Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-GAZALI

Posted by Ansar Zainuddin on 3:41:00 AM


I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Wacana Tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh,
banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah, dengan
sesama manusia, dengan makhluk lain serta ingin selalu dekat dengan Allah
pencipta Alam dan semua makhluk.

Dalam hal ini setiap manusia punya


potensi, kemampuan untuk membangun hubungan yang harmonis dengan Allah
dan selalu dekat denganNya. karena manusia diciptakan oleh Allah telah di beri
potensi antara lain1[1] :

1. Jasmani :Untuk membersihkan jasmani,ilmu yang berperan adalah


fiqhi,thaharah.
2. Akal : Untuk meluruskan ,menyehatkan kemampuan akal untuk berpikir
sistematis agar lahir konsep,ide-ide yang mengarah pada kebenaran maka
ilmu yang berperan adalah filsafat.
3. Rohani : Untuk membersihkan rohani (hati)agar menjadi bening, peka,
maka ilmu yang berperang adalah tasawuf.

Ketiga potensi itu perlu diasah dan diberdayakan untuk terciptanya hidup
yang harmonis, seimbang dan bahagia, serta tercapai tujuan hidup. Ajaran
tasawuf yang

1[1] Lihat Dra. Ummu Kalsum, Ilmu tasawuf Yayasan Fatiya Makassar 2003,.h.1
merupakan suatu system yang harus ditempuh, maka tak dibenarkan
meninggalkan syariah karena syariah adalah landasan tasawuf sedang thariqah
adalah jalan menuju hakikat , maka tiada tasawuf tampa syariat dan tiada syariat
tampa tasawuf.
Thariqah adalah jalan, cara, metode untuk selalu dekat dengan Allah, dan
dalam perjalanan tersebut ditempuh melalui suatu cara, sebab sufi tampa suatu cara
atau metode khusus yang disebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan, maka
ditetapkanlah ketentuan yang sifatnya bathiniyyah dengan melalui cara atau
metode, setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah maqam. Perjalanan sufi
tidak akan berakhir hingga ia berhasil melintasi seluruh tahapan yang membuat
dirinya sempurna dalam satu tahap ketahap berikutnya 2[2].
Haqiqah diartikan sebagai kebenaran ,haqiqah menurut sufi merupakan
rahasia yang paling dalam dari segala Amal dan merupakan inti ajaran syariah.
Haqiqah diperoleh sebagai nikmat dan anugrah Tuhan berkat latihan yang
dilakukan sufi, dengan sesampainya sufi ketingkat haqiqah maka terbukalah
baginya rahasia yang ada dalam syariah3[3].
Ma’rifah adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui qalbu atau hati
sanubari. Pengetahuan tersebut sedemikian lengkapnya sehingga jiwa seorang sufi
sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya.
B. Pokok Pembahasan
Adapun masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana pengembangan intlektual Imam Al-Ghazali dan perjalanannya


menuju hidup yang sufistik?
2. Bagaimana Konsep Ma’rifah, Syarat-syaratnya dan tahapan-tahapan yang
harus dilalui oleh seorang sufi?
3. bagaimana penyelerasan syariat dengan tasawuf dan pengaruhnya ?

II. PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazali dan Pengembangan Intelektualnya menuju Kehidupan


Sufistik

Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn


Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali ath-Thusi4[4].Dia adalah seorang Persia asli Ia

2[2] Disadur dari buku: Reynold A. Nicgolson, My Myistics of Islam diterjemahkan oleh Tim
Penerjamah BA,dengan judul Mistik Dalam Islam ( Cet I. Jakarta : Bumi Aksara, 1998)h,.22-23

3[3] Lihat Ayatullah Husyain Taba’tabai’ The Light In Within diterjemahkan oleh M.Khairul
Anam dengan judul Perjalanan Rohani para kekasih Allah (Cet .I Depok : Inisiasi Peress, 2005)h,.22

