“INSAN AL-KAMIL”
Makalah
Zainah
NIM. 10. 0212. 661
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Asmaran, As. MA
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Sedangkan
intisari dan mistisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya
1
Keinginan untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan ini, dikalangan sufi
biasa disebut kehidupan menyuci. Dan dalam menjalani kehidupan menyuci itu,
senantiasa berkontemplasi, yakni dengan jalan mendekati sifat yang mirip dengan
Mutlak. Untuk itu tidak sembarang orang dapat melakukannya. Menurut kaum sufi,
tingkat pertama manusia yang hidup dengan mendekati kemiripan dengan Tuhan
adalah Nabi, kemudian para sufi istimewa dari yang istimewa dan para wali.
diperoleh karena kapasitasnya sebagai manusia. Kaum sufi mengetahui hal itu
tingkat suci dengan jiwa sucinya lalu mampu mengadakan kontak dengan yang
Dalam dunia sufi berbagai macam aliran yang memiliki jalan yang berbeda
untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Salah satunya adalah jalan (gagasan)
yang dikemukakan seorang tokoh sufi yaitu Abdul Karim Al-Jili dengan gagasannya
Insan Kamil.
B. BIOGRAFI AL-JILI
Nama Al-Jili cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf,
perananya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui. Hai itu disebabkan Al-
Jili sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan murid-
2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 54. Lihat:
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. (Jakarta: Nurul Islam, 1980), hal. 23
2
muridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian,
kehidupan Al-Jili tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, karena dalam beberapa
keberadaannya.3
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn
Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud Al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh”
yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-
Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya
dinisbatkan dengan Al-Jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher
mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam
distrik Bagdad ”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad,
‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh
tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H
sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di
Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik
bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke
kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang
memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia
pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti
(w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad
3 Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman (terj). (,Bandung:
Pustaka, 1985), hal. 34. Lihat: Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia. (Jakarta: Djambatan,
1992), hal. 36
3
(w. 821).4
Ketika berkunjung ke India ini, Al-Jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-
tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di
ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran
dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu
yakni tahun 803 H Al-Jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di
Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di
kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah
kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu
kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan
4 Ibid.
5 www.wordpress.com//al-jili/biografi/page2/09/2010
4
sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahnu berikutnya
gurunya meninggal.
dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari
Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif
C. KARYA-KARYA AL-JILI
secara pasti, sehingga kita tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat dari hasil
karyanya itu. Iqbal mengatakan bahwa karya la-jili tidak banyak seperti ibn ‘Arabi.
Iqbal hanya menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya, yaitu suatu ulasan atas karya ibn
‘Arabi, al-futuhat al- makkiyah, suatu komentar atas basmalah, dan karyanya yang
Ada lagi penelitian yang lebih akurat ialah yang dilakukan oleh Haji Khalifah.
Penelitian Haji Khalifah itu dilengkapi oleh Isma’il Pasya al-Baghdadi. Ia mencatat
lima karya Al-Jili selebihnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti
sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang
ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh
Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam
6 Ibid.
5
1. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail. Buku ini adalah bukunya
yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo,
Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep
menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang
berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-
4. Lawami’ al-Barq
5. Maratib al-Wujud. Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga
6. Al-Namus al-Aqdam. Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan
terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat
7 Abdul Karim Al-Jili, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali (Beirut: Dar al-
fikr, t.th), hal. 12
6
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata insan dan kamil.
Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan
Insan kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang
berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama
kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim Al-
Secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari
dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan
beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang
berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara
historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang
berpendapat bahwa itu berasal dari “‘ain san”, yang artinya ‘seperti mata’. Namun
dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil yang artinya adalah
‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali
digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi
sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna),
menurutnya melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang
mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau
8 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi “Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh Al-
Jili”, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 48
7
Al-Jili seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli
Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap
wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak, yang
bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi murni,
tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Di dalam
kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat dipahami dan tidak ada kata-
kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran, akal, dan pengertian
mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti, hal yang tidak pasti akan
menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak mungkin manusia yang serba
bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut senada
dengan ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.”
