Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MODEL ATAU SISTEM PENGAJARAN DI PESANTREN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Diskusi Kelompok


Mata Kuliah: Sejarah Pesantren
Dosen Pengampu: Dr. Ajid Hakim, M.Ag.

Disusun Oleh: Kelompok 5

1. Pirliyana puspitasari (1195010049)


2. Indri Lestari (1195010061)
3. Ishan Aunur Rahman (1195010067)
4. Lilis Sobariyah (1195010077)
5. Lukman Malik Ibrahim (1195010079)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami kemudahan dalam menyusun makalah ini dan menyelesaikannya pada tepat waktu.
Karena tanpa pertolongan-Nya, tentunya kami selaku penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
yang berkat usaha kerja kerasnya kita semua dapat dipersatukan dalam persaudaraan yang
lurus lagi benar. Semoga kita selaku ummatnya selalu dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan
Nabi Muhammad SAW.

Dalam penyusunan makalah ini kami terdapat sedikit kesulitan, akan tetapi dari
bantuan beberapa pihak kesulitan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan
terima kasih banyak yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam
penyusunan makalah ini.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan dimengerti bagi siapapun yang
membacanya. Dan dalam rangka menambahkan wawasan serta pengetahuan kita mengenai
Model atau Sistem Pembelajaran di Pesantren. Dan kami pun menyadari akan kekurangan-
kekurangan yang terdapat didalam makalahnya, kami harap ada kritikan dan saran untuk
perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 13 Maret, 2021

Tim penulis

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan Masalah.........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................6
A. Pengertian Model Atau Sistem Pengajaran Di Pesantren...........................................................6
B. Sistem Pengajaran Pondok Pesantren........................................................................................7
1. Sistem Non Klasikal..............................................................................................................7
2. Sistem Klasikal......................................................................................................................8
3. Sistem Pengajaran Di Modern dan Tradisional........................................................................11
1. Pesantren Tradisional...........................................................................................................12
2. Pesantren modern.................................................................................................................14
BAB III PENUTUPAN......................................................................................................................15
A. Kesimpulan..............................................................................................................................15
B. Saran........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah upaya mewariskan nilai-nilai luhur pada si terdidik. Tetapi yang
terjadi dengan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah formal saat ini belum mampu
memawariskan nilai-nilai luhur tersebut. Rendahnya moralitas dan sikap keberagamaan siswa
mencerminkan kelemahan sistem pendidikan yang dijalankannya.[CITATION Has \p 113 \l
14345 ] Pendidikan merupakan faktor penting dalam pembangunan dan pengembangan
kehidupan manusia. Pendidikan menjadi tolak ukur kemajuan maupun kemunduran suatu
bangsa. Tidak ada satupun bangsa di dunia yang hidup tanpa pendidikan, dan tidak mungkin
suatu bangsa akan mampu mancapai kemajuan tanpa didukung dengan kemajuan di bidang
pendidikan. Pengembangan dunia ekonomi, budaya, sosial, politik dan segala aspek lain,
semuanya dimulai dengan proses Pendidikan.

Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di tengah


masyarakat sudah tidak asing lagi, bahkan di sebagian daerah, pondok pesantren sudah
menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Memiliki sistem pendidikan yang
merakyat dan mengakar, sehingga tidak hanya memiliki peran dan fungsi sebagai lembaga
pendidikan saja tetapi pondok pesantren juga berperan sebagai lembaga dakwah dan sosial
keagamaan.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional. Dikatakan


demikian, karena pondok pesantren yang masih mempertahankan tradisi-tradisi pengajaran
Islam sejak awal pertumbuhan pondok pesantren di Indonesia. Tradisi pendidikan tersebut
menurut Zamakhsyari Dhofier setidaknya dapat ditandai dengan lima elemen pendukungnya,
yaitu pondok (asrama), masjid, santri, pengajaran kitab kuning dan kiai.

