Anda di halaman 1dari 8

5 Teori masuknya islam ke nusantara

1. Teori Makkah

Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis PTAIN ke-8 di Yogyakarta
(1958), sebagai antitesis untuk tidak mengatakan sebagai koreksi–teori sebelumnya, yakni teori
Gujarat. Disini Hamka menolak pandangan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara
pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Selanjutnya Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya
Agama Islam Di Indonesia (1963) lebih menguatkan teorinya dengan mendasarkan
pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam di Indonesia, kemudian
diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan
makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.

Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam baru masuk pada abad 13, karena
kenyataannya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan politik Islam, maka sudah
tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah.

Guna dapat mengikuti lebih lanjut mengenai pendapat tentang masuknya Islam ke Nusantara
abad ke-7, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu tentang peranan bangsa Arab dalam
perdagangan di Asia yang dimulai sejak abad ke-2 SM. Peranan ini tidak pernah dibicarakan
oleh penganut teori Gujarat. Tinjauan teori Gujarat menghapuskan peranan bangsa Arab dalam
perdagangan dan kekuasaannya di lautan, yang telah lama mengenal samudera Indonesia
daripada bangsa-bangsa lainnya.

T.W. Arnold dalam The Preaching Of Islam: A History Of The Propagation of The Muslim
Faith menulis bahwa bangsa Arab sejak abad ke-2 SM telah menguasai perdagangan di Ceylon.
Pendapat ini sama dengan pandangan Cooke seperti yang dikutip oleh Abdullah bin Nuh dan D.
Shahab ketika menjadi pembanding dalam “Seminar Masuknya Agama Islam Ke Indonesia”.
Memang dalam informasi sejarah tersebut tidak disebutkan lebih lanjut tentang sampainya di
Indonesia, tetapi menurut Suryanegara bila dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab
kuno di dalamnya disebutkan al-Hind sebagai India atau pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke
Cina, dan Indonesia pun di sebut sebagai pulau-pulau Cina-maka besar kemungkinan pada abad
ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia. Bahkan sebagai bangsa asing yang pertama
yang datang ke Nusantara. Karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan
Indonesia pada abad 1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama,
melalui jalan darat menggunakan “kapal sahara”, jalan darat ini sering disebut sebagai “jalur
sutra”, berlangsung sejak 500 SM.

Kalau demikian halnya hubungan antar Arab dengan negara-negara Asia lainnya, maka tidaklah
mengherankan bila pada 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan Arab Islam di pantai
Barat Sumatera, bersumber dari berita Cina. Kemudian berita Cina itu ditulis kembali oleh
T.W.Arnold (1896), J.C. Van Leur (1955) dan Hamka (1958). Timbulnya perkampungan
perdagangan Arab Islam ini karena ditunjang oleh kekuatan laut Arab.

Dari keterangan tentang peranan bangsa Arab dalam dunia perniagaan seperti di atas, kemudian
dikuatkan dengan kenyataan sejarah adanya perkampungan Arab di pantai barat Sumatera di
abad ke-7, maka terbukalah kemungkinan peranan bangsa Arab dalam memasukkan Islam ke
Nusantara.

Selain itu, Hamka juga mempunyai argumentasi lain yang menjadikan dirinya begitu yakin
bahwa Islam yang masuk ke nusantara berasal dari daerah asalnya, Timur tengah, yaitu
pengamatannya pada masalah madzab Syafi’i, sebagai madzab yang istimewa di Makkah dan
mempunyai pengaruh terbesar di Indonesia. Analisis pada madzab Syafi’i inilah yang
menjadikan Hamka berbeda dengan sejarawan Baratatau orientalis. Pengamatan ini di lupakan
oleh para sejarawan Barat sebelumnya, sekalipun mereka menggunakan sumber yang sama,
yakni laporan kunjungan Ibbu Battutah ke Sumatera dan Cambay. Tetapi karena titik analisisnya
adalah permasalahan perdagangan, sehingga yang terbaca adalah barang yang di perdagangkan
dan jalur perdagangannya. Sebaliknya, Hamka lebih tajam lagi merasuk pada permasalahan
madzab yang menjadi bagian isi laporan kunjungan tersebut.

Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa
agama Islam masuk ke Indonesia dalam abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam
masuk ke pulau Sumatera pada tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi,
pedagang dari pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata
bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu kira-kira pada akhir
abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi karena pedagang
rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku sangat menarik pedagang-pedagang
muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan
itu.

