Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Al-Gazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang
terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali Al-
Gazali dan Shalahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-
orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang Muslim yang
paling dekat dengan orang Kristen.

Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan,


karena kaum Muslim terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok : kelompok defensif
yang terdiri atas ulama agama yang telah merasa puas dengan Al-Qur’an dan
Hadits, kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai mazhab, filsafat, dan
rasionalisme, kelompok Mu’tazilah yang mengambil filsafat Yunani dan logika
Aristoteles, kelompok Syi’ah Batiniyah yang berpendapat bahwa nas-nas agama
mengandung tafsiran batin yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang
hatinya jernih, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat kepada Allah bisa
dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya internal bukan dengan akal / sunnah,
dan kelompok filosof yang mengikuti filsafat Plato modern. Semua kelompok ini
selagi menarik pemikiran Islam pada zaman Al-Gazali.

Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazali dapat menjadikan


sunnah, filasafat, dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan seimbang.
Dia dapat menempatkan ilmu agama, sufisme, dan filsafat pada satu pemikiran yang
logis dan teratur. Dia dapat mengembalikan pengikut sufi pada syari’at lahir, dan
mengembalikan para filosof yang mengandalkan akal semata kepada jalan yang
benar.
Karya terpenting Al-Gazali ialah Ihya ‘Ulum al-Din. Para Fukaha menilai kitab ini

1
hampir mendekati kedudukan Al-Qur’an. Buku lainnya yaitu al-Munqidzminal-
Dhalal.
Singkatnya, semua upaya Al-Gazali yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan
keteladanan. Dia sangat berakhlak, zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah
hal-hal yang membuatnya begitu terhormat dalam sejarah manusia.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah kami kemukakan di atas , maka yang

menjadi fokus masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana biografi dan perjalanan Imam Al-Ghazali

2. Bagaimana Ajaran Imam Al-Ghazali yang bisa kami pelajari dan

diamalkan

3. Bagaimana sebuah telaah Imam Al-Ghazali tentang metodelogi

reformasi

C. TUJUAN PENULISAN

Dari rumusan yang disebutkan diatas maka terlihat jelas bahwa tujuan

makalah ini dibuat adalah untuk :

1. Agar kami mengetahui biografi dan perjalanan Imam Al-Ghazali

2. Agar kami mengetahui Ajaran Imam Al-Ghazali yang bisa

kami pelajari

dan diamalkan

3. Agar kami mengetahui bagaimana sebuah telaah Imam Al-Ghazali tentang

metodelogi reformasi

4. Memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing kami yaitu Bp.

2
Drs.H.Ah.Fauzan Shaleh,M.Ag selaku dosen Akhlak Tasawuf .

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan dalam penulisan dan pemahaman terhadap isi

pembahasan makalah ini, maka kami membuat sistematika penulisan sebagai

berikut.

Bab Pertama Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penulisan, Sistematika Penulisan dan Metode Penulisan .

Bab Kedua Landasan Teoretis Tentang Bagaimana biografi dan perjalanan

Imam Al-Ghazali. Bagaimana Ajaran Imam Al-Ghazali yang bisa kami pelajari

dan diamalkan .Dan Bagaimana sebuah telaah Imam Al-Ghazali tentang

metodelogi reformasi

Bab Ketiga Penutup, berisi Simpulan dan Kritik Saran.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode deduktif yaitu

mengambil kesimpulan dari hal –hal yang bersifat umum kemudian ditarik suatu

analisa yang bersifat khusus. Pada makalah ini kami akan memaparkan mengenai

pengertian sholat jama’ taqdim, qoshar, tata cara pelaksanaan sholat jama’

taqdim, qoshar dalam pesawat terbang, dan mengenai pandangan dan pendapat

ulama tentang sholat dalam pesawat terbang.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali


GHAZALI, ABU HAMID, nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran
sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111
M, lebih dikenal dengan nama IMAM AL-GAZALI.[1]

Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika Al-Ghazali masih kecil, beliau dan
saudaranya telah diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di
Durjan, beliau mempelajari ilmu Fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau melanjutkan
perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau belajar kepada Imam Al-
Haramain. Kepala sekolah Nizamiyah di Naisabur. Kemudian menjadi guru dan mengajar
perguruan tersebut. Selanjutnya, pindah dan mengajar pula di sekolah Nizamiyah
Baghdad, lalu menjabat sebagai Direktur sekolah-sekolah Nizamiyah seluruh Baghdad.
Kedalaman dan keluasan ilmunya telah menyebabkannya ragu terhadap kebenaran hasil
pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, melalui akal pikiran. Ia ragu pula
terhadap Mutakallimin, para Filosof, dan golongan Syi’ah Batiniyyah.

Apa yang dicarinya selama ini tentang jalan yang benar ditemukannya di dalam
tasawuf, di mana ia merasakan kejernihan pikiran sehingga terbukalah baginya ilmu yang
tak pernah didapatkannya sebelumnya.[3] Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi
tabah, serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala
kemewahan, harta kekayaan, kehormatan, dan keluarga yang ada di Baghdad untuk
kemudian pergi ke Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta kekayaan yang
diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota Damaskus, beliau tinggal
selama 11 tahun.

4
Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan melakukan
khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi
pekertinya, selalu berfikir tentang Allah SWT. Di situ kemudian beliau pergi ke
Yerussalem. Di sini pula beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis. Lama-
kelamaan kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke Mekkah dan
Madinah untuk menunaikan ibadah haji.
Kadang-kadang Al-Ghazali pulang ke Baghdad untuk sekedar menengok
keluarganya. Kehidupan yang demikian ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama
berada di dalam pengembaraan, akhirnya beliau pulang kembali dan menetapdiBaghdad.

Setelah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyalami ilmu yang sangat
dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tanggal 9 Desember 1111 M ( 505 H ),
Hujjah al-Islam, Waliyyullah, dan filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-
Ghazali berpulang ke rahmatullah

B.Ajaran-Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

1. MAHABBAH ( CINTA ).
Mahabbah ( cinta ) itu – pertama-tama – ada berlaku di antara Allah dan para
wali-Nya. Al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu. Allah berfirman : Adapun orang-orang
yang beriman itu sangat cinta kepada Allah ( Q.S 2: 165 ). Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya ( Q.S 5: 54 ).
Jika anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak, ”Bagaimana
engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu ?”
Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui keindahan ciptaan-ciptaan-Nya
yang tampak. Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah,
sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya
berupa pergantian siang dan malam ; matahari, bulan, serta planet-planet yang besar dan
kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan pencipta dan bukti keabadian
keberadaan-Nya. Maha Suci Tuhan yang mencipta segala ciptaan. Karena itu, diri anda
akan bimbang manakala anda memikirkan yang lebih agung daripada yang anda lihat dan

5
yang anda dengar. Yang menunjukkan kepada anda, sebagai bukti terkuat dan kecintaan
kepada-Nya, adalah kenikmatan orang yang mendengar kalam-Nya. Sebab, ia merupakan
mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan kecintaan kepada yang Maha
Berbicara.

2. Ilmu dan Amal.


Orang-orang yang di istimewakan ( al-Khawwash ) di antara makhluk-makhluk
Allah itu ada tiga, yaitu ‘alim ( orang berilmu ), arif ( orang bijak ), dan nasik ( ahli
ibadah / orang yang tekun beribadah ). ‘Alim adalah orang yang mengetahui dan
menguasai ilmu-ilmu lahir, lalu mengamalkannya.
Ilmu itu banyak macamnya. Yang paling dekat adalah yang menunjukkan pada
akhirat seperti ilmu syari’at, tafsir, ilmu hadits, bacaan Al-Qur’an, dan hapalan wirid-
wirid yang disebutkan di dalam al-ihya.
Di antara ilmu-ilmu itu, ada yang berbahaya, seperti mengamalkan sihir-sihir dan
perdukunan. Dari sejumlah ilmu-ilmu yang dipahami, ada yang membantu anda
memperoleh ilmu ke akhiratan. Karena itu, jadilah orang yang beramal, niscaya anda
mencapai tujuan yang tertinggi di rumah Allah yang paling baik. Di sanalah, anda
menetap tanpa kegelisahan. “Di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang
disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”. ( Q.S 54 : 54 – 55 ).

