebab
yang melemahkannya dan mengahalanginya. Sedangkan menurut istilah ’ilal adalah suatu
sebab yang tidak nampak atau samar-samarnya yang dapat mencacatkan keshahihan suatu
hadis. Dengan demikian, jika dikatakan hadis tersebut tidak ber’ilal, berarti hadis tersebut
tidak memiliki cacat, adapun yang dimaksud samar-samar, karena jika dilihat dari segi

68
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indoenesia (Jakarta: 1989, PT Hida Karya Agung), hal. 276
69
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis (Beirut : Dar al-Fikr,1981), hal. 291
70
Agus Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 116

72
lahirnya, hadis tersebut terlihat shahih. ’Ilal hadis mengakibatkan kualitas hadis menjadi
lemah, tidak shahih.71
H. Sejarah awal dan perkembangannya ’ilal al-hadis

Pada abad kedua Hijriah perkembangan ilmu penegtahuan Islam peasat sekali dan
telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang, di antaranya di bidang fiqh dan
ilmu kalam. Pada dasarnya para imam mujtahid tersebut, meskipun dalam berbagai hal
mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-
masing. Akan tetapi, para pengikut ketiga Hijriah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya
(imamnya) lah yang benar, dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokkan
pendapat yang semakin meruncing.Diantara pengikut mazhab yang fanatic, akhirnya
menciptakan hadis-hadis palsu dala rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab
lawannya.
Di antara mazhab Ilmu Kalam, khususnya Mu’tazilah, sangat memusuhi ulama hadis
sehingga terdorong untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka memaksakan pendapa
mereka. Hal ini terutama setelah Khalifah al-Ma’mun berkuasa dan mendukung golongan
Mu’tazilah. Perbedaan pendapat mengenai kemahlukan al-Quran menyebabkan Imam ibn
Hambal, seorang tokoh ulama hadis, terpaksa di penjarakan dan disiksa. Keadaan ini
berlanjut terus menerus pada masa pemerintahan al-Mu’tashim (W.227 H ) dan al-Wastiq
(w.232 H ) dan barulah setelah pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil, yang mulai
memerintah pada tahun 232 H, keadaan berubah dan menjadi positif bagi ulama hadis.
Penciptaan hadis-hadis palsu tidak hanya dilakukkan oleh mereka yang fanatik
madzhab, tetapi momentum pertentangan madzhab tersebut dimanfaatkan ileh kaum zindik
yang sangat memusuhi Islam, untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka merusak
ajaran Islam dan menyesatkan kaum Muslimin.72
I. Tempat-Tempat ‘Ilal Hadis
Berdasarkan penelusuran para ulama hadis, ‘illat hadis itu terdapat dalam tiga tempat,
yaitu ‘illathadis pada sanad, ‘illathadis pada matandan ‘illat hadis pada sanad serta matan
secara bersamaan.

71
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Yuslem, 2001) (Imail, 1995) (Bandung : Cita
Pustaka, 2005), hal. 170
72
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.133-134

73
1. ‘illat pada sanad
Pengertian ’ilal disini bukanlah pengertian umum tentang sebab kecacatan hadis,
misalnya karena periwayatan pendusta atau tidak kuat hafalan. Melainkan cacat yang dapat
mengakibatkan juga lemahnya sanad. Periwayatan yang cacat dapat pula memberi petunjuk
keterputusan sanad.73
Terhadap cacat umum tersebut ulama tidak mengalami kesulitan untuk menelitinya,
sedangkan terhadap ’ilal yang pembahasan lebih khusus tidak banyak ulama hadis yang
mampu menelitinya. Karena, hadis yang ber’ilal tampak berkualitas shahih.74
Contohnya
:‫ما رواه يعلي بن عبيد عن سفيان الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلي هللا عليه وسلم قال‬
‫البيعان بالخيار‬
Hadis yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Amru bin
Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda, “Kedua orang yang berjual beli itu dapat
melakukan ‘khiyar’…”.
Sanad pada hadis ini adalah muttasil atau bersambung, diceritakan oleh orang yang
‘adil dari orang yang ‘adil pula, tetapi sanadnya tidak shahih karena terdapat ‘illat di
dalamnya. Sedangkan matannya shahih. Letak ‘illatnya, karena riwayat Ya’la bin Ubaid
terdapat kesalahan pada Sufyan dengan mengatakan “Amru bin Dinar”, yang benar adalah :
“Abdullah bin Dinar”. Demikian diriwayatkan oleh para imam dan huffazh dari murid-
murid Sufyan Ats-Tsauri seperti : Abi Nua’im Al-Fadhl bin Dakin, Muhammad bin Yusuf
Al-Firyabi, dan Makhlad bin Yazid. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan, dari Abdullah
bin Dinar, dari Ibnu Umar, bukan dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar.

2. ‘illat pada matan


Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari riwayat Al-Walid bin
Muslim : “Telah bercerita kepada kami Al-Auza’i, dari Qatadah, bahwasanya dia pernah
menulis surat memberitahukan kepadanya tentang Anas bin Malik yang telah bercerita
kepadanya, dia berkata,

73
Ibid., hal. 447
74
Ibid., hal.448

74
‫صليت خلف النبي صلى هللا عليه وسلم وابي بكر وعمر وعثمان فكانوا يستفتحون بالحمد هلل رب العالمين ّل يذكرون‬
.‫بسم هللا الرحمن الرحيم في اول قراءة وّل في اخرها‬
“Aku pernah shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka
memulainya dengan membaca : “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” tidak menyebut
“Bismillahirrahmanirrahim” pada awal maupun akhir bacaan”.
Ibnu Ash-Shalah dalam kitab “Ulumul Hadits” berkata, “Sebagian kaum mengatakan
bahwa riwayat tersebut di atas (yang menafikan bacaan basmalah) terdapat ‘illat. Mereka
berpendapat bahwa kebanyakan riwayat tidak menyebut basmallah tapi membaca hamdalah
di permulaan bacaan, dan ini yang muttafaqun ‘alaihi menurut riwayat Bukhari dan Muslim
dalam Shahihnya. Mereka mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah riwayat yang
dipahaminya secara maknawi, yaitu lafazh (“Mereka membuka bacaan shalat dengan
membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”), dipahami bahwa mereka tidak membaca
basmalah, maka meriwayatkan seperti apa yang dipahaminya, dan ternyata salah, karena
maknanya bahwa surat yang mereka baca adalah surat al-fatihah – yang tidak disebut
padanya basmallah.
3. ‘illat pada sanad dan matan
Diriwayatkan Baqiyah dari yunus, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Nabi
SAW bersabda,
‫من أدرك من صالة الجمعة فقد أدرك‬
“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at maka telah mendapatkan
shalatnya”.
Abu Hatim ar-Razi berkata, “Hadis ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah
riwayat Az-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda,
‫من أدرك من صالة فقد أدرك‬
“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah
mendapatkannya.” Sedang lafazh ‘shalat jumat’ tidak ada dalam hadis ini. Dengan demikian
terdapat ‘illat pada sanad dan matannya.

J. Kedudukan dan Urgensi Mempelajari ilal pada Hadis

1. Menjaga Sunnah nabi Muhammad Rasulullah saw.

2. Untuk memisahkan atau membedakan apa yang terdapat di dalam diri seorang perawi dari
kesalahann, lupa dan keraguan pada dirinya.
75
3. Untuk membedakan mana hadis yang cacat dan mana hadis yang terhindar dari cacat.75

K. Cara-cara mengetahui adanya ‘ilal dalam hadits


Untuk mengetahui ‘ilal suatu yang tidak dapatdiketahui selain oleh orang yang ahli dalam
bidang ilmu hadits.Tidak banyak orang yang dapat menyingkap ‘ilal tersebut kecuali
beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini, Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan al-
Daruquthni. hadits tidak mudah sebab membutuhkan upaya untuk menyingkap ‘ilal yang
tersembunyi dan samar
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘ilal hadits adalah dengan
menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan di antara para periwayatnya , dan
memerhatikan status hafalan, keteguhan, dan kedhabithan masing-masing periwayat.Menurut
‘Abd al-Rahman bin Mahdi, untuk mengetahui ‘ilal hadits diperlukan intuisi
(ilham).Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang mampu meneliti ‘ilal hadits hanyalah
orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya,
mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke dhabithan periwayat, dan ahli
dibidang sanad dan matan hadits.Al-Hakim al-Naysaburi berpendapat, acuan utama
penelitian ‘ilal hadits adalah hafalan, pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadits.
Menurut Mahmud al-Thahhan, suatu hadits dinyatakan mengandung ‘ilal apabila
memenuhi kriteria berikut:periwayatnya menyendiri, periwayat lain bertentangan
dengannya.Dengan demikian cara un tuk mengetahui adanya ‘ilal hadits adalah sebagai
berikut:1) menghimpun seluruh sanad hadits,dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
tawabi’2) melihat perbedaan diantara para periwayatnya 3) memerhatikan status kualitas para
periwayat baik berkenaan dengan keadilan, maupun kedhabithan masing-masing periwayat.76

L. Kitab-kitab ‘Ilal Hadits


Tidak diragukan lagi bahwasanyafan ilmu ‘ilal hadis ini merupakan ilmu terpenting
dalam kajian ilmu-ilmu hadis. Maka tidak heran perhatian para ulamapun banyak tertuju
padahal ini, sehingga dengan susah payah mereka mencurahkan seluruh kekuatan, waktu, dan

75
M. Syuhdi Ismail, Kaedah Keshihan Sanad hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hal.116
76
Dr.Idri, studi Hadis,(Jakarta:PT.Fajar Interpratama Mandiri,2010),hlm 244-245.

76
juga perhatiannya terhadap ilmu ini. Di antara bukti dari perhatian para ulama terhadap ilmu
ini adalah sebagai berikut:
1. Al-‘Ilal karya Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) riwayat Ibnu al-Madini (w. 234 H)
2. Al-‘Ilalkarya Yahya bin Sa’id al-Qathan (w. 198 H)
3. ‘Ilal al-Ahadiskarya Hasan bin Mahbub al-Bajali (w. 224 H)
4. Al-‘Ilalkarya Yahya bin Ma’in (w. 233 H)
5. ‘Ilal al-Musnadkarya Ali bin al-Madini (w. 234 H)
6. ‘Ilal al-Hadis wa Ma’rifat al-Suyukhkarya Abu Ja’far Muhammad bin Abdullah al-
Mukhrami al-Mushili (w. 242 H)
7. Kitab al-‘Ilalkarya Abu Hafs Amr bin Ali al-Falash (w. 249 H)
8. Kitab al-‘Ilalkarya Imam al-Bukhari (w. 256 H)
9. Al-‘Ilal, al-‘Ilal al-Mutafarriqah dan ‘Ilal Hadis Ibnu Uyainah karya Ibnu alMadini Ismail
al-Qadi (w. 282 H)
10. Al-‘Ilal dengan riwayat dari Abi Hasan Muhammad bin Ahmad bin al-Barra (w. 291 H)
11. Al-‘Ilal wa Ma’rifatul Rijalkarya Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) dengan riwayat
anaknya, yaitu Abdullah bin Ahmad (w. 290 H)
12. Al-‘Ilal karya Ahmad bin Hambal dengan riwayat Ahmad bin Muhammad bin alHajjaj al-
Marudzi (w. 275 H)
13. Sûalât Khattab bin Basyar(w. 264 H) karya Imam Ahmad bin Hambal
14. Kitab al-‘Ilal karya Abu Bakar Ahmad Ibnu Muhammad bin Hâni al-Asram
15. ‘Ilal Hadis Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 125 H) karya Muhammad bin Yahya alDzahili (w.
258 H)
16. Kitab al-‘Ilal dan Kitab al-Tamyizkarya Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261
H)
17. Al-Musnad al-Mu’allalkarya Ya’qub bin Syihab (w. 262 H)
18. Kitab al-‘Ilalkarya Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdul Karim al-Razi (w. 264 H)
19. Kitab al-‘Ilalkarya Abi Basyr Ismail bin Abdullah bin Mas’ud al-Asbahaniy (w.267 H)
20. Al-‘Ilaldan al-‘Ilal al-Shagir karya Abi Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi (w.279 H)
21. Kitab al-‘Ilalkarya Abu Zur’ah Abdurrahman bin Amr bin Shafwan al-Dimisyqi (w. 280
H)
22. Kitab al-‘Ilalkarya Ibrahim bin Ishaq al-Harabi (w. 285 H)

77
23. Al-Musnad al-Kabir al-Mu’allalatau yang diberi nama al-Bahr al-Zukharkarya Abu Bakar
Ahmad bin Amr bin Abdul Khaliq al-Bazzzar (w. 292 H)77
Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama
tentangpembahasan ini. Dan salah satu karya terbesar dalam ilmu ‘ilal hadits ini adalah kitab
Az-Zuhral-Mathlûl fî al-Khabar al-Ma’lûlkarya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalanî, kitab ini
disebut-sebutakan menjadi kitab ‘ilal hadis yang paling lengkap dari antara semua kitab
serupa yang pernah disusun, karena perhatiannya sampai terhadap hal-hal yang paling
rinci dan juga pengetahuannya yang sangat luas menjadikan kitabnya tersebut benar-benar
mengumpulkan semua riwayat para ulama ‘ilalhadis terdahulu dan mengumpulkannya dalam
kitab yang beliau susun tersebut, namun sayangnya kitab ini tidak dapat ditemukan lagi sisa-
sisanya.78
M. Ilmu Gharibil Hadits
Ditinjau dari segi bahasa, ( ‫ غريب‬Gharib) diambil dari akar kata ‫ غرب‬yang berarti ( ‫بعيد عن‬
‫ وطنه‬Ba’idun ‘an wathanihi) yakni jauh dari rumah atau tempat tinggal.79 Orang yang tidak
sedang di rumah atau tempat tinggalnya kita katakan asing. Imam Abu Sulaiman al-Khattabi
berkata: “asing dalam perkataan adalah jauh dari pemahaman seperti jauhnya seseorang dari
rumah atau tempat tinggalnya”.80 Atau ada pula yang mengatakan bahwa asing dalam
perkataan adalah jauhnya makna dari pemahaman kecuali setelah melalui proses pemikiran.81
Sederhananya Dr. Mahmud Thahan mendefinisikan ‫ غريب‬secara bahasa adalah “lafad-lafad
yang tersembunyi maknanya”.82

77
Lengkapnya dapat dilihat dalam Mahfudz al-Rahman al-Salafiy, Muqaddimah Kitab
Al-‘Ilal alWaridah. Hlm. 46-56

78
Dinukil dari al-Suyuthi oleh Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts. Hlm. 199

79
Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Kairo, Dar al-Ma’arif, hal. 3225.
80
Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama,
thn. 1984 M/1404 H, hal. 474
81
Ibid.
82
Mahmud Thahaan, Taisir Musthalah al-Hadits, Singapur-Jeddah—Indonesia, al-Haramain,
hal. 174.

78
Sedangkan menurut istilah, makna ‫غريب‬dalam konteks ilmu hadis adalah sebagaimana yang
dijelaskan oleh para pakar; yakni sebagai berikut: Pertama, Ibn Katsir dalam kitabnya al-
Ba’its al-Hatsits
mengenalkan bahwa gharib al-hadits adalah: ‫ ّل‬,‫من المهمات المتعلقة بفهم الحديث والعلم والعمل به‬
‫بمعرفة صناعة اّلسناد وما يتعلق به‬. Hal-hal penting yang berkaitan dengan pemahaman, ilmu dan
pengaplikasian suatu hadis. Bukan mengenai pengenalan struktur dan hal-hal yang berkaitan
dengan sanad83 Kedua, Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi
menjelaskan Gharib al-Hadits sebagai berikut: ‫ما وقع فى متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة‬
‫استعما لها‬. Apa-apa yang ada dalam matan hadis dari lafad samar yang jauh dari pemahaman,
dikarenakan sedikit penggunaannya.84 Gharib al-hadits ini adalah cabang ilmu yang penting,
bergelut dalam ilmu ini adalah sulit sehingga mengharuskan panjang lebar pembicaraannya,
karena kita tidak boleh menafsirkan perkataan Nabi Saw. sembarangan dengan prasangka.85
Ketiga, Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj an-Naqd, menjelaskan sebagai berikut: ‫ ما‬:‫غريب الحديث‬
‫وقع فى متون اْلحاديث من اْللفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم‬. Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada
dalam matan hadis-hadis dari lafadz-lafadz samar yang jauh dari pemahaman86
Keempat, Abu Zahrah dalam al-Hadits wa al-Muhadditsuun. ‫غريب الحديث ما يقع فيه من كلمات‬
‫غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعما لها‬. Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada di dalam hadis,
kalimat-kalimat samar yang jauh dari pemahaman karena sedikit penggunaannya.87
Latar Belakang Munculnya Ilmu Gharib al-Hadits
Rasulullah Saw adalah orang Arab yang paling fasih lisannya, sehingga ketika beliau
berbicara kepada delegasi-delegasi orang Arab dari berbagai kabilah dengan perbedaan lisan-

83
Ibn Katsir, al-Ba’its al-Hatsits: Syarh ‘Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, thn. 2005 M/1425-1426 H, hal. 117.
84
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar at-
Turats, cet. 3, thn. 2005 M/1426 H, hal. 403. Lihat juga Taisir Musthalah al-Hadits karya
Mahmud Thahaan, hal. 174.
85
Ibid
86
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal.
332
87
Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun: ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah
anNabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal.
474

79
lisannya, mereka dapat memahami apa yang beliau katakan. Begitupun para sahabat, mereka
adalah orang-orang yang paling memahami apa yang beliau katakan, kalaupun ada yang tidak
mereka mengerti, niscaya mereka menanyakannya kepada beliau. Sehingga segala urusan
88
dapat sampai pada kebenaran Rasulullah Saw. Pada masa sahabat, sebelum adanya
berbagai penaklukan negri-negri, lisan orang Arab sangatlah baik. Namun setelah banyaknya
orang ‘azam luar Arab yang masuk Islam, maka mulailah banyak terjadi percampuran, hingga
berkembang jaman baru di mana lisan orang Arab bercampur dengan orangorang ‘azam luar
Arab. Pada masa Tabi’in, bahasa Arab terus bercampur sedikit demi sedikit. Sehingga ketika
masa tabi’in berlalu, lisan orang Arab berubah, akibatnya orang-orang kesulitan memahami
hadis Nabi saw.89 Hal ini terus berlangsung sampai Allah Swt mengilhamkan kepada para
aimmatuddin untuk mengobati penyakit ini. Maka para Imam mutaakhkhirin dari atba’ at-
tabi’in seperti Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, dan Syu’bah bin Hajjaj mulai sibuk
membicarakan keghariban hadis-hadis Nabi Saw.90 Begitu pun banyak dari ulama setelah
mereka, yang sangat memperhatikan ilmu ini. Suatu saat Imam Ahmad pernah ditanya
tentang satu huruf yang gharib maka ia berkata, “Tanyakanlah kepada orang yang
mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, karena aku tidak suka berbicara mengenai
perkataan Rasulullah Saw dengan prasangka semata dan kemudian aku salah.”91
Kitab-kitab Gharib al-Hadits
Secara umum, yang dimaksud dengan kitab Gharib adalah kitab-kitab yang mengumpulkan
kalimat-kalimat gharib dan sukar maknanya baik itu dari al-Quran maupun hadits.92 Ada
sedikit perbedaan pendapat mengenai siapa orang yang pertama menyusun kitab Gharib al-
Hadits, ada yang berkata yang pertama kali adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna

88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1997, hal.
332.
92
Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa
Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-
Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996 M/1417 H, hal. 217.

80
at-Tamimi (W. 210 H)93 ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama kali adalah Abu
Hasan an-Nadhri bin Syamil al-Mazini (W. 203 H).94 Terlepas dari perbedaan tersebut,
berikut kitab-kitab tentang Gharib alHadits yang telah disusun oleh para ulama: a) Gharib al-
Hadits karya Abu Ubaid al-Qasim in Salam (W. 224 H). Sudah dicetak dalam 4 jilid. b)
Gharib al-Hadits karya Muhammad bin Ziyad yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-A’rabi
(W. 231 H). c) Gharib al-Hadits karya Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah
(W. 276 H). Kitab ini adalah catatan tambahan dan perbaikan atas kitab Abu Ubaid al-Qasim
bin Salam. Sudah dicetak dalam 3 jilid. d) Gharib al-Hadits karya Abu Ishaq Ibrahim bin
Ishaq al-Harbi (W. 285 H). e) Gharib al-Hadits karya Abu Sulaiman Hamd al-Khattabi (W.
388 H) f) Al-Ghariibiin (Gharib al-Quran wa al-Hadits) karya Abu Ubaid Ahmad bin
Muhammad al-Harwi (W. 401 H). g) Al-Faiq fii Gharib al-hadits karya Abu Qasim
JaaralLahu Mahmud bin ‘Amr az-Zamakhsyari al-Mu’t azili (W. 538 H). h) Gharib al-Hadits
karya Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (W. 597 H). i) An-Nihayah fii Gharib al-Hadits karya
Majiuddin al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Atsir
(W. 606 H).95
N. Ilmu Nasikh dan Mansukh
Makna Nasakh
Nasakh secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip, menyalin. Contoh 1 : uban
itu menghilangkan sifat muda, matahari menghilangkan bayang-bayang
Contoh 2 : saya mengutip isi kitab itu. Makna seperti juga berlaku untuk kata "naskh"
yang ada pada firman Allah SWT. :
َ‫إِنَا كنَا نَ ْست َ ْنسِخ َما ك ْنت ْم ت َ ْع َمل ْون‬
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mengutip apa yang telah kami kerjakan (Al-
Jatsiyah : 29)

93
Abu Zahrah, al-Hadits wa al-Muhadditsun: ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah
anNabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, cetakan pertama, thn. 1984 M/1404 H, hal.
475.
94
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus,
Dar alFikr, cetakan pertama, thn. 1989 M/1409 H, hal. 281. Lihat juga al-Ba’its al-Hatsits
karya Ibn Katsir hal. 117.
95
Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa
Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Riyadh, Dar al-
Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996 M/1417 H, hal. 218-220.

81
Nasakh menurut ulama 'Ushul yaitu :
.‫ارعِ ح ْك ًما ش َْر ِعيًّا بِدَ ِل ْي ٍل ش َْر ِعي ٍ مت ََراخٍ َع ْنه‬
ِ ‫ش‬َ ‫َر ْفع ال‬
Penghapusan oleh syari' terhadap suatu hukum syara' dengan dalil syara' yang
datang kemudian.
Contoh Nasakh (dengan pengertian seperti itu) adalah sabda Rasulullah SAW. : Aku
(pernah) melarang kalian berziarah kubur. Namun (sekarang) berziarah kuburlah kalian.
Karena ia bisa mengingatkan kalian akan akhirat.96
Makna Mansukh
Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah
atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama ialah hukum syara’
yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan hukum syara’
yang baru.

Tegasnya, dalam Mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah
diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.97

Obyek Kajian dan Urgensi Ilmu Nasikh dan Mansukh

Nasikh dan Mansukh merupakan hal yang harus diketahui oleh merrka yang menekuni kajian
tentang huku-hukum syari'at. Sebab tidak munhkin bagi seorang pengkaji untuk menggali
hukum-hukum dari dalil-dalilnya tanpa mengetahui dalil-dalil yang nasikh dan yang
Mansukh. Al-Hazimiy mengatakan bahwa cabang ilmu merupakan kesempurnaan ijtihad.
Sebab rukun utama ijtihad adalah mengetahui dalil naqli.98

96
Ushul al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits, Dr. Muhammad 'Ajaj Al-Khatib, hal 258

97
http://baihaqi-annizar.blogspot.com/2015/01/ilmu-nasikh-dan-mansukh.html?m=1
98
Ushul al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits, Dr. Muhammad 'Ajaj Al-Khatib, hal 259

82
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
6. Cabang Ulumul Hadits sangatlah banyak, diantaranya: Ilmu Maanil Hadits
7. Ilmu Tarikhul Ruwat
8. Ilmu Ilail Hadits
9. Ilmu Gharibi Hadits
10. Ilmu Nasikh dam Mansukh
Cabang ilmu tersebut tentunya memiliki peran yang penting, untuk mengetahui jenis dari
suatu hadits. Serta memiliki korelasi satu sama lain, sehingga dapat memberikan penjelasan
yang terang tentang jenis tingkatan hadits.
B. Saran
Adapun saran yang kami berikan adalah perlunya mengembangkan ulumul hadits lebih jauh
lagi, guna mewariskan ilmu yang bermanfaat untuk generasi muda Indonesia.

