Anda di halaman 1dari 6

B.

Tarekat dan Awal Kedatangannya di Nusantara


Islam yang datang ke nusantara melalui transportasi laut harus menyusuri pantai Laut Merah, negeri
Yaman, Hadramaut, Gujarat, Pulau Seylon (Sri Lanka), mungkin teluk Benggala, selanjutnya sampai
Pattani Thailand Selatan, baru sampai di Perlak. Dari Perlak menyusuri Banten, Gresik terus ke timur
melalui Mataram (Lombok) ke Maluku, tempat-tmpat itu masing-masing mempunai peranan dalan
perkembangan islam.
Dalam perkembangannya kemudian, jaringan hubungan seperti it uterus berlanjut timbale bali dari
abad ke abad, generasi ke generasi, mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut kepada
jaringan ulama sebagimana disebutkan oleh Azyumardi Azra, selanjutnya kepada jaringan tasawuf-
tarekat sehingga perubahan apapun yang terjadi di pusat Islam Timur Tengah akan sangat
mempengaruhi keadaan islam di Nusantara.
Dengan demikian, terbentuklah pelabuhan-pelabuhan tempat singgah bagi para pedagang muslim
asing itu di nusantara sehingga pada akhirnya muncul perkampungan orang islam peranakan arab,
dengan ibu pribumi. Muncul pula pelabuhan-pelabuhan dan perkampungan orang-orang Gujarat,
Patani, Perlak dan lain-lain.
Demikian pula corak islam di Indonesia berubah mengikuti perubahan corak islam di pusatnya baik
ketika berpusat di jazirah Arab, Damaskus, Baghdad maupun di Mesir. Hal ini karena indonesia
dilewati jalur perdagangan internasional antara Timur (China) dan Timur Tengah dan Barat (Venesia
waktu itu).
Dengan demikian, ketika corak islam di pusatnya berubah, di Indonesia pun berubah. Corak-corak
islam yang pernah ada di Indonesia adalah Syiah pada masa berdirinya kerajaan Perlak dengan
rajanya Sultan Alaidin Syed Maulana Abd. Aziz Shah yang memerintah dari tahun 225-249 H- 840-
846 M.
Seratus tahun kemudian seorang sultan yang beraliran ahli sunnah waj Jamaah yaitu Sultan
Makhdun Alaidin Malik Abdul Kadir Shah Johan berdaulat dan memerintah tahun 306-310 H- 928-
932 M. maka corak islam yang berkembang di Indonesia berubah menjadi Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Perkembangan tasawuf di Indonesia seterusnya mengambil tarekat sebagai media. Penyebaran
tarekat Syathariyah, Rifaiyah, dan Qadiriyah di Aceh semakin pesat. Ditambah lagi, sesudah
pembukaan terusan suez, perhubungan antara Indonesia dengan Timur Tengah makin lancar,
apalagi kota Makkah sebagai pusat studi sialam, membuat berbagai gerakan dan aliran tarekat
lainnya segera merembes dan menyebar di Inonesia seperti tarekat Naqsabandiyah, Syadziliyah, dan
lain-lain. Banyaknya pemuda Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tnegah, kemudian kembali ke
tanah air juga banyak membawa pengaruh bagi perkembangan tasawuf di Indonesia.
Mula-mula muncul Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh syaikh abdul Qadir jaelani (471-
561/1078-1168) di Asia Tengah, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai
ke Indonesia, Malaysia, Singapura , Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifaiyah di
Maroko dan Al Jazair. Disusul Tarekat Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan
Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat
menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting
sehingga banyak sekali.
Khusus di Indonesia, pengembangan islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah
atas usaha kaum tarekat sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual
Indonesia (Nusantara) bukanlah aliran syairah melainkan syaikh tarekat.