4[4] Terdapat perbedaan Nama “Al-Gazali” kadang-kadang di ucapkan Al-Ghazzali yang diambil dari
kata Ghazzal artinya tukang pemintal benang karena Ayahnya tukang pemintal benang. Sedang Al-Ghazali di
ambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahiran Al-Ghazali sebutan inilah yang banyak dipakai. Lihat A.
Hanafi, pengantar filsafat Islam, (Cet. 5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991)h. 135
lahir di Thus, wilayah khurasan (sekarang Iran), pada tahun 450 H/1058 M, dan
termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul’ Islam
(bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).5[5]
Ayahnya seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool. Ia meninggal sewaktu
anaknya itu masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Ghazali dan
saudaranya, Ahmad pada seorang sufi lain untuk mendapat pendidikan dan
bimbingan6[6].
Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini ia belajar
ilmu fiqh pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani.
Setelah itu, ia belajar di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis
suatu ulasan dalam ilmu fiqh.
Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal,
Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab
fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya.
Dan setelah Imam Al-Juwaini meninggal tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan
Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nizhamu’I-Muluk Perdana
Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di sebelah Kota Naisabur
dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali
diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya
dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah7[7].
Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada
tahun 484 H/1090 M. Untuk mengajar pada madrasah Nizdhamiyah di kota itu. Ia
melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu
memadati halqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di kawasan itu karena
berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia mulai berpikir
dan menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam dan juga kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhadap aliran-aliran Batiniyyah, Ismailiyyah dan falsafah8[8].
Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M.
Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang

5[5] Lihat Margareth Smith, Al-Ghazali the Mistic diterjemahkan oleh Drs Amrouni M.Ag
dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000)h,.1 dan Lihat
juga Dr. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali ,(Cet I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset 1996)h,.63

6[6] Lihat Margareth Smith …Op. Cit,. h 2

7[7] Lihat Imam Al-Ghazali , Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Cet I. Bandung IKAPI
Pustaka Hidayah, 1999)h,.12

8[8] Lihat Ibid,. h. 13


empiris maupun yang rasional. Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah
itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta
menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah, batiniyyah, fiqh dan lain-lain.
Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu ia
meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih
kurang dua tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah
dan beribadah serta beri’tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid
pada waktu siang hari.
Kemudian ia berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan
ibadahnya kepada Allah. Pada masa ini timbullah gerak hatinya untuk naik haji, lalu
ia pergi ke Mekah dan selanjutnya ke Madinah untuk ziarah ke makam Nabi setelah
lebih dulu ia menziarahi makam Nabi Ibrahim di Qudus.
Setelah lebih kurang sepuluh tahun mundar-mandir di Negeri Syam,
Baitulmakdis dan Hijaz, maka pada tahun 499 H/1106 M. Al-Ghazali kembali ke
Naisabur atas desakan Fakhrul Muluk, anak Nizhamul Muluk untuk mengajar di
Madrasah Nizhamiyyah kota itu. Tidak diketahui berapa tahun ia mengajar di sana.
Dan setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H / 1107 M., ia kembali
ke rumah asalnya di Thus, di mana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca
Al-Qur’an, hadis serta mengajar. Di sebelah rumahnya, ia membangun madrasah
untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat (Khaniqah) bagi para sufi. Pada hari
Senin, 14 Jumadil Akhirah, tahun 505 H. (18 Desember, 1111 M), Imam Al-Ghazali
berpulang ke rahmatullah di tempat asalnya, Thus dalam usia lima puluh lima
tahun dengan meninggalkan sejumlah anak perempuan.9[9]
Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Ghazali ialah
kehausannya akan segala macam pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai
keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Tidak mengherankan kalau ia
selamanya bersikap kritis, dan kelanjutannya ialah bahwa ia tidak percaya akan
kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan
pengetahuan yang axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua macam
pengetahuan ini pun, ia tidak mempercayainya. Ia menceritakan keragu-raguannya
terhadap kedua macam pengetahuan itu dalam Al-Mungidz-nya sebagai berikut :
Keragu-raguan yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir
dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak lagi memberikan kepercayaan kepada
perkara-perkara inderawi pula, bahkan keragu-raguan semakim mendalam, serta
berkata : “Bagaimana perkara-perkara inderawi bisa dipercayai. Kita ambil
penglihatan, sebagai indera yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di
sangkahnya diam tidak bergerak. Tetapi dengan percobaan dan penelitian, sesudah
beberapa saat, engkau baru mengetahui bahwa bayangan itu sebenarnya bergerak,
meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga
sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Ketika engkau melihat bintang,

