Anda di halaman 1dari 19

KEWAJIBAN BELAJAR DAN MENGAJAR

DISUSUN OLEH :

TEUKU SYUJA 102201032


TAUFIK 102201041

MATA KULIAH : TAFSIR TARBAWI


Unit/Sem : 2/II

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa
ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang
“Kewajiban Belajar dan Mengajar”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan
banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami
tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif.
Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh
setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Langsa 10 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGENTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2

A. Pengertian Belajar Mengajar.....................................................................2


B. Ayat-Ayat Qur’an Yang Berkaitan Dengan Belajar Mengajar..................4
C. Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas.......13

BAB III PENUTUP..................................................................................................15


A. Kesimpulan.................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kemajuan peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari
kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan
yang terjadi. Proses pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua
lingkungan pengalaman hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti
keluarga, sekolah sampai kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam
semua tahapan perkembangan seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan
istilah longlife education.
Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd).
Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti
segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya
ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan
Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang
sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait
urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang
terkait dengan urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan
hari kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian belajar mengajar?
2. Apa ayat Qur’an yang berkaitan dengan belajar mengajar?
3. Bagaimana Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran
Di Kelas?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar Mengajar


Arti kata belajar dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah
berupa kegiatan belajar.
Menurut Hintzman, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri
manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
manusia tersebut.1
Menurut Wittig, belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi
dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku manusia sebagai hasil
pengalaman.2
Belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam
perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang
menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan
tertentu. Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang
belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga
dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat,
penyesuaian diri.3
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran
tentang “Belajar”. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama
lain. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Menurut pengertian diatas, belajar adalah merupakan proses suatu kegiatan
dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi
lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan
hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Ada juga yang mengatakan bahwa

1
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2010, hlm. 88.
2
Ibid, hlm. 89.
3
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1998, hlm. 104.

2
belajar adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan
pembentukan kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Secara rasional semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.
Maka, belajar adalah ”key term” (istilah kunci) yang paling vital dalam usaha
pendidikan. Sehingga, tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. 4
Sedangkan pengertian mengajar lebih identik kepada proses mengarahkan
seseorang agar lebih baik. Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan
mendidik atas dasar motif ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang guru
seharusnya selalu memiliki keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas,
sehingga dengan kesadaran tersebut, ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang
maksimal.5
Titik tekan pendidikan menurut al-Ghazali terletak pada pendidikan agama
dan moral. Untuk itu, syarat menjadi guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan
sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.6
Dalam QS At-Taubah Ayat 122, dijelaskan betapa pentingnya menuntut
ilmu dan mengamalkannya.

‫َّهوا يِف الدِّي ِن‬ ِ ‫ِئ‬ ٍِ ِ ِ ِ ِ ِ


ُ ‫َو َما َكا َن الْ ُمْؤ منُو َن لَيْنفُروا َكافَّةً َفلَ ْوال َن َفَر م ْن ُك ِّل فْرقَة مْن ُه ْم طَا َفةٌ ليََت َفق‬
‫َولُِيْن ِذ ُروا َق ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم حَيْ َذ ُرو َن‬
Yang artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang

4
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 59.
5
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2000, hlm 34.
6
Ibid. Hal 96.

3
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Status kewajiban juga dapat dirujuk melalui argument QS. Ali Imron Ayat
104, adapun dari hadis khotbah nabi pada haji wada’ juga dapat dijadikan
argumen yang menunjukkan status fardlu ‘ain. Kata nabi “...hendaklah yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir”. Juga dalam hadis lain, Rasulullah
menyuruh kaum beriman agar menyampaikan ajaran beliau (islam) kepada orang
walaupun hanya satu ayat saja yang ia bisa. Sabda nabi : “.... sampaikan dariku
walau satu ayat... bhalighu ‘anni walau ayatan”. Dalam hadits lain lagi, tugas
dakwah itu bahkan dikaitkan dengan keimanan seseorang. Setiap mukmin dituntut
untuk berdakwah sebisanya, dengan kekuatan, ucapan, atau dengan hati saja.”7

B. Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Kewajiban Belajar


Mengajar
1. Q.S. Al-alaq ayat 1-5
iَ ‫) ا ْق َرْأ َو َرب‬2( ‫ق‬
)3( ‫ُّك اَأْل ْك َر ُم‬ ٍ َ‫ق اِإْل ْن َسانَ ِم ْن َعل‬َ َ‫) َخل‬1( ‫ق‬ َ َ‫ا ْق َرْأ بِاس ِْم َربِّكَ الَّ ِذي خَ ل‬
)5( ‫) عَلَّ َم اِإْل ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬4( ‫الَّ ِذي عَلَّ َم بِ ْالقَلَ ِم‬
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji. Sebagai
aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari
Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Menurut Quraish Shihab,8 kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti
menghimpun, yang mana melahirkan makna lain seperti, menyampaikan,
7
Ilyas Ismail dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, Jakarta, Kencana, 2011, hlm 64.
8
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat  (Bandung: Mizan, 2001), 433