Tentang kapan pribumi nusantara memeluk islam, para ahli berbeda pendapat. Mungkin orang
muslim asing memang sudah ada dan menetap di pelabuhan dagang di Sumatera dan Jawa beberapa
abad sebelum abad ke-16, namun baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang pribumi
memeluk islam di suatu kerajaan kecul Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh Keslutanan
Samudera Pasai. Selama abad-14 dan 15 secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa
dan Maluku.
Ketika orang pribumi nusantara mulai menganut islam corak pemikiran islam diwarnai oleh tasawuf,
pemikiran para sufi besar seperti Ibn Al Arabi dan Abu Hamid Al Ghazali sangat berpengaruh
terhadap pengamalan-pengamalan umat islam pada waktu itu. Justru karena tasawuf itulah
penduduk nusantara mudah memeluk agama islam, apalagi ulama tersebut mengikuti sebuah
tarekat atau lebih.
Secara relatif corak pemikiran islam yang pernah dipengaruhi oleh tasawuf selanjutnya berkembang
menjadi tarekat. Justru ketika abad ke-13 masehi ketika masyarakat nusantara mulai memantapkan
diri memeluk islam, corak pemikiran islam sedang dalam puncak kejayaan tarekat.
Abad-abad pertama islamisasi Indonesia bersamaan dengan masa merebaknya tasawuf pada abad
pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam abad-abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang
terkenal seperti Abu Hamid Al Ghazali (w.1111) dengan konsep tasawuf yang diterima oleh para
fuqaha, Ibn Al Arabi (w.1240) yang mempengaruhi hamper semua sufi yang muncul belakangan.
Abdul Qadir Al Jaelani (w.1166) yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah, Abu Al Najib Al
Suhrawardi (w.1167) yang darinya nama tarekat Suhrawardi diambil, Najmu al Din Al Kubra (w.1221)
tokoh sufi Asia Tengah pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangan berpengaruh terhadap tarekat
Naqsabandiyah, Abu al Hasan al Syadzili (w.1258) sufi afrika Utara pendiri tarekat Zyadziliyah,
Rifaiyah telah mapan sebagai tarekat menjelang 1320, Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat
kurang lebih pada 1300-1450, Naqsabandiyah menjadi tarekat khas pemberi nama baha al Din
Naqsabandi (w.1389), dan Abdullah al Syathari pendiri tarekat Ayattariyah (w.1428-1429).
Sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekat lah islamisasi Asia Tenggara,
termasuk Nusantara Indonesia dapat berlangsug damai. Ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn
Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang
dianut oleh masyarakat setempat. Konsep insan kamil sangat potensial sebagai legitimasi religius
bagi para raja.
Di Sumatera tepatnya di Aceh, masa-msa itu telah melahirkan empat ulama sufi yang besar jasanya
bagi perkembangan agama islam dan khasanah intelektual islam di Indonesia. Mereka itu adalah
Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Abdur rauf Singkel dan Nurrudin Ar Raniri.
Hamzah Fansuri banyak terpengaruh ajaran Ibn Arabi dan Abdal Karim Al Jili yang cenderung kepada
faham panteisme, yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta ini merupakan aspek
lahir atau tajalli (manifestasi, pengejawantahan) dari hakikat yang tunggal yaitu Tuhan. Hamzah
Fansuri mempunyai murid bernama Syamsudin Sumatrani.
Hamzah Fansuri, selain dikenal sebagai seorang sufi yang mengembangkan ajarn wihdatul wujud dari
Ibn Arabi, ia juga disebut-sebut sebagai penganut tarekat Qadiriyah. Realitas ini dapat dilihat dari
syairnya yang menceritakan tentang kunjungannya ke Makkah, Al Quds, Baghdad (dimana ia
mengunjungi makan Abdul Qadir Jaelani) dan Ayuthia. Di Baghdad ia menerima ijazah dan berafiliasi
dengan tarekat Qadiriyah bahan pernah di angkat menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Ajarannya Fansuri kemudian dikembangkan oleh Syamsuddin Sumatrani namun mendapatkan
perlawanan dari Nuruddin Ar Raniri sebab menganggap ajaran Sumatrani mirip dengan ajaran Syekh
Sii Jenar di Jawa yaitu wahdatul wujud (Manunggal kawula ning gusti).