9[9] Lihat Ahmad Daudy,Kuliah Filsafat Islam (Cet.3 Jakarta PT.Bulan Bintang 1992)h,.97-99
maka dikira dia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika
menunjukkan bahwa bintang tersebut lebih besar dari pada bumi.10[10]

Begitulah krisis yang menimpa Al-Ghazali seperti yang diceritakannya


sendiri, baik yang bersifat psikologis maupun mental. Ia meragukan indera dan akal
pikiran, serta berjalan tak menentu dalam keragu-raguannya itu, kemudian mencari
obatnya, tetapi tiak pula didapatnya, karena keragu-raguan baru bisa hilang dengan
suatu dalil, sedang dalil ini baru bisa dibuat dengan penyusunan alasan dan pikiran-
pikiran yang aksioma, tetapi pikiran-pikiran aksioma inipun tidak pula
dipercayainya.
krisis yang menimpannya hanya berlaku dua bulan saja dimana ia kemudian
dapat sembuh dari penyakit tersebut, bukan karena suatu dalil melainkan karena
cahaya Tuhan yang dilimpahkannya dalam hatinya. Cahaya inilah yang menjadi
kunci segala pengetahuan bagi Al-Ghazali. Krisis tersebut merupakan penutup bagi
salah satu dari fase kehidupannya, dan merupakan permulaan fase kehidupan yang
lain, dimana tasawuf dan kehidupan rohani mendapat tempat yang seluas-luasnya
pada dirinya, bahkan lapangan pikiran diganti dengan ilmu al-Mu’amalah wa al-
Mukasyafah (Ilmu pergaulan dengan Tuhan, dan ilmu Pembuka Hati). Buku-buku
al-Ghazali yang bercorak tasawuf dikarang pada fase kedua tersebut.
Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan
sikapnya yang negatif dan asing dari semangat jiwa Islam, sebagaimana yang
terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan
kemarahan aliran Islam Suni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan
tasawuf dalam pengakuan islam suni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia
tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau tasawuf wihdat ul-
wujud (pantheisme), dan buku-buku yang dikaranganya juga tidak pula keluar dari
jalan (sunnah) Islam yang benar.
Memang sebanarnya sukar untuk menyebutkan sikap al-Ghazali tersebut
dengan tasawuf, dan boleh jadi nama yang tepat ialah subyektivismus
(kepribadian), sebagaimana yang disebutkan oleh J. o bermann, Dalam bukunya
derphilosophische and religioese subjectivismus Ghazali (Kepribadian Filsafat dan
Agama pada al-Ghazali). Pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali didasarkan atas
rasa yang memancarkan dalam hati, bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil
penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
Al-Ghazali dengan tegas menentang orang- orang tasawuf yang meremehkan
upacara-upacara agama. Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu
kewajiban yang harus dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan
upacara-upacara itu tidak hanya cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah,

10[10] Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Op. Cit. h. 138
melainkan dengan penuh pengertian akan makna-makna dan rahasianya yang tidak
didapati dalam buku-buku fiqh.11[11]
Sebagai contoh ketika ia membicarakan arti bersuci (taharah), ia mengatakan
sebagai berikut :
Thahara bukan hanya berarti membersihkan badan, dengan menuangkan air,
sedang batinnya hancur dan terisi kotoran. Tetapi thahara mempunyai empat
tingkatan yaitu12[12]:
1. Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadas dan kekotoran-kekotoran.
2. Membersihkan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
3. Membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, dan
4. Membersihkan pribadi dari selain allah.
B. Konsep Ma’rifah Dalam Ajaran Tasawuf