4
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu pertama ini tidak menjelaskan
hal spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki
ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi Rabbik, dalam artian
bermanfaat bagi manusia.
Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-
tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan
terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan
al-qalam.
Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan
dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana
yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa
pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat
atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan
tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari
satu sumber yaitu Allah SWT9
Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( ‫رأ‬iii‫إق‬ = membaca) yaitu
bentuk kata perintah atau ‫ل األمر‬iii‫فع‬ yang merupakan perubahan dari kata
bentuk mudhari’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan
huruf alif.10 Menurut kaidah ushul al-fiqh,bahwa kata-kata dalam al-qur’an
yang dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu
sendiri, al-ashl fi al-amr lil wujub. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah
belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat islam. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
‫سلِ َم ٍة‬ ْ ‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم‬
ْ ‫سلِ ٍم َو ُم‬ َ ‫ب ْا ِلع ْل ِم فَ ِر ْي‬
ُ َ‫طَل‬
Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat.11
9
Ibid, 434.
10
Abdullah Abbas Nadwi, Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah
Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan, 1996), 186.
11
Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang
Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26

5
Menurut Al-Ghazali,12 hadith ini menerangkan bahwa sekurang-
kurangnya yang wajib bagi seorang muslim setelah mencapai akil baligh dan
keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat dan memaknai
maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan
penjelasan-penjelasan terperinci.
Selain itu, menurut Abuddin Nata,13 wahyu pertama ini juga
mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa
keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga
mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan
membaca itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa
yang tertulis seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis
sperti yang terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas
yang ada didalamnya, dan dalam diri manusia.
Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan begitu
manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam
menjalani kehidupannya. Masih menurut Nata,14 membaca ayat-ayat Allah
yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih,
Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada dijagat raya
dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan sebagainya.
Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri manusia
dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu raga,
sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik,
sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah
ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik
Allah dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan
memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk
mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.

12
Ibid, 27
13
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 43.
14
Ibid, 44.

6
2. Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20,
ْ ‫) َوِإلَى ال َّس َما ِء َك ْيفَ ُرفِ َع‬17( ‫ت‬
‫) َوِإلَى‬18( ‫ت‬ ْ َ‫َأفَاَل يَ ْنظُرُونَ ِإلَى اِإْل بِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬
20( ‫ت‬ ْ ‫ُط َح‬ ِ ‫ض َك ْيفَ س‬ِ ْ‫) َوِإلَى اَأْلر‬19( ‫ت‬ ِ ُ‫ْال ِجبَا ِل َك ْيفَ ن‬
ْ َ‫صب‬
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia
diciptakan,?
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Al-Maraghi mengatakan bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam
bentuk istifham (bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap
keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran
mereka kepada hari kebangkitan.
Sesungguhnya jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan
akalnya untuk memikirkan bagaimana perihal penciptaan unta, bagaimana
langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi
dihamparkan, niscaya mereka  akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan
dan dipelihara oleh Allah. Kemudian Allah mengatur dan memelihara
makhluknya dengan patokan yang serba rapi dan bijaksana.15
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada para
hambanya untuk memperhatikan kepada makhluk-makhluknya yang
menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya, “apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta dikemukakan karena
dia merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh
memikat dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar
biasa. “Dan langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah meninggikan
langit dari bumi ini merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan gunung-
gunung bagaiman ia ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap sehingga
menjadi kokoh dan teguh sehingga bumi tidak menjadi miring bersama

15
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.),
hal.162.

7
penghuninya. “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” yaitu bagaimana dia
dibentangkan, dipanjangkan, dan dihamparkan.
Allah sengaja memaparkan semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab
bagi orang yang berakal tentunya akan memikirkan apa yang ada
disekitarnya. Seseorang akan melihat unta yang dimilikinya. Pada saat ia
mengangkat pandangannya ke atas, ia melihat langit. Jika ia memalingkan
pandangannya ke kiri dan kanan, tampak di sekelilingnya gunung-gunung.
Dan jika ia meluruskan pandangannya atau menundukkannya, ia akan melihat
bumi terhampar.

3. Q.S At-taubah ayat 122,


۟ ۟
ِ ‫َو َما َكانَ ْٱل ُمْؤ ِمنُونَ لِيَنفِرُوا َكٓافَّةً ۚ فَلَوْ اَل نَفَ َر ِمن ُكلِّ فِرْ قَ ٍة ِّم ْنهُ ْم طَٓاِئفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِى ٱلد‬
‫ِّين‬
َ‫م ِإ َذا َر َجع ُٓو ۟ا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُون‬iُْ‫ُوا قَوْ َمه‬
۟ ‫َولِيُن ِذر‬
122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat  ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang
menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama.
Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan
menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan
rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi
islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak
disyari’atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut,
agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir
dan munafik.
Menurut riwayat  Al Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan,
“Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai
Rasul dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal
untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya.