2. Teori Gujarat

Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Nusantara.
Dinamakan teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang mengatakan bahwa Islam
masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M, dan pelakunya adalah pedagang
India Muslim. Ada dugaan bahwa peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam
bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises atau Revue de I’Histoire des Religius.

Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan


pada: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam
di Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama
terjalin.Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran
hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Sarjana lain yang mendukung teori ini adalah W.F. Stutterheim. Dalam bukunya De Islam en
Zijn Komst In de Archipel, ia meyakini bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-13 dengan
daerah asal Gujarat di dasarkan pada; 1). Bukti batu nisan Sultan pertama kerajaan Samudera
Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada 1297. Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan
tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan dengan nisan yang terdapat di
Gujarat. 2) Adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara
Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa.

Ada beberapa sarjana lain (sejarawan, antropolog, ahli politik, dan lain-lain, yang memperkuat
untuk tidak mengatakan terpengaruh oleh argumen teori Gujarat ini. Di antaranya adalah Bernard
H.M. Vlekke, Clifford Geertz dan Harry J. Benda.

Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: a History of Indonesia, mendasarkan


argumennya pada keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera untuk menunggu
angin pada tahun 1292. Disana disebutkan tentang situasi ujung utara Sumatera bahwa, di Perlak
penduduknya telah memeluk Islam. Selanjutnya Bernard H.M. Vlekke menandaskan bahwa
perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara saat itu. Dengan demikian sarjana
Barat ini merasa mengetahui dengan pasti kapan dan dimana Islam masuk ke nusantara. Apalagi
kemudian menurutnya, keterangan ini diperkuat dengan inskripsi tertua di sumatera yang berupa
nisan (Sultan Malik al-Shaleh) berangka tahun 1297, dimana lokasinya terletak di desa
Samudera, 100 Mil dari Perlak.

Seperti sejarawan sebelumnya, Bernard H.M. Vlekke juga berpandangan bahwa nisan tersebut
selain mempunyai kesamaan dengan yang ada di Cambai, juga di import dari sana pula, Karena
Cambai merupakan pusat perdagangan Islam sejak abad 13. Dengan adanya persamaan nisan dan
ajaran mistik Islam Indonesia dengan India, maka ia berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke
Nusantara berasal dari Gujarat.

Tentang peranan Gujarat sebagai pusat perdagangan internasional, dan terutama sejak 1294
sebagai pusat penyebaran Islam, jauh sebelum Bernard, telah mendapat perhatian dari Schrieke
dalam IndonesianSociological Studies. Cuma bedanya sarjana yang terakhir ini tidak
mendasarkan argumennya pada laporan Marco Polo-karena menurutnya Marco Polo tidak
singgah di Gujarat-tetapi pada laporan Sanudo, Pangeran Hayton dan Ibnu Battutah (1350). Dari
Ibnu Battutah di dapat keterangan bahwa selain keindahan masjid dan gedung-gedungnya, juga
tentang perdagangan di Aden dan adanya berbagai pedagang asing yang datang ke Cambay.
Selanjutnya schrieke memberikan gambaran tentang adanya ketergantungan antara Malaka
dengan Cambay dan sebaliknya. Juga menjelaskan tentang peranan Cambay sebagai pusat
perdagangan rempah-rempah, terutama pada saat hubungan dagang Cina-India dihentikan.

Sedangkan Clifford Geertz, untuk memperkuat teori ini, dalam bukunya The Religion Of
Java lebih menitik beratkan pada perkembangan ajaran Islam di Indonesia, yang lebih diwarnai
oleh ajaran Hindu, Budha, bahkan animisme sebagai ajaran yang telah lama berkembang
sebelum Islam. Hal ini akibat dari putusnya hubungan Indonesia dengan negara sumber Islam,
yakni Mekkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktek mistik Budha yang diberi nama Arab, Raja
Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat kebanyakan masih mempraktekkan
ajaran animisme.