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia
yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan
penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang
Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.
Ar Raniri kemudian berusaha membersihkan pemahaman tasawuf dari paham panteistik yang
dipandangnya telah menyimpang dari ajaran martabat tujuh yang dikembangkan oleh Muhammad
Ibn Fadhillah seorang ulama sufi Gujarat (w. 1620) disimpangkan oleh Sumatrani dan Fansuri.
Sesudah sultan Iskandar Muda wafat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang ternyata cenderung
mendukung paham Ar Raniri yan lebih tradisional. Akibat dukungan itu, Ar Raniri dapat leluasa untuk
menghilangkan paham tasawuf panteisme Fansuri hingga hilang di tanah Aceh.
Kemudian ada Abdur Rauf Singkel, dia pun mengembangkan Martabat Tujuh. Di sisi lain ia juga
merupakan guru dari tarekat Syathariyah sekaligus menyebarkannya di Indonesia. Tarekat
Syathariyah ini pada dasarnya banyak memasukkan unsur-unsur kepercayaan dan mistik dari tradisi
lama.
Jalur lain penyebaran tarekat di Indonesia adalah memalui makkah dan madinah. Dari sini
diseberkan berbagai tarekat ke nusantara (sekarang Indonesia). Pada abad ke-17 banyak ulama sufi
di makkah dan madinah yang membaiat orang-orang Asia Tenggara, atau orang-orang jawa
sebagaimana mereka pada umumnya di sebut di Makkah dan Madinah, untuk mengamalkan
berbagai macam tarekat.

C.Beberapa Tarekat di Nusantara


a.Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang di ambil dari nama pendirinya yaitu Abdul Qadir Jilani (470-561
H/ 1077-1166 M), yang terkenal dengan sebutan Syaukh Abdul Qadir Jilani Al ghawsts atau quthb al
auliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah sprititual islam karena tidak
saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang
tarekat di dunia islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah
kematiannya, semasa hidup sang syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada
pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandangs ebagai sosok ideal dalam keunggulan dan
pencerahan spiritual. Namun, generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda berkisar
pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai isah ajaib tentang dirinya.
Berbeda dengan Julian Baldick, ia menyebutkan bahwa adanya kekeliruan mengenai anggapan
bahwa Abdul Qadir Al Jilani sebagai tokoh pendiri tarekat Qadiriyah. Ia mengatakan bahwa tarekat
Qadiriyah itu baru terbentuk kemudian. Jacqueline Chabbi menunjukkan bahwa salam sumber-
sumber klasik, Abdul Qadir Jilani (Abdul Qadir Jaelani) hanyalah seorang ulama fikih dan dai yang
zuhud. Di sisi lain, ceramah-ceramahnya penuh dengan ajaran sufi. Meskipun hanya berupa ceramah
umum biasa, di dalamnya mengandung ajaran tasawuf hambali yang, sebagaimana kita lihat
sebelumnya, menghindari toleransi yang abstrak. Abdul Qadir Jilani sering menyinggungg hirarki
tingatan sufi. Dia mengatakan bahwa hal itu milik Allah, sedangkan maqam mulik abdul yang lebih
tinggi.
Di Indonesia tarekat Qadiriyah berkembang dengan baik, bahkan becabang, seperti tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN). TQN dipelopori oleh syaikh Sambas dan sampai sekarang
tarekat inilah yang lebih popular di bandingkan dengan tarekat Qadiriyah sendiri. Kini, tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang cukup terkenal adalah tarekat yang dipimpin oleh Abah Anom di
Tasikmalaya.
Dalam segi ajarannya pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok
agama islam, terutama golongan ahlussunah wal jamaah. Secara sederhana ajaran dari tarekat
Qadiriyah dapat disebutkan sebagai berikut: pertama taubat adalah kembali kepda Allah dengan
mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari hati kemudian melaksanakan setiap hak Allah. Kedua,
zuhud yaitu gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu
yang lebih baik darinya menurut Abdul Qadir zuhud itu ada dua yaitu zuhud hakuku dan zuhud lahir.