Dalam upaya pengembangan model pembelajaran di pesantren, yang menjadi


pertimbangan bukan upaya untuk mengganti metode sorogan menjadi model perkuliahan
sebagaimana sistem pendidikan modern, melainkan merenovasi sorogan menjadi sorogan
yang mutakhir (gaya baru). Dimaksudkan sorogan yang mutakhir ini sebagaimana praktik
dosen-dosen selama ini. Mereka mengajar kuliah dengan model sorogan. Mahasiswa diberi
tugas satu persatu pada waktu tatap muka yang terjadual, setelah membaca diadakan
pembahasan dengan cara berdialog dan berdiskusi sampai mendapatkan pemahaman yang
jelas pada pokok bahasan.[ CITATION Has95 \l 14345 ]

4
Sejalan dengan itu, tampaknya di pesantren terdapat berbagai model pengajaran
sebagai upaya pentransferan pengetahuan kepada santri. Sudah barang tentu akan lebih
lengkap apabila beberapa usulan metode sebagai alternatif perlu dipertimbangkan, seperti
metode ceramah, kelompok kerja, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, widya
wisata, dan simulasi.

Metode pembelajaran yang lebih baik ialah mempergunakan kegiatan murid-murid


sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan
sedemikian rupa secara lebih lanjut dan juga melalui kerja kelompok.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian model atau sistem pengajaran di pesantren?
2. Ada sistem apa saja di pengajaran pesantren?
3. Bagaimana sistem di pesantren tradisional?
4. Bagaimana sistem di pesantren modern?

C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa mampu pengetahui sistem pengajaran apa saja yang ada di pesantren.
2. Mahasiswa dapat memahami apa saja yang diajarkan di pesantren.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana system pengajaran di pesantren tradisional.
4. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana system pengajaran di pesantren modern.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Model Atau Sistem Pengajaran Di Pesantren
Pada dasarnya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan
dengan sistem asrama (pondok) dengan kyai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai
pusat lembaganya. Sejak awal pertumbuhannya, pesantren memiliki bentuk yang beragam
sehingga tidak ada suatu standardisasi yang berlaku bagi semua pesantren. Namun demikian
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pesantren tampak adanya pola umum, yang
diambil dari makna peristilahan pesantren itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu pola
tertentu.[ CITATION Ari00 \l 1057 ]
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, berarti
tempat tinggal para santri. A.H. Johns berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa kata tersebut
berasal dari kata shastri yang diambil dari bahasa India yang berarti orang yang mengetahui
kitab suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Chatuverdi dan
Tiwari mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci
(buku-buku agama) atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[ CITATION DhoES \l 1057 ]
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam
kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama
Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren
tersebut.  Sebagai suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus
pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam
lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif
berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan
suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz,
semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan: halal-haram, wajib-
sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua
kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata
lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.
pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan
menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.

6
B. Sistem Pengajaran Pondok Pesantren
1. Sistem Non Klasikal
Sistem ini merupakan sistem yang pertama kali dipergunakan dalam pondok
pesantren. Dalam sistem ini tidak ada teknik pengajaran yang dijabarkan dalam bentuk
kurikulum dan tak ada jenjang tingkatan pendidikan yang ditentukan. Sedang banyak atau
sedikitnya pelajaran yang diperoleh para santri menurut pola pembinaan kyai dan ketentuan
para santri. Evaluasi hasil pendidikannya dilakukan oleh santri yang bersangkutan. Dalam
sistem ini santri mempunyai kebebasan dalam memilih mata pelajarannya dan menentukan
kehadiran tingkat pelajaran, sikap dalam mengikuti pelajaran dan waktunya belajar. Santri
merasa puas dan cukup ilmunya akan meninggalkan pesantren untuk pulang ke kampung
halamannya atau pergi belajar ke pondok lain untuk menambah ilmu dan pengalamannya.
Ada tiga metode yang digunakan dalam sistem non klasikal ini, yaitu:
 Metode Sorogan / cara belajar individual

Dalam metode ini setiap santri memperoleh kesempatan sendiri untuk memperoleh
pelajaran secara langsung dari kyai. Tentang metode sorogan ini digambarkan oleh Dawam
Rahardjo sebagai berikut:

“Para santri menghadap guru atau kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang
akan dipelajarinya, kemudian guru membacakan pelajaran yang berbahasa Arab itu kalimat
demi kalimat, kemudian menterjemahkan dan menerangkanannya. Santri menyimak dan
mengasahi dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mensyahkan bahwa ilmu itu sudah
diberikan oleh guru/kyai."[CITATION Rah85 \p 8 \l 14345 ]

Istilah sorogan tersebut mungkin berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti
menyodorkan. Sebab, setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan guru/kyainya. Metode
sorogan ini terbukti sangat efektis sebagai taraf pemula bagi seorang santri yang bercita-cita
menjadi seorang alim. Di samping itu metode ini memungkinkan bagi seorang guru/ustadz
untuk mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri
dalam menguasai bahasa Arab/kitab-kitab yang diajarkan.