1. Pengertian Ma’rifah

Istilah ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka
istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah dan melihatnya dengan penglihatan
hati ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf13[13].
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf ,
antara lain : 14[14]
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan :
“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib A-Samiriy yang mengatakan :
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) …dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi….”
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan :

11[11] Lihat Ibid. h.140

12[12] Lihat Imam Al-Ghazali Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Prof TK.H. Ismail Yakub
dengan judul Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama. Ed baru. Jilid.I.Singapura : Pustaka Nasional PTE
LTD h,.450

13[13] Lihat Labib MZ dan Mahtuh Ahnan, Kuliah Makrifat Mencapai Hidup Bahagia
Sepanjang Masa, CV Bintang Pelajar .T.thn .h.48

14[14] Lihat H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf,( Cet. 2, Bandung. CV. Pustaka Setia, 1999) h. 251-256.
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat
ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
d. Imam Al-Gazali mengatakan :
Ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturannya.15[15]

Keempat pendapat di atas semuanya menggambarkan keadaan dekatnya


hubungan seorang sufi dengan Allah. Tapi tidak semua orang yang menuntut ajaran
Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah
mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan
Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi
bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain16[16] :

a. Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan


perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-
Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan bathin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan
TuhanNya.
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran Tasawuf adalah mencapai
penghayatan ma’rifah pada Dzatullah. Ma’rifah ini dalam Tasawuf adalah
penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati
Dzat Allah bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Oleh karena
itu dalam ajaran Tasawuf hati atau qalbu ini merupakan organ yang amat penting
karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada
dalam alam ghaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifah pada Dzatullah.
Imam Al-Gazali berkata “kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi
segala makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifah pada Allah yang di

15[15] Lihat, Rasihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Cet 1. Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000).h. 115.

16[16] Di sadur dari buku Sudirman Tebba, Kecerdasan sufistik Jembatan Menuju Makrifat,(
Ed. I. Jakarta : Kencana 2004)h,.85
dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaannya dan di akhirat
merupakan harta kekayaan dan simpanannya adapun alat untuk mencapai
penghayatan tersebut adalah qalbu atau hati, maka hati itulah yang Alim terhadap
Allah dan dia pula yang bertaqaruub (ibadah) pada Allah, dan hati pula yang
membuka tabir untuk menghayati Alam ghaib yang berada disisi Allah. Adapun
anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, maka
hati akan diterimah Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah dan hati itu akan
terdinding dari Allah apabila tertimbun apa yang selain Allah, maka hati yang
disuruh yang mencari Tuhan, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah padanya
serta mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan
celakalah bila hatinya kotor dan tersesat, bila manusia kenal padanya pasti kenal
akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya pasti kenal akan TuhanNya dan
sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tak kenal pada dirinya
dan bila tak kenal akan dirinya pasti tak kenal akan Tuhannya.17[17]
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran Tasawuf
sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2. Syarat – Syarat Ma’rifah

Bila seseorang ingin mencapai kondisi ma’rifatullah maka diperlukan syarat-


syarat sebagai berikut : 18[18]
1) Harus memiliki nilai dan tekad serta kenyakinan ingin bertemu dengan Allah
2) Pembersihan jiwa melalui takhali dan tahalli19[19]lalu tajalli
3) Senantiasa mensyukuri Nikmat Allah
4) Dalam situasi apapun dia selalu mengingat pada Allah
5) Harus dpat mengenal diri pribadinya
6) Harus mengenal sifat-sifat Allah
7) Menyukai tafakkur
8) Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa di kembalikan pada sumbernya
yaitu sang penciptanya

17[17] Lihat, Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Cet. 2. Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1997). h. 122-123

18[18] Lihat K. Permadi Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet I. Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1997). h 18-19

19[19] Takhalli adalah membersihkan atau mengosongkan diri dosa dan sifat-sift yang tercela
sedangkan Tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang
diperintahkan Allah selanjutnya lihat Drs Romdan, MA.Tasawuf dan Aliran Kebathinan (Cet 2.
Yogyakarta, Lembaga Study Filsafat Islam 1993)h,.32-33
3. Tahapan-Tahapan yang harus dilalui sufi (Maqam)

Perjalanan dari satu estafe ke estafe berikutnya adalah perjalanan yang berat
dan sulit, oleh karenanya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut
Mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah atau hal-hal yang bersifat
pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek bathiniyyah atau hakikat,
mempertinggi mutu pengetahuan dan pengamalannya,melenyepkan sikap-sikap
yang tidak baik da mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Adapun tahapan –
tahapan yang harus dilalui adalah20[20] :
a) Taubat
Menurut sufi,yang menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa,sebab
dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang
suci. Oleh karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepadaNya
maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam
pengertian taubat yang sebenar-benarnya.
b) Az-Zuhud
Menurut pandangan sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah
sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan
kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa oleh karenanya seorang calon
sufi harus lebih dulu zuhud atau asketis yaitu mengabaikan kehidupan yang bersifat
duniawi. Buah zuhud sebenarnya yang deikehendaki adalah merasa cukup dengan
ada adanyua untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup 21[21]
c) Al-Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ ada;ah menghindari apa saja yang tidak baik. Tapi
sufi memiliki pengertian lain dimana mereka mengartikan Wara’ adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak jelas hukumnya baik yang menyangkut makanan,
pakaian, maupun persoalan. Menurut Ibrahim bin Adham wara’ adalah
meninggalkan sesuatu yang masih diragukan22[22].
d) Al-Faqr
Al-Faqr mempunyai interpretassi yang berbeda diantara para sufi tetapi bagaimana
pun konotasi yang diberikan sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat

20[20] Lihat Harun Nasution Falsafat dan Mistimisme dalam islam,(Cet.10,Jakarta :Bulan
Bintang 1999)h,.65-67 .Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Study Tasawuf (Ed.2 Cet 2. Jakarta PT
Raja Grafindo Persada 2002)h,.109-131.Dan Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam. (Cet I,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2002)h,. 49-97

21[21] Lihat Imam Ghazali Teosofia al-Qur’an (Cet. I. Surabay ; Risalah Gusti ,1996 )h,. 226

22[22] Lihat Sri Muryanto, Ajaran Manunggali kawula Gusti, (Cet . I. Yogyakarta : Kreasi
Wacana 2004)h,.152
didalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang
diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak
punya apa-apa atau merasa cukup dengan apa adanya.
e) As-Sabr
Sabar artinya konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah,
berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan . Sabar erat kaitannya pada
pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan
mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f) Tawakkal
Secara umum penegrtian tawakkal itu adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Kita tidakk boleh bersikap a posteriori
terhadap rencana yang telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan kepada
Allah, kita hanya bias bererncana dan berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan
segalanya23[23].
g) Ar-Ridha’
Kata Dzu Nun al-Mishri ridha’ adalah menerima tawakkal dengan kerelaan
hati,tanda-tanda orang yang sudah ridha’ adalah mempercayakan hasil usahanya
sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan
cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.

4. Karakterisktik Sufi ( al-Ahwal )

Menurut sufi al-Ahwal adalah jamak dari al-hal dalam bahasa Inggrisnya
disebut state24[24] adalah situasi kejiwaan yang dipengaruhi oleh sufi sebagai
karunia dari Allah. Datangnya situasi atau kondisi psikis itu tidak menentu,
terkadang datang dan perginya berlansung cepat yang disebut lawai ada pula yang
datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama
disebut bawadih . Apabila mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian maka
itulah yang disebut al-hal25[25]. Menurut Al-Qusyairi al-hal selalu bergerak naik
setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani.
Apabila diperhatika dari isi al-hal itu sebenarnya merupakan manifestasi dari
maqam yang mereka lalui sebelumnya . Artinya bahwa kondisi mental yang