83
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, N. (1997). Manhaj an-Naqd. Damaskus: Dar al-Fikr.

al-khathib, d. (2010). Ushul al hadist. al-Tahhan.

al-Khatib, M. ‘. (1989 M/1409 H). Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Damaskus:


Dar al-Fikr .

al-Tahhan, M. (t.thn.). Taisir Musthalah Hadis. Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah.

as-Suyuthi, J. (2005 M/1426 H). Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi. Kairo:
Maktabah Dar at-Turats.

az-Zahrani, M. b. (1996 M/1417 H). Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy’atuhu wa


Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, .
Riyadh: Dar al-Hijrah.

Baalbaki, M. B. (2006). Kamus Almaurid Arab-Inggris-Indonesia. Surabaya: Halim Jaya.

Dr.Idri. (2010). Studi Hadis. Jakarta: PT.Fajar Interpratama Mandiri.

Ibn Mandhur. (t.thn.). Lisan al-Arab. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Ismail, M. S. (1994). Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang .

Ismail, M. S. (1995). Kaedah Keshihan Sanad hadis. Jakarta: Bulan Bintang.

Katsir, I. (2005). al-Ba’its al-Hatsits: Syarh ‘Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr.

Solahudin, A. (2009). Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Suparta, M. (2002). Ilmu Hadis.

Thohar, H. (2009). Terjemah Bulughul Maram. Yogyakarta: Al Birr Press.

Wahid, R. A. (2005). Studi Ilmu Hadis. Bandung: Cita Pustaka.

Yunus, M. (1989). Kamus Arab-Indoenesia. Jakarta: PT Hida Karya Agung.

Yuslem, N. (2001). Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.

Zahrah, A. (1984 M/1404 H). al-Hadits wa al-Muhadditsun. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

84
SANAD DAN MATAN HADITS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6

Risa Alivia (11180610000004)


Alsa Muharamatus Sabila (11180510000100)
Muhammad Fauzi Nurdin (11180430000119)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

85
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadist yang harus ada pada setiap
hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Suatu
berita tentang Rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya,
yang demikian tidak dapat disebutkan hadist, sebaliknya suatu sanad, meskipun bersambung
sampai Rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadist.

Pembicaraan dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad
diperlukan setelah Rasul wafat. Hal ini karena berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap
otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari Rasul atau bukan. Upaya ini
akan menentukan bagaimana kualitas hadist tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam
penetapan syari’at islam.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yang berkaitan tentang sanad yaitu
sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari sanad hadits?


2. Bagaimana kedudukan sanad hadits?
3. Apa pengertian matan hadits?
4. Bagaimana kandungan matan hadits?
5. Apa sebab-sebab terjadinya perbedaan kandungan matan?
1.3 Tujuan

Adapun tujuan penyusunan dan pembahasan makalah ini yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari sanad.


2. Untuk mengetahui kedudukan sanad.
3. Untuk mengetahui pengertian matan hadits.
4. Untuk mengetahui kandungan matan hadits.
5. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan kandungan matan

86
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanad

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti
mutamad (sandaran/ tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah).
Dikatakan demikian karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas
kebenarannya.

Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan pengertian, antara lain :


1. Di dalam kitab Fathul Bary. juz I halaman 66
‫الطريقة الموصلة إلى المتن‬
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits. Jalur ini adakalanya disebut sanad,
adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan matan kepada
sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang menyebutkan sanad
dalam mengetahui shahih atau dla’if suatu hadits.99
2. Menurut As Suyuthi dalam bukunya Tadrib ar Rawi, halaman 41
‫اإلخبار عن طريق المتن‬
Sanad adalah berita tentang jalan matan.100
3. Menurut Mahmud at Tahhan
‫سلسلة الرجال الموصلة للمتن‬
Sanad adalah silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang menyampaikan
kepada matan hadits.101
4. Menurut Ajjaj al Khatib dalam buku Ushul al Hadits
‫سلسلة الرواة الذين نعلوا المتن عن مصدره اْلول‬
Sanad adalah silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang
pertama.102

99
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 89.

100
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits (cet.I, Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 220.

101
Ibid.

102
Ibid.

87
Jadi, secara terperinci berdasarkan beberapa rumusan pengertian di atas, sanad adalah
rantai penutur hadits yang terdiri atas seluruh penutur, mulai dari orang yang menulis
hadits dalam kitabnya (kitab hadits) hingga Rasulullah SAW.103
Pembahasan sanad merupakan sandaran yang sangat prinsipil dalam ilmu hadis dan
merupakan jalur utama untuk mencapai tujuannya yang luhur, yakni membedakan antara
hadis yang diterima (makbul) dan hadis yang ditolak (mardud). Abdullah bin al-Mubarak
berkata ”Sanad menurutku termasuk bagian agama. Seandainya tidak ada sanad, maka
setiap orang dapat berbicara sekehendaknya. Lalu apabila ditanyakan kepadanya,
“Siapakah yang meriwayatkan (hal itu) kepadamu?, maka ia akan tinggal diam"104

Contoh sanad dalam sebuah hadist berikut:

Terjemahnya:
“Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah
sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang
lainnya”. (Al-Hadist)
Dalam hadist tersebut yang dinamakan sanad adalah pada kalimat berikut:

Terjemahnya:

103
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit., hlm. 90.

104
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 359

88
“Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya
dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:...”105.
B. Kedudukan Sanad

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang


diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad
suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan
hadits yang shahih atau tidak shahih, untuk diamalkan.106
Muhadditsin selalu berhati-hati ketika menerima hadits, kecuali jika mereka
mengetahui bahwa perawinya orang yang tsiqah. Hanya hadits yang diterima dari sahabat
yang tidak dipersyaratkan untuk diterima periwayatannya meskipun hal itu bukan tidak
berhati-hati dalam menerima hadits. Hadits yang diterima dari sahabat diterima bersandar
pada kaidah yang mengatakan bahwa “seluruh sahabat adil.”107
Beberapa persyaratan penerimaan hadits pada masa sahabat, yaitu:
1. Penyampai hadits di kalangan sahabat;
2. Berani bersumpah bahwa ia tidak berdusta;
3. Harus menghadiri saksi yang mengetahui secara langsung perihal hadits yang
disampaikan.108
Dalam kaitannya dengan sanad, ada hadits dan atsar yang menerangkan keutamaan
sanad, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau
berkata, “Ilmu ini (hadits ini) merupakan dalil agama. Oleh karena itu, telitilah orang-
orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka.”109
Abdullah Ibnu Mubarak menjelaskan bahwa menerangkan sanad hadits termasuk
tugas agama. Perumpamaan orang yang mencari hukum agamanya tanpa memerlukan
sanad bagaikan orang yang menaiki loteng tanpa tangga. Sedangkan as Syafi’i berkata,

105
http://Abatasa.sanad dan matan hadist.pustaka.html

106
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit., hlm. 100.

107
Mustofa Hasan, op.cit., hlm. 71.

108
Ibid.

109
Ibid.

89
“Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad, sama dengan orang
yang mengumpulkan kayu api pada malam hari.110
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya
hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung para perawinya adalah
suatu keistimewaan dari Allah, khususnya kepada orang-orang Islam.111
A. Pengertian Matan Hadits
Matan secara bahasa berarti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi
(tanah). Sedangkan secara terminologi, matan berarti, sesuatu yang berakhir padanya
(terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan. Atau, dapat juga diartikan sebagai: lafaz
Hadits yang memuat berbagai pengertian. Dari Hadits berikut:

Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami


Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, Telah menceritakan kepada kami 'Abd al- Wahhab
al-Tsaqafi, ia berkata, Telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas,
dari Nabi SAW, beliau bersabda, Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia
akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya
daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang hanya karena Allah SWT, dan
bahwa ia membenci kembali-kepada-kekafiran sebagaimana ia membenci masuk ke dalam
api neraka "

Maka, lafaz:

110
Ibid.

111
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit., hlm. 103.

90
adalah merupakan matan dari Hadits tersebut. Matan hadits menjadi tujuan pembahasan-
pembahasan dalam mushthalah hadis untuk mengetahui matan mana yang dapat dinisbatkan
kepada orang yang disebut sebagai pembicaranya dan matan mana yang tidak.112

C. Kandungan Matan

Yang dimaksud dengan "kandungan matan" di sini adalah teks yang terdapat di dalam
matan suatu Hadits mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan, yang disandarkan kepada
Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu Hadits.
Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits adalah karena
adanya periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma'na), yang telah berlangsung
sejak masa Sahabat, meskipun di kalangan para Sahabat sendiri terdapat kontroversi
pendapat mengenai periwayatan secara makna tersebut.

D. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan

A. Dari Segi Matan


1. al- Riwayah Bi al-Ma’na
Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu
Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya
periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-ma'na), bukan
berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW. Jadi,
periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya perbedaan
kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits. Suatu hal yang perlu dipahami,
sebagaimana yang telah diuraikan pada bab terdahulu, bahwa tidak seluruh Hadits ditulis
oleh para Sahabat pada masa Nabi SAW masih hidup. Dan, bahkan keadaan yang
demikian terus berlanjut sampai pada masa Sahabat dan Tabi'in, sebelum inisiatif
penulisan dan pembukuan Hadits secara resmi diambil oleh Khalifah 'Umar ibn 'Abd al-
'Aziz di penghujung abad pertama Hijriah dan di awal abad kedua Hijriah. Selama masa
tersebut, sebagian dari Hadits-Hadits itu, terutama yang terdapat pada perbendaharaan
Sahabat dan Tabi'in yang menolak untuk menuliskan Hadits, diriwayatkan hanya melalui
lisan ke lisan.

112
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 333

91
Dalam hal periwayatan Hadits tersebut, yang memungkinkan untuk diriwayatkan oleh
para sahabat sebagai saksi pertama sesuai/sebagaimana menurut lafaz atau redaksi yang
disabdakan Rasul SAW (riwayat bi al-lafzh), hanyalah Hadits dalam bentuk sabda (aqwal
al-Rasul). Sedangkan Hadits-Hadits yang tidak dalam bentuk perkataan, seperti Hadits
Afal (perbuatan-per- buatan) dan Hadits Taqrir (pengakuan dan ketetapan) Rasul SAW,
hanya dimungkinkan diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma'na).

Hadits-Hadits yang dalam bentuk aqwal pun, tidak seluruhnya dapat diriwayatkan
secara lafaz. Hal tersebut disebabkan tidak mungkin seluruh sabda Nabi SAW itu dihafal
secara harfiah oleh para Sahabat dan demikian juga oleh Tabi'in yang datang kemudian.
Sebab lainnya, juga tidak semua Sahabat mempunyai kemampuan menghafal dan tingkat
kecerdasan yang sama, dan hal ini memberi peluang terjadinya perbedaan redaksi dan
variasi pemahaman terhadap redaksi Hadits yang diterima mereka dari Nabi SAW, yang
selanjutnya akan berpengaruh ketika mereka meriwayatkannya kepada Sahabat yang
tidak mendengar secara langsung dari Nabi SAW, atau kepada para Tabi'in yang datang
kemudian.

Selain itu, terdapat sebagian Sahabat yang membo¬lehkan periwayatan Hadits secara
makna. Di antara mereka itu adalah: 'Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Darda', Anas ibn Malik,
Aisyah, 'Amr ibn Dinar, 'Amir al-SyaTa, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. Abd Allah ibn
Mas'ud, misalnya, ketika meriwayatkan hadits kadang-kadang mengatakan “Bersabda
Rasulullah SAW begini, atau seperti ini, atau mendekati pengertian ini”.

Aisyah r.a. suatu ketika menjawab pertanyaan 'Urwah ibn Zubair ketika Ibn Zubair
menanyakan kepadanya tentang perbedaan redaksi dari suatu Hadits yang diperolehnya
melalui Aisyah. Maka dia (Aisyah) menjawab, "Apakah engkau mendengar perbedaan
dalam maknanya?" Aku (Ibn Zubair) mengatakan, "Tidak." Aisyah selanjutnya
mengatakan, "Hal tersebut (periwayatan dengan redaksi yang berbeda, namun maknanya
sama) tidak mengapa (yaitu boleh) untuk dilakukan."

Di kalangan Tabi'in dan Ulama yang datang kemudian, juga ada yang membolehkan
periwayatan Hadits secara makna, seperti Al-Hasan al-Bashri, Ibrahim al-Nakha'i, dan
'Amir al-Sya'bi. Mereka memberikan isyarat kepada para pendengar atau yang menerima
riwayat mereka bahwa sebagian Hadits yang mereka riwayatkan tersebut adalah secara
makna. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara mengiringi riwayat mereka itu dengan
kata-kata “sebagaimana sabda beliau” , atau dengan kata-kata “dan yang seumpama ini”.

92
2. Meringkas dan menyederhanakan hadits
Ibnu hajar al-‘Atsqalani mengatakan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan
peringkasan hadits dengan beberapa syarat.
a. Yang meringkas harus orang yang benar-benar menguasai dan ahli dalam
bidang hadits dengan mengetahui arti dan makna kandungan hadits.
b. Tidak membuang sebagian matan yang masih berkaitan dengan ringkasan,
seperti membuang kalimat istitsna’ (pengecualian) syarat atau jawab, ghayah
(penghinggaan) ataupun yang lain.
c. Tidak menghilangkan esensi dan inti dari hadits itu sendiri.
d. Ringkasan hadits sudah mewakili dari matan yang dibuang.
e. Yang meringkas bukan seorang perawi hadits yang bersangkutan.
f. Jika yang meriwayatkan perawi hadits tersebut maka disyaratkan ia harus
meriwayatkan hadits secara sempurna dan utuh sebelumnya.
3. Idraj (Penyelipan dalam hadits)
Idraj ialah penyelipan dalam matan atau sanad oleh perawi dari kalangan sahabat
atau yang lain, sehingga perawi lain menyangka selipan itu dari matan atau sanad.
Dan disyaratkan tanpa adanya penjelasan bahwa penyelipan itu bukan termasuk
hadits. Hadits yang terdapat idraj di dalamnya dinamakan hadits mudraj. Penyelipan
ini terlaku pada matan dan juga sanad. Idraj pada matan dibagi menjadi tiga.
 Idraj pada awal matan
 Idraj pada tengan matan
 Idraj pada akhir matan
4. al-Qolb fi al-Matan
Sebab al-Qolb fi al-Matan ini berlaku pada hadits maqlub. Pengertian hadits
maqlub ialah perubahan dalam matan dan sanad hadits. Adalakalanya dengan terbalik
lafadz yang seharusnya diawal diletakkan diakhir atau sebaliknya. Hadits ini dibagi
menjadi dua, yaitu maqlub dalam matan dan maqlub dalam sanad.
5. Idhtirab
Hadits yang terdapat idhtirab dinamakan hadits mudhtarib. Definisinya yaitu satu
hadits yang berbeda-beda cara periwayatannya. Satu perawi meriwayatkannya dengan
cara lafadz “A” dan yang lain dengan lafadz “B”. tapi sebenarnya hadits itu bisa
dikatan mudhtarib jika riwayatnya sama dan keduanya tidak bisa ditarjih.
6. Ziyadat al-Tsiqat

93
Penyebabnya ialah penambahan redaksi hadits oleh perawi yang tsiqah adil
disbanding hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah yang lainnya.

B. Dari Segi Sanad


1. Idraj
Penjelasan idraj sudah diterangkan diatas. Hanya saja pada bagian ini termasuk idraj
dalam sanad sehingga menjadikan perbedaan dalam matan.113
2. al-Qolb fi al-Matan
3. Idhtirab
4. Ziyadat al-Tsiqat

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari dua sudut pandang, yakni matan dan sanad, penyebab perbedaan matan hadis
sebatas pengetahuan pemakalah hanya berkisar pada enam sebab. Sebab-sebab itu adalah
periwayatan secara makna, penyederhanaan hadits, penyisipan (idraj), pebalikkan (qalb),
idhtirab, penambahan oleh perawi tsiqat. Secara prinsip perbedaan matan timbul dari
periwayatan secara makna. Akan tetapi setelah berkembangnya zaman bertambah pula
sebab-sebab itu. Mulai dari penyederhanaan hadits sampai penambahan perawi tsiqat.
Tiga dari enam sebab diatas merupakan adanya cacat pada perawi. Ketiga sebab itu
adalah penyisipan (idraj), pebalikkan (qalb) dan idhtirab. Dengan sebab-sebab diatas
maka dapat diketahui perbedaan matan suatu hadits. Karena mengetahui penyebab akan
memudahkan dalam memahami suatu akibat.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami sebagai penulis mengakui akan masih banyaknya
kekurangan dan kecacatan dalam makalah ini. Untuk itu kami sangat memohon untuk
pembaca agar dapat mengajukan kritik dan saran sebagai acuan perbaikan makalah kami.

113
http://alfiraalbalaghi.blogspot.com/2013/01/sebab-sebab-perbedaan-matan-hadis.html?m=1 (diakses
pada 20 September 2019 pukul 01.22 WIB

94
DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Jumantoro, Totok. 1997. Kamus Ilmu Hadits. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, Mustofa. 2012. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
http://alfiraalbalaghi.blogspot.com/2013/01/sebab-sebab-perbedaan-matan-hadis.html?m=1
(diakses pada 20 September 2019 pukul 01.22 WIB)
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 3

95
HADITS DITINJAU DARI KUANTITAS RAWI :
HADITS MUTAWATIR, MASYHUR, AZIZ DAN GHARIB

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.
Disusun Oleh:

KELOMPOK 7

Binta Maulidah Octaviana (11180510000011)

Arahman Ajie Nabawi (11180510000024)

Anadya Tiara Athaya Jinan (11180510000321)

Wiwin Winarsih (11180510000354)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

96
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadits menurut etimologi berarti “baru”, lawan kata dari kata “lama”. Adapun
pengertian ilmu hadits menurut terminologi, para ulama mendefinisikannya dengan
rumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Meskipun
demikian, jika kita teliti dari semua rumusan itu, kita dapat menyimpulkan hadis ke
dalam tiga pengertian, yaitu114:

1. Ilmu Hadits ialah ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang
dihubungkan dengan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan yang beliau ucapkan,
atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni
berupa sesuatu yang dilakukan di depan Nabi Saw dan perbuatan itu tidak dilarang
olehnya), atau sifat-sifat Nabi Saw termasuk tingkah lakunya yang terjadi sebelum
beliau diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja
yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in. Pengertian ilmu hadis seperti ini
dikenal dengan istilah “Ilmu Riwayatu Al-Hadis”.

2. Ilmu Hadits ialah ilmu tentang sistem atau metode untuk meneliti keadaan sanad-
sanad hadits dari segi muttasil dan munqathi’nya dan keadaan rawi-rawi hadis dari
segi dhabit dan adilnya. Pengertian ilmu hadis seperti ini dikenal dengan istilah “Ilmu
Ushul Hadis”.

3. Ilmu Hadits ialah ilmu tentang pembahasan terhadap makna-makna dan maksud-
maksud yang dikandung oleh lafadz-lafadz hadis berdasarkan kaidah-kaidah bahasa
Arab, dan aturan-aturan syari’ah, serta kesesuaiannya dengan tingkah laku Nabi Saw.

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang

114
Muhammad Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: PUSTAKAPELAJAR, 2006), hlm. 37

97
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, gagasan ini didukung oleh sebagian ulama ushul hadits seperti
diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun).
Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan
tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua
bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.115

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Pengertian Rawi
2. Pengertian, Macam-macam, Wujud, dan Sumber-sumber Hadits Mutawatir
3. Pengertian, Hukum dan Pembagian Hadits Masyhur Berdasarkan Tempat
Kemasyhurannya
4. Pengertian Hadits Aziz
5. Pengertian Hadits Gharib

115
https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/

98
BAB II

PEMBAHASAN

A. Rawi

1. Pengertian
Rawi menurut istilah adalah seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam
sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah
orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits.116 Para ulama
mengklasifikasikan para rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadis yang mereka
riwayatkan dan peran mereka dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa tingkat dan
setiap tingkat diberi julukan khusus, yaitu sebagai berikut.

a. Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadis beserta sanadnya, baik ia


mengetahui kandungan hadis yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan.

b. Al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyidi an-Nas, al-Muhaddits


adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadits, baik dari segi
riwayah maupun dirayah, hafal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui
keadaan mayoritas rawi zamannya beserta hadits-hadits yang mereka riwayatkan;
tambahan dia juga memiliki keistimewaan sehingga dikenal pendirian dan
ketelitiannya.117 Dengan kata lain, beliau menjadi tumpuan pertanyaan umat
tentang hadits dan para rawinya sehingga menjadi masyhur dalam hal ini, dan
pendapatnya menjadi dikenal karena banyak keterangan yang ia sampaikan lalu
ditulis oleh para pendirinya. Ibnu al-Jazari berkata, “Muhaddits adalah orang
yang menguasai hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi
dirayah.118

116
M. Alfatih suryadilaga dkk, Ulumul Hadist, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 36

117
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Mesir), hlm. 197, seperti yang dikutip dalam buku
karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 67

Syarh asy-Syarh, hlm. 3, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung:
118

Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 67

99
c. Al-Hafizh. Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama
menjelaskan bahwa al-Hafizh adalah gelar orang yang sangat luas
pengetahuannya tentang hadits dan ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang
diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.119

d. Al-Hujjah. Gelar ini diberikan kepada al-Hafizh yang terkenal tekun. Apabila
seorang hafiz sangat tekun, kuat dan rinci hafalannya akan sanad dan matan
hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah. Ulama muta’akhhirin mendefinisikan al-
hujjah sebagai orang yang hafal tiga ratus ribu hadits berikut sanad dan
matannya.

e. Al-Hakim adalah rawi yang menguasai seluruh hadits sehingga hanya sedikit
hadits yang terlewatkan.

f. Amir al-Mu’minin fi al-Hadits adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada


orang yang kemampuannya melebihi semua orang di atas, baik hafalannya
maupun kedalaman pengetahuannya tentang hadits dan ‘illat-’illat-nya, sehingga
ia menjadi rujukan bagi para hakim dan hafiz serta yang lainnya.120

B. Hadits Mutawatir

1. Pengertian
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada pancaindra.121
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah mereka dengan bilangan. Oleh karena
itu, sebagian pendapat menyatakan apabila jumlah mereka telah mencapai tujuh puluh
orang, maka haditsnya dinilai mutawatir. Mereka berpegang kepada firman Allah
SWT.

119
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 67

120
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 68

121
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 428

100
‫َاي أَت ْه ِلكنَا ِب َما‬
َ ‫ب لَ ْو ِشئْتَ أَ ْهلَ ْكتَهم ِمن قَبْل َو ِإي‬ َ ‫س ْبعِينَ َرجالً ِل ِميقَا ِتنَا فَلَ َما أ َ َخذَتْهم‬
ِ ‫الرجْ فَة قَا َل َر‬ َ ‫سى قَ ْو َمه‬َ ‫َار مو‬ َ ‫اخت‬ ْ ‫َو‬
‫ار َح ْمنَا َوأ َنتَ َخيْر‬ْ ‫ض ُّل ِب َها َمن تَشَاء َوتَ ْهدِي َمن تَشَاء أَنتَ َو ِليُّنَا فَا ْغ ِف ْر لَنَا َو‬ ِ ‫ِي ِإّلَ ِفتْنَتكَ ت‬
َ ‫سفَ َهاء ِمنَا ِإ ْن ه‬
ُّ ‫فَ َع َل ال‬
﴾١٥٥﴿ َ‫ْالغَافِ ِرين‬

Artinya: Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon
tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.
(Q.S Al-A’raf [7]:155)

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang. Pendapat yang lain
lagi membatasinya dengan dua belas orang. Dan ada pula yang membatasinya kurang
dari dua belas orang, hingga ada yang membatasinya dengan empat orang dengan
pertimbangan bahwa saksi zina adalah empat orang. Akan tetapi, pendapat yang benar
adalah bahwa semua batasan itu tidak dapat menjamin sepenuhnya, melainkan yang
sangat dipertimbangkan adalah adanya suatu keyakinan atas kebenaran berita.122

2. Macam-macam Hadits Mutawatir


Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan
mutawatir maknawi.
Hadits mutawatir lafzhi adalah hadits yang mutawatir riwayatnya dengan satu
redaksi. Adapun hadits mutawatir maknawi adalah suatu hadits yang diriwayatkan
oleh banyak rawi yang mustahil berbuat dusta atau berdusta keseluruhan secara
kebetulan. Mereka meriwayatkan berbagai peristiwa dengan berbagai ragam
ungkapan, tetapi intinya sama; seperti mengangkat tangan dalam berdoa. Tindakan
Nabi Saw. ini diriwayatkan dalam seratus hadits, tetapi dalam berbagai kejadian yang
berbeda-beda.
Syarat-syarat hadits mutawatir maknawi sama dengan syarat-syarat pada hadits
mutawatir lafzhi. Perbedaan di antara keduanya hanya terdapat pada matannya. Matan
hadits mutawatir lafzhi itu sama, sedangkan dalam hadits mutawatir maknawi secaara

122
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 429

101
radaksional tidak sama tetapi maknanya sama. Ini adalah suatu hal yang telah
disepakati, tidak ada problem dan tidak ada perbedaan.123

3. Wujud Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir itu banyak sekali. Cukup sebagai buktinya, kita lihat beberapa
syiar Islam dan beberapa kewajiban dalam Islam, seperti sholat, wudhu, dan puasa.
Semua tata cara itu diriwayatkan oleh para sahabat dari Nabi Saw., lalu diriwayatkan
dari para sahabat oleh sejumlah tabi’in yang mencapai derajat mutawatir dan begitu
seterusnya pada generasi-generasi berikutnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menetapkan banyaknya hadits mutawatir dengan cara yang
mudah dan jelas. Ia berkata “Suatu cara terbaik untuk menetapkan bahwa hadits
mutawatir itu ada dan dalam jumlah banyak beredar di antara ahli ilmu serta dapat
dipastikan sebagai karya asli para penyusunnya. Apabila mereka sepakat
mengeluarkan suatu hadits dan sanadnya banyak sehingga menurut adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta, maka yang seperti ini banyak terdapat dalam
kitab-kitab hadits yang masyhur.”124

4. Sumber-sumber Hadits Mutawatir


Kitab-kitab yang disusun khusus memuat hadits-hadits mutawatir lafzhi dan
maknawi cukup banyak, tetapi barangkali yang paling lengkap adalah kitab al-Suyuthi
yang ia nyatakan “Saya susun sebuah kitab yang belum ada duanya tentang hadits
mutawatir. Kitab itu kuberi judul ‘al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-
Mutawatirah’. Hadits-haditsnya kususun berdasarkan bab-babnya, dan setiap hadits
kusertai sanad-sanadnya. Kemudian kitab itu saya ringkas dalam sebuah kitab juz’
kecil yang kuberi judul ‘Qathf al-Azhar’. Teknik peringkasan yang kupergunakan
adalah dengan mengambil salah satu sanad dari salah seorang imam yang
mengeluarkannya, lalu aku datangkan sejumlah hadits yang diriwayatkan dengannya.

123
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 431

Syarh al-Nukhbah, hlm. 6-7, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis,
124

(Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 432

102
Di antara hadits tentang telaga kuringkas dari riwayat lima puluh orang sahabat lebih,
hadits tentang “mengusap kedua sepatu” dari riwayat tujuh puluh orang sahabat,
hadits tentang “mengangkat tangan dalam sholat” dari riwayat sekitar lima puluh
orang, dan hadits-hadits Nadhdharallahu imra’an sami’a maqalati dari riwayat
sekitar tiga puluh orang”.125
Karya al-Suyuthi ini ditinjau kembali oleh al-Muhaddits Abu Abdillah
Muhammad bin Jafar’ al-Kattani dalam kitabnya Nazhm al-Mutanatsir min al-Hadits
al-Mutawatir yang telah dicetak dalam ukuran kecil. Kemudian setelah itu datang al-
Ustadz Syekh Abdul Aziz al-Ghammari melakukan hal yang sama dalam kitabnya
Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musytahirah fi Ma Waqa’a min al-Ziyadah ‘ala al-Azhar al-
Mutanatsirah fi al-Hadits al-Mutawatirah. Dalam kitab yang disebut terakhir ini, ia
menyebutkan jumlah hadits mutawatir yang benar.

C. Hadits Masyhur

1. Pengertian
Al-Syuhrah (kemasyhuran) secara etimologis berarti ‘tersebar’ dan ‘tersiar’.
Adapun pengertian asy-syuhrah dalam kaitannya dengan hadits masyhur istilah ahli
hadits, menurut al-Hafizh Ibnu Hajar:
Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua.

2. Hukum Hadits Masyhur


Sering muncul anggapan bahwa hadits masyhur itu senantiasa sahih, karena
sering kali seorang peneliti dengan pandangan sepintas dapat terkecoh oleh
berbilangnya rawi, yang mengesankan kekuatan dan kesahihan sanad. Akan tetapi
para muhaddits tidak peduli dengan berbilangnya sanad apabila tidak disertai sifat-
sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat sehingga dapat
dipakai hujah.
Dengan demikian hadits masyhut dari segi diterima dan ditolaknya dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu sahih, hasa, dan dhaif.

125
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Mesir), hlm. 373-374, seperti yang dikutip dalam
buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 433

103
Contoh hadits masyhur yang sahih adalah:

‫إِذَا َجا َء أ َ َحدك ْم إِلَى ْالجمعَ ِة فَ ْليَ ْغت َ ِس ْل‬

Artinya: Apabila salah seorang di antara kamu hendak mendatangi sholat Jumat,
maka hendaklah ia mandi.
(HR. Bukhari no. 919 dan Muslim no. 845)

Hadits ini diriwayatkan dari Nabi melalui banyak sanad.126

Artinya: Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahuanhu,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak boleh membiarkan bahaya
datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya.

Hadits ini diriwayatkan dari Nabi melalui banyak sanad yang dapat
menempatkannya pada derajat hasan atau sahih. Hadits ini dinilai hasan oleh al-
Nawawi dalam kitab al-Arba’iin.127

3. Pembagian Hadits Masyhur Berdasarkan Tempat Kemasyhurannya


Ditinjau dari sedi lingkungan tersiar dan tersebarnya, hadits masyhur dapat dibagi
menjadi banyak bagian. Sebab terkadang suatu hadits dikatakan masyhur di kalangan
ahli hadits dan ulama lain serta orang umum dan terkadang suatu hadits juga
dikatakan masyhur pada pembicaraan banyak orang, meskipun hadits tersebut hanya
diriwayatkan melalui satu sanad, bahkan terkadang tidak bersanad sama sekali.

Berikut adalah beberapa contoh hadits masyhur menurut pembagian diatas:

126
Al-Bukhari, al-Jumuah, 2:2,3:5; Muslim, 3:2; dan kitab lainnya, seperti yang dikutip dalam buku karya
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.435

127
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.435

104
a. Hadits Masyhur di kalangan ahli hadits saja, seperti hadits Anas:

Artinya: Bahwasanya Rasulullah Saw., melakukan qunut setelah rukuk selama


satu bulan untuk mohon kecelakaan atas Suku Ri’I dan Suku Dzakwan (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)128

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sulaiman al-Taimi dari
Abu Mijlaz dari Anas. Hadits ini diriwayatkan pula dari Anas oleh selain Abu Mijlaj,
dari Abu Mijlaz oleh selain Sulaiman, dan dari Sulaiman oleh Jama’ah. Jadi hadits ini
masyhur di kalangan ahli hadits. Ada pula ahli hadits lain yang menilai gharib
terhadap hadits ini, karena pada umumnya riwayatnya melalui al-Taimi dari Anas
tanpa perantara.

b. Hadits Masyhur di kalangan muhadditsin dan ulama lain serta masyarakat


umum, seperti hadits:

‫ْالم ْس ِلم أَخو ْالم ْس ِل ِم‬

Artinya: Setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain.129

Hadits Masyhur di kalangan fuqaha, seperti hadits

َ َ‫ ّل‬: ‫صلَى هللا عليه وسلَ َم قَا َل‬


َ‫ض َر َر َوّل‬ َ ِ‫ي هللا َع ْنه أ َ َن َرس ْو َل هللا‬ ِ ‫َان ْالخد ِْري َر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫سعَدْ ب ِْن ِسن‬ َ ‫َع ْن أَبِي‬
َ ‫س ِع ْي ٍد‬
‫سالً َع ْن‬ َ ‫ َو َر َواه َما ِلك فِي ا ْلم َو‬،ً ‫طنِي َو َغيْره َما م ْسنَدا‬
َ ‫طأ م ْر‬ ْ ‫سن َر َواه ابْن َما َجه َوالدَارق‬
َ ‫ار [ َح ِديْث َح‬
َ ‫ض َر‬
ِ
َ ‫ط أ َبَا‬
ً ‫س ِع ْي ٍد َولَه طرق يقَ ِوي َب ْعض َها َب ْعضا‬ َ َ‫سلَ َم فَأ َ ْسق‬
َ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫َع ْمرو ب ِْن يَحْ يَى َع ْن أَبِ ْي ِه َع ِن النَبِي‬

Artinya: Tidak boleh membiarkan bahaya datang, dan tidak boleh mendatangkan
bahaya.

128
Al-Bukhari dalam bab Witir, 2:26; kitab al-Magahazi, 5:105; Muslim, 2:136, seperti yang dikutip dalam
buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.436

129
Al-Bukhari dalam bab al-Mazhalim, 3:128; Muslim dalam bab al-Birr wa al-Shilah, 8:18, seperti yang
dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.436

105
c. Hadits Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh, seperti hadits:

‫طأ َ فَلَه أَجْ ر‬


َ ‫ان َوإِذَََ ا اجْ ت َ َهدَ ث َم أ َ ْخ‬
ِ ‫اب فَلَه أَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫إِذَا َاجْ ت َ َهدَ ْال َحا ِكم فَأ‬

Artinya: Apabila seorang hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan
benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia memnghakimi lalu
berijtihad untuknya dan salah, maka ia mendapat satu pahala.130

d. Hadits Masyhur di kalangan ulama ahli bahasa Arab, seperti hadits:

Artinya: Sebaik-baiknya hamba adalah Shuhaib yang seandainya ia tidak takut


kepada Allah (pun) ia tidak maksiat kepada-Nya. Hadits ini tidak memiliki
sanad.131

e. Hadits Masyhur di kalangan ahli pendidikan, seperti hadits:

َ ْ‫أ َّدبَنِي َربِِّي فأَح‬


‫سنَ تَأدِيبِي‬

Artinya: Telah mendidikku Rabb-ku dan Ia mendidikku dengan baik. Kita sama
sekali tidak ragu terhadap makna hadits ini, tetapi sanadnya dhaif.132

130
Al-Bukhari dalam Kitab al-I’tisham, 9:108; Muslim dalam kitab al-Aqdhiyah, 5:131, seperti yang dikutip
dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.437

131
Al-Maqashid al-Hasanah, hlm. 449; Kasyf al-Khafa’, 2:323, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin
‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.438

Al-Sam’ani, Adab al-Imla’, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis,
132

(Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.438

106
f. Hadits Masyhur di kalangan umum, seperti hadits:

َ ‫ إِذَا َرأَى فِ ْي ِه‬،‫ْالمؤْ ِمن ِم َرآة أ َ ِخ ْي ِه‬


ْ َ‫عيْبا ً أ‬
‫صلَ َحه‬

Artinya: Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudaranya.

D. Hadits Aziz

1. Pengertian
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi,
sedangkan hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang lebih
dari tiga.133 Ibnu Hajar dan lainnya berpendapat bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi. Mereka membedakan antara hadits ‘aziz dan hadits
masyhur dengan perbedaan yang sempurna. Mereka menggunakan istilah masyhur
khusus untuk hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih.
Relevansi Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Hibban beranggapan bahwa periwayatan
oleh dua orang dari dua orang - dari awal hingga akhir sanad - sama sekali tidak dapat
kita jumpai. Aku (al-Hafizh) berkata: Apabila yang dikehendaki adalah bahwa
periwayatan oleh dua orang saja dan dua orang saja itu sama sekali tidak dapat kita
jumpai, itu dapat diterima. Namun gambaran hadits masyhur yang kita bahas ini dapat
dijumpai yakni hadits yang tidak diriwayatkan oleh orang yang kurang dari dua dari
rawi lain yang kurang dari dua pula.”
Penjelasan al-Hafizh itu sangat tepat karena apabila suatu hadits dalam sautu
tingkat diriwayatkan oleh dua orang rawi yang kemudian pada tingkat berikutnya
diriwayatkan oleh rawi yang lebih dari dua orang, maka hadits tersebut masih tetap
termasuk kategori hadits ‘aziz, karena jumlah rawi yang paling sedikit itu menentukan
nasib riwayat rawi yang lebih banyak.
Contoh Hadits ‘Aziz adalah hadits:

َ‫اس أَ ْج َم ِع ْين‬
ِ َ‫ َّليؤْ ِمن أ َ َحدك ْم َحتَى أَك ْونَ أ َ َحبَ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

133
Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyah, hlm. 90 & 92, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr,
‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.443

107
Artinya: Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih
dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Syaikhani134 dari Anas; dan al-Bukhari


meriwayatkannya melalui jalan lain dari Abu Hurairah r.a. Hadits ini dari Anas
diriwayatkan oleh Qatadah dab Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan
oleh Syu’bah dan Sa’id. Dan Abdul Aziz diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ulayyah dan
Abdul Warits. Dan dari masing-masing rawi terakhir ini diriwayatkan oleh jemaah.

Hukum hadits ‘aziz sama denga hukum hadits masyhur, yakni beragntung kepada
keadaan sanad dan matannya. Oleh karena itu, apabila pada kedua unsur itu telah
terpenuhi kriteria hadits sahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang
bersangkutan adalah sahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan dan ada pula
yang dhaif. Hadits sahih tidak disyaratkan harus berupa hadits ‘aziz, bahkan terkadang
berupa hadits gharib.

E. Hadits Gharib

1. Pengertian
Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri, atau
orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muhadditsin, yang dimaksud
dengan hadits gharib adalah hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik
menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya, maupun
menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun.135

Hadits yang demikian dinamai gharib karena ia seperti orang asing yang
menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sisinya atau karena hadits tersebut jauh
dari tingkat masyhur, terlebih lagi tingkat mutawatir.

134
Al-Bukhari, Kitab al-Imam, 1:8;Muslim, 1:49, Redaksi ini mereka riwayatkan dari Anas r.a, seperti yang
dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.444

135
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.419

108
Para ulama membagi hadits gharib dan letak terjadinya ke-ghariban menjadi
beberapa bagian yang secara garis besarnya kembali kepada dua bagian ini.

a. Gharib matnan wa isnadan (hadits gharib dari segi matan dan sanadnya) adalah
hadits yang tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad. Contohnya adalah
hadits Muhammad bin Fudhail dari Umarah bin al-Qa’qa’ dari Ibnu Zur’ah dari
Abu Hurairah r.a., katanya Rasulullah Saw., bersabda:

َ َ‫ س ْب َحان‬، ‫َّللاِ َو ِب َح ْم ِد ِه‬


ِ‫َّللا‬ َ ‫َان ِإلَى‬
َ َ‫الرحْ َم ِن س ْب َحان‬ ِ َ‫َان ِفى ْال ِميز‬
ِ ‫ َح ِبي َبت‬، ‫ان‬ ِ ‫ ث َ ِقيلَت‬، ‫ان‬
ِ ‫س‬ ِ ‫َان َعلَى‬
َ ‫الل‬ ِ ‫َان َخ ِفي َفت‬
ِ ‫َك ِل َمت‬
‫ْالعَ ِظ ِيم‬

Artinya: Ada dua kalimat yang dicintai Allah yang Maha Pengasih dan ringan
diucapkan tetapi berat dalam mizan, yaitu Subhanallah wa’bihamdihi
subhanallahil-azhim (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Mahasuci Allah
yang Maha Agung). (HR. Muttafa’alaih)136

Hadits ini di kalangan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, lalu
darinya hanya diriwayatkan oleh Abu Zur’ah, lalu dari Abu Zur’ah hanya
diriwayatkan oleh ‘Umarah, lalu dari ‘Umarah hanya diriwayatkan oleh
Muhammad bin Fudhail.

b. Gharib isnadan la matnan (hadits gharib dari segi sanadnya tidak dari segi
matannya) adalah hadits yang msyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dan
seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi
meriwayatkannya dari jalur yang tidak masyhur. Contohnya adalah sebagaimana
disebutkan oleh al-Turmudzi dakam al-Ilal, yaitu hadits Abu Musa al-Asy’ari
dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda:

َ ‫ َو ْالكَافِر يَأْكل فِ ْي‬،ٍ‫احد‬


ٍ‫س ْبعَ ِة أ َ ْمعَاء‬ ِ ‫ا َ ْلمؤْ ِمن يَأكل فِي ِم ًع َو‬

Artinya: Orang kafir itu makan sepenuh 7 usus, sedangkan orang yang beriman
makan sepenuh satu usus.

136
Al-Bukhari pada akhir kitab Shahih-nya, Muslim, 8:80, seperti yang dikutip dalam buku karya Nuruddin ‘Itr,
‘Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.420

109
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Matan hadits ini dikenal dari Nabi Saw.,
melalui banyak jalur. Syaikhani mengeluarkannya dalam shahihain melalui jalur
Abu Hurairah dan jalur Ibnu Umar r.a. dari Nabi Saw. Adapun hadits Abu Musa
dia atas dikeluarkan oleh Muslim melalui Abu Kuraib. Hadits ini dinilai gharib
oleh banyak ulama dari segi ini. Mereka menyebutkan bahwa Abu Kuraib
meriwayatkannya dengan menyendiri. Di antara yang menilai demikian adalah al-
Bukhari dan Abu Zur’ah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari ulasan singkat yang telah penulis jelaskan, dapatlah ditarik kesimpulan pada
poin-poin berikut ini.
1. Hadits ditinjau dari bilangan penukilannya sampai dibukukan saat ini dapat dibagi ke
dua macam; hadits mutawatir lafhzi dan hadits ahad.
2. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang menurut
adat (kebiasaan) mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
3. Hadits mutawatir dibagi ke dua jenis; mutawatir lafhzi dan mutawatir ma’nawi
4. Hadits mutawatir wajib diterima dengan yakin dan wajib diamalkan.
5. Hadits ahad adalah hadits yang tidak sampai derajat mutawatir.dibagi ke tiga jenis
;pertama masyhur yaitu apabila diriwayatkan tiga orang perawi atau lebih di setiap
tingkatan tapi tidak sampai tingkat hadits mutawatir. Kedua aziz, hadits yang
perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan. Ketiga gharib
yang hadits dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun. Tentunya dalam penguraian di atas
masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca, sangat kami harapkan. Untuk itu,
apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan dalam menguraikan pokok
pembahasan, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirnya, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami dan para pembaca umumnya.

110
DAFTAR PUSTAKA

Maliki, M.A. (2006). Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: PUSTAKAPELAJAR.

Suryadilaga, M.A, dkk. (2010). Ulumul Hadist, Yogyakarta: Teras..

Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Mesir.

Nuruddin. (2012). ‘Ulumul Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Al-Bukhari, al-Jumuah, 2:2,3:5; Muslim, 3:2

Al-Bukhari dalam bab Witir, 2:26; kitab al-Magahazi, 5:105; Muslim, 2:136

Al-Bukhari dalam bab al-Mazhalim, 3:128; Muslim dalam bab al-Birr wa al-Shilah, 8:18

Al-Bukhari dalam Kitab al-I’tisham, 9:108; Muslim dalam kitab al-Aqdhiyah, 5:131

Al-Maqashid al-Hasanah, hlm. 449; Kasyf al-Khafa’, 2:323

Al-Sam’ani, Adab al-Imla’

Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyah, hlm. 90 & 92

Al-Bukhari, Kitab al-Imam, 1:8;Muslim, 1:49

111
HADITS DITINJAU DARI KUALITAS RAWI
HADITS SHAHIH, HADITS HASAN, DAN HADITS DHA’IF

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
Siti Humaeroh (11180510000020)
Fina Nahdiyana (11180510000030)
Vivin Herial (11180510000155)
Syaikhuddin Bahri Al Fikry (11180510000008)
KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

BAB I

112
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah
Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam
kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika
kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh
karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak
sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan,
sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if.
Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam
hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits
dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits Shahih, Hasan dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah
ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai Hadits
Shahih, Hasan dan Dhoif.

113
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadist Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna.
Ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka,
hadits shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna, dan yang tidak sakit. Secara terminologis, menurut Shubhi al-Shalih, hadits
shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang
‘adil dan dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir
berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).137

Menurut definisi dari Imam Nawawiy mengatakan bahwa, “Hadits shahih


adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil
lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.138
Imam Ibnu Shalah dalam kitabnya Ulum al-Hadits yang dikenal juga dengan
Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits Shahih dengan “Hadist yang
disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan dhábith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syádz (kejanggalan) dan
tidak mengandung ‘illat (cacat).139
Sedangkan dalam manzhumah Bayquni disebutkan definisi dari hadits shahih
adalah:
‫ إ ْسنَاده َولَ ْم َيشذَ أ َ ْو ي َع ْل‬... ‫ص ْل‬ َ ‫أ َ َول َها ال‬
َ َ ‫ص ِحيح َو ْه َو َما ات‬
َ ‫ م ْعت َ َمد ِفي‬... ‫ضا ِبط َع ْن ِمثْ ِل ِه‬
‫ضب ِْط ِه َونَ ْق ِل ِه‬ َ ‫َي ْر ِوي ِه َعدْل‬

137
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1998), hlm, 185.

Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
138

2013), hlm. 276.

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, (alMadinah al-Munawwarah: al-
139

Maktabah al-Islamiyah, 1972), hlm. 10.

114
“Yang pertama hadits shahih yaitu yang sanadnya bersambung tanpa adanya syadz
dan ‘illat, yang diriwayatkan dari perawi adil dan dhabit dari yang semisalnya yang
diakui kedhabitan dan penukilannya”140

2. Pembagian Hadits Shahih


Dalam ilmu hadits, hadits shahih dibagi menjadi dua bagian yaitu, Shahih Li
Dzatihi dan Shahih Li Ghairihi. Shahih li dzatihi adalah hadits shahih yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Sedangkan shahih li ghairihi adalah
hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya,
perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya
rendah).141
a. Hadits Shahih Li Dzatihi
Merupakan hadis Shahih yang memenuhi secara lengkap syarat- syarat hadis
yaitu bersambung terus sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang
sukup kuat ingatannya dari orang yang seumpama juga yang berturut- turut sampai
penghujung sanad dan terhindar dari hal yang mengganjal dan cacat. Maksud sanad
yang bersambung ialah selamat sanadnya dari terputus- putus dan gugur seorang
perawi ditengah- tengahnya..142
b. Hadits Shahih Li Ghairihi
Hadis Shahih li ghairih artinya, yang Shahih karena yang lainnya, yaitu yang
jadi sah karena dikuatkan dengan jalan sanad atau keterangan yang lain. Hadis Shahih
li ghairih ialah hadis yang tingkatannya berada dibawah tingkatan hadis Shahih li
dzatihi, hadis ini menjadi Shahih karena diperkuat dengan hadis- hadis lain. Sekiranya
kalau hadis yang memperkuat itu tidak ada maka hadis tersebut hanyalah menjadi
hadis hasan.143
c. Syarat-syarat hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung (Ittishal al-Sanad)

140
Ibid.

Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
141

2013), hlm. 277.

142
Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1997); 117

143
Ibid.

115
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiapp periwayat
dalam sanad hadits menerima riwayat hadist dari periwayat terdekat
sebelumnya. Keadaan tersebut berlangsung demikian sampai akhir sanad
hadits itu.144 Persambungan sanad itu terjadi semenjak Mukharrij Hadits atau
penghimpun riwayat hadist dalam kitabnya sampai pada periwayat pertama
dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi.
Dengan kata lain, sanad hadist tersambung sejak sanad pertama (mukharrij
hadits) sampai sanad terakhir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad
Saw., atau persambungan itu terjadi dari Nabi pada periwayat pertama
(kalangan sahabat) sampai periwayat terakhir (mukharrij hadits).145
Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadits dinamai
dengan sebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M)
menamainya dengan hadits musnad. Hadits musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr,
adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw (sebagai hadits marfu’),
sanad hadits musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang
terputus (munqathi’).146
Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadits
muttashil atau mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi, yang
dimaksud dengan hadits muttashil atau mawshul adalah hadits yang
bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi Saw
maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi Saw saja.147
M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits muttashil atau mawshul
ada yang marfu’ (disandarkan pada nabi), ada yang mawkuf (disandarkan pada
sahabat), dan ada juga yang maqthu’(disandarkan pada tabi’in). jika
dibandingkan dengan hadits musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadits

144
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabaw, (Madinah : al-Maktab al-Islami, 1972), hlm. 162.

145
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 160.

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, (alMadinah al-Munawwarah: al-
146

Maktabah al-Islamiyah, 1972), hlm. 39.

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits, terjemahan ‘Abd al-
147

Rahman Muhammad, (Kairo : al- Maktab Islamiyah, 1973), hlm. 6.