Ketiga yaitu tawakal yakni salahs atu sifat mulia yang harus ada pada diri ahli sufi. Keempat Syukur
adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati.
Kelima ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir). Keenam, jujur yaitu
menetapkan hukum berdasarkan sesuai dengan kenyataan atau mengatakan dengan benar dalam
kondisi apa pun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.
b.Tarekat Naqsabandiyah
Di Indonesia sangat terkenal tarekat Naqsabandiyah yang pemeluknya terdapat tidak sedikit, baik di
Jawa, Sumatera, maupun di Sulawesi. Pendiri tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Baha al
din al-Uwaisi ai Bukhari Naqsabandi (717-791 H/1318-1389 M). ia biasa di namakan Naqsabandi,
terambil dari kata Naqsaband, yang berarti lukisan, konon karena ia ahli dalam memberikan lukisan
kehidupan yang ghaib-ghab. Benar atau tidak nya pengertian ini, dapat di baca dalam buku The
Darvishes karangan J. P Brown. Dalam Berlin Catalgue no. 2188, dai Ahlwardt, kata Naqsaband itu
artinya sama dengan Penjagaan bentuk kebahagiaan hati. Gelaran syah diberikan orang kemudian
untuk kehormatan.
Syaikh Yusuf Al Makassari (1626-1699) adalah orang pertama yang memperkenalkan tarekat
Naqsabandiyah di nusantara. Ia menerima ijazah dari Syaikh Muhammad Abdullah Al Baqi di Yaman
kemudian mempelajari tarekat ketika di Madihan dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim Al Kurani.
Tarekat Naqsabandiyah yang menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang di bawa
oleh para pelajar Indonesia yang belajar di sana. Mereka ini kemudian memperluas dan
menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok nusantara.
Ajaran-ajaran pokok dari tarekat ini antara lain: berpegang teguh dengan aqidah ahli sunnah.
Meninggalkan ruhksah. Memilih hukum-hukum yang azimah. Senantiasa muraqabah. Tetap
berhadapan dengan Tuhan. Senantiasa berpaling dari kemegahan dunia. Menghasilkan malakah
hudur (kemampuan menghadirkn Tuhan dalam hati). Menyendiri di tengah-tengah keramaian serta
menghiasi diri dengan hal-hal yang memberikan faedah. Mengambil faedah dari semua ilmu-ilmu
agama. Berpakaian dengan pakaian orang-orang mukmin biasa. Zikir tanpa suara. Mengatur nafas
tanpa lalai dari Allah. Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad saw.
c.Tarekat Khalwatiah
Tarekat khalwatiah di Indonesia banyak di anut oleh suku bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan,
atau di tempat-tempat lain di mana suku itu berada seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur,
Ambon dan Irian Barat.
Nama khalwatiah di ambil dari seorang sufi ulama dan pejuang Makassar pada abad ke -17, Syaikh
Yusuf Al Maksassari Al Khalwati yang sampai sekarang masih sangat di hormati. Sekarang terdapat
dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama tarekat
khalwatiah Yusuf dan Khalwatiah Samman.
Tarekat Khalwatiah Yusuf dinisbatkan kepada nama Syaikh Yusuf al Makassari dan tarekat
Khalwatiah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad al Samman.
Keduanya adalah dua tarekat yang sama sekali berbeda, yang sama hanyalah namanya.
Syaikh Yusuf Al Sumatrani dalam bebeapa literatur sepbagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
juga termasuk orang pertama yang menyebarkan tarekat naqsabandiyah. Hal inilah yang akhirnya
menjadikan Al Makassari tidak hanya di anggap sebagai pendiri dari tarekat khalwatiah namun juga
berperan dalam penyebaran tarekat Naqsabandiah.