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta yang
serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang dilakukan
oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Jili alam ini
bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari
ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada di
kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah
9 Abdul Karim Al-Jili, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali. (Beirut: Dar al-
fikr, t.th), hal. 72
10 Ibid. hal. 73
8
berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap
wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra
ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi
mutlak itu.11
Menurut pandangan Al-Jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan
sekaligus imanen. Al-Jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam laksana air dan
es (air yang membeku). Tuhan al- Haqq, diumpamakan sebagai air. Dan alam
diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara ”es” dan ”air” ini,
Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa Al-Jili melihat adanya dua bentuk wujud, yakni
wujud haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya berupa wujud ”yang dipinjam”
dari wujud haqqi. ”Es” sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud
”pinjaman”, sedangkan wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan dari wujud
haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud, yakni wujud haqqi, sedangkan
wujud khalqi hanya berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat
lain, Al-Jili menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i sebagai aspek aspek-
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli yang paripurna,
sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada
dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika
maupun metafisika. Selain itu, insan kamil adalah kutub yang diedari oleh segenap
alam wujud ini dari awal smapai akhirnya dan ia hanya satu, sejak permulaan wujud
sampai akhirnya.
11 Ibid.
9
Kesempurnaan insan kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan
memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia
juga merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah
insan kamil, meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi
aktual.12
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi
Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping
terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi
Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi
tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan
manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan
pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak
12 Hari Zamhari, Insan Kami: Citra Sufistik Al-Jili tentang Manusia. (Jakarta: Grafitipers,
1985), hal. 87
13 Ibid.
10
tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin
sempurnalah dirinya.
Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama
serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini,
nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia
sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang
inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering
terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi
Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan
rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam
manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia
bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam
sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa. Kalau al-Hallaj
memandang Nur Muhammad itu qadim dan ibn ’Arabi memandangnya itu qodim
dalam ilmu tuhandan baru ketika ia menyatakan diri pada makhluk, maka Al-Jili
memandangnya baru. Nagi Al-Jili hanya ada satu wujud yang qadim, yaitu wujud
Allah sebagai zat yang wajib(pasti, niscaya)ada. Wujud tuhan dipandang qadim
karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-Jili menjelaskan, sekalipun wujud yang
diciptakan itu sudah ada semsnjak qidam didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang
baru dalam keberadaanya itu, karena ia ”disebabkan” oleh wujud lain yang secara
11
esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh karena itu, kata Al-Jili, a’yan
tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim, tetapi baru.
atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil.
Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat
secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua
jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah
sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan
Seperti Ibn ’Arabi, Al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses
munculnya insan kamil. Menurut Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-
menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:
1. Uluhiyah
Tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah
merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang
menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam
peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan
12
“Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang
digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
2. Ahadiyah
Tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini
merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan
sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada
kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini
3. Wahidiyah
Pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi
sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih
4. Rahmaniyah
Pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat
wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas
ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam
secara keseluruhan.
5. Rububiyah
Tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami
13
partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia
terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan
yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. 15
Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah
semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan
menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama
(tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali
al-dzat).
1. Al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman
yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat,
2. Al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada
Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir,
dan Qadar.
3. Al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus
4. Al-Ihsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat,
inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam
14
5. Al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan
6. Al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang
pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin, pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan.
7. Al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan
paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang
c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi,
tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena
Seperti Ibn ’Arabi juga, Al-Jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai
16 Ibid., hal. 95
15
khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat
kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak
lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan
secara utuh. Sebagai contoh, Al-Jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral
dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya
lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat af’al.17
G. Kesimpulan
Tuhan.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra
pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “Hakikat
Muhammadiyah” atau “Nur Muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu
mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan
Kamil. Aktualisasi “Nur Muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak
dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai
16
dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Tajjali
sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi “Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn Arabi
Oleh Al-Jili”. Jakarta: Paramadina, 1997.
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman (terj). Bandung:
Pustaka, 1985.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Bulan Bintang, 1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Zamhari, Hari. Insan Kami: Citra Sufistik Al-Jili tentang Manusia. Jakarta:
Grafitipers, 1985.
www.wordpress.com
17