116
musnad pasti muttashil atau mawshul, tetapi tidak semua hadits muttashil atau
mawshul pasti musnad.148
Untuk mengetahu bersambung atau tidaknya suatu sanad hadits, menurut
M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai
berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Memperlajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan
periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata-kata atau metode yang dipakai
dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarani, akhbarana,
sami’tu, ‘an, anna, dan sebagainya.149
2) Periwayat Bersifat ‘Adil
Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadits
yang disebut sebagai ‘adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut
‘adil apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat
maksiat.150
Sedangkan Ibnu shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat
disebut ‘adil, yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan
tidak berbuat fasik.151
Berdasarkan pernyataan para ulama, kriteria-kriteria periwayat hadits
dinyatakan ‘adil secara kumulatif yaitu, (1) beragama Islam; (2) Baligh; (3)
berakal; (4) takwa; (5) memelihara muru’áh; (6) teguh dalam beragama; (7)
tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9) tidak berbuat bid’ah;
dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian kriteria di atas kemudian Prof. Dr. H.
Idri, M.Ag., dalam bukunya Studi Hadits meringkat menjadi empat kriteria

148
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 127-128.

149
Ibid.

150
Ibid.

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, (alMadinah al-Munawwarah: al-
151

Maktabah al-Islamiyah, 1972), hlm. 94.

117
yaitu: (1) Beragama Islam; (2) Mukallaf; (3) melaksanakan ketentuan agama;
dan (4) memelihara muru’áh.152
3) Periwayat Hadits Bersifat Dhábith
Secara sederhana kata dhabith dapat diartukan dengan kuat hafalan.
Namun, di kalangan ulama pengertian dhabith dinyatakan dengan redaksi
beragam. Ibn Hajar Al-Asqailani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa
seseorang yang disebut dhabith adalah orang kuat hafalannya tentang apa yang
telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia
menghendaki.153
Sedangkan Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhabith
adalah orang yang mendengarkan riwayat hadits sebagaimana seharusnya,
memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna
dan memiliki kemampuan demikian itu, sedikitnya dari saat mendengar
riwayat itu sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.154
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama hadits,
M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dhabith adalah:
a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah didengar
(diterimanya).
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didengar
(diterimanya).
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal dengan
baik.155
4) Terhindar dari Syadz (kejanggalan)
Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti
menyendiri (infarada). Menurut istilah ulama hadits, syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh
periwayat yang lebih tsiqah. Menurut Imam Syafi’i, suau hadits dinyatakan

152
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 163.

153
Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqailani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar, (Semarang: Maktabah
al-Munawwar, 1972), hlm. 51.

154
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1998), hlm. 128.

155
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 138.

118
mengandung syadz apabila hadits itu memiliki lebih dari satu sanad, para
periwayat hadits itu seluruhnya tsiqah, dan matan atau sanad hadits itu
mengandung pertentangan.156
5) Terhindar dari ‘Illat
Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara
lahiriah tampah shahih, maka hadits itu dinamakan hadits mu’allal, yaitu
hadits yang mengandung ‘illat. Secara bahasa, kata ‘illat berarti cacat,
kesalahan baca, penyakit, dan keburukan. Sedangkan menurut istilah hadits,
illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits.
Ibn al-Shalah, al-Nawawi dan Nut al-Din ‘Itr menyatakan bahwa illat adalah
sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits, yang menyebabkan
hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.157
Menurut al-Khathib al-Baghadadi cara untuk mengetahui illat hadits
adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan di antara
para periwayatnya, dan memerhatikan status hafalan, keteguhan, dank ke-
dhabith-an masing-masing periwayat.158
B. Hadits Hasan
1. Pengertian
Secara bahasa, hasan bermakna al-jamal ,yaitu bagus159, keindahan160.
Sedangkan,secara istilah, hadits hasan di definisikan secara beragam oleh ahli
Hadits, sebagai berikut:
a. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
‫فإنخفاَلضبطفاالحسنلذاته‬،‫ َوخبراْلحادبنقلعدلتامالضبطمتصاللسندغيرمعللوّلشاذهوالصحيحلذاته‬.
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ke dhabit-
annya, bersambung sanadnya, tidakber’illat, dan tidak ada syadz dinamakan shahih li
dzatih. Jika kurang sedikit ke dhabit-annya disebut hasan lidzatih161.

156
Ibid. hlm. 117.

157
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 170.

158
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 171.

159
ZuhdiRifa’i,MengenalImluHadits,cet-1,(Jakarta:al-Ghuraba,2008)hlm 161

160
AbdulMajidKhon,UlumulHadits,cet-3(Jakarta:Amzah,2009)hlm 159

119
‫مانقلهعدلقلياللضبطمتصاللسندغيرمعللوّلشاذ‬.
Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya,
bersambung sanadnya, tidak mengandung illat, dan tidak pula mengandung syadz 162.
b. MenurutImam at-Tirmidzi
‫كلحديثيروىاليكونفىإسنادهمنيتهمبالكذبوّليكونالحديثشاداويروىمنغيروجهنحوذالك‬.
Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh
dusta, pada matannya. Tidak terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak
hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.
Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa
jadi hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada
hakikatnya berstatus hasan. Tidak dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam
definisi tersebut disyariatkan Tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai
banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak
bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih, sebab justru at-Tirmidzi
lah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.163
c. Menurut At-Thibi
‫مسندمنقربمندرجةالثقةأومرسلثقةورويكالهمامنغيروجهوسلممنشدوذاٍوّلعلة‬.
Hadits musnad (muttasil dan marfu’)yang sanad-sanad nya mendekati derajat
tsiqah. Atau Hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada
perawi lain, dan hadits itu terhindar dari syadz (kejanggalan) dan illat (kekacauan).164
Dengan kata lain hadis hasan adalah:
‫هومااتصلسندهبنقاللعدّللذىقلَضبطهوخالمنالشذوذوالعلة‬.
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada
illat165.

161
AbdulMajidKhon,Loc.Cit

162
Idri,StudiHadits,cet-1,(Jakarta:Kencana,2010)hlm159

163
SohariSahrani,Loc.Cit

164
SohariSahrani,Ibidhlm 115

165
AbdulMajidKhon,Loc.CIt

120
Dengan kata lain ,syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut :
1) Sanadnya bersambung
2) Perawinya adil
3) Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits
shohih
4) Tidak terdapat kejanggalan (syadz)
5) Tidak ada illat (cacat)166

2. Klasifikasi
a. Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatihi adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditentukan167. Syarat untuk hadits
hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadits shahih, kecuali bahwa perawinya
hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setaraf atau
sama dengan tingkatan tersebut168.
Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatih karena jalur
periwayatannya, hanya melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan
pada umumnya, ada kemungkinan melalui jalur riwayat yang lebih dari satu atau
didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur
riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits hasan li dzatih,
tetapi jika jumlahnya banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik
derajatnya menjadi hadits shahih li ghairih169.
b. Hadits Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits-hadits dhaif yang tidak terlalu parah
(kedhaifannya) dan Diriwayatkan dengan melalui beberapa jalur.Beberapa

166
SohariSahrani,Ibidhlm 116

167
AbdulMajidKhon,Ibidhlm 161

168
AgusSolahudindanAgusSuyadi,UlumulHadits,cet-1(Bandung:PustakaSetia,2009)

hlm 146

169
ZuhdiRifa’i,Ibidhlm 167

121
periwayatan hadits yang dhaif ini Kemudian saling menguatkan, dan akhirnya naik
menjadi hasan. Sementara bila beberapa Riwayat hadits itu termasuk kategori
dha’if yang berat, seperti hadits matruk, munkar, maudhu. Dan sebagainya, maka
hadits itu tidak bisa naik menjadi hasan li ghairih170.
Hadits dha’If bisa naik menjadi hadits hasan li ghairih dengan dua syarat,
yaitu:
a. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang saling seimbang dan
lebih kuat.
b. Sebab kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetap
iringan seperti hapalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi171.172
3. Kehujjahan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits
shahih.Semua fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali
sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan
hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam
persyaratan shahih (mutasahilin) memasukannya kedalam hadits shahih, seperti al-
Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah173. Disamping itu, ada ulama yang
mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana
memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan
peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi,
menengah, dan rendah. Hadits yang sifat dapat diterima tinggidan menengah adalah
hadits shahih, sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits
hasan. Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut
hadits maqbul, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima
disebut hadits mardud.

170
Ibidhlm 166-167

171
AbdulMajidKhon,Ibidhlm 161

173
AbdulMajidKhon,Ibidhlm 161

122
4. Kitab-Kita Yang Mengandung Hadits Hasan
a. Jami’At-Tirmidzi
b. SunanAbuDawud
c. Sunanad-Daruquthni
C. Hadits Dha’if
1. Pengertian
Al hadits, menurut bahasa yang artinya al-jadid (baru), al-khabar (berita),
pesan keagamaan, pembicaraan.174 Kata dhaif juga berasal dari bahasa arab yang
artinya sesuatu yang lemah. Dalam ilmu musthalah hadits, kata dhaif merupakan sifat
bagi hadits. Hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Dikatakan lemah karena hadits
tersebut belum mempunyai syarat-syarat hadits yang bisa diterima keotentikannya. 175
Hadits Dha’if ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan
oleh orang yang tidak adil dan tidak dhabit, syadz (kejanggalan) dan cacat. Menurut
Imam Nawawi, yaitu hadits yang tidak memenuhi kualifikasi Hadis Shahih maupun
Hadis Hasan. Ke dha’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan
pada tingkat ke Shahihan dalam suatu Hadis Shahih.176
2. Jenis-jenis
Ada beberapa sebab yang menjadikan sebuah hadits diberi nilai dha’if. Ada
kalanya sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercacat
atau sebab lain.
a. Hadits Dha’if yang Disebabkan oleh Cacat Periwayatnya.
1) Hadits Maudhu’
Diartikan yang dilarang, yaitu hadis dalam sanadnya terdapat perawi
yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi, hadis itu adalah hasil karangannya
sendiri bahkan tidak pantas disebut hadis.177

174
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2011),

hlm. 1

175
Ath Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadits, hlm. 52.

176
Muhyiddin al-Nawawi, penerjemah Syarif Hade Masyah, Op. Cit,. hlm. 13.

177
Web Hadis http://www.mutiara-hadis.co.nr/

123
Hadis Maudhu’ merupakan bentuk Hadi Dha’if yang paling buruk dan
paling parah. Hadis Maudhu’ haram diriwayatkan dengan alasan apapun.
Kemaudhu’an hadis ini dapat diketahui dari pengakuan pembuat hadis itu,
atau ungkapan lain yang semakna dengan suatu pengakuan, juga apat
diketahui melalui indicator pada perawi atau pada hadis yang diriwayatkan
itu.178
2) Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan melalui hanya satu jalur yang didalamnya
terdapat seorang periwayat yang tertuduh pendusta, fasiq atau banyak lalai.179
Dusta itu, boleh jadi dalam soal meriwayatkan hadis maupun soal lain. hadis
semacam ini disebut matruk, bukan maudhu' , karena periwayat tersebut baru
dicurigai berdusta meriwayatkan hadis, bukan terbukti telah membuat
hadis.180
Matruk berarti hadis yang ditinggalkan, yaitu hadis yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh
berdusta.181
3) Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh orang lemah yang menyalahi riwayat
orang yang lebih terpercaya dari padanya. Dengan definisi ini maka ia
kebalikan dari hadis ma’ruf, yang biasa didefinisikan “hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang menyalahi riwayat orang dha’if.” 182

178
Dr. Mardani, Hadis Ahkam, hlm. 10

179
Al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, juz 1, hlm.367.

180
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2011),

hlm. 97

181
Web Hadis http://www.mutiara-hadis.co.nr/

182
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2011),

hlm. 98

124
Hadits Munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak
kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan
karena dusta. Di dalam suatu tema jika ada hal yang diriwayatkannya oleh
dua hadis lemah yang berlawanan, misalnya yang satu lemah sanadnya,
sedangkan yang satu lainnya lebih lemah sanadnya, makan yang lemah
sanadnya dinamakan Hadis Ma’ruf dan yang lebih lemah dinamakan Hadis
Munkar.183
4) Hadits Mu’allal
Hadis yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadis yang didalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa
Hadis Mu’allal ialah hadis yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki
ternyata ada cacatnya. Hadis ini biasa disebut dengan Hadis Ma’lul (yang
dicacati) atau disebut juga Hadis Mu’tal (hadis sakit atau cacat). Menurut
Muhammad Ajjaj Khatib, Hadis Ma’lul yaitu hadis yang cacat, baik dari segi
sanadnya atau matannya, atau sanad dan matannya sekaligus.184
Meneliti ‘illat hadis dimaksud sangat rumit, karena hadis itu
kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini diperluka intuisi, kecerdasan,
kekuatan hafalan dan banyaknya hadis yang dihafal. Kata Imam al-Hakim,
kemampuan meneliti ‘illat hadis semacam ini bagaikan kemampuan
seseorang dapat membedakan uang logam palsu dari yang asli melalui
pendengaran lentingannya.185
5) Hadits Syadz
Hadits yang diriwayatkan oleh orang terpercaya, tetapi bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya lagi. Jadi,
hadis disebut syadz apabila terdapat didalamnya periwayat yang menyendiri
dan bertentangan.186

183
Irfan Maulana Hakim, Op. Cit., hlm. 19.

184
Muhammad Ajjaj Khatib, Op. Cit., hlm. 294-295.

185
Al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al- Mutanabbi, tt. Hlm.113

186
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa hadis syadz tidak harus bertentangan dengan pendapat orang lain.
Demikian Imam al-Hakim (Al-Shan’ani, hl. 377).

125
Menurut Al-Khalili, Hadis Syadz adalah sebuah hadis yang hanya
mempunyai satu sistem sanad. Dimana perawi tsiqah lainnya merasa ada
keganjalan pada periwayatan itu. Karenanya, Hadis Syadz diriwayatkan oleh
seorang perawi yang tidak tsiqah, maka hadisnya menjadi matruk.187
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa sebuah hadis itu syadz,
diperlukan ketekunan yang sungguh karena kegiatannya menghimpun matan
hadis yang temanya sama dengan jalur yang berbeda-beda.
6) Hadits Mudhtharib
Mudhtharib artinya goncang. Dimaksdukan disini adalah sebuah hadis
yang diriwayatkan melalui beberapa jalur yang sanad atau matannya saling
berlawanan, baik periwayat itu satu atau beberapa orang. Dapat disimpulkan
bahwa pertentangan itu, yang satu menghapus (naskh) terhadap yang lain,
maka hadis yang menghapus dipergunakan sebagai dalil. 188
7) Hadits Maqlub
Hadits yang periwayatnya menggantikan sebagiannya dengan yang
lain, baik yang ditukan itu sanad atau matan, baik disengaja atau tidak.189
Hadits ini bisa dikatakan terbalik, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) atau matan (isi).190
8) Hadits Munqalib
Hadits yang terballik sebagian lafalnya, sehingga pengertiannya
berubah.
9) Hadits Mudraj

187
Dr. Mardani, Hadis Ahkam, hlm. 12

188
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2011),

hlm. 100

189
Ibid, hlm.101

190
Dr. Mardani, Hadis Ahkam, hlm. 12

126
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya
terdapat tambahan yang bukan hadis, baik keterangan tambahan dari perawi
sendiri atau lainnya.191
b. Hadits Dha’if yang Disebabkan oleh Keterputusan Sanad.
1) Hadits Mursal
Hadits yang disandarkan kepada Rasululah oleh tabi’in tanpa
menyebutkan nama sahabat yang membawa hadits itu. Atau, riwayat yang
didalam sanadnya ada unsur sahabat pembawa haditsnya tidak disebutkan.
Dengan kata lain, didalam hadits mursal, seorang tabi’in berkata “Nabi
berkata atau berbuat begini dan begitu…” Padalah tabi’in tidak bertemu
dengan Nabi.
Mengenai fungsi hadis mursal, ada beberapa pendapat :
a) Pendapat pertama, didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, dan beberapa Imam lain, bahwa hadits mursal itu dapat
dijadikan dalil secara mutlak.
b) Pendapat kedua, bahwa hadits mursal itu tidak dapat dijadikan
hujah sama sekali. Pendukung pendapat ini antara lain, Imam
Syafi’i, Imam Muslim.
c) Pendapat ketiga, bahwa hadits mursal dapat dijadikan hujjah
apabila ada hadits jalur lain yang musnad atau mursal datang
menguatkannya, atau sebagian sahabat telah mengamalkan
kandungan tersebut.192
2) Hadits Munqathi
Hadits yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan (tidak
disebutkan namanya), baik diujung maupun dipangkal. Dengan demikian,
hadis mursal termasuk dari bagian hadits munqathi’.
3) Hadits Mu’dhal
Hadits yang didalam sanadnya terdapat dua orang periwayat atau lebih
yang secara berturut-urut tidak disebut namanya. Misalnya, perkataan
seorang penulis atau pembicara dari kalangan Fuqaha “Rasulullah bersabda

191
Ibid, hlm.12

192
Ajjaj al-Khatib, Ushul, op.cit., hlm.338

127
begini dan begitu…” adalah mudh’al. karena, antara dia dengan Rasulullah
terdapat banyak periwayat yang tidak disebutkan atau dibuang.
4) Hadits Mudallas
Tadlis menurut bahasa artinya menyimpan aib. Menyimpan cacat
barang dagangan agar tidak ketahuan pembeli disebut dengan tadlis. Maksud
hadits mudallas adalah hadis yang didalamnya ada sesuaty yang
disembunyikan.
Tadlis dibagi menjadi dua :
a) Tadlis al-Isnad, periwayat menerima hadis dari orang yang
semasa, tetapi tidak bertemu langsung. Atau menerima/ bertemu
langsung, tetapi tidak menyebut namanya.
b) Tadlis al-Syuyukh, periwayat menyebut nama pemberi hadis,
bukan namanya yang dikenal oleh khalayak, tetapi nama yang
kurang dikenal.193
3. Sikap Ulama terhadap Hadits Dha’if
Sebagai diketahui bahwa hadits adalah dalil keagamaan, maka dimaksud dengan
sikap ulama terhadap hadis dha’if adalah dalam menempatkan sebagi informasi
keagamaan.
Ada perbedaan ulama dalam menyikapi hadis dha’if dalam pengertian ini:
a. Mazhab pertama tidak mau mengamalkannya secara mutlak, apakah untuk
fadhailul a’mal, atau untuk kepentingan juridis. Pendukung mazhab ini
adalah ulama ahli hadis, seperti Yahya ibn Ma’in, al-Bukhori, Muslim, Ibn
Hazam.
b. Mazhab kedua mengamalkan hadis ini secara mutlak. Konon, Abu Daud
dan Imam Ahmad berpendapat demikian. Lebih jauh dikatakan, lebih baik
mengambil hadis dha’if daripada menempuh qiyas atau pendapat
seseorang.194 Agaknya hadis dha’if yang diambil bukan dha’if yang
sangat-sangat lemah.195

193
Al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, juz 1, Hlm.367.

194
Ajjah al-Khatihib, op, cit., hl.351. Bandingkan dengan Al-Suyuthi Tadrib, op, cit., hlm.196.

195
Dalam presepsi Ulama Hadis ortodok, salah satu kriteria yang dipakai untuk menilai kedha’ifan seseorang
periwayat adalah “ memiliki paham qadariyyah”. Namun, ternyata kriteria ini tidak membawa hadisnya menjadi
dha’if berat.

128
c. Mazhab ketiga mengamalkan hadis dha’if untuk fadhailul a’mal dan
nasehat-nasehat dengan syarat :
 Haditsnya tidak Dha’if berat
 Tidak bertentangan dengan dasar agama
 Kalaupun hadis ini diamalkan, tidak diinabi bahwa hadis itu dari
Nabi, tetapi dalam ranglka berhati-hati.196
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita
katakan shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan
sanadnya dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan
kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam
kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail
rijal” yang menerangkan tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah,
fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang keshahihan
hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak
perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti
ingat hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah
kembali akan keshahihannya.

196
Ajjaj al-Khatib, Ushul, op.cit., hlm.351.

129
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits,cet-3(Jakarta:Amzah,2009) hlm 159


Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, (alMadinah al-
Munawwarah: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972), hlm. 10.
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits,
terjemahan ‘Abd al-Rahman Muhammad, (Kairo : al- Maktab Islamiyah, 1973), hlm. 6.
Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqailani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar,
(Semarang: Maktabah al-Munawwar, 1972), hlm. 51.
Agus Solahudindan Agus Suyadi,Ulumul Hadits,cet-1(Bandung:PustakaSetia,2009)
hlm 146
Al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al- Mutanabbi, tt. Hlm.113
Al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, juz 1, hlm.367.
Ath Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadits, hlm. 52.
Dr. Mardani, Hadis Ahkam, hlm. 10
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2011),
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1998),
hlm, 185.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), hlm. 276.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), hlm. 277.
Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
1997); 117
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabaw, (Madinah : al-Maktab al-Islami, 1972), hlm.
162.
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 160.
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.
127-128.
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hlm. 163.
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1998),
hlm. 128.

130
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.
138.
Idri,Studi Hadits,cet-1,(Jakarta:Kencana,2010)hlm159
Muhyiddin al-Nawawi, penerjemah Syarif Hade Masyah, Op. Cit,. hlm. 13.
Web Hadis http://www.mutiara-hadis.co.nr/
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2011),
Web Hadis http://www.mutiara-hadis.co.nr/
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2011),
Irfan Maulana Hakim, Op. Cit., hlm. 19.
Muhammad Ajjaj Khatib, Op. Cit., hlm. 294-295.
Prof. Dr. Muh. Zuhri: Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2011),
hlm. 100
ZuhdiRifa’i, Mengenal Imlu Hadits,cet-1,(Jakarta:al-Ghuraba,2008) hlm 161

131
HADITS MAUDHU

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
Tia Ramadanis (11180510000250)

Dita Isnata (11180510000302)

Dzaki Fadillah (11180510000033)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

132
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Masalah hadits maudhu berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa
khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang
tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu.
Akibat perpecahan politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits maudhu untuk
memperkuat golongannya masing-masing. Ulumul hadits merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah satuanya
adalah mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi dalam keberadaannya.
Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya dengan
beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara langsung.

Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang dituntut untuk mengkaji dan memahami
polemik problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits maudhu.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dengan Hadis Maudhu?
b. Apa yang melatarbelakangi munculnya Hadis Maudhu?
c. Apa saja ciri-ciri Hadis Maudhu?
d. Bagaimana tingkatan-tingkatan Hadis Maudhu?
e. Apa saja kaidah-kaidah Hadis Maudhu?
f. Apa saja yang menjadi sumber-sumber Hadis Maudhu?
g. Bagaimana cara memberantas Hadis Palsu?

3. Tujuan Masalah
a. Memahami pengertian Hadis Maudhu
b. Mengetahui latar belakang Hadis Maudhu
c. Mengetahui ciri-ciri Hadis Maudhu
d. Mengetahui tingkatan-tingkatan Hadis Maudhu
e. Mengetahui kaidah-kaidah Hadis Maudhu
f. Mengetahui sumber-sumber Hadis Maudhu
g. Mengetahui dan memahami cara memberantas Hadis Palsu

133
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maudhu


Secara bahasa Al-Maudhu adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an,yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-
ada atau membuat-buat) dan al-tarku (ditinggal).197
Secara istilah Hadis Maudhu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat
dusta terhadap Rasulullah saw.dibuat secara sengaja atau tidak sengaja (Syamsuddin
Muhammad As-Sakhsh,1968: 224).198
Beberapa unsur penting dalam bacaan definisi al-maudhu
1. Al-wadh’u (perbuatan atau dibuat-buat). Artinya apa yang disebut hadis
oleh rawi penyampai riwayat itu adalah hadis “buatan” dia sendiri, bukan
ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
2. Al-kadzibu (dusta atau menipu). Artinya paa yang dikatakan rawi sebagai
hadis nabi adalah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena
bukan dari Nabi. Hanya dia yang mengatakan bahwa hadis itu berasal dari
Nabi.
3. Al-amdu (sengaja) dan al-khatha’u (tidak sengaja). Artinya perbuatan hadis
dusta yang disebut sebagai hadis Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak
sengaja.199
B. Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-
orang Islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif
yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:

1. Pertentangan Politik
Perpecahan umat Islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan
‘Ali bin Abi Thalib besar sekali hadapengaruhnya terhadap perpecahan umat kedalam

197
Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2011) hlm 176

198
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Penerbit Galia Indonesia: 2010) hlm 162

199
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Penerbit Galia Indonesia: 2010) hlm 163

134
beberapa golongan dan kemunculan hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha
mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang dengan membawa-bawa Al-Quran
dan sunnah. Sungguh sangat disayangkan! Konflik-konflik politik telah menyeret
permasalahan keagamaan masuk ke dalam arena perpolitikan dan membawa pengaruh
juga pada madzhab-madzhab keagamaan. Pada akhirnya masing-masing kelompok
berusaha mencari dalilnya ke dalam Al-Quran dan Sunnah, dalam rangka mengumpulkan
kelompok atau madzhabnya masing-masing. Ketika tidak ditemuinya, maka mereka
mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah
hadis palsu mulai berkembang. Materi hadis palsu yang pertama mengangkat tentang
keunggulan seseorang dan kelompoknya.200

Menurut Ibnu Abi Al-Haddad dalam ‘Syarah Nahj Al-Balaghah’, sebagaimana


dikutip oleh Mushthafa Al-Siba’i, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadits palsu
adalah dari golongan Syi’ah, dan kelompok Ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan
hadist-hadist lain yang juga maudhu’.201

Ibnu Al-Mubarak mengatakan:

‫الدين آلهل الحديث و الكالم و الخيل آلهل الرأي و الكذب للرافضة‬

"Agama itu untuk ahli Hadis, percakapan dan menghayal untuk ahli ra'yi, dan
kebohongan itu untuk golongan Rafidah".