Ajaran tarekat Khalwatiah secara sederhana dapat di ringkas sebagai berikut, manusia yang berada
dalam nafsu amarah bersifat jahil, kikir, loba, takabur, pemarah, gemar kepada kejahatan,
dipengaruhi syahwat dan mempunyai sifat-sifat buruk lainnya.
Manusia yang berada dalam nafsu lawammah banyak kegemaran dalam mujahadah daln
pelaksanaan syariat, ia banyak berbuat amal saleh namun masih bercampur aduk dengan sifat ujub.
Manusia yang berada dalam nafsu mulhamad, biasanya mujahadah dan melakukan tajrid, dan oleh
karena itu menemui isyarat-isyarat tauhid, tetapi ia belum dapat melepaskan diri seluruhnya
daripada hukum-hukum manusia.
Manusia yang berada dalam keadaan nafsul mthmainnah tidak dapat lagi meninggalkan hukum-
hukum taklifi agama barang sejari, tidak merasa enak jika tidak berakhlak dengan akhlak nabi
Muhammad.
Manusia yang menpunyai nafsu radhiyah ialah manusia yanga da dalam keadaan fana kedua, sudah
terlepas dariapada sifat-sifat manusia bisa.
Manusia yang mempunyai keadaan nagsul mardiyah adalah manusia yang telah dapat
mencampurkan dirinya kecintaan khalik dan khalak dan tanpa penyelewengan.
Manusia tertinggi berada dalam keadaan nafsu kamilan yaitu manusia yang dalam pekerjaan
ibadatnya turut seluruh badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggota lainnya.
d.Tarekat Qadiriyah wa Nasabandiyah
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah tarekat yang merupakan penggabungan
dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib
Al-Syambasiatau biasa disebut juga dengan nama Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-Sambasi
al-Jawi. Ia adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi imam Masjidil Haram di Makkah
al-Mukarramah. Ia tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Ia wafat pada tahun 1878.
Beliau Sebagai seorang guru mursyid yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi
sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.
Karena dalam tradisi Tarekat Qodiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah
mempunyai derajat mursyid.
Sebenarnya kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, dan karena
memang tarekat ini adalah hasil ijtihad beliau, maka layak jika nama tarekatnya itu dinisbatkan
sebagai Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah. Namun karena sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh
Achmad Khotib Al-Syambasi terhadap pendiri Tarekat Qodiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka
beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya.
Dikemudian hari, tarekat ini sangat berkembang pesat dan menjadi tarekat yang paling banyak
pengikutnya di Indonesia. Selanjutnya garis salsilahnya berlanjut melalui Syaikh Abdul Karim Tanara
Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten dan juga mengikuti jejak gurunya menjadi imam
Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.
Selanjutnya jalur salsilahnya ini berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal
sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Salsilah ini terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum
Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya sampai hari
ini, garis salsilah ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa
Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia
sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh
dzikirnya yang bertempat di bogor Baru, kota Bogor, propinsi Jawa Barat

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Dr. Yunasril Ali. 1997. Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina
Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA. 2003. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Penerbit Angkasa.
Simuh. 2002. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Asep Ahmad Hidayat, 2009. Tarekat Masa Kolonial (Kajian Multi Kultural, Bunga Rampai Sufisme
Indonesia). PKUB Departemen Agama Republik Indonesia.
Drs. Jafar Shodiq, Msi. 2008. Pertemuan Antara Tarekat dan NU (studi Hubungan Tarekat dan
Nahdlatul Ulama Dalam Konteks Komunikasi Politik 1955-2004). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Julian Baldick. 2002. Islam Mistik mengantar Anda ke Dunia Tasawuf. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Drs. H. Abdul Qadir Jaelani. 1996. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Gema Insapi Press.
Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh. 1985. Pengantar Ilmu tarekat ( Uraian Tentang Mistik ). Solo: CV.
Ramadhani.
Martin van Bruinessen. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.
__________________. 1992. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
Drs. Usman Said, dkk. 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
IAIN Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai