Anda di halaman 1dari 17

TELOGI ISLAM

Dosen Pengampu : Dr. Amirsyah, M.A.,

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam

Disusun:
Mach Faiz Fathurazi 20210520100003

Syarifah 20210520100025

Insiyah Al Ares 20210520100005

PRODI MAGISTER STUDI ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari zaman jahiliyah kezaman Islamiyah.

Terselesaikannya makalah dengan judul “Teologi Islam” ini merupakan hasik kerja kami yang
tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik berupa dukungan do’a, semangat, sumbangan
pemikiran dan bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan makalah ini.

Tak ada gading yang retak, Kami menyadari dan mehami dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menerima dengan
senang hati kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritik sangat penulis harapkan
dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu makalah ini.

Cirendeu, 5 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................2
C. Tujuan .....................................................................................................................2
D. Manfaat ...................................................................................................................2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam ..................................3
B. Pemikiran Teologi Khawarij dan Murji’ah ...............................................................5
C. Pemikiran Teologi Qodariah dan Jabariah................................................................7
D. Pemikiran Teologi Mu’tazilah, dan Asy’ariyah ........................................................8

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Teologi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu berkaitan
dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan
argument-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan, dan mengajar
dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi digunakan para teolog
untuk memahami tradisi keagamaanya sendiri atau pun tradisi keagamaan
lainnya.
Menurut Loren Bagus teologi yaitu merupakan bagian metafisika yang
menyelidiki sesuatu yang eksisten menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir
suatu prinsip yang luput dari persepsi indrawi.
Mengkaji aliran-aliran Kalam/teologi pada dasarnya merupakan sebuah
cara untuk memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan
para ulama teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Kalam. Pada
dasarnya potensi yang dimiliki pada setiap manusia baik berupa potensi
biologis maupun berupa potensi psikologis secara natural sangat distingsif.
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi
tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuat keputusan sebagai pemicu
perbedaan pendapat. Penekanan yang serupa pernah dikatakan Imam
Munawwir ia mengatakan bahwa dalam Islam perbedaan pendapat
dilatarbelakangi karena adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan
kredibilitas seseorang sebagai figure pembut keputusan.
Umar Sulaiman Asy-Syaqar lebih menekankan aspek objek keputusan
sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat, yaitu persolan keyakinan (aqa’
id), persoalan syariah, dan persoalan politik.
Kehidupan umat Islam dalam banyak hal, mereka dipandang menempati
kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah

1
satu Hadist Nabi yang popular menyatakan bahwa ulama merupakan pewaris
para Nabi (al-ulama’ waratsah al-anbiya’).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam?
2. Bagaimana Pandangan Perihal Pemikiran Teologi Khawarij, Murji’ah,
Qodariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah?

C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam?
2. Mengetahui Pandangan Perihal Pemikiran Teologi Khawarij, Murji’ah,
Qodariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah?

D. Manfaat
1. Untuk pemakalah, lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Sejarah
Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam.
2. Untuk pembaca, dapat menjadi referensi bacaan hal-hal yang berkaitan
dengan Perihal Pemikiran Teologi Khawarij, Murji’ah, Qodariah, Jabariah,
Mu’tazilah, dan Asy’ariyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi dalam Islam