Hammad bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah seorang tokoh Rafidah
berkata: "sekiranya kami pandang baik, segera kami jadikan hadis." Imam Syafi'I juga
pernah berkata "Saya tidak melihat pemuas hawa nafsu yang melebihi sekte Rafidah
dalam membuat hadis palsu"202 contoh hadis palsu yang dibuat oleh kaum Syi'ah antara
lain:

‫يا علي إن هللا غفر لك و لذريتك و لوالديك وْلهلك ولشيعتك ولمحبي شيعتك‬

200
Musthafa Al-Siba’i, op.cit, hlm. 79.

201
Ibid. Bandingkan dengan ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, op.cit., hlm. 420-421.

202
Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla…,op.cit., hlm. 19-7

135
"Wahai Ali sesungguhnya Allah SWT. telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang
tuamu, keluargamu, (golongan) Syi'ahmu dan orang yang mencintai (golongan)
Syi'ahmu".

Golongan Mu'awiyah juga membuat hadis palsu, sebagai contoh dapat dikemukakan

203
‫اآلمناء ثالثة أناوجبريل ومعاوية أنت منى يا معاوية و أنامنك‬

"Tiga golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya (Rasul), Jibril, dan Mu'awiyah. Kamu
termasuk golonganku dan Aku bagian dari kamu".

Sedang golongan Khawarij menurut data sejarah tidak pernah menbuat hadis
palsu.204

2. Usaha Kaum Zindik


Kaum Zindik termasuk kaum golongan yang membenci Islam, baik Islam sebagai
Agama maupun Islam sebagai dasar Pemerintahan. Mereka tidak mungkin dapat
melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan al-Quran, maka cara yang
paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadis, dengan tujuan
menghancurkan agama dari dalam. 'Abd Al-Karim ibn 'Auja' yang dihukum mati oleh
Muhammad bin Sulaiman bin 'Ali. Wali wilayah Basrah, ketika hukuman akan dilakukan
dia mengatakan "Demi Allah saya telah membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis.
Seorang Zindik telah mengaku dihadapan khalifah Al-Mahdi bahwa dirinya telah
membuat ratusan hadis palsu. Hadis palsu ini telah tersebar dikalangan masyarakat.205
Hammad bin Zaid mengatakan "hadis yang dibuat kaum Zindik ini berjumlah 12.000
hadis.206 Contoh hadis yang dibuat oleh golongan Zindik ini antara lain:

203
Mushthafa Al-Siba'i, op.cit., hlm. 86-87.

204
Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm. 135.

205
Ibid. hlm. 207-208.

206
Mahmud Al-Thahhan, op.cit., hlm. 70

136
207
‫انظر إلى الوجه الجميل صدقة‬

"Melihat wajah cantik termasuk ibadah".

3. Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan


Mereka membuat hadis palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. Golongan Al-Syu'ubiyah yang
fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan:

‫إن هللا إذاغضب أنزل الوحي بالعربية وإذارضي أنزل الوحي بالفارسية‬

"Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila
senang maka akan menurunkan nya dengan bahasa Persi".

Sebaliknya, orang Arab yang fanatik terhadap bahasanya mengatakan:

‫إن هللا إذا غضب أنزل الوحي بالفارسية وإذا رضي أنزل الوحي بالعربية‬

"Apabila Allah murka, menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan apabila senang
menurunkannya dengan bahasa Arab".208

Golongan yang fanatik kepada mazhab Abu Hanifah pernah memuat hadis palsu
"Di kemudian hari akan ada seorang umatku yang bernama Abu Hanifah bin Nu'man. Ia
ibarat obor bagi umat-Ku".

Demikian pula golongan yang fanatik menentang Imam Syafi'I membuat hadis
palsu, seperti "di kemudian hari aka nada seorang umat-Ku yang bernama Muhammad
bin Idris. Ia akan lebih menimbulkan madharat kepada umat-Ku daripada Iblis".

4. Mempengaruhi Kaum Awam dengan kisah dan Nasihat


Mereka melakukan pemalsuan hadis ini guna memperoleh simpatik dari
pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka
katakana terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh dapat dilihat pada hadis
berikut:

207
Mushthafa Al-Siba'i, op.cit., hlm 86-87.

208
Ibid. Hlm. 87.

137
‫من قال ّلإله إّلهللا خلق هللا من كل كلمة طاءرامنقاره من ذهب ووريشه من مرجان‬

"Barang siapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung
(sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari
marjan".

Imam Suyuthi mengatakn: "salah seorang pawing yng berkediaman di Baghdad


menafsirkan firman Allah SWT.:

‫عسى أن يبعثك ربك مقامامحمودا‬

Dengan arti bahwa: "Nabi duduk bersanding dengan Allah diatas 'Arasy-Nya.
Riwayat ini sampai kepada Muhammad bin Jarir Al-Thabary dan beliau menjadi marah
karenanya." Untuk menunjukkan kemarahannya itu, beliau menulis pada pintu rumahnya
"Maha suci Allah yang tidak memerlukan teman yang baik dan tidak pula seorang pun
yang duduk mnemani-Nya di 'Arsy-Nya.209

Ayyub Al-Sikhtiyani memberikan komentar terhadap akibat dari pengaruh para tukang
cerita dalam merusak hadis:

‫ما أقسدعلى الناس حديثهم‬

"Tiada sejelek-jeleknya pembicaraan kecuali (yang berasal) dari tukang cerita".

5. Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam


Munculnya hadis-hadis palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari
para pengikut Mazhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadis karena didorong oleh
sifat fanatic dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing.210

Di antara hadis-hadis palsu dalam masalah ini adalah:

a. Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.

209
Ibid. Hlm. 89.

210
Ibid. hlm. 215.

138
b. Jibril menjadi imamku ketika shalat di Ka'bah, ia (Jibril) membaca basmalah
dengan nyaring.
c. Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
d. Semua yang ada di bumi dan langit serta di antara keduanyaadalah makhluk,
kecuali Allah dan al-Quran. Dan kelak akan ada di antara umatku yang
menyatakan "al-Quran itu makhluk". Barang siapa yang menyatakan demikian,
niscaya ia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung dan di saat itu pula
jatuhlah talak kepada istrinya.

6. Membangkitkan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa Yang Dilakukan


Banyak di antara para 'Ulama yang membuat hadis palsu dengan dan bahkan
mengira usahanya itu benar dan mengucapkan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta
menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan "kami berdosa semata-mata untuk
menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya". Nuh bin Abi Maryam telah
membuat hadis berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat tertentu dalam al-Quran.
Ghulam Al-Khail (dikenal ahli Zuhud) membuat hadis tentang keutamaan wirid dengan
maksud memperhalus kalbu manusia.

Dalam kitab Tafsir Al-Tsa'laby, Zamakhsyari dan Baidhawy terdapat banyak hadis
palsu.211 Begitu juga dalam kitab Ihya' 'Ulum Al-Din.212

7. Menjilat Penguasa
Ghiyas bin Ibrahim merupakan toloh yang banyak ditulis dalam kitab hadis sebagai
pemalsu hadis tentang "Perlombaan" Matan asli sabda Rasulullah berbunyi:

‫ّلسبق اّل في فصل او خف‬

Kemudian Ghiyas menambahkan kata ‫اوجناح‬dalam hadis tersebut, dengan maksud


agar diberi hadiah atau simpatik dari Khalifah Al-Mahdy. Setelah mendengar hadis

211
Ahmad Mahmud Syakir, op.cit., hlm. 72

212
Mahmud Abu Rayyah, op.cit., hlm. 123.

139
tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah sepuluh ribu dirham, namun ketika Ghiyas
membalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya seraya berkata "aku yakin itu sebenarnya
merupakan dusta atas nama Rasulullah. Menyadari akan hal itu, saat itu juga Khalifah
memerintahkan untuk menyembelih burung merpatinya.

C. Ciri-Ciri Hadis Maudhu


1. Pada rawinya
a. Mengaku telah memalsukan hadis, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam
dan Maisarah bin ‘Abdi Rabbih.
b. Tidak sesuai dengan fakta sejarah, seperti yang terjadi pada Al-Ma’mun bin
Ahmad yang mengatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah
sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat.
c. Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang
bersangkutan. Seperti yang terjadi pada Ghiyats bin Ibrahim dalam kisah yang
telah lalu.
2. Pada matan
a. Kerancuan redaksi atau makna hadis, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu al-
Shalah.
b. Setelah dilakukan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis
tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab
hadis, setelah penelitian dan pembukuan hadis sempurna.
c. Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti
menyalahi ketentuan akal dan tidak dapat ditakwil atau mengandung hal-hal
yang ditolak oleh perasaan, kejadian empiris, dan fakta sejarah.
d. Hadisnya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an yang pasti, Sunah yang
mutawatir, atau ijmak yang pasti dan tidak dapat dikompromikan.213
D. Tingkatan-Tingkatan Hadits Maudhu
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadis maudhu mempunyai tiga tingkatan:
1. Hadis maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para
muhaddisin. Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat

213
Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2012) hlm 322-326

140
di dalam bentuk periwayatannya, yaitu berupa dasar pengakuan rawi atau hasil
pengujian dari berbagai aspek.
2. Hadis maudhu yang nilai kemaudhuannya ditetapkan berdasarkan
mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara
sebagian ulama lain menilai hadis itu bukan maudhu, tetapi hadis yang
diantaranya syarat keshahihannya ada yang gugur saja.
3. Hadis maudhu (wahm al-maudhu). Sebagian muhaddisin lain menilai hadis
yang dusta. (Moh. Najib, 2001: 48).214
E. Kaidah-Kaidah Hadits Maudhu
a. Dalam Sanad
1. Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu,sebagaimana
pengakuan Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah
membuat hadis tentang Fadhillah Al-Qur’an membaca Al-Qur’an,
serat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dan lain-lain. Dalam kaitannya
dengan masalah ini Al-Suyuthi menyatakan, bahwa surat-surat Al-
Qur’an yang didapati dalam hadis-hadis shahih mengenai
keutamaannya hanyalah surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali-‘Imran,
Al-An’am dan tujuh surat panjang (dari surat Al-Baqarah - surat Al-
Bara’ah), Al-Kahfi,Yasiin,Al-Dukhan, Al-Mulk, Al-Zalzalah,Al-
Nur,Al-Kafirun, Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awidzatain. Selain terhadap
surat-surat tersebut, hadisnya bukanlah hadis sahih.
2. Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti
menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tetapi
ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung; atau pernah
menerima hadis di suatu daerah, tetapi ia sendiri belum pernah
melakukan rihlah (perjalanan) ke daerah tersebut, atau pernah
menerima hadis dari syekh tapi syekh tersebut diketahui telah
meninggal ketika ia masih kecil; dan lain sebagainya.
3. Meriwayatkan hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal
pembohong dan tidak ditemukan dalam riwayat lain. Maka yang
demikian itu ditetapkan sebagai hadis maudhu.

214
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Penerbit Galia Indonesia: 2010) hlm 168

141
b. Dalam matan
1. Buruknya redaksi hadis,padahal Nabi Muhammad saw adalah seorang
yang fasih dalam berbahasa, santun, dan enak dirasakan. Dari redaksi yang
jelek ini akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadis Nabi
saw. Kecuali bila si pewari menjelaskan bahwa hadis itu benar-benar
datang dari Nabi saw.
2. Makna rusak. Ibnu hajar menrangkan bahwa kejalasan lafadz ini
dititikberatkan pada kerusakan arti, sebab dalam sejarah tercatat
“periwayatan hadis tidak mesti bi al-lafdzi akan tetapi ada yang bi al-
ma’na terkecuali bila dikatakan bahwa lafadznya dri Nabi, baru dikatakan
itu hadis palsu.
3. Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan
Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat, atau ijma’. Seperti hadis yang
menyebutkan bahwaumur dunia 7000 tahun. Hadis ini bertentangan
dengan QS AL-A’raf (7) : 187, yang intinya bahwa umur dunia hanya
diketahui oleh Allah.
4. Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil
atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil. Seperti hadis yang
mengatakan bahwa anak hasil perzinaan tidak masuk surge hingga tujuh
turunan. Ini menyalahi QS.Al-An’am (6) :164 yang menyatakan bahwa
tudaklah seorang hamba yang bersalah nenikul dosa orang lain.
5. Hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang bear-benar terjadi
di masa Rasulullah saw, dan jelas tidak tampak kebohongan, seperti hadis
ketentuan jizyah (pajak) pada penduduk khaibar. Ada beberapa hal yang
menjadi kelemahan hadis tersebut. Pertama; dikatakan bahwa hadis
tersebut diriwayatkan dari Sa’ad ibn Mu’adz padahal Sa’ad telah
meninggal sebelum perang Khandaq. Kedua; kewajiban jizyah saat itu
belum diterapkan.
6. Hadis yang melebih-lebihkan salah satu sahabat.

F. Sumber-Sumber Hadis Maudhu


1. Al-Maudhu’at karya al-Iman al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.
597 H)
142
2. Al-La’ali’ al-Mashnu’ah fi al-hadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Jalaluddin al-
Suyuthi (w. 911 H)
3. Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syari’ah al-Maudhu’ah karya
al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad ‘Iraq al-Kannani (w.963)
4. Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if karya al-HafizhIbnu Qayyim al-
Jauziah (w. 751)
5. Al-Mashnufi al-Hadits al-Maudhu karya Ali-Al-Qari (w. 1014 H) 215
G. Cara Memberantas Hadis Palsu
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan
bahaya para pemalsu dengan cara sebagai berikut:
1. Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat
mereka, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan tanah airnya. Mereka
rela dengan sedikit bekal dan pakaian usang dalam mencari sunah dan mengenal
perawinya, sehingga mereka dapat membedakan antara rawi dan yang tsiqat dan
rawi yang jujur tetapi mengalami kekacauan hafalannya,serta rawi pendusta dan
yang fasik.
2. Memberikan peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap
kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka
masyarakat.
3. Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak
bersanad, bahkan hadis yang demikian mereka anggap sebagai hadis yang batil.
Sementara hadis-hadis yang bersanad masih diteliti sanad dan matannya
berdasarkan kriteria penerimaan hadis dan kaidah-kaidah yang berlaku.
4. Menguji kebenaran hadis dengan membandingkan dengan riwayat yang melalui
jalur lain dan hadis-hadis yang telah diakui keberadaannya. Dengan langkah itu
dapat diketahui hal-hal yang mencurugakan dalam hadis yang bersangkutan atau
cacat yang timbul dari rawi yang jujur.
5. Menetapkan pedoman-pedoman uuntuk mengungkap hadis maudhu.
6. Menyusun kitab himpunan hadis-hadis maudhu untuk memberi penerangan dan
peringatakan kepada masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.216

215
Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2012) hlm 330-331

216
Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2012) hlm 317-319

143
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara istilah Hadis Maudhu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang
bersifat dusta terhadap Rasulullah saw.dibuat secara sengaja atau tidak sengaja.

Latar belakang munculnya hadits maudhu karena pertengahan politik, usaha kaum
zindik, fanatik terhadap bangsa, mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat,
perselisihan mazhab dan ilmu kalam, membangkitkan gairah beribadat tanpa mengerti apa
yang dilakukannya, dan menjilat penguasa.

Cara memberantas hadis palsu yaitu meneliti karakteristik para rawi dengan
mengamati tingkah laku dan riwayat mereka, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga
dan tanah airnya . mereka rela dengan sedikit bekal dan pikiran usang dalam mencari
sunah dan mengenal perawinya, sehingga mereka dapat membedakan anatara rawi dan
yang istiqat dan rawi yang jujur tetapi mengalami kekacauan hafalannya,serta rawi
pendusta dan yang fasik.

B. Saran
Demikianlah makalah Ulumul Hadits yang membahas tentang “Hadits Maudhu” ini,
semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari masih banyak
kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami
harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu yang bersifat
membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.

144
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2011) hlm
176
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Penerbit Galia Indonesia: 2010) hlm 162
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Penerbit Galia Indonesia: 2010) hlm 163
Musthafa Al-Siba’i, op.cit, hlm. 79.

Ibid. Bandingkan dengan ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, op.cit., hlm. 420-421.

Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla…,op.cit., hlm. 19-7

Mushthafa Al-Siba'i, op.cit., hlm. 86-87.

Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm. 135.

Mahmud Al-Thahhan, op.cit., hlm. 70

Ahmad Mahmud Syakir, op.cit., hlm. 72

Mahmud Abu Rayyah, op.cit., hlm. 123.

Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis hlm 322-326

Sohari Sahrani, Ulumul Hadits hlm 168

Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis hlm 330-331

Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis hlm 317-319

145
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM YANG
KEDUA, DAN SEBAGAI PENJELASAN TERHADAP AL QUR’AN DAN MACAM –
MACAM PENJELAS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
Azizah Aprilianti (11180510000158)
Siti Rochmawati (11180510000241)
Ahmad Yusuf Akbar (11180510000022)
KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

146
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ketika Muhammad mendekati batas akhir hayatnya, mayarakat arab telah menjelma
menjadi umat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma Islam. Dalam keadaan
demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi kerasulannya yang sudah
diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam mejalankan misinya itu, seluruh
perilaku dan kondisi yang hadir pada diri Muhammad dipersepsikan sebagai sistem etika
universal yang menjadi sumber hukum yang kedua setelah alQur’an. Sebab sistem etika
tersebut tidak lepas dari kerangka etika al-Qur’an. Pernyataan ini didukung oleh salah satu
riwayat yang disampaikan oleh ‘Aisyah bahwa prilaku (akhlak) Muhammad adalah al-
Qur’an. Riwayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan hadis (sunnah) :

1. Nabi sangat penting dan mendasar karena kedudukannya sebagi sumber hukum
sama dengan al-qur’an. Namun jika diurut secara hirarkis maka sumber hukum yang pertama
adalah al-Qur’an, sedangkan hadis menempati posisi yang kedua. Keduanya menjadi satu-
kesatuan yang intregral. Dalam perspektif sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, hadis
telah menjadi referensi bagi seluruh bentuk tata kehidupan bagi masyarakat generasi awal.
Karena posisinya sebagai fokus referensi demikian, maka hadits pernah dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tertentu, baik internal maupun eksternal komunitas muslim untuk
kepentingan yang tidak proporsional, bahkan tidak benar.

2. Untuk tujuan demikian, hadis diproyeksikan sebagai alat legitimasi bagi


kepentingan individual maupun komunal yang pada ujungujungnya melahirkan hadis
maudlu’ (palsu). Selain al-Qur’an dan hadis yang dijadikan dasar, terbentuknya hukumhukum
praktis dalam fikih Islam, Ijma’ dan Qiyas juga disepakati sebagai sumber referensi dalam
melakukan ijtihad atau menisbatkan suatu hukum. Tuisan ini tidak dikemas untuk
menguraikan kedudukan keempat sumber referensi hukum tersebut, namun hanya dibatasi
pada sumber hukum yang kedua yaitu Hadis. Masalah ini dianggap penting dan urgen sebab
kenyataan sejarah telah menunjukkan bukti bahwa ada sekelompok kecil orang tidak
mengakui hadis sebagai salah satu sumber otoritatif syari’at Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam ?

147
2. Apa fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua ?

3. Bagaimana hadits bisa dikatakan menjelaskan sumber hukum yang pertama yaitu Al
Qur’an?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam.

2. Untuk memgetahui fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua.

3. Untuk mengetahui bahwa hadits itu sebagai salah satu sumber hukum Islam yang kedua
dan sebagai penjelasan sumber hukum yang pertama yaitu Al Qur’an.

148
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam

Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang orang
Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa
kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak
diperbolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari keduanya.

Banyak ayat Al-Quran dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu
merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk
perintah maupun larangan.

1. Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan


menerima segala yang disampaikan oleh rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman
hidup.

Firman Allah SWT:

Artinya : “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang
baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-
rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS. Ali-Imran : 179).

Dalam ayat lain Allah SWT, berfirman:

149
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 136).

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan
orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan
memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan QS. An-Nisa, Allah menyuruh kaum muslimin
agar mereka tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Quran dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari semua-Nya.

Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga
menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang
dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada
Rasulullah SAW ini sama halnya tuntutan taat kepada Allah SWT. Banyak ayat Alquran
yang berkenaan dengan masalah ini,

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Ali Imran ayat 32 yaitu :

٣٢ َ‫ٱّللَ َّل ي ِحبُّ ۡٱل َك ِف ِرين‬


َ ‫ٱلرسو َل فَإِن ت َ َولَ ۡواْ فَإ ِ َن‬ َ ْ‫ق ۡل أ َ ِطيعوا‬
َ ‫ٱّللَ َو‬

Artinya: “Katakanlah Taatlah kalian Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling,
maka seseungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali- Imran : 32).

Kemudian dalam ayat lain, Allah juga berfirman:

150
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nissa: 59).
Dari beberapa ayat Al-Quran ini tergambar bahwa pentinggnya kedudukan penetapan
kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW.
2. Dalil Al-Hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan
hadis sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, beliau
bersabda:

‫َاب هللاِ َو سنَةَ َرس ْو ِل ِه‬ َ ‫َضلُّ ْوا َما ت َ َم‬


َ ‫ ِكت‬: ‫س ْكت ْم بِ ِه َما‬ ِ ‫ت ََر ْكت فِيْك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Dalam hadist lain Rasul bersabda:


ِ ‫عضُّوا َعلَ ْي َها ِبالنَ َو‬
‫اج ِذ‬ َ َ‫اء ْال َم ْهد ِِيين‬
َ ‫الرا ِشدِينَ ِم ْن َب ْعدِي‬ ِ َ‫فَ َعلَيْك ْم ِبس َن ِتي َوسنَ ِة ْالخلَف‬

Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para
khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian
dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)

151
Hadits-hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis dan
menjadikan hadis sebagai pegangan dan Pedoman Hidup itu adalah wajib, sebagai
wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran.

3. Kesepakatan Ulama (Ijma')

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal,
karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis
sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Quran, karena keduanya sama-sama
dijadikan sebagai sumber hukum Islam.

Kesepakatan umat Muslimin dengan mempercayai, menerima, dan mengamalkan


segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup.
Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafaur Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya,
tak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami
mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan
menyebarluaskan kepada generasi-generasi berikutnya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai


sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah:

a. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.217

b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciumu, saya tidak akan
menciummu”.218

c. Pernah ditanya kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat Safar dalam Al-
Qur'an. Ibnu Umar menjawab “Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengutus Nabi
Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka
sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan

217
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I, hlm 164.

218
Ibid, hlm 194 dan 213.

152
sebagaimana makanya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya
Rasulullah”.219

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam.
Dalam mengemban misi nya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa
yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas
inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau
membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh
wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilmam.

Billa kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah
selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang
diciptakan atas bimbingan ilham atau jenis hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai
sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada
Nabi Muhammad sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.

B. Fungsi Hadits dalam Sumber Hukum Islam

Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama Nabi Muhammad SAW adalah untuk
menjelaskan isi kandungan Al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayatayat hukum dalam Al-
Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang - secara amaliah - belum bisa dilaksanakan,
maka dalam hal ini penjelasa hadis dapat dibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadits yang
utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasan didalam Al
Qur’an Surah An Nahl ayat 64 yaitu :

َ‫ٱخت َلَفواْ فِي ِه َوهدٗ ى َو َر ۡح َم ٗة ِلقَ ۡو ٖم ي ۡؤ ِمنون‬ َ َ ‫َو َما ٓ أَنزَ ۡلنَا َعلَ ۡي َك ۡٱل ِكت‬
ۡ ‫ب ِإ َّل ِلتبَيِنَ لَهم ٱلَذِي‬
٦٤

219
Ibid, juz vIII, hlm 67.

153
Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan agar
engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan. (QS. An Nahl :
64)

Bila Al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut sebagai
bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya dengan Al-Qur'an maka
hadits menjalankan fungsi sebagai berikut:

1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam AlQur'an yang


dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam Al-Qur'an dalam hal:

a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, karena dapat saja
shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum pada waktu itu. Kemudian Nabi
melakukan serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.

b. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur'an disebutkan secara garis besar misalnya
menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam Al - Qur'an .

c. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur'an disebutkan secara umum, misalnya hak
kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan.

d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur'an misalnya Allah
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa
bukan saja saudara ayah tapi juga saudara ibunya.

3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak ada dalam Al-Qur'an.
Fungsi sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat.220

Pada prinsipnya hadits nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-
Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam

220
Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang
pertama mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak
menetapkan hal itu sangat dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak
kedudukan hadis (sunnah)

154
ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh
ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Sebagai contoh, Abu Hanifah
mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi : bayan taqrir, bayan tafsir, dan bayan tafdil
(nasakh); imam Malik membagi menjadi : bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir), bayan tafsil,
bayan bashthi (tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’; Imam Syafi’i mengkategorikannya
menjadi : bayan tafsil, bayan takhsish, bayan ta’yin bayan tasyri’ dan bayan naskh.221

Sebenarnya bila dicermati secara teliti, akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh
hadis itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh Al-Qur'an
secara terbatas. Umpamanya Nabi mengharamkan daging babi dan bangkai, kemudian Nabi
menyebutkan haramnya binatang buas. Secara lahiriah ketetapan Nabi itu adalah hal yang
baru dan tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur'an, tapi larangan itu bisa dipahami
sebagai penjelas terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor. Jadi secara sepintas
sepertinya pelarangan memakan binatang buas adalah lanjutan atau tambahan oleh nabi,
namun hal itu hal itu tidak lain adalah penjelasan dari ayat lain yang mengharuskan memakan
hanya dari makanan yang baik baik saja (tidak kotor).

C. Sebagai Penjelasan Terhadap Al-Qur’an dan Macam-macam Penjelas

Secara global, sunah sejalan dengan Al-Qur’an menjelaskan mubah, merinci pada
ayat-ayat yang menjual, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan
menguraikan hukum-hukum dan tujuannya, disamping membawa hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan
merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Di sinilah al-hadits menduduki dan
menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Ia menjadi penjelas
(mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah An Nahl ayat
44 yaitu :

ِ َ‫ٱلزب ِر َوأَنزَ ۡلنَا ٓ ِإلَ ۡي َك ٱلذ ِۡك َر ِلت َبيِنَ ِللن‬


٤٤ َ‫اس َما ن ِز َل ِإلَ ۡي ِه ۡم َولَ َعلَه ۡم يَت َفَ َكرون‬ ِ َ‫ِب ۡٱل َب ِين‬
ُّ ‫ت َو‬

221
Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal Bakti, 2000),h. 71-77.

155
Artinya : “Dan kami turunkan padamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-
Nahl : 44)

Menurut Imam Hambal al-hadits memiliki empat fungsi, yaitu bayan at-ta’kid, bayan at-
tafsir, bayan at-tasyir, dan bayan at-takhsis.

1. Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering juga disebut bayan at-ta’kid. Yang dimaksud dengan bayan ini
adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an.
Memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an, seperti firman Allah dalam surah Al Maidah
ayat 6 yaitu :

ِ ِ‫صلَوةِ فَٱ ۡغسِلواْ وجوهَك ۡم َوأ َ ۡي ِديَك ۡم ِإلَى ٱ ۡل َم َراف‬


‫ق‬ َ ‫ٓيَأَيُّ َها ٱلَذِينَ َءا َمن ٓواْ ِإذَا ق ۡمت ۡم ِإلَى ٱل‬
‫ٱط َهرواْ َوإِن كنتم‬ َ َ‫سحواْ بِرءو ِسك ۡم َوأ َ ۡرجلَك ۡم إِلَى ۡٱل َكعۡ بَ ۡي ِن َو ِإن كنت ۡم جنبٗ ا ف‬ َ ۡ‫َوٱم‬
‫سا ٓ َء َف َل ۡم ت َ ِجدواْ َما ٓ ٗء‬ ِ ‫ ِمنكم ِمنَ ۡٱلغَا ٓ ِئ ِط أ َ ۡو َل َم ۡستم‬ٞ‫سفَ ٍر أ َ ۡو َجا ٓ َء أ َ َحد‬
َ ‫ٱلن‬ َ ‫ض ٓى أ َ ۡو َعلَى‬
َ ‫َم ۡر‬
َ ‫سحواْ ِبوجو ِهك ۡم َوأ َ ۡيدِيكم ِم ۡنه َما ي ِريد‬
‫ٱّلل ِل َي ۡج َع َل َعلَ ۡيكم ِم ۡن‬ َ ْ‫فَت َ َي َمموا‬
َ ‫ص ِعيدٗا‬
َ ۡ‫ط ِيبٗ ا فَٱم‬
٦ َ‫ط ِه َرك ۡم َو ِليتِ َم نِعۡ َمتَهۥ َعلَ ۡيك ۡم لَ َعلَك ۡم ت َ ۡشكرون‬
َ ‫َح َر ٖج َولَ ِكن ي ِريد ِلي‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhkan
wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)

Ayat tersebut di-taqrir oleh hadits riwayat Al-Bukhori dari Hurairah r.a.

‫ ّل تقبل الصالة من احدث حتى يتوضا (رواه‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬
)‫البخارى‬

Rasulullah SAW telah bersabda, “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia
berwudhu.” (H.R. Bukhari)

2. Bayan At-Tafsir
156
Bayan at-tafsir ialah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan
perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlak, dan ‘am.
Memberikan perincian (tafsih) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
mujmal, memberikan tayqid pada ayat-ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhsis
terhadap ayat-ayat yang masih umum.

a. Merinci ayat-ayat mujmal


Ayat-ayat mujmal ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini
terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Seperti dalam Al Qur’an Surah Al
Baqarah ayat 43 yaitu :

َ ‫ٱلز َكوة َ َو ۡٱر َكعواْ َم َع‬


٤٣ َ‫ٱلر ِك ِعين‬ َ ‫َوأَقِيمواْ ٱل‬
َ ْ‫صلَوة َ َو َءاتوا‬

Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang
yang rukuk." (Q.S. Al Baqarah : 43)

Untuk memperjelas ayat tersebut, maka Nabi memberikan perinci dengan sabdanya:

)‫صلوا كما رايتمو نى اصلى (رواه البخارى‬

“... shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat...” (H.R Bukhari)

b. Men-taqyid ayat-ayat mutlaq


Mutlaq memiliki arti kata yang menunjuk pada hakikat pada kata itu sendiri apa adanya,
tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid ayat mutlaq artinya
membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Contohnya ialah Al-Qur’an Surah Al Maidah ayat 38 :

‫ٱّلل َع ِزيز‬ َ َ‫سبَا نَ َك ٗال ِمن‬


َ ‫ٱّللِ َو‬ َ ‫ارقَة فَ ۡٱق‬
َ ‫طع ٓواْ أ َ ۡي ِديَه َما َجزَ آ ۢ َء بِ َما َك‬ ِ ‫س‬َ ‫ارق َوٱل‬
ِ ‫س‬َ ‫َوٱل‬
٣٨ ‫يم‬ٞ ‫َح ِك‬
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah : 38)

Ayat tersebut di-taqyid oleh hadits Riwayat Muslim:

157
‫اتي رسول هللا صلى هللا عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف‬

Rasulullah SAW didatangi seprang yang membawa pencuri, maka beliau memotong
tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.

c. Meng-takhsis ayat yang ‘am


Kata takhsis menunjukkan arti khusus tertentu atau tunggal. Sedangkan kata ‘am
menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak (umum). Yang dimaksud
men-takhsis di sini adalah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku
pada bagian-bagian tertentu. Salah satu contoh ayat yang di-takhsis adalah firman Allah
dalam Al Qur’an Surah An Nisa ayat 11 :

١١ ....‫ٱّلل فِ ٓي أ َ ۡولَدِك ۡم ِللذَ َك ِر ِم ۡثل َح ِظ ٱ ْۡلنثَيَ ۡي ِن‬


َ ‫وصيكم‬
ِ ‫ي‬
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.”
(QS. An Nisa : 11)

Ayat tersebut di-takhsis oleh hadits berikut:

‫ّل يرث القاطل من المقطول شيئا‬

“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R. Ahmad)

3. Bayan at-Tasyri’
Hadist sebagai bayan At-tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-
ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al-Qur’an hanya
menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana contohnya hadist mengenai zakat
fitrah, dibawah ini:

َ ‫عا ِم ْن ت َ َم ٍرا َ ْو‬


‫صا‬ ً ‫صا‬ ِ َ‫علَى الن‬
َ ‫اس‬ َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬
َ َ‫ضان‬ ْ ‫ض زَ َكا ة َ ال ِف‬
َ ‫سلَ َم فَ َر‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى هللا‬
َ ِ‫ا َِن َرس ْول هللا‬
َ‫ع ْب ٍد ذَ َك ٍر أ َ ْو أ ْنثَى ِمنَ اْلم ْس ِل ِميْن‬
َ ‫علَى ك ِل ح ٍر ا َ ْو‬ َ ‫ام ْن‬
َ ‫ش ِعي ٍْر‬ ِ ‫ع‬ً

158
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu
sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan” (HR. Muslim).

4. Bayan Nasakh
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir (mengubah),
al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan). Para
ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih
cocok dengan lingkungannya dan lebih luas. Salah satu contohnya yakni:

ٍ ‫صيَةَ ِل َو ِار‬
‫ث‬ ِ ‫ّلَ َو‬

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini me-nasakh Surah.Al-Baqarah ayat 180 yaitu :

َ‫صيَة ِل ۡل َو ِلدَ ۡي ِن َو ۡٱْل َ ۡق َر ِبين‬


ِ ‫ض َر أ َ َحدَكم ۡٱل َم ۡوت ِإن ت َ َر َك َخ ۡي ًرا ۡٱل َو‬
َ ‫ب َعلَ ۡيك ۡم ِإذَا َح‬
َ ِ‫كت‬
١٨٠ َ‫وف َحقًّا َعلَى ۡٱلمت َ ِقين‬ ِ ‫ِب ۡٱل َمعۡ ر‬
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
(QS.Al-Baqarah ayat 180).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa kaitan antara hadis dan
fikih adalah bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lain.
Keduanya bagaikan dua sisi pada uang yang sama. Hal itu disebabkan karena fikih dapat
dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hasil pemahaman terhadap hadis Nabi SAW,
karena walaupun ulama-ulama fikih merujuk pada Al-Qur'an, seringkali pemahaman itu
dikaitkan atau mengambil dukungan dari hadis sebagai penjelas. Itulah sebabnya Muhammad
al-Gazali sangat menganjurkan para pengkaji hadis untuk senantiasa memperhatikan
159
pandangan-pandangan fuqaha, bahkan beliau menegaskan bahwa tidak akan sempurna dan
bermanfaat hadis tanpa fikih.222

Melihat kaitan antara hadis dan fikih tersebut, maka posisi hadis dalam pembentukan
hukum Islam sangat penting. Hadis di mata ulama Muhaddisin dan ulama ushul
berkedudukan sama dengan Al-Qur'an. Namun jika keduanya diurut, maka Al-Qur'an
menempati urutan pertama sedang hadis menempati posisi yang kedua. Kendatipun sudah
jelas kedudukan hadis tersebut, namun masih ada juga orang - khususnyan orientalis dan
sekelompok kecil umat Islam yang mencari-cari alasan untuk tidak mengakui dan menerima
hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Tapi perlu dicatat bahwa penolakan mereka
terhadap hadis lebih disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya terhadap al-Qurr'an dan
terutama kepada hadis itu sendiri.

B. Saran

Demikianlah makalah ini dibuat untuk meneliti dan semoga bermanfaat untuk
seterusnya, berbagai kekurangan berasal dari Pemakalah, demgan mata kuliah Ulumul Hadits
ini kita dapat memperluas wawasan dan pengetahuan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal,

Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. terj. Muhammad alBaqir, (Bandung Mizan,
1996),

Amir Syarifuddin, op.cit.,

Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal Bakti, 2000),

222
Lihat Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. terj. Muhammad alBaqir, (Bandung Mizan,
1996), h. 200.

160
161
TAKHRIJUL HADITS: PENGERTIAN TAKHRIJ, MACAM-MACAM TAKHRIJ
AL-HADITS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 11

Senita Indah Maulani (11180510000016)

Afi (11180510000

Izra Seva Batiwara (11180510000025)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

162
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu Takhrij merupakan kunci perbendaharaan Hadits. Faedahnya sangat jelas
ketika mengetahui suatu Hadits, tetapi kita tidak mengenal hakekat Hadits tersebut,
apakah ia benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW atau tidak. Ilmu Takhrij juga
memperkenalkan memperkenalkan metode-metode untuk dapat sampai pada Hadits
yang dikehendaki. Masing-masing metode dapat dipergunakan tanpa ada keharusan
hubungan dengan metode lainnya. Bila kita telah memahami masing-masing metode
dengan baik, maka tentunya akan lebih mudah lagi mencari Hadits yang kita
maksudkan.
Takhrij Hadits merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadits.
Pada masa awal penelitian hadits telah dilakukan oleh para ulama salaf yang
kemudian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadits. Mengetahui
masalah Takhrij, kaidah dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi
orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i, agar mampu melacak suatu hadits sampai
pada sumbernya.
Kebutuhan Takhrij adalah perlu sekali, karena orang yang mempelajari ilmu
tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadits atau tidak dapat
meriwayatkannya, kecuali setelah ulama-ulama yang meriwayatkan hadits dalam
kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena itu masalah Takhrij ini sangat
dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang
sehubungan dengannya. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang Takhrij Hadits ini akan
dibahas dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian Takhrij Hadits?
2. Apa saja macam-macam Takhrij al-Hadits?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang pengertian Takhrij Hadits.
2. Mengetahui tentang macam-macam Takhrij al-Hadits.

163
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrij Hadits


Secara etimologis, Takhrij berasal dari kharraja yang berarti tampak atau jelas.
Kata Takhrij menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, mengeluarkan
(istinbath), melatih/meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih).223
Secara terminologis, Takhrij menurut Mahmud ath-Thahhan, ia menyebutkan
pengertian Takhrij sebagai petunjuk tentang tempat atau letak Hadits pada sumber
aslinya yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan
martabat atau kedudukannya manakala diperlukan.224
Berdasarkan definisi diatas, maka men-takhrij, berarti melakukan dua hal,
yaitu: pertama, berusaha menemukan para penulis. Hadits itu sendiri dengan
rangkaian silsilah sanad-nya dan menunjukkannya pada karya-karya mereka, seperti
kata-kata akhrrajahu al-Baihaqi, akhrrajahu al-Thabrani fi Mu’jamih atau akhrraju
Ahmad fi Musnadih.225
Penyebutan sumber-sumber Hadits dalam definisi diatas, bisa dengan
menyebutkan sumber utama atau kitab-kitab induknya, seperti kitab-kitab yang
termasuk pada kutub as-sittah; atau sumber-sumber yang telah diolah oleh para
pengarang berikutnya yang berusaha menyusun dan menggabungkan antara kitab-
kitab utama tersebut.
Kedua, memberikan penilaian kualitas Hadits apakah Hadits itu Shahih atau
tidak. Penilaian ini dilakukan andaikan diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas
suatu Hadits dalam men-takhrij tidak selalu harus dilakukan. Kegiatan ini hanya
melengkapi kegiatan takhrij tersebut. Sebab, dengan diketahui darimana Hadits itu
diperoleh sepintas dapat dilihat sejauhmana kualitasnya.
Dalam Ilmu Hadits, Takhrij dipahami untuk beberapa kepentingan.226

223
Abu Muhammad Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi Daar al-I’tishaam, Metode Takhrij Hadits, Semarang:
Dina Utama Semarang, 1994, hlm.2

224
Drs. Sohari Sahrani, M.M, M.H., Ulumu Hadits, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hlm.112

225
Ibid, hlm.113

226
Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997,
hlm.150

164
a. Menjelaskan tentang Hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para
periwayat dalam sanad Hadits tersebut. Misalnya, ulama Hadits berkata, “Ini
Hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan jalur dari si Fulan, dari si Fulan,”
dan seterusnya.
b. Mengeluarkan dan meriwayatkan satu Hadits dari beberapa kitab, atau guru, atau
teman. Kegiatan ini memperhatikan riwayat hidup periwayat. Tujuannya tiada
lain, mengetahui apakah periwayat dapat dipercaya apa tidak.
c. Menunjukkan kitab-kitab sumber Hadits, yakni menyebutkan letak sebuah Hadits
dalam berbagai kitab yang didalamnya ditemukan Haditsnya secara lengkap
dengan sanad masing-masing.
B. Macam-macam Takhrij al-Hadits
a. Takhrij Al-Muwassa’
Takhrij yang dibentuk oleh mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits)
dengan cara mendatangkan hadits berserta sanad-sanadnya, mengomentari rowi,
menjelaskan derajatnya dan hal yang samar pada matannya lalu serta menyebutkan
syahid dan ilat – ilatnya dalam hadits.227 Adapun takhrij ini terdapat pada kitab badrul
al-Munir karangan Ibnu al- Mulqin 10 jilid, kitab Nashbu al-Rayyah karangan az-
Zailai’I 4 jilid dan kitab Ikhbarul al-Ahya’ bi al- akhbaaril al-ihya’ karangan Imam al-
I’raqi. Adapun motif dari takhrij muwassa’ ini adalah untuk :
1. Memutawatirkan atau mempopulerkan hadits.
Contoh : Hadits tentang mengusap dua muzzah, dalam hadits ini Imam al-Zailai’
mengomentari hukum mengusap dua muzzah, beliau mengungkapkan bahwa hukum
mengusap dua muzzah adalah boleh karena adanya dalil sunnah dan khabar – khabar
yang mashhur yang membincangkan hadits tersebut. Imam al-zailai’ dari imam abu
umar ibnu abdul al-Barr didalam kitabnya al- Istidzkar beliau berkata :
َ ‫ ا ْل َم ْس َح َعلَى ْالخفَي ِْن نَحْ و أ َ ْربَعِينَ ِم ْن ال‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َر َوى َع ْن النَبِي‬
،‫ص َحابَ ِة‬
Artinya : 40 shahabat meriwayatkan tentang hadits mengusap dua muzzah dari nabi.
- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ب النَبِي‬ ْ َ‫سبْعونَ ِم ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ ‫ َحدَثَنِي‬:َ‫س ِن أَنَه قَال‬َ ‫ ر ِوينَا َع ْن ْال َح‬:‫ قَا َل ابْن ْالم ْنذ ِِر‬:‫اإل َم ِام‬
ِ ْ ‫َوفِي‬
‫س َح َعلَى ْالخفَي ِْن‬َ ‫ َم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َ ‫أَ َن َرسو َل‬

227
A’li bin Nayif as-Syahud, Mufasshal fi Ushul at-Takhrij wa dirasah al-Asanid, Maktabah as-Syamilah, juz 1,
hlm. 14.

165
Dan di dalam kitabnya al-Imam, imam ibnu al- Mundzir berkata : kami
diriwayatkan hadits ini dari al-Hasan bahwasannya beliau berkata : telah
menceritakan pada kami dari 70 shahabat nabi bahwasannya rosulullah pernah
mengusap dua muzzah.
Selain itu juga Imam al-Zailai memperluas dalam takhrijnya, dan motif beliau
mentakhrij ini bukanlah untuk menshahihkan hadits dan menolak ilat akan tetapi
beliau mentakhrij hadits ini tujuannya hanyalah untuk memutawatirkan dan
mempopulerkan hadits.
2. Mengungkapkan ilat atau menolaknya yang tertera dalam hadits,
kemudian menghimpun dan mengadakan riset (penelitian) periwayat hadits yang
mempunyai peranan penting dalam memastikan dan menolak ilat dalam hadits.
Dalam hal ini imam Ibnu al- Madini berkata :
."‫" الحديث إذا لم تجمع طرقه لم تكشف علته‬
Artinya : Jikalau hadits itu tidak terhimpun periwayatnya maka ilatnya tidak akan
tersingkap.
Contoh : Hadits tentang dua qullah yang ditakhrij oleh Imam al-Daruthni didalam
kitab sunannya dari 25 periwayat, dan beliau mampu menolak ilat hadits itu
dikarenakan asumsi para ulama mengenai kekacauan hadits tersebut.
b. Takhrij Wasath atau Mutawassith
Takhrij wasath atau mutawassith adalah takhrij diantara takhrij yang panjang
dan ringkas, maksudnya si mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) menyebutkan
perowi hadits yang masyhur.
Adapun Takhrij ini terdapat dalam kitab al-Kasyfu al-Mubin An takhrij ahadiitsii ihya
ulumuddin karangan al-Iraqi, kitab al-Talkhish al-Habir karangan hafidz ibnu hajar,
kitab khulashoh al-Badrul munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan beliau ketika
menjelaskan manhajnya di dalam kitab khulashoh beliau berkata : Motif saya dalam
mentakhrij hadits yaitu untuk menyebutkan periwayat yang paling shohih dan hasan,
dan di dalam maqalah – maqalah beliau tentang periwayat yang paling rojih (unggul),
beliau memberikan isyarat dengan perkataannya yaitu dengan lafadz ‫ ) متفق عليه‬telah
disepakati). Isyarat beliau ini muncul ketika yang meriwayatkannnya adalah Imam
muhadditsin yaitu Imam Abu abdillah Muhammad ibnu ismail ibnu Ibrahim ibnu
bardazbah al-Ju’fi al-Bukhori dan Abu al-Husain muslim Ibnu al-Hujjaj al-Qusyairi
an-Nasyaaburi, dan beliau juga berkata : ‫( رواه األربعة‬diriwayatkan oleh 4 imam)
ketika yang meriwayatkannya adalah Imam al-Turmudzi didalam kitab jami’nya dan
166
Abu dawud, an-Nasaii dan Imam ibnu majah didalam kitab sunannya. Dan beliau juga
berkata ‫( رواه الثالثة‬diriwayatkan oleh 3 imam ) ketika yang meriwayatkannya adalah
Imam yang telah disebutkan diatas di dalam kitab sunannya selain Imam Ibnu
majah228
c. Takhrij mukhtashar
Yang dimaksud dengan takhrij Mukhtashar adalah Takhrij yang diringkas oleh
pengarang kitab atas periwayatan hadits dengan sanad-sanad Muallif (pengarang
kitab) yang lebih akurat atau dengan sanad- sanad muallif yang paling atas dan yang
paling mashhur (terkenal) ditinjau dari segi sanad dan dengan lafadz yang lebih
mengena dan lembut dalam ungkapannya tentang makna dan hukum – hukum
menurut muallif ditinjau dari segi matan (konteks) hadits. Di dalam takhrij ini ada dua
macam metodenya :
1. Takhrij dengan riwayah maksudnya adalah para ulama hadits mencantumkan
sebagian perowi hadits dari beberapa perowi hadits yang ada kerena ada
tujuan menurut pandangan salah satu dari ulama tersebut. Seperti kitab as-
Shahih nya Imam bukhari yang diringkas dari kitab Musnad al-Kabir yang
sebagian sanadnya yang shohih di tiadakan oleh beliau. Begitu pula kitab
shahih ibnu al-Khuzaimah.
2. Takhrij dengan penisbatan atau Ihalah (memindah) seperti kitab al-Muntaqa
minal badril munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan kitab at-Tarhib wa at-Tarhib
karangan al-Mundziri, yang menjelaskan didalam muqaddimahnya, bahwa
kitab tersebut mentakhrij kitab mukhtasshar.229

228
A’li bin Nayif as-Syahud, Mufasshal fi Ushul at-Takhrij wa dirasah al-Asanid, Maktabah as-Syamilah,
juz 1, hal 111

A’li bin Nayif as-Syahud, Mufasshal fi Ushul at-Takhrij wa dirasah al-Asanid, Maktabah as-
229 229

Syamilah, juz 1, hal 111-113

167
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya Ilmu Takhrij Hadits ini sangat perlu dipelajari, karena untuk
mengetahui riwayat suatu hadits, baik sanad, matan, perawi dan yang berkaitan
dengan hadits.
Ada perbedaan dikalangan ulama Hadits dalam mendefinisikan Takhrij
Hadits. Namun, dapat disimpulkan bahwa Takhrij Hadits adalah menelusuri suatu
Hadits ke sumber asalnya pada kitab-kitab Jami, Sunan dan Musnad. Kemudian jika
diperlukan menyebutkan kualitas Hadits tersebut apakah Shahih, Hasan atau Dhaif.
Ada beberapa macam-macam Takhrij Hadits:
1. Takhrij Al-Muwassa’
2. Takhrij wasath atau mutawassith
3. Takhrij mukhtashar
B. Saran
Dalam rangka untuk mengetahui apakah suatu Hadits yang kita terima
merupakan Hadits yang Shahih, Hasan ataupun Dhaif. Sehingga memudahkan kita
untuk mengamati Hadits tersebut. apakah Hadits Maqbul atau Mardud, kegiatan
Takhrij Hadits sangatlah penting. Serta akan menguatkan keyakinan kita untuk
mengamalkan Hadits tersebut.