3. Makna Tasawuf.
Engkau bertanya tentang apa itu tasawuf. Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua
hal, yaitu ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik sesama manusia. Setiap orang
yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulannya dengan sesama manusia
disebut sufi. Ketulusan kepada Allah berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan
diri untuk melaksanakan perintah Allah. Sementara pergaulan yang baik antar sesama
manusia adalah tidak mengutamakan keinginannya di atas keinginan manusia, selama
keinginan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap
penyimpangan syari’at / dia yang mengingkarinya, dia bukanlah sufi. Jika dia mengaku
seorang sufi, berarti dia telah berdusta.

6
4. Makna Ibadah.
Engkau pun bertanya tentang makna ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah
memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain, bahkan melalaikan
sesuatu selain-Nya. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan tiga hal berikut :
1. Perhatian terhadap perintah syari’at
2. Keridhaan terhadap Qadha, Qadhar, dan karunia Allah.
3. Meninggalkan tuntutan pilihan dirinya dan merasa senang terhadap pilihan
Allah.
5. Tawakal dan Keikhlasan.
Engkau bertanya tentang apa itu tawakal. Ketahuilah, bahwa tawakal adalah
engkau meyakini apa-apa yang Allah janjikan dengan keyakinan yang tidak dapat
dilemahkan oleh berbagai bencana, betapapun banyak dan besarnya bencana itu.
Demikian pula, engkau bertanya tentang makna keikhlasan. Ketahuilah, bahwa
keikhlasan itu berarti bahwa semua perbuatanmu dilakukan karena Allah. Kalbumu tidak
berpaling kepada sesuatu dari makhluk, baik ketika melakukan amalan tersebut maupun
sesudahnya, seakan-akan engkau menyukai kemunsulan pengaruh ketaatan kepada mu
dari pancaran wajahmu dan kemunculan bekas sujud pada dahimu.

C.Imam Al-Ghazali; Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi


Sosok Al-Ghazali adalah sosok sejuta wajah. Ia berhasil menguasai berbagai
disiplin ilmu secara mendalam pada saat yang bersamaan. Suatu prestasi tersendiri.
Penulis makalah ini mencoba menelaah metodologi reformasi yang dibawakan oleh Al-
Ghazali dengan analisa obyektif dan menyertakan beberapa kelemahannya.
Kemunculan Imam Al-Ghazali dalam pertarungan pemikiran di dunia Islam
boleh dikatakan kontroversial, di mana sekian banyak pemikir memuja beliau, namun tak
kurang pula yang mengkritik dan mengecamnya. Al-Ghazali adalah lautan yang
terbentang luas, Al-Ghazali bagaikan Al-Syafi'i kedua, Hujjatul Islam, dan maha guru
dari para guru.
Demikianlah pujian-pujian yang dilontarkan oleh para pe-ngagumnya dari
kalangan ulama terdahulu seperti Ibn Hajar, Ibn Katsir, Imam Muhammad ibn Yahya dan

7
lain-lain. Dari kalangan ulama kontemporer, Abul Hasan Ali Al-Nadawi, seorang ulama
besar asal India mengatakan, "Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang cemerlang,
cendekiawan yang agung serta tokoh reformasi yang telah berusaha membangun kembali
konstruksi baru bidang pemikiran dalam dunia Islam".
Selain Al-Nadawi, banyak lagi ulama dan intelektual kontemporer sebagai
pengagum Al-Ghazali, antara lain adalah Mushtafa Al-Maraghi (mantan Syaikh Al-
Azhar), Abul A'la Al-Maududi dan Ahmad Fuad Ahwani.
Dari sekian banyak pengagum dan pembela Al-Ghazali, tidak sedikit pula
pengkritik dan pengecamnya dari dulu hingga sekarang. Yang sangat keras mengecam
Al-Ghazali dari kalangan ulama dahulu antara lain Abu Bakar Al-Maliki, Ibn Shalah, Ibn
Jauzi dan banyak lagi yang lainnya.
Adapun dari kalangan intelektual kontemporer yang sangat keras mengecam
beliau adalah dari kelompok rasionalis Islam, kaum Mu'tazilah dan terutama dari para
ahli filsafat Islam. Dalam pandangan mereka, Al-Ghazali telah melakukan kesalahan
besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam memberikan solusi terhadap
problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka untuk memasuki jalan tasawuf
yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat kemajuan masyarakat karena
tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat pribadi dan individualistis.
Lebih dari itu, ahli filsafat Islam berpendapat bahwa pemikiran Al-Ghazali
menjadi starting point dari kemunduran peradaban Islam. Yaitu berawal dari
diluncurkannya suatu karyanya yang spekta-kuler pada abad XIV Masehi yang berjudul
Tahafut al-Falasifah. Karya ini dianggap tidak hanya menghancurkan filsafat metafisika,
akan tetapi juga turut andil melemahkan umat Islam dalam mengadakan riset dan
penemuan baru di bidang natural science atau ilmu pengetahuan alam.
Demikianlah silang pendapat yang terjadi antara ulama dan intelektual Islam
terhadap metodologi reformasi yang telah dicetuskan oleh Al-Ghazali. Namun untuk
lebih menemukan titik terang dari permasalahan ini, penulis paparkan dalam pembahasan
berikut beberapa persoalan yang menjadi obyek dari reformasi pemikiran yang dila-
kukan oleh Al-Ghazali.
Kondisi Masyarakat Sebelum Al-Ghazali Sebelum kelahiran Al-Ghazali pada
pertengahan abad XI, mayoritas masyarakat Islam sedang gandrung mendalami filsafat

8
Yunani sehingga pemikiran filsafat tersebar ke seantero wilayah Islam yang terjadi antara
ulama dan intelektual Islam. Walaupun pada waktu itu banyak terdapat ulama fiqh dan
hadits, namun mereka tidak mampu menghadapi ma-syarakat rasionalis yang kuat
bersandar kepada logika dalam memahami agama kecuali hanya dengan cercaan dan
makian.
Kondisi masyarakat pada masa ini tidak hanya sekedar bodoh terhadap ajaran
agama, akan tetapi disertai pula oleh sikap taklid buta terhadap ajaran filsafat Yunani.
Bahkan sampai-sampai mereka mempercayai ajaran filsafat tersebut sama dengan
kepercayaan mereka terhadap agama, sehingga seolah-olah ajaran filsafat itu datang juga
dari Allah SWT. Tatkala pemahaman filsafat ini semakin menebal di ka-langan
masyarakat Islam - yang boleh kita sebut sebagai sebuah tesa - maka kemudian
muncullah antitesanya, yaitu golongan pengikut salaf yang menyeru kepada kemurnian
Al-Qur'an dan Sunnah serta mengimani nash-nash syariat apa adanya.
Dari pertarungan sengit antara tesa dan antitesa ini, muncullah kelompok yang
menganggap dirinya sebagai penengah yang disebut sintesa, yaitu golongan Asy'ariyah
yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ariy sebagai pencetus dan Imam Al-
Ghazali sebagai pembelanya. Abu Hasan Al-Asy'ary muncul untuk meluruskan kembali
ajaran agama yang telah banyak terselewengkan dan bercampur baur dengan ajaran
filsafat.
Akan tetapi, walaupun beliau mempunyai kemampuan yang cukup tinggi di
bidang keilmuan, namun beliau mempunyai kelemahan di bidang ilmu mantiq yang dapat
digunakan sebagai senjata untuk menundukkan kaum rasionalis. Sehingga walaupun
Imam Asy'ary telah berhasil mencetuskan suatu metodologi baru dalam memahami
aqidah, namun beliau belum mampu menghancurkan ajaran filsafat Yunani yang telah
tersebar luas di tengah masyarakat Islam.
Dalam kondisi seperti inilah muncul seorang hujjatul Islam, yang menjadi
anutan bagi mayoritas umat hingga sekarang. Dengan bukunya Tahafut al-Falasifah,
beliau mampu mengobrak-abrik se-luruh pemahaman filsafat yang telah tersebar luas.
Sehingga sebagai konsekuensi logisnya, pemikiran filsafat dan rasio-nalitas hilang dari
dunia Islam Timur dan berhembus ke dunia Barat Kristen. Peristiwa inilah yang dianggap