 Metode Bandongan/Waton (Khalaqah/Klasikal)

7
Dalam metode ini sering disebut dengan sistem melingkar/ lingkaran, yang mana para
santri duduk di sekitar kyai dengan membentuk lingkaran. Kyai mengajarkan kitab tertentu
kepada sekelompok santri yang masing-masing memegang kitab sendiri.

Tentang metode ini, Zamakhsyari Dhofier menyatakan sebagai berikut:

“Sekelompok murid yang berjumlah antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang
guru/kyai yang membaca, menterjemahkan dan menerangkan dan seringkali memberikan
ulasan buku-buku Islam yang berbahasa Arab, dan setiap murid membuat catatan baik
mengenai arti maupun keterangannya yang dianggap agak sulit.”[ CITATION Dho82 \l 14345 ]

Dalam khalaqah ini para santri didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Santri
yang mempunyai kecerdasan tinggi tentu akan cepat menjadi alim. Melalui pengajaran secara
khalaqah ini dapat diketahui kemampuan para santri pemula dan secara tidak langsung akan
teruji kealiman serta kepandaiannya.

 Metode Demontrasi / Praktek Ibadah

Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan cara memperagakan
(mendemonstrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang
dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kyai atau
guru dengan kegiatan seperti berikut:

“Para santri mendapatkan penjelasan tentang tatacara pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan
sampai betul-betul memahaminya, selanjutnya para santri secara bergiliran memperagakan di
hadapan guru sampai benar-benar selesai.”[CITATION Aga01 \p 47 \l 14345 ]

2. Sistem Klasikal
Dalam perkembangannya di samping mempertahankan sistem ketradisionalannya, juga
mengelola dan mengembangkan sistem pendidikan madrasah. Pengembangan ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi di masyarakat, serta untuk
memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang semakin maju dalam bidang pendidikan.
Perubahan itu bisa bersifat memperbaharui atau bisa juga upaya untuk menyempurnakan
sistem lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan masyarakat. Perubahan dalam
sistem pendidikan adalah mengubah dari sistem non klasikal (sorogan, bandongan atau
wetonan), menjadi sistem klasikal yaitu mulai dimasukkan sistem madrasah pada pondok

8
pesantren dengan berbagai jenjang pendidikan mulai tingkat Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah
(SLTP), Aliyah (SMU) sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi.

Kedua sistem tersebut memepunyai perbedaan, pada sistem madrasah terkesan lebih
maju dan modern karena adanya sistem klasikal, pelajaran umum, pendidikan keterampilan
(seperti PKK, jahit menjahit, perkoperasian atau mungkin juga pertanian, kerajinan,
pertukangan dan sebagainya), pendidikan kesenian, pendidikan olah raga dan kesehatan,
pendidikan kepramukaan serta memakai bahasa pengantar menggunakan bahasa
Indonesia.Sedang dalam sistem pokok pesantren (non klasik), meskipun tidak didapatkan
seperti sistem yang terdapat pada sistem madarasah, namun memiliki kelebihan dan keahlian
yaitu bisa mengajarikan pengetahuan agama secara lebih mendalam. Dengan melakukan
perubahan semacam itu yakni dengan memasukkan sistem klasikal kedalam pondok
pesantren sudah barang tentu akan mempengaruhi sistem penddidikannya. Adapun mengenai
gambaran sistem pendidikan Nasional, sebagaimana dijelaskan oleh M Habib Chirzin sebagai
berikut:

“Sistem madrasah atau klasikal yaitu dengan menggunakan alat peraga, evaluasi dengan
berbagai variasinya dan juga latihan-latihan, prinsip-prinsip psikologi perkembangan
pendidikan dan proses belajar mulai diterapkan, dan metode pengajaran baru pada masing-
masing fakultas dipraktekkan. Kenaikan kelas/tingkat pembahasan masa sekolah/balajar
diadakan sembari administrasi sekolah pun dilaksanakan dalam organisasi yang
tertib.”[CITATION Rah \p 89 \l 14345 ]

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas pada sistem ini sebagaimana diungkapkan
oleh M. Chirzin, yaitu dalam sistem klasikal ini sudah menggunakan alat peraga sebagai
penunjang proses belajar mengajarnya. Evaluasi dilaksanakan secara terencana. Menerapkan
psikologi perkembangan dalam menghadapi anak didik berbagai metode dalam mengajar dan
pembatasan masa belajar dan penjejangan sudah jelas, serta administrasi sekolah tertib dan
teratur.

Pesantren yang menggunakan sistem klasikal ini sudah banyak mengadopsi sistem
pendidikan odern meskipun masih nampak karakteristik aslinya yang membedakan dirinya
dengan lembaga-lembaga yang lain, sehingga variasi sistem pendidikan yan dilaksanakan
banyak kesamaannya dengan sistem pendidikan umum atau modern dan juga sudah

9
dimasukkan mata pelajaran sebagai sistem pengetahuan bagi para santrinya serta untuk
memperluas wawasan keilmuannya.

Selain metode diatas dipesantren terdapat metode:

 Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa'il

Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa'il merupakan metode
pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri
dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh Kyai atau ustadz,
atau mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan
pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya.

Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh
peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan,
serta bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang
dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam
membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.

 Metode Pengajian Pasaran

Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi
(kitab) tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam
kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada
bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh
tergantung pada besarnya kitab yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode
bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari.
Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan pada
pemahaman sebagaimana pada metode bandongan.

 Metode Hapalan (Muhafazhah)

Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu
di bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghapal
bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian
dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada

10
petunjuk Kyai/ustadz yang bersangkutan. Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya
berkenaan dengan Al Qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks
nahwu, sharaf dan fiqih.

 Metode Muhawarah

Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh
pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren, latihan
muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua
kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan muhadhoroh atau khitobah, yang
tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato.

 Metode Mudzakarah.

Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah
diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah
tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan:

 Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah


dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan
mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru
bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan
 Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan
untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi
Tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.

Diatas merupakan macam-macam mudzakarah yang dipakai di pesantren yang biasanya


selalu ditunggu-tunggu para santri karena ini ajang menunjukkan bakat mereka dalam bidang
dakwah utamanya dan menampilkan seberapa luas pengetahuan dan seberapa mahir mereka
dalam menjelaskan apa yang telah mereka pahami.

3. Sistem Pengajaran Di Modern dan Tradisional


Sistem pengajaran di pesantren dalam mengkaji kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning)
sejak mula berdirinya menggunakan metode sebagai berikut :

 Metode sorogan, di mana santri menghadap guru seorang demi seorang dengan
membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa
Arab itu kalimat demi kalimat kemudian menterjemahkannya dan menerangkan

11
maksudnya. Sedangkan santri menyimak dan memberi catatan pada kitabnya untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kyai. Adapun istilah sorogan tersebut
berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri
menyodorkan kitabnya di hadapan kyainya. Di pesantren besar, sorogan dilakukan oleh
dua atau tiga orang santri saja yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri
yang diharapkan di kemudian hari menjadi ulama.
 Metode wetonan, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling
kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri membawa kitab yang sama
dengan kitab kyai dan menyimak kitab masing-masing serta membuat catatan padanya.
Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab
pengajian tersebut diadakan dalam waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah
melakukan shalat fardhu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan,
sedangkan di Sumatra dipakai istilah halaqah. Dalam sistem pengajaran semacam ini
tidak dikenal adanya absensi. Santri boleh datang boleh tidak, juga tidak ada ujian.
Dua metode pengajaran di atas dalam waktu yang sangat panjang masih dipergunakan
pesantren secara agak seragam. Metode sorogan tentu lebih efektif, karena kemampuan santri
dapat terkontrol secara langsung oleh kyai (ustadz). Akan tetapi metode tersebut sangat tidak
efisien, karena terlalu memakan waktu lama. Sedangkan metode wetonan akan lebih efisien,
namun sangat kurang efektif, karena kemampuan santri tidak akan terkontrol oleh
pengajarnya. Meskipun demikian, dalam kedua metode tersebut budaya tanya jawab dan
perdebatan tidak dapat tumbuh. Terkadang terjadi kesalahan yang diperbuat oleh sang kyai
(ustadz), namun tidak pernah ada teguran atau kritik dari santri. Bahkan, tidak mustahil tanpa
pikir panjang para santri menerima mentah-mentah kesalahan tersebut sebagai kebenaran.

1. Pesantren Tradisional
Sekarang ini, beberapa pesantren tradisional tetap bertahan dengan kedua sistem
pengajaran tersebut tanpa variasi ataupun perubahan. Sedangkan sebagian yang lain telah
berubah sesuai dengan perubahan zaman dan mulai menerapkan sistem pendidikan klasikal
yang dianggap lebih efektif dan efisien. Sistem yang disebut terakhir ini mulai muncul dan
berkembang di awal tahun 1930-an. Modelnya seperti sekolah pada umumnya, meskipun
kurikulum dan silabusnya sangat bergantung pada kyai, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai
dengan pertimbangan dan kebijaksanaan kyai. Ini semua masih dalam satu pembicaraan,
yaitu hanya pelajaran agama atau kitab-kitab kuning saja yang diajarkan.

12
Sistem evaluasi yang berlaku di dalam pesantren tradisional biasanya tidak terlalu ketat
dan mengikat, melainkan sangat memberi keleluasaan kepada santri yang bersangkutan untuk
melakukan self-evaluation (evaluasi diri sendiri). Dalam evaluasi pengajaran ini, peranan
kyai sangat menonjol dan lebih besar pada metode sorogan, sementara pada metode wetonan
para santri sangat mempunyai peranan. Biasanya titik tekan evaluasi yang dilakukan oleh
kyai dan pengurus pesantren tidak sekedar pada pengetahuan kognitif, berupa sejauh mana
keberhasilan penyerapan ilmu dan pengetahuan yang telah diperoleh santri, tetapi lebih jauh
lagi pada keutuhan kepribadiannya berupa ilmu, sikap, dan tindakan --tutur kata dan
perbuatan yang terpantau dalam interaksi keseharian santri dengan kyai. Dalam menentukan
apakah seorang santri telah berhasil menyelesaikan suatu kurikulum tertentu, dengan
demikian tidak sekedar dinilai dari aspek penguasaan intelektualnya, melainkan juga
integritas kepribadian santri yang bersangkutan yang dinilai dari kiprah dan tingkah laku
kesehariannya.
Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam. Dalam pesantren tradisional,
penjadwalan waktu belajar tidaklah terlalu ketat. Timing dan alokasi waktu bagi sebuah kitab
yang dikaji biasanya disepakati bersama oleh kyai dan santri sesuai dengan pertimbangan
kebutuhan dan kepentingan bersama. Dapat saja waktu 24 jam hanya dimanfaatkan empat
atau lima jam untuk istirahat, sedangkan sisanya untuk proses belajar mengajar dan
beribadah, baik secara kolektif maupun secara individual. Pendidikan pesantren sangat
menekankan aspek etika dan moralitas. Proses pendidikan di sini merupakan proses
pembinaan dan pengawasan tingkah laku santri yang seharusnya merupakan cerminan ilmu
yang telah diperoleh. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan bersamaan dengan
peneladanan langsung oleh kyai dan pengurus sebagai kepanjangan tangan dari kyai, mulai
dari urusan ibadah sampai pada urusan keseharian santri.
Dalam pesantren tradisional dikenal pula sistem pemberian ijazah, tetapi bentuknya tidak
seperti yang dikenal dalam sistem modern. Ijazah di pesantren berbentuk pencantuman nama
dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh gurunya terhadap
muridnya yang telah menyelesaikan pelajarannya dengan baik tentang suatu kitab tertentu
sehingga si murid tersebut dianggap menguasai dan boleh mengajarkannya kepada orang lain.
Tradisi ijazah ini hanya dikeluarkan untuk murid-murid tingkat tinggi dan hanya mengenai
kitab-kitab besar dan masyhur. Para murid yang telah mencapai suatu tingkatan pengetahuan
tertentu tetapi tidak dapat mencapai ke tingkat yang cukup tinggi disarankan untuk membuka
pengajian, sedangkan yang memiliki ijazah biasanya dibantu mendirikan pesantren.

13
2. Pesantren modern
Pesantren modern merupakan tipe pesantren yang mempunyai ciri berlainan dengan
pesantren tradisional dan sering diperhadapkan secara vis a vis (berlawanan) dengan
pesantren tradisional. Ciri pertama dari pesantren modern adalah meluasnya mata kajian yang
tidak terbatas pada kitab-kitab Islam klasik saja, tetapi juga pada kitab-kitab yang termasuk
baru, di samping telah masuknya ilmu-ilmu umum dan kegiatan-kegiatan lain seperti
pendidikan ketrampilan dan sebagainya. Penjenjangan pendidikannya telah mengikuti seperti
yang lazim pada sekolah-sekolah umum, meliputi SD/Tingkat Ibtidaiyah, SMP/Tingkat
Tsanawiyah, SMU/Tingkat Aliyah, dan bahkan Perguruan Tinggi. Sistem pengajaran dalam
pesantren modern tidak semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional, tetapi
juga telah dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan sistem pengajaran tersebut. Sistem
pengajaran yang diterapkan tersebut adalah sistem klasikal, sistem kursus-kursus, dan sistem
pelatihan yang menekankan pada kemampuan psikomotorik.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren,
maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi
khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan
pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren
terjadi perubahan yang drastic.
a) Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal
yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
b) Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama
dan bahasa arab.
c) Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
d) Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari
pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah
negeri.

14
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan faktor penting dalam pembangunan dan pengembangan
kehidupan manusia. Pendidikan menjadi tolak ukur kemajuan maupun kemunduran suatu
bangsa. Tidak ada satupun bangsa di dunia yang hidup tanpa pendidikan, dan tidak mungkin
suatu bangsa akan mampu mancapai kemajuan tanpa didukung dengan kemajuan di bidang
pendidikan. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran
agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama
Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam
pesantren tersebut.

Sebagai suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok
pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap
dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda
dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan suatu
keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua
rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan: halal-haram, wajib-sunnah,
baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan
dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua
kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam.

Sistem non klasikal merupakan sistem yang pertama kali dipergunakan dalam pondok
pesantren. Dalam sistem ini tidak ada teknik pengajaran yang dijabarkan dalam bentuk
kurikulum dan tak ada jenjang tingkatan pendidikan yang ditentukan. Sedang banyak atau
sedikitnya pelajaran yang diperoleh para santri menurut pola pembinaan kyai dan ketentuan
para santri. Perubahan dalam sistem pendidikan adalah mengubah dari sistem non klasikal
(sorogan, bandongan atau wetonan), menjadi sistem klasikal yaitu mulai dimasukkan sistem
madrasah pada pondok pesantren dengan berbagai jenjang pendidikan mulai tingkat
Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SLTP), Aliyah (SMU) sampai dengan tingkat Perguruan
Tinggi.

15
B. Saran
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

16
DAFTAR PUSTAKA
References
Agama, D. R. (2001). Pola Pembelajaran Di Pesantren. Jakarta: Departemen Agama RI.

Arifin, M. (2000). Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara,.

Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup. jakarta.

Fahmy, A. M. (2014). Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan


pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa
Timur). Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hasan, M. N. (n.d.). Model Pembelajaran Berbasis Pondok Pesantren Dalam Membentuk


Karakter Siswa. Jurnal Penelitian & Artikel Pendidikan, 113.

Hasbullah. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan


dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kharir, M. (2013). Integrasi metode bandongan dan sorogan dalam peningkatan keaktifan
belajar santri di pondok pesantren ASWAJA-Nusantara. 11-12.

Rahardjo, M. D. (1985). , Pergaulan DuniaPesantren. Jakarta : P3M.

Rahardjo, M. D. (n.d.). Pesantren dan Pembaharuan.

17

Anda mungkin juga menyukai