168
DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi Daar al-I’tishaam. Metode
Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama Semarang. 1994
Sahrani Sohari. Ulumu Hadits Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. 2010
Zuhri Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya. 1997
A’li bin Nayif as-Syahud. Mufasshal fi Ushul at-Takhrij wa dirasah al-
Asanid, Maktabah as-Syamilah.

169
BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADITS DAN PENYUSUN KUTUBUS SAB’AH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing : Khaeron Sirin, M.A.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 12

Egi Rizqi Baehaqi (11180510000014)


Siti Anisatusshalihah (11180510000132)
Muhammad Rafi Sihabudin (11180510000224)

KELAS KPI 3D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M / 1441 H

170
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-qur’an membutuhkan penjagaan
dan pengawasan yang ekstra ketat agar dapat sampai kepada kita dengan utuh tanpa
terhindar segala bentuk keraguan akan sumber hadis tersebut.

Untuk menjaga hadis Nabi-Nya, maka Allah telah menyiapkan generasi pilihan yang
memiliki karakter cinta terhadap Nabi dan sunnahnya. Hingga didapatkan dari generasi ke
generasi orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut. Mereka itulah yang
kemudian dikenal dalam islam sebagai tokoh-tokoh pembela hadis dan penyusunan hadis
Nabi saw., maka salah satu dari beberapa bagian penting yang tidak kalah menariknya
untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan
hadis, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada zaman sekarang ini dapat
dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematik serta dapat
melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasullulah saw. untuk beribadah seperti yang
dicontohkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi tentang sahabat para perawi hadits dan penyusun Kutubus-Sab’ah?
2. Apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu hadits?
3. Siapa saja guru dan murid para perawi hadits dan para penyusun Kutubus-Sab’ah?
4. Apa saja karya dari para perawi hadits dan para penyusun Kutubus-Sab’ah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi tentang sahabat para perawi hadits dan penyusun Kutubus-
Sab’ah.
2. Untuk mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu hadits
3. Untuk mengetahui guru dan murid para perawi hadits dan para penyusun Kutubus-
Sab’ah
4. Untuk mengetahui karya dari para perawi hadits dan para penyusun Kutubus-Sab’ah

171
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Muktsirun Fi Al-Hadits
Pada umumnya para sahabat Rasul SAW secara keseluruhan menerima dan
mendengar hadits dari Rasulullah, baik secra langsung maupun lewat perantarasahabat
lain, ketika yang bersangkutan tidak hadir pada saat Rasulullah menyampaikan hadits
tersebut. Meskipun demikian, tidaklah semua sahabat mempunai pengetahuan dan
pembendeharaan Hadits yang sama. Hal ini terutama karena ada diantara sahabat tersebut
selalu atau sering mendampingi Rasul dan ada yang tidak; demikian juga diantara mereka
yang konsern dengan hadits dan periwayatannya, dan ada yang bersikap ketat dan sangat
hati-hati dalam periwayatan hadits.
Dari sekian banyak sahabat yang mempunyai perhatian besar terhadap hadits Nabi
SAW, sehingga mereka menghafal dan bahkan ada yang menuliskannya, sehingga mereka
digelari dengan al-Muktsirun fi al-Hadits. Mereka itu adalah :
1. Abu Hurairah
2. ‘Abd Allah ibn Umar ibn Khattab
3. Anas ibn Malik
4. ‘Aisyah Umm al-Mu’minin
5. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas
6. Jabir ibn ‘Abd Allah
7. Abu Sa’id al-Khudri
Secara ringkas uraian mengenai biografi mereka adalah sebagai berikut :

1. Abu Hurairah ( 19 SH – 59 SH )
Nama lengkap Abu Hurairah adalah ‘Abd al-Rahman ibn Shakhr al-Dausi al-
Yamani lahir pada tahun 21 tahun sebelum hijriyah. Pada masa sebelum islam namanya
adalah ‘Abd Syams, dan setelah islam dinamai Rasulullah dengan nama ‘Abd- Al-
Rahman, dan selanjutnya dia dikenal dengan Kuniyah-nya, yaitu Abu Hu-rairah. Gelar
Abu Hurairah tersebut berawal dari pengalamannya sebagaimana yang dikisahkan
langsung, yaitu bahwa suatu hari dia menemukan seekor anak kucing, lantas anak
kucing tersebut dibawanya dengan cara memasukannya ke dalam lengan bajunya. Oleh
karena itu dia digelari dengan Abu Hurairah yang artinya ayah kucing. Dan ketika dia

172
menggembala kambing keluarganya, dia sering bermain dengan anak kucingnya
tersebut.
Abu Hurairah telah memeluk agama Islam semenjak dia berada di Yaman, yaitu
di hadapan Al-Thufail ibn ‘Amr dia berhijrah ke Madinah bergabung bersama
Rasulullah pada saat Penaklukan Khaibar tahun 7 H.
Kehidupannya di Madinah sangat bergantung pada Rasulullah SAW, baik untuk
kebutuhan makanan maupun juga untuk kebutuhan pokok lainnya. Pekerjaannya
hanyalah semata mata untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, terutama dari Rasulullah
SAW, sehingga tidak ada kegiatannya yang lainnya.
Abu Hurairah senantiasa bersama Rasulullah selama empat tahun, yaitu semenjak
kedatangannya di khaibar hingga wafat Rasulullah SAW. Akan tetapi ada yang
berpendapat bahwa dia bersama rasul hanya 3 tahun, karena selama 1 tahun beliau di
kirim ke Bahrain bersamaala al- Hadhrami.
Meskipun Abu Hurairah hidup bersama Rasulullah selama 3 tahun, masa yang
singkat tersebut ternyata dapat dipergunakan untuk menyerap dan menimba berbagai
ilmu pengetahuan dari Rasulullah SAW. Sehingga dia dapat meriwayatkan hadits lebih
banyak dari sahabat sahabat lainnya. Menurut Ahmad Syakir, Jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak 5374 yang terdapat dalam Musnad Baqi dan
3848 Hadits didalam Musnad Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Syakir, jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah setelah dikeluarkan hadits hadits yang berulang kali
disebutkan adalah sejumlah 1579 Hadits.
Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H. tentang tahun wafatnya terdapat ikhtilaf
para ahli.Hisyam ibn ‘Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.
Pendapat ini diikuti oleh ‘Ali bin al-Madani dan Subhi al-Shalih memandangnya
sebagai pendapat yang rajih. Akan tetapi ‘Ajjaj al- Khathib memilih pendapat yang
menyatakan tahun wafatnya adalah tahun 59 H.

2. ‘Abd Allah ibn Umar ibn al-Khattab (10 seb. H - 73 H)


‘Abd Allah Ibn Umar lahir pada tahun ke 10 sebelum Hijriyah dan meninggal
pada tahun 73 H = 693 M di Makkah. Masuk Islam ketika ia masih berusia 10 tahun
bersama ayahnya. Ia berhijrah ke Madinah lebih dulu dari pada ayahnya. Pada masa
perang Uhud ia masih kecil usianya, sehingga tidak diizinkan Rasulullah mengikutinya,
kecuali peperangan-peperangan berikutnya. Ia selalu ikut bertempur bersama Nabi
SAW dalam perang Khandaq dan peperangan sesudahnya.
173
Ia adalah anak khalifah Umar Bin Khattab dan saudara kandung Habshah Umul
Mu'minin. Meskipun ayahnya seorang khalifah, dan sangat luas kekuasaannya, namun
ia tidak punya ambisi kedudukan atau kekhalifahan. Hal ini disebabkan disamping
sikap ayahnya yang tidak nepotis, ia selalu mencurahkan segala perhatiannya untuk
mencari ilmu dan beribadah. Oleh karena itu Ia tidak terlibat dalam pergolakan politik
yang terjadi dikalangan sahabat yang mengakibatkan perang saudara, baik pada
pemerintahan Usman, Ali dan sesudahnya.

Abdullah Ibn Umar termasuk seorang sahabat yang tekun dan berhati-hati dalam
periwayatan hadits.Abu Ja'far berkata: "Tidak ada seorang sahabat Nabi yang
mendengar Hadits Nabi dari Rasulullah yang lebih berhati-hati dari pada Ibn Umar, ia
tidak mengurangi dan tidakmenambah periwayatan."Menurut Imam Malik selama 60
tahun sesudah Nabi wafat, Ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan Hadits.Ibn Al-
Bakkar juga mengatakan bahwa Abdullah Ibn Umar menghafal semua yang didengar
dari Rasulullah dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis
Rasulullah tentang segala perkatan dan perbuatannya.Bahkan sebagian ulama
berpendapat bahwa As-Shahhu Al-Hasanid (sanad yang paling shahih) yang disebut
silsilah Adz-Dzahab adalah Hadits yang diriwayatkan dari Malik dari
Nafi' dari Abdullah Ibn Umar.

Ia juga adalah salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits, jumlah
Hadits yang diriwayatkannya sekitar 2630 Hadits. Sejumlah 1700 Hadits yang
diantaranya disepakati oleh Bukhari dan Muslim.Bukhari meriwayatkan 81 Hadits,
dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 Hadits. Ia meriwayatkan Hadits dari Nabi dan
dari para sahabat diantaranya dari ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara
kandungnya Habshah, Abu Bakar, Umar, Ali, Bilal, Ibn Mas'ud, Abu Dzar, dan Nash.

3. Anas ibn Malik (10 seb. H - 93 H)


Nama lengkapnya adalah Anas ibn malik ibn al-Nadhr ibn Dhamdan al-Anshari
al-Khasraji al-Najjari. Ketika Rasul SAW hijrah ke madinah, Anas baru berusia 10
tahun. Ibunya ummu sulaim, menyerahkan anas kepada rasul SAW agar dapat

174
berkhidmat kepada Rasul. Anas kemudian tumbuh dan besar bersama Rasul SAW, dan
ia berkhidmat pada Rasul SAW selama 10 tahun230.

Anas adalah seorang sahabat yang terkenal wara, banyak ibadahnya, dan sedikit
bicaranya. Sehingga abu hurairah pernah berkomentar tentang Anas, "Saya tidak
melihat seseorang yang ibadah solatnya menyerupai solay Rasul SAW selain ibn
Ummu Sulaim, yaitu Anas".231

Anas adalah perawi hadits terbanyak ketiga di kalangan sahabat. Jumlah hadis
yang di riwayatkannya adalah 2286 hadis. Diantaranya 318 hadis di riwayatkan oleh
Bukhari dan muslim, 80 hadis di riwayatkan oleh bukhari saja, dan 70 hadis di
riwayatkan oleh muslim saja.232

Riwayat yang palinf shahih dari anas adalah melalui jalur Malik, dari Al-Zuhri,
dan dari Anas. Sedangkan yang paling lemah adalah melalui jalur Daud ibn al-
Muhabbar, dari Aban ibn Abi Iyasy, dari Anas.233

4. A'isyah Umm al-Mu'minin (9 seb. H - 58 H)


Dia adalah A'isyah binti Abu Bakar al-Shiddiq, salah seorang istri Rasul SAW.
rasulullah menikahinya pada bulan Syawal tahun 2 H, yaitu setelah peperangan Badar.
Dialah satu satunya istri rasulullah SAW yang di nikahinya dalam keadaan gadis.
A'isyah hidup bersama Rasul SAW selama 8 tahun 5 bulan. 234

A'isyah adalah seorang yang cerdas serta menguasai al-quran dan hadis hadis
Nabi SAW, terutama yang berkenaan dengan permasalahan wanita, dan bahkan dia
juga seorang yang ahli dalam bidang Fiqh sehingga dianggap sebagai salah seorang
fuqaha Sahabat.235

230
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits h. 363

231
Ibid , Ajjaj Al-Sunnah h. 471

232
Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah h. 473

233
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits h. 364

234
Ibid, h 364-365, Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah, h 474

235
Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah h 474

175
Selain langsung dari Rasulullah SAW sebagai sumber yang terbanyak dari
perbendaharaan Hadisnya, A'isyah juga menerima Hadis melalui ayahnya Abu Bakar,
Umar, Sa'ad Ibn Abi Waqqash, Usaid Ibn Khudhair, dan lain lain. Dan dari A'isyah
terdapat sejumlah Sahabat dan Tabi'in yang meriwayatkan hadis hadisnya, seperti abu
hurairah, Abu Musa Al-asyari, Zaid ibn Khalid al-Juhni, Shafiah binti Syaibah, dan
lainnya dari kalangan Sahabat .236

Jumlah hadis yang di riwayatkan oleh A'isyah adalah 2210 Hadis. Sejumlah 316
Hadis terdapat pada Shahih Bukhari dan Muslim, 54 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari
saja, 68 Hadis diriwayatkan oleh Muslim saja, serta Hadis Hadis lainnya dijumpai pada
Al-Kutub al-Sittah, dan kitab kitab Sunan lainnya 237

A'isyah r.a meninggal dunia pada bulan ramadhan tahun 58 H. Dan ada yang
berpendapat pada tahun 57 H. 238

5. Abd Allah ibn Abbas (3 seb. H-68 H)


Dia adalah Abu al-abbas Abd allah ibn abbas ibn abd al-Muththalib ibm Hasyim
ibn abd Manaf al-Quraisy al Hasyimi anak paman Rasul SAW. ibunya adalah Umm al-
Fadhal Lubabah bint al-Harits al-Hilaliyah, saudara perempuan dari Maimunah bint al-
Harits al-Hilaliyah istri Rasul SAW. 239

Ibn Abbas lahir pada tahun 3 sebelum Hijriah di Syi'b, Mekah, yaitu ketika Bani
Hasyim sedang di asingkan oleh suku Quraisy musrik disana. Ketika Rasul SAW wafat,
ibn Abbas berusia 13tahun Rasul SAW semasa hidup beliau telah mendoakan ibm
Abbas agar di beri allah SWT hikmah, pemahaman terhadap agama, dan kemampuan
dalam mentakwil. Doa Rasul SAW tersebut dikabulkan Allah SWT, sehingga Ibn
Abbas menjadi seorang mufassir, dan seorang muhaddits yang memiliki koleksi Hadis
banyak. 240

236
Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadits h 365-366

237
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Juz 2, h 217

238
Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah h 475

239
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Juz 1 h 83 Shubhi al-Shalih Ulum al-Hadits h 366

240
Ajajj al-Khatib, Al-Sunnah h 476, Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadits, h 367

176
Dalam usahanya untuk mendapatkan Hadis, Ibn Abbas biasa mendatangi rumah
rumah para sahabat dan duduk di depan pintu rumah mereka dalam cuaca yang panas
dan berangin. Ketika para sahabat tersebut melihatnya, mereka lantas mengatakan
kepada Ibm Abbas "Wahai saudara sepupu Rasul SAW, jika engkau mengirim
seseorang kepada kami, niscaya kami akan datang kepada engkau." Jawaban yang
selalu muncul dari ibn Abbas adalah " Tidak justru saya yang harus mendatangi anda".
Dan, Ibn Abbas biasa meminta hadis dari mereka. Ibn Abbas adalah seorang yang
mencintai ilmu dan bekerja keras untuk mendapatkannya, sehingga untuk mengetahui
241
satu permasalahan saja dia mendatangi dan menanyakan kepada 30 orang sahabat.

Ibn Abbas menguasai berbagai disiplin ilmu yang berkembang dan diperlukan
pada masanya, sehingga dalam mengajarkan ilmu ilmu tersebut dia mengkhususkan
hari hari tertentu untuk bidang bidang tertentu, seperti satu hari untul bidang Fiqh, hari
berikutnya untuk tafsir, dan hari yang lainnya untuk sejarah, syi'r dan lain lainnya. 242

Sebagaimana yang telah di uraikan di atas, bahwa ibn Abbas mendapatkan Hadis
dari banyak sumber, dan sumber sumber tersebut adalah dari Rasul SAW sendiri, dari
ayahnya, dari ibunya (Umm al-Fadhal), saudaranya (al Fadhal), makciknya
(maimunah), Abu bakar, Umar Utsman, Ali Abd al-Rahman ibn Auf, Mu'adz ibn
Jabal.

Dari 1660 Hadis yang di riwayatkan oleh ibn Abbas sejumlah 234 hadis
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslik, 110 hadis di riwayatkan oleh Bukhari saja, 49
hadis oleh Muslim saja, dan selebihnya di jumpai di dalam Al-Kutub al-Sittah dan
kitab kitab Sunan. 243

Yang termasuk Ashahh al-asanaid dan Hadis yang bersumber dari ibn Abbas
adalah melalui jalur al -Zuhri, dari ubaid allah ibn Allah ibn Utbah, dari ibn Abbas
sedangkab sanad sanad yang paling dha'if adalah melalui jalur Muhammad ibn Marwan

241
Ajajj al-Khatib, Al-Sunnah h 476, Azmi, Studies in Early Hadits Literature, h. 40

242
Azmi, Studies in Early Hadits Literature, h 40

243
Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah , h 477

177
al-Suddi al-Shaghir, dari al-Kilabi dari Abi Shalih dan jalur ini juga disebut dengan
silsilah al-kadzib.244

Dalam masa hidupnya selain menekuni ilmu pengetahuan dan mengajarkannya,


Ibn Abbas juga pernah dipercayakan Khalifah Ali r.a. menjadi gubernur di Basrah,
namun dia meninggalkan tugas tersebut sebelum Ali terbunuh dan selanjutnya dia
kembali ke Mekah. Ibn Abbas meninggal dunia di Tha'if pada tahun 68 H. 245

6. Jabir ibn ‘Abd Allah ( 16 SH – 78 H )


Namanya adalah Jabir ibn ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn Haram ibnTsa’labah al-
Khazraji al- Salami al- anshoriabu ‘Abdullah, atau Abu Abd Al-Rahman, atau yang
mengatakan Abu Muhammad. Jabir adalah seorang faqih dan mufti pada masanya.
Ayahnya gugur dalam peperangan uhud dan meninggalkan keluarga yang
membutuhkan nafkah beserta hutang. Rasulullah SAW mengobati rasa dukanya,
menyantuninya dengan rasa kasih sayang dan memeliharanya sampai hutangnya
terbayar. Jabir sangat mencintai rasul SAW dan dia menyertai rasul SAW dalam setiap
peperangan yang dilakukan beliau, kecuali pada peperangan badr dan uhud.
Meskipun hidup dalam kesempitan, hal tersebut ternyata tidak menghalangi jabir
untuk menuntut dan mencari ilmu pengetahuan. Dia mendapatkan hadits yang banyak
dari rosul SAW dan setelah rasul wafat, jabir melakukan perjalanan untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan dari sahabat sahabat besar. Oleh karenya, selain dari rosul SAW jabir
juga memperoleh hadits dari sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah,
Talhah, Mu’ad Ibn Jabar, ‘Amr Ibn Yasir dan lain lain. Hadits hadits yang berasal dari
jabir diriwayatkan oleh anak-anaknya, yakni Abd al-Rahman, Uqoil dan Muhamad,
oleh Said ibnu al-Musayab, Mahmud ibn Lubaid, Amr ibn dinar dan lain lain.
Dari 1540 hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, sejumlah 202 hadits diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, 26 hadits oleh Bukhori saja dan 126 hadits oleh, muslim
saja.
Sanad yang paling sohih dari hadis jabir adalah melalui jalur ahli Makkah dari
jalan Sufian ibnu ‘uyainah dari Amr ibn dinar dari Jabir ibn Abdallah.

244
Al Suyuti, Tadrib al-Rawi, Juz 2, h 217

245
Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah , h 477

178
Jabir meninggal dunia pada tahun 78 H dalam usia 94 tahun, dan dia adalah
sahabat yang terakhir meninggal dunia di Madinah.

7. Abu Sa’id Al- Khudri ( 12 SH – 74 H )


Dia adalah Sa’ad ibnu Malik Ibnu Sinan Ibnu Ubaid Ibnu Tsa’labah Ibnu Ubaid
Ibnu Al-Abjar, yaitu Khudroh Ibnu Auf Ibnu Al Harits Ibnu Al-Khazraj Al- Anshori.
Pada usia 13 tahun, dia dibawa serta oleh ayahnya menghadap rosul SAW agar
diizinkan untuk turut dalam peperangan uhud, namun rosul SAW. Menganggapnya
masih terlalu muda untuk berperang ketika itu, dan selanjutnya beliau menyarankan
untuk dibawa pulang kembali. Dan dalam peperangan berikutnya dia telah dibenarkan
untuk berpartisipasi, sehingga selama hidupnya dia telah mengikuti sejumlah 12 kali
peperangan.
Selain langsung dari rosul SAW, Abu Said Al-Khuudri mendapatkan hadits
melalui ayahnya, yaitu Malik Ibnu Sinan, dari saudara seibunya yakni khotadah
ibnnu’man, dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid ibn Sabit, Abu, Khotadah Al-
Anshari, Abdullah Ibnusalam, Ibnu Abbas dan lain lain. Hadits-hadits Ibnu Said
selanjutnya diriwayatkan oleh anaknya Abdular-rahman, istrinya yakni
Zainabbintika’ab ibnu ajroh, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zabir, Zaid ibn Sabith dan lain-
lain.
Dari 1170 hadits yang merupakan koleksi Abu Said al-Khudri sejumlah 111
hadits diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, 43 hadits disepakati oleh keduanya, 16
hadits diriwayatkan oleh Bukhori saja, dan 52 hadits diriwayatkan oleh Muslim saja,
hadits-haditsnya yang lain dijumpai dalam kutubus sittah/ kutubus sab’ah.
Abu Said al-Khudri wafat pada tahun 74 H di Madinah, dalam usia 86 tahun.

B. Para Perawi Kutubus Sab’ah


Istilah Kutubus Sab’ah digunakan untuk menyebut enam kitab induk hadits, yaitu :
1. Musnad Ahmad (Musnadul Kabir)
2. Shahih Al Bukhari
3. Shahih Muslim
4. Sunan An Nasa`I
5. Sunan Abi Dawud
6. Sunan At Tirmidzi
7. Sunan Ibni Majah
179
Kutubu Sab’ah ini termasuk diantara kitab yang terbagus penulisan dan
penyusunannya, paling banyak benarnya dan sedikit kesalahannya, paling meluas umum
manfaatnya dan paling banyak faidahnya, paling besar barakahnya, paling mudah
kesukarannya, paling baik penerimaannya disisi orang pro dan kontra dan paling penting
posisinya dikalangan semua orang.
Masing-masing kitab tersebut memiliki ciri khas yang hanya diketahui oleh orang
yang ahli dibidang ini, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal oleh manusia dan tersebar
diseluruh pelosok negeri Islam dan pemanfaatannya menjadi besar serta para penuntut
ilmu berusaha keras untuk mendapatkannya dan memahaminya. Secara ringkas uraian
mengenai biografi mereka adalah sebagai berikut :

1. Imam Ahmad bin Hanbal


a. Nama dan Tempat Kelahirannya
Imam Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal Al-Marwazy adalah ulama hadits
yang terkenal kelahiran Baghdad. Di samping sebagai seorang muhadditsin, terkenal juga
sebagai salah seorang pendiri dari salah satu madzhab empat yang dikenal oleh orang-
orang kemudian, dengan nama madzhab Hanabilah (Hanbaly). Beliau dilahirkan pada
bulan Rabi’ul-awal, tahun 164 H (780 M) di kota Baghdad.

b. Perjalanan Menuntut Ilmu


Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau
fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa
kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di
Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia.
Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan
memuliakan beliau.

Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) –semoga Allah meridhoinya- mulai
menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh,
Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap
negeri”

Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama
tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal
seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang

180
terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan
yang dikehendakinya”

Ahmad bin Sa’id Ar Roziy berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih
hafal hadits Rasulullah dan lebih memahami fikih dan maknanya dari Abi Abdillah
Ahmad bin Hanbal”

c. Guru-guru dan Murid-muridnya


Dari perantauan, beliau mendapatkan guru-guru hadits yang ternama, antara lain :
Sufyan bin ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Qaththan. Adapun ulama-ulama besar
yang pernah mengambil ilmu dari padanya antara lain : Imam Bukhari, Imam Muslim,
Ibnu Abid-Dunya dan Ahmad bin Abil-Hawarimy. Beliau sendiri adalah salah seorang
murid Imam Syafi’iy yang paling setia. Tiadak pernah berpisah dengan gurunya ke
manapun sang guru berpergian.

d. Karya-karyanya

Diantara karya beliau yang sangat gemilang, ialah Musnadul Kabir. Kitab musnad
ini merupakan satu-satunya kitab musnad terbaik dan terbesar diantara kitab-kitab musnad
yang pernah ada. Kitab ini berisikan 40.000 buah hadits, yang sepuluh ribu dari jumlah
tersebut merupakan hadits ulangan. Sesuai dengan masanya, maka kitab tersebut belum
diatur bab per bab. Sehingga ulama ahli hadits yang terkenal di Mesir, Ahmad Muhammad
Syakir, berusaha menyusun daftar isi kitab musnad tersebut dengan nama Fihris Musnad
Ahmad. Selain itu beliau juga mengarang beberapa kitab lainnya, yakni An Nasikh wa Al
Mansukh, At Tarikh, Al Muqoddam wa Al Muawwal fil Qur’an, Jawabaati Al Qur’aniyah,
Al Manasik Al Kabir wa Al Shaghir, Az Zuhd dan Ar Rad ‘ala Al Jahmiyah.
e. Tanggal wafatnya

Beliau meninggal malam Jum’at, malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal 241H. Jenazah
beliau dihadiri dan disholatkan oleh manusia yang begitu banyak jumlahnya. Dikatakan
dalam sebuat riwayat yang mensholati beliau sekitar 1 juta, dalam riwayat yang lain
bahkan sampai 1,6 juta. Semoga Allah merahmati beliau dan memberi balasan yang
sebaik-baiknya.

181
2. Imam Bukhari
a. Nama dan Tempat Kelahirannya
Abu 'Abdillah Muhamad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardzibah,
adalah ulama hadits yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan,
wilayah Uni Soviet, yang merupakan impang jalan antara Rusia, Persi, Hindia dan
Tiongkok. Beliau lebih terkenal dengan nama Bukhary (putra daerah Bukhara). Beliau
dilahirkan setelah selesai sholat Jumat, pada tanggal 13 bulan Syawal, tahun 194 H (810
M). Seorang Muhadditsin yang jarang tandingannya ini, sangat wara' , sedikit makan,
banyak membaca Al-Quran, baik siang maupun malam, serta gemar berbuat kebajikan
kepada murid-muridnya. Nenek moyang beliau bernama Al-Mughirah bin Bardizbah,
konon adalah seorang Majusi yang kemudian menyatakan keislamannya di hadapan
Walikota bernama Al-Yaman bin Ahmad Al-Ju'fy, yang karena inilah kemudian beliau
dinasabkan dengan Al-Ju'fy atas dasar wala-ul-Islam.

b. Perhatiannya terhadap Ilmu Hadits


Sejak berumur kurang lebih 10 tahun, sudah mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu
Hadits, bahkan sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya.

Dalam rangka memperoleh informasi yang lengkap mengenai suatu hadits, baik
matan maupun sanadnya, Bukhari banyak melakukan perlawatan ke berbagai daerah,
seperti Syam, Mesir, Al-Jazair, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di
Hijaz selama enam tahun, dan berulanh kali ke Kufah dan Baghdad.246

Ketika Bukhari sampai di Baghdad, para ulama hadits disana bersepakat menguji
ulama muda yang mulai menanjak namanya. Ulama hadits tersebut terdiri dari 10 orang
yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits kepada beliau, yang sudah ditukar-
tukar matan dan sanadnya. Satu demi satu dari 10 ulama hadits tersebut menanyakan 10
hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau terhadap setiap hadits ialah tidak
mengetahuinya. Tetapi, setelah beliau mengetahui gelagat mereka yang bermaksud
mengujinya, lalu beliau menerangkan dengan membenarkan dan mengembalikan sanad-
sanadnya pada matan yang sebenarnya satu per satu sampai selesai semuanya.

246
Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadits wa al-Muhadditsun aw ‘Inayat al Ummat al-Islamiyah bi al-Sunnah
al-Nabawiyah (Kairo) h. 354

182
Para ulama yang hadir tercengang dan harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya
dan kehafalannya dalam ilmu Hadits.

Selain itu, Bukhari sangat selektif dalam menerima Hadits, terutama ketika akan
memasukkannya ke dalam kitab Jami'-nya tersebut. Beliau hanya memasukkan Hadits-
hadits Shahih saja ke dalam kitabnya itu, bahkan dalam rangka kehati-hatiannya, beliau
terlebih dahulu mandi dan menunaikan shalat 2 rakaat sebelum menuliskan suatu hadits ke
dalam kitabnya tersebut.247

Bukhari pun menetapkan syarat yang ketat dalam menerima suatu Hadits. Diantara
persyaratan yang disebutkan oleh Bukhari adalah : (i) perawinya harus muslim, jujur dan
berkata benar, berakal sehat, tidak mudallis, tidak mukhtalith, adil, dhabith, yaitu kuat
hafalannya, serta panca inderanya, tidak ragu-ragu dan memiliki etika yang baik dalam
meriwayatkan Hadits, (ii) sanadnya bersambung sampai ke Nabi SAW, dan (iii) matannya
tidak syadz dan tidak mu'amallah.248

Mengenai persambungan sanad, Bukhari juga memberikan persyaratan tertentu,


yaitu selain berada pada satu masa (al-mu'asarah), juga diperlukan adanya informasi yang
positif tentang pertemuan (al-liqadh) antara satu perawi dengan perawi berikutnya, dan
perawi yang berstatus murid benar-benar mendengar langsung (tsubut sima'hi) Hadits
yang diriwayatkan dari gurunya.249

c. Guru-guru dan Murid-muridnya


Beliau telah memperoleh hadits dari beberapa Hafidh, antara Maky bin Ibrahim,
'Abdullah bin Usman Al-Marwarzy, 'Abdullah bin Musa Al-'Abbasy, Abu 'Ashim As-
Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al-Anshary.

Ulama-ulama besar yang telah pernah mengambil hadits dari beliau, antara lain :
Imam Muslim, Abu Zu'rah, At-Turmudzy, Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa'iy.

d. Karya-karyanya

247
Ibn Hajar, Kitab Tahzib al-Tahzib, Juz 7 h. 43

248
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Kutub al-Sittah (Kairo : Majm” al-Buhuts al-Islamiyah, 1969), h. 60-61

249
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 313

183
Selain sebagai seorang Ulama Hadits yang terkenal, Imam Bukhari juga seorang
ulama yang produktif. Hal ini terbukti dari sejumlah karya yang dihasilkan semasa
hidupnya, seperti : Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi'in, Raf'a al-Yadain, Qira'at Khalfa
al-Imam, Khalq Af'al al-'Ibad, al-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Tarikh Shagir,
Tarikh Ausath, Tarik Kabir (8 Jilid) Al-Adab al-Mufrad, Birr al-Walidain, Al-Dhu'afa' dan
Shahih Bukhari.

Dari sekian banyak karyanya, yang paling terkenal diantaranya adalah Shahih
Bukhari. Judul lengkap dari kitab tersebut adalah al-Jami' al-Musnad al-Shahih al-
Mukhtasar min Umur Rasulullahi wa Sunanihi wa Ayyamihi. Buku tersebut disusunnya
selama 16 tahun. Dia mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut ketika berada di
Mekah, tepatnya di Masjidil Haram, dan secara etis menerus dia menulis kitab tersebut
sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Masjid al-Nabawi di Madinah.

e. Tanggal Wafatnya
Beliau wafat pada malam Sabtu elesai shalat isya, tepat pada malam Idul Fitri tahun
252 H (870 M) dan dikebumikan setelah shalat Dzuhur di Khirtank, suatu kampung tidak
jauh dari Samarkand.

3. Imam Muslim
a. Nama dan Tanggal Kelahirannya
Nama lengkapanya ialah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajj a-Qusyairi Al-Nisaburi.
Dia lahir pada tahun 204 H.250 Tidak ditemukan literatur yang dapat memberikan
informasi tentang keluarganya dan kehidupan masa kecilnya. Namun tidak diragukan
bahwa dia memulai studinya dengan mempelajari Al-Qur’an dan Bahasa Arab, sebelum ia
menuntut ilmu lainnya.

b. Perhatiannya terhadap Ilmu Hadits


Dia mempelajari hadits sejak tahun 218 H, yaitu pada usia sekitar 15 tahun. Diawali
dengan mempelajari Hadits dari guru-guru yang ada di negerinya , selanjutnya dia

250
Ibn Hajar, Kitab Tahzib al-Tahzib, Juz 8 h. 150

184
melakukan perlawatan ke luar daerahnya. Beliau mengunjungi kota Khurasan untuk
berguru hadits pada Yahya bin Yahya dan Ishaq bin - - - Rahawaih; didatanginya kota Rey
untuk belajar hadits pada Muhammad bin Mahran, Abu Hassan dan lain-lainnya; di Irak
ditemuinya Ibnu Hanbal, ‘Abdullah bin Maslamah dan selainnya; di Hijaj ditemuinya
Yazid bin Mansur dan Abu Mas’ad, dan di Mesir beliau berguru kepada ‘Amir bin Sawad,
Harmalah bin Yahya dan kepada ulama hadits yang lain.

Tentang persyaratannya ke-shahih-an suatu Hadits, pada dasarnya Imam Muslim,


sebagaimana halanya Imam Bukhari, tidak menyebutkan secara eksplitis di dalam kitab
Shahih-nya, namun para ulamaa menyimpulkan dan merumuskan persayaratan yang
dikehendaki oleh Imam Muslim berdasarkan metode dan cara dia menerima serta
menyeleksi hadits-hadits yang diterimanya dari berbagai perawi dan selanjutnya
memasukkannya ke dalam kitab Shahih-nya. Persayaratan tersebut pada dasarnya tidak
berbeda dari syarat-syarat ke-shahih-an suatu hadits yang telah disepakati oleh para ulama,
yaitu : sanad-nya bersambung, para perawinya bersifat adil dan dhabith (kuat hafalannya
dan terpelihara catatannya) serta selamat dari syadz dan ‘illat. 251

Dalam memahami dan menerapakan persyaratan tersebut, terdapat sedikit perbedaan


anatar Imam Muslim dan Imam Bukhari, yaitu dalam masalah ittishal al-sanad
(persambungan sanad). Menurut Imam Muslim, persambungan sanad cukup dibuktikan
melalui hidup semasa (al-mu’asharah) antara seorang guru dnegan muridnya, atau antara
seorang perawi dengan perawi yang menyampaikan riwayat kepadanya. Bukti bahwa
keduanya pernah saling bertemu (al-liqadh), sebagimana yang disyaratkan oleh Imam
Bukhari, tidaklah dituntut oleh Imam Muslim karena menurut Imam Muslim, seorang
perawi yang tsiqat tidak akan mengatakan bahwa dia meriwayatkan suatu hadits dari
seseorang kecuali dia telah dengar langsung dari orang tersebut, dan dia tidak akan
meriwayatkan sesuatu dari orang yang didengarnya itu kecuali apa yang telah dia dengar.

c. Guru-guru dan Murid-muridnya

251
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 316

185
Selain yang telah disebutkan diatas, masih banyak ulama hadits yang menjadi
gurunya, seperti Qatadah bin Sa’id, Al-Qa’naby, Isma’il bin Abi Uwais, Muhammad bin
Al-Mutsana, Muhammad bin Rumhi dan lain-lainnya.
Ulama-ulama besar, ulama-ulama yang sederajat dengan beliau dan para hadifdh,
banyakyang berguru hadits padabelia, seperti Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu ‘Isa At-
Turmudzy, Yahya bin Sa’id, Ibnu Khuzimah, dan ‘Awwanah, Ahmad ibnu Mubarak dan
lain sebagainya.

d. Karya-Karyanya
Imam Muslim meninggalkan lebih dari 20 karya dalam dalam bidang Hadis dan
disiplin ilmu lainnya.252 Diantara karynya tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh
Azami, adalah : Al-Asma’ wa al-Kuna, Ifrad al-Syamiyyin, Al-Aqran, Al-Intifa’ bi Julud
al-Siba’, Aulad al-Shahabah, Awham al-Muhadditsin, Al-Tarikh,, Al-Tamyiz, Al-Jami’,
Hadits ‘Amr ibn Syu’aib, AL-Shahih al-Musnad dan lain-lain.
Dari sekian banyak jumlah karyanya, maka yang paling terkenal dan terpenting
adalah karyanya Al-Shahih. Judul lengkap buku ini ialah Al-Musnad al-Shahih al-
Mukhtasar min al-Sunan bi naql al-‘adl ‘an al-‘adl ‘an Rasul Allah.253 Kitab ini,
berdasarkan penomoran yang dilakukan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, memuat
bsejumlah 3033 Hadits. Penomoran tersebut tidak berdasarkan pada system sanad, namun
berdasarkan topic atau subjek hadits. Apabila penomorannya didasarkan kepada sanad,
maka jumlah haditsnya akan meningkat jauh lebih banyak, bahkan bias mencapai dua kali
lipat jumlah diatas. Sedangkan menurut Al-Nawawi, bahwa jumlah hadits yang terdapat
pada kitab Shahih Muslim, tanpamenghitung yang berulang, adalah sekitar 4000 Hadits.
Hadits-hadits tersebut adalah merupakan hasil penyaringan dari 300.000 hadits byang
berhasil ndikumpulkan oleh Imam Muslim. Dia melakukan penyeleksian dan penyaringan
hadits-hadits tersebut selama 15 tahun.254

e. Tanggal Wafatnya

252
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 315

253
Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature (Indiana : American Trust Publications, 1992), h. 95-96

254
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mustlahuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1989) h. 315

186
Beliau wafat pada tanggal 25 Rajab, hari Minggu tahun 261 H (875 M) dan
dikebumikan pada hari Senin di Nisabur.

4. Imam Abu Dawud


a. Nama Lengkap dan Tanggal Kelahiran
Ialah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats bin Is-haq As-Sijistany. Beliau
dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, yaitu di Sijistan (terletak anatara Iran dengan
Afganistan). Beliau dilahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H (817 M).
Beliau juga senang merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari
hadits dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian dikumpulkan, disusun dan ditulisnya hadits-
hadits yang telah diterima dari ulama-ulama Irak, Khurasan, Syam dan Mesir.

b. Guru-guru dan Murid-muridnya


Ulama-ulama yang telah diambil haditsnya, antara lain Sulaiman bin Harb, Utsman
bin Abi Syaibah, Al-Qa'naby dan Abu Walid At-Thayalisy.
Ulama-ulama yang pernah mengambil hadits-haditsnya, antara lain puteranya sendiri
'Abdullah, An-Nasa'iy, At-Turmudzy, Abu 'Awwanah, 'Ali bin 'Abdush-Shamad dan
Ahmad bin Muhammad bin Harun.

c. Karya-karyanya
Diantara karyanya yang terbesar ialah kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan
nama Sunan Abi Dawud.
Beliau mengaku telah mendengar hadits dari Rasulullah sebanyak 500.000 buah.
Dari jumlah itu beliau seleksi dan ditulis dalam kitab Sunannya sebanyak 4.800 buah.
Beliau berkata : "Saya tidak meletakan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang
banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan shahih,
semi Shahih (yusybihuhu), mendekati Shahih (yuqaribuhu) , dan jika dlama kitab saya
tersebut terdapat hadits yang wahnun syadidun (sangat lemah) saya jelaskan. Adapun yang
tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai Shahih dan sebagian
hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain.
Menurut pendapat Ibnu Hajar, bahwa istilah Shahih Abu Dawud ini, lebih umum
daripada jika dikatakan bisa dipakai hujjah (al-ihtijah) dan bisa dipakai (i'tibar).

187
Oleh karenanya, setiap hadits dhaif yang bisa naik menjadi hasan atau setiap hadits
hasan bisa naik menjadi hadits Shahih bisa masuk dalam pengertian yang pertama (lil-
ihtijaj), yang tidak seperti kedua itu, bisa tercakup dalam pengertian kedua (lil-i'tibar) dan
yang kurang dari ketentuan itu semua termasuk yang dinilai dengan wahnun syadidun.

d. Pujian para Ulama terhadapnya


Para Ulama telah sepakat menetapkan beliau sebagai Hafidh yang sempurna,
pemilik ilmu yang melimpah, muhaddits yang dipercaya, wira'iy dan mempunyai
pemahaman yang tajam, baik dalam bidang ilmu hadits maupun lainnya.
Al-Khaththany berpendapat, bahwa tidak ada susunan kitab ilmu agama setara
dengan kitab Sunan Abu Dawud. Seluruh manusia dari aliran-aliran yang berbeda-beda
dapat menerimanya. Cukuplah kiranya Ahwa umat tida perlu mengadakan persepakatan
untuk meninggalkan sebuah hadits pun dari kitab ini.
Sedangkan Ibn al-Araby mengatakan, barang siapa yang di rumahnya ada Al-Qur'an
dan Kitab Sunan Abi Dawud ini, tidak perlu memerlukan kitab-kitab yang lain.
Imam Ghazali pun memandang cukup, bahwa kitab Sunan Abi Dawud itu dibuat
pegangan bagi para Mujtahid.

e. Tanggal Wafatnya
Beliau wafat pada tahun 275 H (889 M) di Bashrah.

5. Imam At-Turmudzy
a. Nama dan Tanggal Lahirnya
Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di
kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran.
Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan Dzulhijjah tahun 200 H (824 M). Imam
Bukhary dan Imam Turmudzy, keduanya sedaerah, sebab Bukhara dan Turmudz itu adalah
satu daerah dari daerah Waraun-nahar.

b. Guru-guru dan Murid-muridnya


Beliau mengambil hadits dari ulama hadits yang ternama, seperti : Qutaibah bin
Sa'id, Is-haq bin Musa, al-Bukhary dan lain-lain.
Orang-orang banyak yang belajar Adita pada beliau dan diantara sekian banyak
muridnya dapat dikemukakan anatara lain Muhammad bin Ahmad bin Mahbub.
188
c. Karya-karyanya
Beliau menyusun satu kitab sunan dan kitab 'Ilalul-hadits. Kitab sunan ini hukum-
hukumnya sangat tertib. Setelah selesai kitab ini ditulis, menurut pengakuan beliau sendiri,
dikemukakan kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan ulama tersebut meridhai
nya, serta menerimanya dengan baik. "Barangsiapa yang menyimpan kitab saya ini di
rumahnya", kata beliau, "seolah-olah di rumahnya ada Nabi yang selalu berbicara". Pada
akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa smeua hadits yang terdapat dalam kitab ini
adalah ma'mul (dapat diamalkan).

d. Tanggal wafatnya
Beliau wafat di Turmudz pada akhir bulan Rajab tahun 279 H (892 M).

6. Imam Nasa'iy
a. Nama dan Tanggal Lahirnya
Imam Nasa'iy nama lengkapnya ialah Abu 'Abdir-Rahman Ahmad bin Syu'aib bin
Bahr. Nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan
pada tahun 215 H di kota Nasa yang masih termasuk wilayah Khurasan.
Seorang Muhaddits putra Nasa yang pintar, wira'iy, hafidh, lagi taqwa ini memilih
negara Mesir sebagai tempat untuk bermukim dalam menyiarkan hadits-hadits kepada
masyarakat. Menurut sebagian pendapat dari Muhaddits, beliau lebih hafidh daripada
Imam Muslim.

b. Guru-guru dan Murid-muridnya


Guru-guru beliau antara lain Qutaibah bin Sa'id, Is-haq bin Ibrahim dan imam-imam
hadits dari Khurasan, Hijaz, Irak dan Mesir.
Murid-murid beliau antara lain : Abu Nasher ad-Dalaby dan Abdul Qasim At-
Thabary.

c. Karya-karyanya
Karya beliau yang utama ialah Sunanul-Kubra ; yang akhirnya terkenal dengan
nama Sunan An-Nasa'iy. Kitab sunan ini adalah kitab Sunan yang muncul setelah

189
Shahihain yang paling sedikit hadits dhaif nya, tetapi paling banyak perulangannya,
misalnya, hadits tentang niat, diulangnya sampai 16 kali.
Setelah Imam Nasa'iy selesai menyusun Sunan Kubra nya. Beliau lalu
menyerahkannya kepada Amir Ar-Ramlah. Amir berkata : "Hai Abu 'Abdur-Rahman,
apakah hadits-hadits yang saudara tuliskan itu Shahih semua?" "Ada yang shahih dan ada
yang tidak" , sahutnya. "Kalau demikian, pisahkanlah yang shahih-shahih nya saja"
perintah Amir. Kemudian berusaha menyeleksinya, dan dihimpunnya hadits-hadits pilihan
ini dengan nama : Al-Mujtaba (pilihan).

d. Tanggal wafatnya
Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 13 bulan Safar tahun 303 H (915 M) di Ar-
Ramlah. Menurut suatu pendapat, meninggal di Mekah, yakni disaat beliau mendapat
percobaan di Damsyik, meminta supaya dibawa ke Mekah, sampai beliau meninggal dan
kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwah.

7. Imam Ibnu Majah


a. Nama dan Tanggal Kelahirannya
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz,
atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Majah, dengan Kuniyah Abu ‘Abdullâh, adalah
seorang ulama ahli hadis yang telah mengumpulkan hadits, karyanya yang paling dikenal
adalah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini termasuk dalam kelompok kutubus
sab’ah.
Ibnu Majah lahir pada tahun 207 H / 209 H di daerah Qazwin (salah satu kota yang
terkenal di kawasan ‘Iraq). Sebutan Majah dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga
dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah
adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih
shahih. Kata “Majah” adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya.
b. Guru-guru dan Murid-muridnya
Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru
yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah; ‘Ali bin Muhammad ath
Thanâfusî, Jabbarah bin AL Mughallas, Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair, Suwaid bin
Sa’îd, Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî, Muhammad bin Ramh, Ibrahîm bin Mundzir al
Hizâmi, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Hisyam bin
‘Ammar, Abu Sa’id Al Asyaj.
190
Adapun murid-murid yang mengambil ilmu darinya, diantara mereka adalah: Muhammad
bin ‘Isa al Abharî, Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî, Sulaiman bin Yazid al Fami, ‘Ali
bin Ibrahim al Qaththan, Ishaq bin Muhammad, Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar, ‘Ali bin
Sa’îd al ‘Askari, Ibnu Sibuyah, Wajdî Ahmad bin Ibrahîm.
c. Karya-karyanya
Beliau menyusun kitab Subab yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu
Majah. Dalam Sunan ini jumlah babnya terdiri dari 1515 bab dan 4341 hadits. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan nasakh. Namun, Al-Hafidh Al-Muzy berpendapat, bahwa
hadits-hadits ghrarib yang terdapat dalam Sunan ini, kebanyakan adalah dhaif.

d. Tanggal Wafatnya
Beliau wafat hari Selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H (887 M).

191
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan
peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam. Inilah
keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para
pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran.
Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan
kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak
membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.

Dalam gambaran biografi tersebut secara garis besar dikelompokkan ke dalam dua
kelompok besar. Pertama, para sahabat yang mendapat predikat Al-Mukatsirun fi Al-
Hadits, yakni para tokoh atau ulama yang banyak meriwayatkan hadis, yaitu Abu
Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, Abdullah ibn
Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Juga para penyusun Kutubus Sab’ah
yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’I, Imam Abu
Dawud, Imam At-Turmudzy dan Imam Ibnu Majah dengan persyaratan-persyaratannya
dalam menyusun kitab tersebut, mereka menyusunnya dengan kehati-hatian yang akhirnya
dapat dipelajari oleh kita hingga masa kini.

B. Saran dan Kritik


Makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini
di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

192
DAFTAR PUSTAKA

Al-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu. Beirut : Dar al-‘Ilm lil al-Malayin, 1973.

Al-Khatib, M. ‘Ajjaj. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut : Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.

Al-Khatib, M. ‘Ajjaj.Usul al-Hadits : ‘Ulumuhu wa Mutstalahuhu. Beirut : Dar al-Fikr, 1409


H / 1989 M.

Azami, Studies in Early Hadith Hadith Literatur Indianapolis, Indiana : American Trust
Publications, 1978.

Azami, Studies in Hadith Metedology and Literature Indianapolis, Indiana : American Trust
Publications, 1413 H / 1992 M.

Abu Syuhbah, Muhammad. Al-Kutub al-Sittah, Kairo : Majmu’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1969.

Abu Zahwu, Muhammad. Al-Hadits wa al-Muhadditsun aw ‘Inayat al Ummat al-Islamiyah


bi al-Sunnah al-Nabawiyah. Kairo t.p., tt.

193

Anda mungkin juga menyukai