Menyangkut masalah hukum (syariat), para sahabat banyak bertanya
kepada Nabi untuk mendapatkan penjelasan, tidak demikian sikap mereka
dalam bidang aqidah; setelah mereka mengetahui aqidah yang diajarkan oleh
Nabi, maka mereka imani dengan sepenuh hati dan tidak lagi cenderung untuk
bertanya, lebih lanjut di sekitar akidah yang telah diajarkan.
Sikap begini tetap berlangsung hingga Nabi wafat. Para sahabat cukup
terlibat dalam pembahasan-pembahasan bidang hukum; mereka mendapat
tantangan mendesak untuk memikirkan masalah-masalah yang tumbuh dan
berkembang, sehubungan dengan meluasnya daulah Islamiyah (dalam masa
pemerintahan khulafa rasyidin, 11-40 H., daulah Islamiyah telah meliputi
Arabia, Syam, Irak, Persia, Mesir, Afganistan, Libya). Sedangkan dalam
bidang aqidah, mereka tidak merasa terpanggil untuk berdiskusi.[4]
Pertama dalam Bidang Politik bukan Bidang Teologi. Tetapi Persoalan
politik segera meningkat menjadi persoalan teologi. Dapat dilihat kedalam fase
perkembangannya yang pertama.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam
yang Beliau terima dari Allah SWT di Mekkah.
Dipertengahan Kedua dari Abad keenam masehi, jalan dagang Timur-
Barat berpindah dari Teluk Persia-Euphrat di Utara Laut Merah-Perlembahan
Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syiria.
Peperangan yang senantiasa terjadi antara Kerajaan Byzantin dan Persia
membuat jalan Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi dagang. Mesir,
mungkin juga sebagai akibat dari peperangan Byzantin dan Persia berada
dalam kekacauan yang mengakibatkan perjalanan dagang melalui Perlembahan
Neil tidak menguntungkan pula.

3
Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung
Arabia Mekkah yang terletak ditengah-tengah garis perjalanan menjadi kota
dagang. Pedagang-pedagangnya pergi ke Selatan membeli barang-barang dari
Timur, yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk dijual ke Syiria.
Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi.
Kaum pedagang tinggi untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka,
mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam
perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad sehingga beliau dan pengikut-
pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke Yastrib tahun 622 M.
Dari sejarah ringkas ini dapat kita ambil kesimpulan selama di Mekkah
Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepada Agama dan tidak
mempunyai fungsi kepada Pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada
disana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya Nabi
Muhammad, disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala
pemerintahan.
Sejarah meriwatkan bahwa Abu Bakarlah yang disetujui oleh masyarakat
Islam di waktu itu diganti menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam
mengepalai negara mereka.
Bibit-bibit perbedaan pemahaman tentang takdir Tuhan itu baru
menampakkan bentuknya yang jelas pada masa-masa berikutnya. Selain dari
itu, sejarah telah mencatat bahwa 'Abdullah bin Saba' (seorang Yahudi yang
pura-pura masuk Islam) pada zaman khilafah 'Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Ia ikut memanfaatkan suasana ketidakpuasan di kalangan kaum
muslimin yang timbul karena kelemahan politik Khalifah 'Usman (pada 6 tahun
terakhir masa kekhilafahnya) dan ambisi karib kerabatnya.
Abdullah bin Saba ini berusaha keras memperburuk situasi dengan
mendorong mereka yang tidak puas untuk memberontak kepada 'Usman bin
Affan. Sejalan dengan itu, ia juga berusaha memperkenalkan akidah-akidah
sesat di sekitar 'Ali bin Abi Thalib. Dikatakannya, bahwa pada diri 'Ali itu
terdapat unsur Ilahi, dia adalah washy rasulullah dan khalifahnya
berdasarkan nash, ia tidak mati terbunuh, ia tetap hidup dan akan datang

4
kembali, ia berjalan di atas awan, petir itu adalah suaranya dan kilat itu adalah
kilatan cambuk atau pedangnya, dan lain-lain.

B. Pemikiran Teologi Khawarij dan Murji’ah


Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja yang
berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berkenaan dengan
pengertian etimologis ini, Syahrastani menyebut orang yang memberontak
imam yang sah sebagai khawarij. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula,
khawarij berarti setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari
kesatuan umat islam.
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna
penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung arti
member pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan dari rahmat Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti pula
meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah
suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang
menerima arbitrase/tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/684 M
dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah.
Ukwah bin Udayyah yang dikenal sebagai aliran Khawarij berhadapan
dengan kasus pembunuhan atau dosa besar yang menjadi polemik pada masa
itu.
Bagaimana posisi orang beriman tetapi melakukan dosa besar. Aliran
Khawarij memiliki keyakinan bahwa jika seseorang tidak berhasil
membuktikan imannya dalam bentuk menghindari dari perbuatan dosa maka
dapat diterapkan hukum kafir dan dapat dibunuh.
Jika dikaji dari metodologi berfikir, pendirian ini berpangkal pada
keutuhan mutlak antara unsur-unsur iman yang terdiri dari pembenaran dalam