23[23] Tawakkal merupakan kondisi rohani yang lahir dari tauhid dan pengaruhnya terwujud
dalam Amal yang nyata selanjurtnya lihat Imam Al-Ghazali , Teosofia al-Qur’an …Op Cit,. h.271

24[24] Lihat Drs Meindar FM dan Dra Ekayani Arifiana, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-
Indonesia Inggris (Cet.I Surabaya : Dua Putra Press, 203)h,.243

25[25] Lihat Prof H. A Rivay Siregar , Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Cet .2
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2000)h,.131-132
digambarkan dengan al-hal itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang
mereka lakukan.
Sebagaimana halnya dengan al-maqamat dalam jumlah dan formasi al-hal juga
terddapat banyak perbedaan pendapat dikalangan sufi, tapi pendapat yang
manyoritas adalah al-Muraqabah, al- khauf al- Raja’, al-Musyahadah, al-
Thuma’ninah, dan al-Yakin.26[26]

C. Perdamaian Syariat dengan Tasawuf dan pengaruhnya di Dunia Tasawuf


Syari’ah adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui Rasulnya
27[27]dan berarti sesuai dengan agama yang diajarkan oleh rasul. para pakar
modern banyak yang berbeda pendapat tentang hubungan antara Sufisme dengan
ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa sufisme adalah perkembangan eksotik,
dan sebagian jejaknya merupakan unsure dari sumber asing atau yang lain misalnya
mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) sementara yang lain menentang
pandangan tersebut, bagi mereka ini sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya
Islami, bahkan mereka mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang di
jalankan kaum sufi adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya. 28[28]
Penulis sufisme awal, seperti Al-Sarraj (W. 561), Al-Kalabadzi (W. 390), Abu
Nuim (W. 430) dan Al-Qusyairi (W. 465) mendukung pendapat tersebut dan
mendalilkan bahwa sufisme merupakan ekspresi murni tentang ekspresi rohani
ajaran Islam dan merupakan perwujudan teramat sempurna dari nilai-nilai
rohaniah.29[29]
Walaupun cita untuk menjalin keselarasan pengamalan Tasawuf dengan
Syariat telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya,
namun baru Al – Gazali (W.505) yang secara kongkret berhasil merumuskan
bangunan ajarannya, konsepsi Al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin
secara ketat antara pengamalan Sufisme dengan syariat di susun dalam karyanya
yang paling monumental “ Ihya Ulumuddin”.

26[26] Lihat Ibid,.h 133-136 lalu Bandingkan dengan pengertian Syariat menurut Ilmu Fiqhi ,
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 1997 )h,. 5

27[27] Lihat Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Cet. 2. Jakarta PT. Raja
Grafindo Persada 1993) h. 103 Bandingkan dengan pengertian Syariat menurut Ilmu Ushul Fiqh , Hasbi Ash-
Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqhi, ( Semarang : PT. Rizki Putra 19977)h,.5

28[28] Lihat Muhammad Abdul Haq Ansari … Op Cit, h. 85-86

29[29] Lihat Ibid, h. 87


Dari susunan ihya ulumuddin tergambar pokok pemikiran Al-Gazali
mengenai hubungan syariat dan tasawuf yakni sebelum mempelajari tasawuf dia
harus memperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah serta terlebih dia harus
konsekwen menjalankan syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan sebagainya
yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya di bedakan tingkat
orang shalat antara orang awam, orang khawas dan sebagainya.30[30]
Syariat adalah landasan tasawuf dan sebagai unsur integual tasawuf itu
sendiri, maka tidak ada tasawuf tanpa syariat.31[31] Al-Qusyairi sendiri
mengatakan bahwa tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang
cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an
dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal yang cukup akan
pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah,
tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah
wajib. 32[32]
Pernyataan di atas nampak jelas bahwa kecintaan terhadap Tasawuf
hendaknya tidak mengabaikan Syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawufnya
semakin mendalam pula kewaraannya, kepatuhan dan ketaatannya serta
kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran
kaum Sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan
berbagai bentuk ibadah mahdhah hanyalah untuk orang awam dengan kata lain
seseorang yang sudah mencapai maqam paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu
lagi syariaf. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang makin keraslah
kesetiannya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-
perintah syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat
tertinggi, tak ada satu magam pun yang membuat orang yang telah meraihnya
bebas dari kewajibannya syariat.
Berdasarkan uraian ini Penulis mengambil ketetapan sebagai berikut :
1. Syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf.
2. Syariat dan hakikat adalah saling berhubungan dan saling isi mengisi
3. Barang siapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja,
maka bukan saja ketidak kesalehan yang di perolehannya tetapi malah adalah
kekafiran.

30[30]Lihat Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Op. Cit, h. 168-169

31[31] Lihat Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Mizan, h. 218

32[32] Lihat, Imam Al-Qusyairi An-Nisabury, Ar-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmi Tasawuf di


Terjemahkan Muhammad Luqman Hakim Risalah Al-Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf: Surabaya. Risalah Gusti
1997)h,.7
Pengaruh yang sangat mendasar ketika Al-Ghazali menjadikan syariat
sebagai landasan utama dalam hidup bertasawuf adalah mengikat para sufi untuk
tetap menjalankan syariat agama, dan ketika seorang sufi sampai pada maqam
tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti sholat dan
semua gerakannya Bukan sebaliknya .
Dan meskipun Al-Ghazali menganggap sufisme adalah jalan terbaik untuk
menuju Allah. Namun dia tetap selaktif terhadap pelbagai aliran sufisme pada
masanya Al-Ghazali menolak paham al-hulul (al-Hallaj) dan al-Ittihat (al-Bisthami)
dan dia menyebutkan bahwa minimal ada 3 golongan diantara para sufi yang
tertipu33[33] :

1. Mereka yang berlaga sufi seperti sufi sungguhan baik cara berpakaian
ataupun berprilaku padahal mereka sama sekali tidak perna membersihkan
bathinnya dari noda dan dosa.
2. Mereka yang mengaku sudah memperoleh makrifat langsung dari Tuhan
yang diketahui dari kata-kata yang keluar dari mulutnya padahal kata-kata
tersebut hanyalah kata-kata klise dari perjalanan para sufi lalu mereka
hapalkan dan akibat dari presepsi ini dia menganggap hina para ahli ibadah
3. Mereka yang katanya mementinkan hati lalu mereka membiarkan anggota
badannya berbuat maksiat, karena menurutnya hal itu tidak diperhitungkan
Tuhan yang dinilai adalah gera hati yang katanya tak perna absent dari
dzikrullah.

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas pemakalah dapat menarik kesimpulan bahwa :


1. Al-Ghazali cenderung mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan
Ajaran tasawuf pada landasannya yang asli yaitu al-Qur’an dan Hadis.
2. Konsep Al-Ghazali tentang ma’rifat yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturanNya tentang segala yang ada, pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat lebih bermutu dari pada pengetahuan yang diperoleh akal , ma’rifat inilah
yang kemudian menimbulkan Mahabbah.
3. Dari susunan ihya ulumuddin tergambar pemikiran Al-Ghazali mengenai hubungan
syariat dengan tasawuf yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan ajaran
tasawuf terlebih dahulu harus memperdalam pengetahuan tentang syariat dan
harus tekun dan konsekuen menjalankan syariat seperti sholat, puasa dan
sebagainya.
4. ketika seorang sufi sudah sampai pada maqam yang tinggi maka tiada lagi
penghalang antara dia dan Allah. Semakin tinggi maqam seseorang semakin
nampak kewarakannya dan semakin tekunlah melaksanakan ajaran Allah karena
rahasia dari pekerjaannya sudah dia ketahui, bukan sebaliknya. Tidak ada sesuatu
hal pun yang bisa membebaslkan seseorang dari syariat kecuali tiga paktor yaitu
gila , tidur teru-menerus dan anak yang belum baliq.

33[33] Disadur dari buku . Dr HM Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali…Op Cit. h,.214-215
DAFTAR PUSTAKA

A. Nicholson, Reynold , My Mistics of Islam diterjemahkan oleh Tim Penerjamah BA,Mistik


Dalam Islam Cet. I Jakarta : Bumi Akasara, 1998

An-Nisabury, Imam al-Qusyairy, Ar-Risalatul Qusyairiyyah fi Ilmi Tasawuf diterjemahkan


oleh Muhammad Luqman Hakim dengan Judul Risalah al-Qusyairiyyah, Induk Ilmu
Tasawuf, Surabaya : Risalah Gusti , 1997.

Ansary, Muhammad Abdul haq , Antara Sufisme dan Syariah , Cet . 2 Jakarta PT Raja
Grafindo Persada, 1993.

Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Cet I , Bandung CV, Pustaka Setia, 2000.

As, Asmaran, Ilmu Pengantar Study Tasawuf , Ed. 2. Cet.2 Jakarta PT Raja Grafindo Persada
2002.

Bagir, Haidar , Buku Saku Tasawuf, Mizan, 2000.

Daudy, Ahmad , Kuliah Filsafat Islam, Cet 3 Jakarta : PT Bulan Bintang 1992

Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Prof TK. H Ismail Yakub dengan judul
Mengembangkan Ilmu –ilmu Agama Ed. Baru Jilid I Singapura : Pustaka Nasional PTE
LTD .

Ghazali, Imam, Teosofia al-Qur’an, Cet, I. Surabaya : Risalah Gusti 1996

Ghazali Imam , Menyingkap hati menghampiri Ilahi, Cet I. Bandung IKAPI ,Pustaka Hidayah,
1999.

Hanafi, Ahmad , Pengantar Filsafat Islam, Cet 5, Jakarta : PT Bulan Bintang 1991.
Jahja, Zurkani,HM Dr. Teologi Al-Ghazali , Cet I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset , 1996.
Kalsum , Ummu, Ilmu Tasawuf, Makassar Yayasan Fatiya , 2003.

Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Cet.I. Bandung Pustaka Setia, 2002.

Mustofa, H.A Akhlak Tasawuf, Cet. 2. Bandung : CV ,Pustaka Setia, 1999.

Muryanto Sri , Ajaran Manunggali kawula Gusti, Cet. I. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005.

Meindar FM, Drs dan Dra. Ekayani Arifiana, Kamus lengkap Inggris Indonesia- Indonesia
Inggris,Cet. I Surabaya : Dua Putra Press, 2003

MZ, Labib dan Maftuh Ahnan , Kuliah Makrifat Mencapai Hidup Bahagia Sepanjang Masa, CV .
Bintang Pelajar . t.thn

Nasution, Harun Falsafat dan Mistimisme dalam Islam, Cet. 10 Jakarta : Bulan Bintang, 1999.
Permadi, K , Pengantar Ilmu Tasawuf, Cet. I , Jakarta PT Rineka Cipta, 1997.

Romdon, Drs, Tasawuf dan Aliran Kebathinan, Cet. 2 Yogyakarta ; Lembaga Study Filsafat
Islam, 1993.

Simuh, Tasawuf dan Peekembangannya dalam Islam , Cet. 2 Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1997.

Siregar, H. A. Rivay, Prof, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Cet 2 Jakarata : PT.
Raja Grafindo Persada 2000.

Ash-Shiddiqie, Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqhi, Semarang : PT Rizki Putra, 1997

Smith, Margareth, Al-Ghazali The Mistic, diterjemahkan oleh Drs Amrouni, M.Ag. dengan
judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali Cet. I Jakarta : Riova Cipta, 2000.

Taba’tabai, Ayatullah Husyain , The In Within, diterjemahkan oleh M. Khirul Anam dengan
judul Perjalanan Rohani Para Kekasih Allah , Cet I. Depok : Inisiasi Press 2005.

Tebba, Sudirman , Kecerdasan sufistik Jembatan Menuju Makrifat , Ed. I. Jakarta Kencana,
2004

Anda mungkin juga menyukai