Senada dengan Geertz, Harry J. Benda juga mempunyai pendapat yang sama tentang besarnya
peranan India ketimbang Arab dalam proses Islamisasi di Indonesia. Terutama ajaran mistik
Islam yang dikembangkan di Indonesia bukan oleh bangsa Arab, melainkan oleh bangsa India
yang telah beragama Islam. Bahkan Benda menegaskan bila agama Islam berasal langsung dari
Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara, mungkin tidak akan menemukan tempat
di kepulauan itu, lebih-lebih pulau Jawa. Hanya dengan melalui pemantulan dua kalilah, rupanya
agama Islam mendapatkan titik pertemuan dengan indonesia, khususnya dengan pulau Jawa.
Untuk memperkuat pendapatnya ini Benda mendasarkan pada kenyataan adanya orang-orang
Arab yang telah lama tinggal di pantai-pantai, tetapi mengapa baru pada abad ke-15 dan ke-16
Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Selain itu Benda dan
kawannya John Bastin juga berusaha memperlihatkan pengaruh India atas Indonesia di budang
yang lain, seperti: pengenalan adanya sawah dengan irigasi, penjinakan sapi dan kerbau, dan
pelayaran.

Dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para pendukung teori Gujarat di atas, nampak
sekali mereka sangat Hindu sentris, seakan-akan perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
agama di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh India. Di samping itu juga kebanyakan
mereka lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam di
Nusantara. Seakan-akan Islam masuk di Nusantara dan langsung menguasai struktur politik
disana. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa Islam masuk di Indonesia melalui infiltrasi kultural
oleh para pedagang Muslim dan para Sufi.

3. Teori Persia

Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa agama Islam
yang masuk ke nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, sedangkan waktunya sekitar
abad ke-13. Nampaknya fokus ajaran teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah,
sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta madzab Syafi’I-nya. Teori yang
terakhir ini lebih menitik beratkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia di antaranya
adalah:

Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas syahidnya
Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur syura. Di Minangkabau bulan Muharram
disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera tengah sebelah barat disebut bulan Tabut, dan
diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk di lemparkan ke sungai. Keranda tersebut
disebut tabut diambil dari bahasa Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran-Hallaj,
sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H / 922 M, tetapi ajarannya berkembang terus
dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16
dapat mempelajarinya.

Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda
bunyi harakat dalam pengajian al-Qur’an tingkat awal:

Bahasa Iran Bahasa Arab

Ø Jabar-zabar fathah

Ø Jer-ze-er kasrah

Ø P’es-py’es dhammah

Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sinbergigi berasal dari Arab.

Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik di
pesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan muthlak dengan teori
Gujarat.

Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzab Syafi’i sebagai madzab utama di
daerah Malabar, di sini ada sedikit kesamaan dengan teori Makkah, Cuma yang membedakannya
adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah sati budaya Islam Indonesia
kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzab Syafi’i terhenti
di Malabar, tidak berlanjut sampai ke pusat madzab itu, yakni di Makkah.

Kritikan untuk teori Persia ini di lontarkan oleh Saifuddin Zuhri. Seorang kyai ini menyatakan
sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari Persia.
Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-7, hal ini
berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam di bidang
politik, ekonomi, dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab sedangkan pusat pergerakan
Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia
menduduki kepemimpinan dunia Islam.

TEORI PELETAK ABAD PEMBAWA ASAL ARGUMEN

Gujarat Snouck 13 M Pedagang Gujarat India 1. Kenyataan historis hubungan


Muslim India dagang India-Indonesia

2. Nisan Malik al-Shaleh tahun


1297 bersifat Hinduistis
Makkah Hamka 7M/1H Pedagang Makkah 1. Peranan dagang bangsa Arab
muslim Arab di Asia sejak 2M

2. Perkampungan Arab muslim


di pantai Barat Sumatera tahun
674M

3. Persamaan madzab Syafi’i


dll.

Persia Hoesein Dj 13 M Pedagang Persia Persamaan kebudayaan


Muslim
Persia 1. Peringatan 10 Muharram
sebagai bulan Syi’ah
(Minangkabau Bulan Hasan
Husein / Sumatera Tengah
Bulan Tabut)

2. Kesamaan ajaran Siti Jenar


dan al-Hallaj dll.

4. Teori Benggali

Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali
(Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan
orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul
pertama kali di semenanjung Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada
abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa
doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, elemen-elemen prasasti di
Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang
mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama
karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula
madzhab yang dominan di Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di
semenanjung dan nusantara secara keseluruhan.

5. Teori Cina

Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ Fatimi. Beliau mendasarkan torinya ini kepada
perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar tahun 876 . Perpindahan ini
dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed
Naguib Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.
Hijrahnya mereka ke Asia Tenggaran telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini.
Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timir
tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur. Bukti-bukti yang
menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu nisan syekh
Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang
di Kamboja bertahun 1025 M, batu isan di pecan Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri
Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan
Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik 1082 M
Tugas Sejarah
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Ismi Ramadhani
X IPS 4

Anda mungkin juga menyukai