8
Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “
‫”وما كان المؤمنون‬
…‫وما كان المؤمنون لينفروا كآفة‬
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut
supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang
keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu
kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang
lain, bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah
menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum mukmin
menuju medan perang. (Al Maraghi, 1987:84-85)
Menurut Al-Maraghi ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban
memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta
mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat
memberikan kemaslahatan kepada mereka sehingga tidak membiarkan
mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus
diketahui oleh orang-orang yang beriman.  

4. Q.S Ali-Imran ayat 191

ِ ْ‫ت َوٱَأْلر‬
‫ض‬ ِ ‫ َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِى خَ ْل‬i‫ٱلَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ًما َوقُعُو ًدا‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
ِ‫اب ٱلنَّار‬ َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬َ َ‫َربَّنَا َما خَ لَ ْقتَ ٰهَ َذا ٰبَ ِطاًل ُس ْب ٰ َحن‬
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka.
Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam
pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal,
orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah,
dan menggambarkan keagungan Allah. Ia selalu mengingat Allah (berdzikir)

9
di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring.
Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki
maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau
hati dalam seluruh situasi dan kondisi16
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah,
sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena
alam. Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada
kalbu, Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir.
Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam,
tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu
dapat dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
melalui Ibn ‘Abbas,
‫تفكرافى اخلق والتتفكروافى اخا لق‬
“Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk
Allah jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan
hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai
dan tidak akan dapat mencapai hakikat Zat Nya.”
Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta
segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan
tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat,
sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat
dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha
Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan
kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang
telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman.17 Ucapan ini adalah
lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah
dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang,

16
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 308

17
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 309

10
seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai tanda pengakuan
atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.18
Pada ujung ayat ini ( “Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya
kami dari azab neraka” ) kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon
agar dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta
mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga
lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih19

5. Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.


١٩ ‫ير‬ ٞ ‫ق ثُ َّم يُ ِعي ُد ۚ ٓۥهُ ِإ َّن ٰ َذلِكَ َعلَى ٱهَّلل ِ يَ ِس‬
َ ‫َأ َو لَمۡ يَ َر ۡو ْا َك ۡيفَ ي ُۡب ِدُئ ٱهَّلل ُ ۡٱلخَ ۡل‬
‫ق ثُ َّم ٱهَّلل ُ يُن ِشُئ ٱلنَّ ۡشَأةَ ٱأۡل ٓ ِخ َر ۚةَ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ۡي ٖء‬
َ ۚ ‫ُوا َك ۡيفَ بَ َدَأ ۡٱل َخ ۡل‬ ْ ‫ض فَٱنظُر‬ ِ ‫ُوا فِي ٱَأۡل ۡر‬ ْ ‫قُ ۡل ِسير‬
٢٠ ‫ير‬ ٞ ‫قَ ِد‬
19. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan
(manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali).
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
Allah menjadikannya sekali lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
[1147] Maksudnya: Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di
akhirat

Makna Mufradat
Dalam makna mufradat pada surat Al-Ankabut ayat 19 Kata (
‫)يَ َروْ ا‬ yarau terambil dari kata ra’a yang adapat berarti melihat dengan mata
kepala atau mata hati atau memikirkan atau memperhatikan.
Kata ( ‫ ِدُئ‬iiْ‫)يُب‬ yubdi’u terambil dari kata bada’a. kata yang terdiri dari
huruf-hurufba’, dal’ dan hamzah, berkisar maknanya pada memulai sesuatu.
18
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 251
19
M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.
635

11
Sementara ulama membatasi kata (َ‫ق‬i‫)ال َخ ْل‬ al-khalq pada
ْ ayat ini dalam
pengertian manusia. Ini karena mereka memaknai kata (iُ‫)يُ ِعي ُده‬ yu’iduhu atau
mengulanginya yakni mengembalikan manusia hidup kembali diakhirat
setelah kematiannya didunia ini. 20
Sedangkan makna mufradat surat Al-Ankabut ayat 20 kata (َ‫)النَّ ْشَأة‬ an-
nasy’ yaitu kejadian. akhirat yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan
terjadinya sekali kejadian.
Penyebutan kata Allah pada firman-Nya: kemudian Allah
menjadikannya di kali lain- walaupun telah disebut nama agung itu
ketika  berbicara tentang penciptaan pertama kali, untuk menegaskan bahwa
yang memulai penciptaan yaitu Allah, Dia juga melakukan kejadian
pengulangannya.
Perintah berjalan yang dirangkaikan dengan perintah melihat seperti