9
oleh para ahli sejarah filsafat Islam sebagai starting point bagi pencerahan dan kemajuan
peradaban Barat sekarang ini.
Metodologi Reformasi Al-Ghazali Sebelum memulai reformasinya, terlebih
dahulu Al-Ghazali mengalami kegoncangan dalam hidupnya, sampai-sampai beliau
meragukan segala sesuatu yang ada di alam ini. Kebanyakan ahli filsafat Islam menyebut
kondisi Al-Ghazali ini sebagai syak al-maradhy, yaitu penyakit ragu-ragu.
Namun "penyakit" Al-Ghazali yang unik ini akhirnya menjadi minhaj tersendiri
dalam filsafat, yang pada zaman renaisance di Barat telah diikuti oleh Immanuel Kant
yang menamakan metodologi filsafatnya dengan syak al-minhajy, yaitu keraguan yang
metodologis. Adapun persoalan-persoalan penting yang menjadi obyek reformasi yang
dilakukan oleh Al-Ghazali antara lain adalah hal-hal berikut:
1. Ilmu Kalam

Al-Ghazali mempunyai sikap tersendiri dalam pende-katan memahami ilmu


kalam, di mana beliau menentang keras orang-orang yang memahami Al-Qur'an dan Sun-
nah dengan menggunakan metodologi musuh, walaupun metodologi ini telah tersebar
luas di tengah masyarakat Islam ketika itu. Sehingga menurut beliau, para mutakallimin
pada waktu itu telah gagal dalam memberikan pemahaman akidah secara benar kepada
masyarakat luas, karena para mutakallimin itu banyak menggunakan istilah asing yang
sangat sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk itu Al-Ghazali memberikan
beberapa alternatif baru dalam pendekatan memahami ilmu kalam.

Dalam hal ini Al-Ghozali antara lain meletakkan lima asas dalam mencapai
obyektifitas ilmiah yang tidak dapat diingkari oleh semua pihak, yaitu sebagai berikut:

o Al Badahah al hissiyah. Contohnya, alam dibagi ke-pada dua, yaitu jauhar dan
'aradh. Jika kita mengatakan kepada ahli filsafat bahwa alam adalah hadits
(baru), mereka akan menyangkal hal itu. Akan tetapi dengan adanya
pembagian ini, mereka tidak dapat mengingkarinya.
o Al-Badahah al-aqliyyah. Contohnya, kita mengatakan bahwa bapak pasti lebih
tua dari pada anak. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapa-pun.

10
o Al-i'timad 'ala al-tawaatur. Contohnya, siapapun tidak dapat mengingkari
kebenaran berita yang dibawa oleh mayoritas manusia yang tidak mungkin
berlaku kesepakatan untuk berbohong.
o Al-dalil al sam'i aw al-nash al-syar'i. Yaitu meyakini secara penuh dalil-dalil
yang bersifat sam'i dan nash-nash syari'at yang langsung datang dari Allah.
Kaidah ini hanya bisa digunakan bagi orang-orang yang sudah beriman.
o Al-i'timad 'ala qodhiyah hia min musallamat khashmah. Contohnya, kita
mengguna-kan perkara yang sudah di-sepakati oleh musuh, sehingga tidak ada
jalan untuk lari bagi mereka dari kesepakatan tersebut.
2. Filsafat.
Menurut pendapat Al-Ghazali, ahli filsafat itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
o Al-Dahriyyuun. Yaitu golongan yang meng-ingkari kebenaran bahwa Allah
sebagai pencipta dan pengatur alam, serta meyakini bahwa alam ini kekal
selama-lamanya.
o Al-Thabi'iyun. Mereka merupakan golong-an yang memfokuskan diri dalam
pengkajian terhadap awal mula kejadian alam, he-wan dan tumbuhan.
Golongan ini mengingkari adanya hari akhirat dan perkara-perkara gaib
seperti surga, neraka, malaikat dan lain-lain.
o Al-Ilahiyun. Pelopor golongan ini adalah Socrates, Plato dan Aristoteles.
Golongan ini mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam ketika itu,
khususnya paham Aristoteles yang disebar luaskan oleh Al-Farabi dan Ibnu
Sina.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang sikap Al-Ghazali terhadap filsafat secara
keseluruhan, bisa kita lihat polemik yang dilakukan oleh Al-Ghazali terhadap para filosof
secara umum, dan terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi dalam 20 masalah yang dianggap
urgen. Di antara yang terpenting adalah:

o Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat tentang qadimnya alam. Beliau


berpendapat bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada karena diciptakan
oleh Allah SWT.

11
o Al-Ghazali mengkritik pendapat kaum filsafat tentang kepastian akan
keabadian alam. Beliau berpendapat bahwa soal keabadian alam terserah
kepada Allah semata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir, andai
kata Allah memang menghendaki demikian. Namun bukanlah suatu kepastian
harus adanya keabadian alam disebabkan dirinya sendiri di luar iradat Allah.
o Al-Ghazali menghantam pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya
mengetahui hal-hal kully (universal) saja dan tidak mengetahui masalah-
masalah juz'iy (terperinci).
o Al-Ghazali juga menentang pendapat kaum filsafat, bahwa segala sesuatu
terjadi dengan kepastian hukum sebab akibat semata, tanpa ada
penyelewengan dari hukum tersebut. Bagi beliau segala peristiwa yang serupa
dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan
bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas beliau mendukung pendapat ijra
al-'adah dari Al-Asy'ari.

Semua argumen Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu dilancarkannya


dengan cara polemik yang logis, ilmiah dan metodologis. Kendati demikian banyak juga
ahli filsafat Islam berpendapat bahwa Al-Ghazali kurang fair dalam polemiknya
menentang ahli filsafat. Alasannya adalah bahwa beliau menggunakan senjata apa saja
untuk menghancurkan pendapat filsafat, walaupun senjata itu datang dari golongan lain
yang beliau tentang sendiri, seperti Mu'tazilah, Syi'ah, Bathiniyah dan lain-lain.

Bagaimana pun juga, Al-Ghazali memang telah dikenal sebagai seorang ahli
mantiq serta pemberi tuntunan tentang cara berargumentasi yang baik dan logis.Tentang
ilmu mantiq itu sendiri beliau berpendapat, "Barang siapa yang tidak mempelajari
mantiq, diragukan kebenaran ilmunya".

Dalam menjatuhkan prinsip kaum filsafat tentang kejadian alam, Al-Ghazali


mempunyai argumentasi yang sangat kuat. Sebagai contoh, beliau menjatuhkan prinsip
kelompok yang menyatakan, “Laa yashdur min wahid illa syaiun wahid," yaitu mustahil
akan muncul dari sesuatu yang satu kecuali satu. Dengan mudah Al-Ghazali menjatuhkan
argumentasi kaum filsafat ini dengan senjata mereka sendiri, yaitu bahwa jisim terdiri

12
dari dua unsur, materi dan jiwa, di mana satu unsur bukan merupakan 'illat bagi yang
lainnya. Kemudian Al-Ghazali berkata, bukankah hal ini merupakan hal yang
kontroversial dari prinsip kaum filsafat itu sendiri?

3. Tasawwuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf
ke tempat yang benar menurut syari'at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf
dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam, seperti
wihdatul wujud, ittihad dan al-hulul. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa
seorang ahli tasawuf yang tidak beri'tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak
pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat
terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, "Al-Ghazali
tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri'tikad dengan
wihdat al-wujud".

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya


'Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan
pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya
diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna.

Ada sepuluh kaidah utama yang diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu
niat yang betul, melakukan amal secara ittiba' bukan ibtida', ikhlas, tidak bertentangan
dengan syara', tidak mengulurulur amal baik, tawadhu', takut dan berharap, senantiasa
berdzikir, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh mempelajari hal-hal
yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.

Demikianlah tiga hal yang cukup urgen dan mewakili reformasi pemikiran yang
dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap alam pemikiran umat Islam pada zaman beliau
hidup. Namun bukan berarti hanya tiga masalah ini saja sebagai obyek reformasi Al-
Ghazali, akan tetapi lebih tepat bila dikatakan sebagai sampel yang dapat penulis angkat
dalam tulisan ini.

13
Dari uraian-uraian di atas, kita banyak melihat kelebihan-kelebihan Imam Al-
Ghazali dalam perjuangannya. Namun sebagai manusia biasa tentu saja kita tidak bisa
menafikan adanya kelemahan-kelamahan yang beliau miliki, karena kita meyakini tidak
ada manusia yang ma'shum kecuali para nabi dan rasul.

Untuk pembahasan berikut, penulis kemukakan beberapa kelamahan Imam Al-


Ghazali dari catatan para ahli dan ulama, dengan tidak bermaksud mengecilkan martabat
beliau sebagai seorang ulama besar dan hujjatul Islam.

D. Kelemahan Al-Ghazali

Di samping sekian banyak kelebihan Imam Al-Ghazali, tercatat juga beberapa


kelemahan yang beliau miliki dari pandangan yang obyektif, antara lain sebagai berikut:

1. Kelemahan Al-Ghazali dalam bidang ulum al-hadits.


Ibn Jauzi mengatakan, Al-Ghazali memungut hadits-hadits yang ditemuinya tanpa
penilaian terlebih dahulu terhadap shahih dan tidaknya hadits tersebut. Hal ini
menurut Ibn Jauzi disebabkan oleh latar belakang pendidikan Al-Ghazali yang
lebih banyak memfokuskan diri dalam bidang ilmu 'aqliah seperti ilmu kalam,
mantiq, ushul fiqh dan lain-lain.

Sementara Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-Rasul wa al-’Ilmi mengatakan,


“Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin pada bagian Kitab al-Ilmi
mengemukakan 55 buah hadits, dan hanya 13 hadits di antaranya yang sampai
martabat shahih dan hasan, sedangkan selebihnya adalah hadits-hadits dha'if,
walaupun masyhur di kalangan masya-rakat.

2. Kontradiksi dalam pendapatnya sendiri.


Terdapat kontradiksi dan pertentangan antara pendapat-pendapat Al-Ghazali
sendiri, di mana beliau menafikan suatu pendapat yang telah beliau benarkan pada
tempat lain.

14
Fenomena ini menyebabkan beliau dianggap mempunyai dua madzhab. Pertama
madzhab untuk orang awam, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Tahafut al-
Falasifah. Kedua madzhab khusus untuk para ahli filsafat saja, seperti yang
terdapat dalam buku beliau Ma'arij al-Quds.

3. Sikap Al-Ghazali terhadap fenomena perang salib.


Pada masa hidup Al-Ghazali telah terjadi penyerbuan besar-besaran dari tentara
salib terhadap dunia Islam, sehingga beberapa wilayah Islam dapat dikuasai kaum
salibi termasuk Baitul Maqdis.

Dalam serbuan pertama dari peperangan tersebut umat Islam yang mati syahid
mencapai 60.000 orang. Dalam kondisi yang sangat nahas itu tidak terdengar
suara Al-Ghazali untuk mengatasi problem besar ini. Sementara kedudukan beliau
pada waktu itu boleh dikatakan sebagai imam bagi seluruh dunia Islam, yang
dengan satu ucapannya saja dapat mengerahkan umat Islam untuk berjihad
mengusir kaum kafir salib yang telah menjajah dunia Islam dan dapat
membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman kaum kafir.

Namun Al-Ghazali lebih memilih jalan sufi dan ber’uzlah dari pada memimpin
peperangan mengusir musuh dari dunia Islam. Al-Ghazali mulai ber’uzlah di
menara masjid Damaskus semenjak tahun 488 H. hingga tahun 499 H. Pada tahun
491, tiga tahun setelah beliau mulai ber’uzlah, tentara salib telah berhasil
menaklukkan Anthakia dan Ma’ratun Nu’man yang mengakibatkan terbunuhnya
100.000 kaum muslimin. Mereka menerobos seluruh pelosok negeri, serta
menghancurkan semua yang mereka temui. Akhirnya pada tahun 495 H mereka
berhasil menaklukkan Al-Quds. Sementara Al-Ghazali masih “terlelap” dalam
‘uzlahnya hingga tahun 499 H.

Para ahli sufi pada waktu itu, termasuk Al-Ghazali hanya berpendapat bahwa
perang salib tersebut merupakan ganjaran dari maksiat yang diperbuat umat
Islam, oleh sebab itu ishlah batin lebih afdhal dari pada perang fisik dalam kondisi
seperti itu.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Imam Ghazali ; nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran sekarang
450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M.
2. Ajaran-ajaran tasawuf Imam Ghazali adalah tentang masalah : cinta ( mahabbah ),
ilmu dan amal, makna tasawuf, makna ibadah, serta tawakal dan ikhlas.
3. Kitab-kitab karangan Imam Ghazali di antaranya : Ihya ‘Ulum al-Din dan al-
Munqidzminal-Dalal.
Ulama kalam sebelum Al-Ghazali telah berusaha memerangi filsafat, tetapi
tidak seorangpun yang berhasil merobohkan konstruksi pemikiran filsafat sampai ke
akar-akarnya sebagaimana yang telah dilakukan Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-
Falasifah. Al-Ghazali juga menyerang para ahli ilmu kalam, sementara beliau sendiri
sebagai tokoh ilmu kalam.
Beliau mengkritik kebanyakan tingkah laku ulama kalam, yang menurut
beliau hati mereka menjadi kesat dan jauh dari ajaran agama yang mereka perjuangkan
sendiri. Al-Ghazali telah mengambil jalan tasawuf, dan membebaskan tasawuf tersebut
dari berbagai penyelewengan yang menjauhkannya dari kebenaran ajaran Islam, seperti
masuknya faham wihdatul wujud, ittihad dan hulul.
Beliau juga dengan jelas menentang paham tasawuf yang mengatakan bahwa
seorang sufi apabila telah mencapai tingkatan ma'rifat, maka tidak lagi mengenal batas
larangan, sehingga menjadi bebas dari berbagai kewajiban syari'at. Dalam setiap langkah,
baik berhadapan dengan filosof,ahli kalam ataupun dengan golongan sufi, beliau hanya
ingin mencapai satu tujuan utama, yaitu menghidupkan kembali semangat baru bagi
Islam. Wallahum A'lam Bishshawab.

16
B. Kritik dan Saran-saran

Demikian persembahan makalah sederhana ini kami buat. Kami akui dalam

penulisan makalah ini masih banyak terdapat kurangan dan kesalahan. Untuk itu kami

mintakan kepada rekan-rekan mahasiswa pada umumnya agar dapat memberikan

saran-saran yang membangun dalam pembuatan makalah kami yang selanjutnya.

17
18

Anda mungkin juga menyukai