5
hati dengan realisasinya dalam perbuatan kongkret, keutuhan mutlak yang
dituntut oleh Khawarij antara iman dalam hati dengan perilaku praktis, sudah
barang pasti membawa pada konsekuensi bahwa pembunuh adalah orang yang
tidak memiliki iman dalam hati atau dengan kata lain kafir.
Kehadiran Khawarij dengan pahamnya seperti itu menyebabkan ulama-
ulama terpanggil untuk memikirkan masalah iman, kufur, atau merumuskan
jawaban tentang siapa yang berhak disebut mukmin dan siapa yang pantas
disebut kafir. Dengan demikian, persoalan iman dan kufur menjadi persoalan
teologis pertama yang menjadi perbincangan ulama Islam. Persoalan ini
ternyata dapat melahirkan paham dan kaum Mur'jiah, yang bibit-bibit mereka
sudah ada pada waktu terjadi perpecahan di akhir pemerintahan 'Usman (23-25
H.) dan melahirkan kaum Mu’tazilah pada awal abad kedua hijriyah.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan
Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan ira’ atau arja’a
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari
sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis,
diperkirakan lahir bersama dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
Murji’ah, pada saat itu merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin ‘Ash, seorang
kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro
dan yang kontra. Kelompok kintra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu
kubu Khawarij, memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan Al-
Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah SWT.
oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar
dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’,
membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta
memfitnah wanita baik-baik. Pendapat Khawarij tersebut ditentang
sekelompok sahabat yang kemudia disebut Murji’ah dengan mengatakan

6
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah SWT., apakah mengampuninya atau tidak.

C. Pemikiran Teologi Qodariah dan Jabariah


Al-Hasan bin Ali Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli
hadist kemudian dikenal dengan sebutan Murji’ah. Jadi bagi kelompok ini
orang Islam yang berdosa besar masih tetap beriman.
Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah memberi defenisi iman sebagai berikut:
Iman adalah pengakuan dan pengetahuan tentang Tuhan, Rasul-rasulnya dan
tentang semua apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam
rincian. Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada
perbedaan antara manusia dalam hal iman.
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu
qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi
istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam
dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga

7
pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat
dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-
Basri sekitar tahun 700 M.
Nama Jabariyah berasal dari kata ‫ َج َب َر‬yang mengandung arti “memaksa”
atau ‫ َج َبر‬yang mengandung arti “terpaksa”. Dikatakan demikian, karena segala
sesuatu yang terjadi bukanlah atas kehendak manusia itu sendiri, akan tetapi
perbuatan itu terjadi atau terlaksana adalah atas kekuasaan Allah semata.
Seumpama terbit dan terbenamnya matahari, pahala dan siksa. Dalam hal ini
manusia bagaikan kapas, kemana angin bertiup kesanalah kapas pergi. Dengan
demikian dapat dikemukakan, bahwa Allah akan memperbuat sesuatu adalah
atas kehendak, karena kekuasaan dan kemutlakan-NYA dalam berbuat. Di
dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.
Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain
adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Pada masa pemerintahan bani Umayah, pandangan tentang Jabar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, memberi reaksi
keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang
sama dilakukan oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Ini menunjukkan
bahwa sebagai suatu pola pikir (Mazhab) yang dianut, dipelajari, dan
dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.[10]

D. Pemikiran Teologi Mu’tazilah, dan Asy’ariyah


Secara etimologi kata ku’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti
“berpisah” atau “memisahkan diri” yang berarti juga ”menjauh” atau
“menjauhkan diri”.
Awal mula munculnya teologi ‘asy Ariyah adalah karena ketetapan imam
Ahmad ibn hambal. Dalam suatu kisah dikatakan saat Mu’tazilah menjadi

8
mahzab resmi dalam dinasti Abbasiyah, Raja saat itu sangat patuh kepada
Mu’tazilah. Mu’tazilah pun memaksa semua rakyat termasuk ulama-ulama
yang bertentangan dengan faham Mu’tazilah. Hingga sampai akhirnya hanya
ada 4 orang yang masih berani mempertahankan hukum Allah, yaitu Iman
Ahmad ibn Hambal, Muhammad ibn Nuh, Al-qawawiri, dan Sajjadah. Namun
Sajjadah hanya bertahan 1 hari, dan keesokan harinya giliran Al-qwawiri yang
melepaskan keyakinannya, menyusul Muhammad ibn Nuh yang akhirnya
tunduk pula. Dari ke-4 ulama tadi hanyalah Imam Ahmad ibn Hambal yang
tetap teguh pada pendiriannya. Penderitaannya terus berlanjut hingga
kepemimpinan Abbasiyah berganti khalifah, akhirnya Imam Ahmad diusir dan
dilarang member fatwa agama, dia bersembunyi disebuah goa dan akhirnya
wafat dalam I’tikadnya.
Secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai
satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam
yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh
Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun
105 –110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil
bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk
pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan
pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka.
Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang
dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu
faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai
satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran
Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi
ideologi yang mereka yakini.

9
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan
yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka
banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”. Tulisan Harun Nasution ini senada dengan tulisan Nurcholish Madjid
yang memberi alasan atas kerasionalan aliran ini. Mu’tazilah dijuluki dengan
Rasionalis dalam Islam.
Tokoh aliran ini adalah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu
Mansur Al-Maturidy. Aliran ini pada dasarnya aturan esensial berfikir ini
terdiri dari tiga komponen.
Pertama adalah pengakuan bahwa masing-masing lapisan realitas
memiliki logika berfikir yang sesuai dengan kodrat sendiri.
Kedua adalah pengakuan bahwa kebenaran dari lapisan lain dapat diterima
melalui keyakinan atas dasar otoritas aturan berfikir
Ketiga adalah pengakuan bahwa lapisan realitas tersebut merupakan
kesatuan dasar Tuhan yang diterima dalam Islam. Jadi aliran ini tidak
menetapkan hukum kafir bagi pelaku dosa besar.
Demikianlah, perselisihan ini menjadi perselisihan keagamaan setelah
pada mulanya merupakan perselisihan politik sehingga menjadi salah satu
pembahasan ilmu tauhid yang penting, sebagaimana masalah jabatan Khalifah
juga menjadi bidang kajian ilmu ini, meskipun lebih tepat untuk di bab ilmu
Fiqih karena menyangkut hukum amaliah bukan masalah keyakinan.
Hal ini dikarenakan masalah pemimpin pemerintahan pada garis besarnya
merupakan kemaslahatan yang berkaitan dengan orang yang pantas untuk
mengatur urusan-urusan kaum Muslimin, bukan masalah kepercayaan yang
berkaitan dengan salah satu dasar agama. Tetapi berhubungan dengan sebagian
kelompok mengajukan beberapa pendapat yang hampir-hampir membawa
kepada penolakan terhadap banyak kaidah Islam, maka para tokoh ilmu tauhid
menjadi masalah jabatan khalifah itu sebagai salah satu bidang kajian mereka,
untuk dibahas secara objektif, jauh dari fanatisme dan hawa nafsu, dengan
tujuan untuk memperoleh kebenaran tentang masalah tersebut, demi menjaga

10
akidah-akidah agama yang benar karena banyaknya masalah-masalah lain yang
masuk di dalam ilmu tauhid.
Perselisihan dan perpecahan yang berawal pada maslah politik yakni
masalah khilafah segera pula menjurus kepada masalah akidah dan keyakinan.
Peperangan yang timbula antara Ali Ibn Abi Thalib selaku khilafah keempat
dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, sebagai Gubernur Damsyik, yang
menganggap Ali bertanggung jawab atas kematian Usman, dicoba
menyelesaikannya dengan jalan tahkim, yaitu jalan damai yang biasa
dilakukan pada zaman sebelum merdeka.
Sebagian golongan Ali tidak setuju dengan jalan damai dalam
menyelesaikan masalah tersebut, karena mereka melihat kemenangan dalam
genggaman mereka dan kemenangan dalam peprangan berarti mendapatkan
harta rampasan dan dibagi kepada semua yang ikut berperang. Melihat kondisi
demikian mereka meninggalkan barisan Ali dan membuat kelompok sendiri
yang kemudian dikenak dengan kaum Khawarij.
Al-asy’ari pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi
kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran –
ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran – ajaran yang sesat,
al-Asy’ari meninggalkan ajaran – ajaran itu dan membentuk ajaran – ajaran
baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-asy’ariyah atau al-
Asya’irah. Sebenarnya pada waktu kecil, Al-‘asyari berguru pada seorang
tokoh Mu’tazilah terkenal, abu ali al-Jubba’I, untuk mempelajari ajaran –
ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Namun sebab lain bahwa al-Asy’ari
berdebat dengan gurunya al-Jubba’I dan dalam perdebatan itu guru guru tak
dapat menjawab tantangan murid.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sejarah meriwatkan bahwa Abu Bakarlah yang disetujui oleh masyarakat
Islam di waktu itu diganti menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam
mengepalai negara mereka.
2. Selama di Mekkah Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepada
Agama dan tidak mempunyai fungsi kepada Pemerintahan, karena
kekuasaan politik yang ada disana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu.
Di Madinah sebaliknya Nabi Muhammad, disamping menjadi kepala
agama juga menjadi kepala pemerintahan.
3. Khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima
arbitrase/tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/684 M dengan
kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah.
4. Murji’ah diambil dari Al-irjo’, yaitu menunda, menangguhkan,
mengakhirkan ; mungkin karena mereka mengakhirkan tingkatan amal
dari iman, atau kah mereka menangguhkan hukuman terhadap pelaku dosa
besar sampai hari kiamat, dan menyerahkan perkaranya kepada Tuhannya.
5. Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya,
manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
6. Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap
perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat
ketentuan terhadap makhluk-Nya.
7. Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik
yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin

12
Isma’il al-Asy’ari. Dalam belajar agama, Al-Asy’ari mula-mula berguru
kepada Abu Ali al-Jubba’i seorang pemuka Mu’tazilah. Akan tetapi, pada
usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, karena ia
mengalami berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-doktrin
Mu’tazilah.
8. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis.Golongan ini dikenal
sebagai kelompok rasionalis, karena mereka memberikan peran dan fungsi
yang sangat besar kepada akal dalam kehidupan manusia. Tokoh utama
aliran Mu’tazilah ini yakni Wasil bin Atha’. Dalam pemikirannya mereka
merumuskan lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu: tauhid, adil,
janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma’ruf nahi
mungkar.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2012
Abdur Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2013).
Al-Ghurabi, Tarih al-Firaq al-Islamiyyah. Kairo: Dar al Kutub, 1958.
Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006)
Al-Qur’an
Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489.
Dr. Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta 1987.
Dusar, Bakri. Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)
Prof. Dr. Nina W. Syam, M.S, Filsafat sebagai Sebagai Akar Ilmu Komunikasi,
Bandung, 2013
Prof. Dr. Abdul Rozak, Prof. Dr. Rosihan Anwar, M.Ag., Ilmu Kalam, Bandung
2012.
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London: Mac Millan & Co. Ltd. AH.
Imam Abu Hanīfah, Al-Fiqh Al-Akbar fi Al-Tauhīd, (Beirūt : Dār Al-Rabiyah li
Al-Thiba’ah, tt)
Kihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keisdonesiaan, Bandung:
Mizan, 1988,
Muhammad Abu Zahrah, Al-Madhahib Al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Al-Adab,
tt).
Munawwir, W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984),
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet.
V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Sa’ad, Duskiman. Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian
Teologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)
Al-Qur’an

14

Anda mungkin juga menyukai