ِ ْ‫اَأْلر‬ ‫ا ْنظُرُوا‬iiiَ‫)ف‬ stru fi al-ardhi fanzhuru, ditemukan


firmannya (‫يرُوا‬iii‫ ِس‬ ‫فِي‬ ‫ض‬
sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an. Ini mengisyaratkan perlunya
melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah.21
Tafsir 
Dalam tafsir pada surat Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya
menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan
kembali. Keduanya adalah memberi wujud terhadap sesuatu, kalau pada
penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan ternyata dapat wujud
maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia
tertentu lebih mudah serta lebih logis daripada penciptaan pertama itu.
 Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia tanpa contoh
terlebih dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau bahkan natu
atau besi pun Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian lebih
mudah menciptakan sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga
pengalaman melakukannya, daripada menciptakan pertama kali dan tanpa
contoh terlebih dahulu.22
20
M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465
21
Ibid, hlm. 464-468
22
M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 466

12
Kemudian tafsir surat Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah swt
untuk melakukan riset tentang asal-usul kehidupan lalu kemudian
menjadikannya bukti ketika mengetahuinya tentang keniscayaan kehidupan
akhirat. Dalam Al-Qur’an surat ini memberi arahan-arahannya sesuai dengan
kehidupan manusia dalam berbagai generasi, serta tingkat, konteks, dan
sarana yang meraka miliki. Masing-masing menerapkan sesuai dengan
kondisi kehidupan dan kemampuannya dan dalam saat yang sama terbuka
peluang bagi peningkatan guna kemaslahatan hidup manusia dan
perkembangannya tanpa henti.23

C. Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas


Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada beberapa ayat al-qur’an yang
menyinggung tentang kewajiban belajar mengajar diantaranya adalah Q.S. Al-alaq
ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran
ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Maka sesuai dengan ayat al-qur’an
yang telah kami jelaskan tersebut, maka implementasinya dalam proses
pembelajaran di kelas adalah :
1. Anak didik maupun pendidik haruslah mampu membaca atau mengkaji. Guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu
tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi
rabbika. (Q.S. Al-alaq ayat 1-5)
2. Guru mengajak anak didik untuk melihat keagungan Dan kebesaran ciptaan
Allah SWT. Agar kita selalu bersyukur Dan tidak ingkar kepada allah. (Q.S
Al-Ghasiyah ayat 17-20)
3. Hendaknya Seorang guru Dan seorang anak didik memperdalam ilmunya
baik  ilmu umum maupun ilmu agamanya. Seorang guru mempersiapkan
segala sesuatunya agar bisa mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan berguna
bagi anak didiknya. (Q.S At-taubah ayat 122)
4. Hendaknya pendidik mengajarkan dan mengingatkan anak didik untuk selalu
dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan

23
Ibid, hlm. 469-470

13
diri. Menghindarkan diri dari sombong. agar pembelajaran berjalan terarah
hendaklah tetap mengingat kebesaran Allah SWT. Allah SWT lah yang
berhak sombong karna Dia lah yang memiliki ilmu. (Q.S Ali-Imran ayat 191)
5. Guru Dan anak didik melakukan riset atau observasi lapangan guna untuk
mendapatkan bukti-bukti yang konkret yang mendukung pembelajaran. (Q.S
Al-Ankabut ayat 19-20).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-
luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti
disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan
keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada,

14
menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat
manusia itu.
Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim, al-qur’an
menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar yaitu :
1. Q.S. Al-alaq ayat 1-5, kewajiban untuk membaca Dan mengkaji ilmu.
2. Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, kewajiban untuk mengkaji keagungan Allah
SWT.
3. Q.S At-taubah ayat 122, kewajiban memperdalam Dan menyebarkan ilmu
yang bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang.
4. Q.S Ali-Imran ayat 191, kewajiban untuk dzikir dan pikir, tawakkal dan
ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri.
5. Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Kewajiban untuk melakukan perjalanan Dan
observasi lapangan guna mendapatkan bukti-bukti yang mendudkung
pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Uzar Usman. 2005. Menjadi Guru Profesional. Remaja RosdaKarya:


Bandung.
Taufiq Muhammad, Izzuddin. 2006. Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-
ayat Tentang Penciptaan Manusia. Tiga Serangkai : Solo.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa : Jakarta.

15
Shihab,  M Quraish. 2001. Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas berbagai
Persoalan Umat . Mizan : Bandung.
Nadwi, Abdullah Abbas. 1996. Learning The Language Of The Holy Al-
Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an). Mizan : Bandung.
Al-Ghazali, 2003. Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis
Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Isla. Mizan: Bandung.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa.tp th .Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-
Fikr)
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati : Jakarta.
Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz IV. Pustaka Panjimas: Jakarta.
Ar-Rifa’I, M. Nasib. 199.  Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I. Gema Insani Press: Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai