Ketiga potensi itu perlu diasah dan diberdayakan untuk terciptanya hidup
yang harmonis, seimbang dan bahagia, serta tercapai tujuan hidup. Ajaran
tasawuf yang
1[1] Lihat Dra. Ummu Kalsum, Ilmu tasawuf Yayasan Fatiya Makassar 2003,.h.1
merupakan suatu system yang harus ditempuh, maka tak dibenarkan
meninggalkan syariah karena syariah adalah landasan tasawuf sedang thariqah
adalah jalan menuju hakikat , maka tiada tasawuf tampa syariat dan tiada syariat
tampa tasawuf.
Thariqah adalah jalan, cara, metode untuk selalu dekat dengan Allah, dan
dalam perjalanan tersebut ditempuh melalui suatu cara, sebab sufi tampa suatu cara
atau metode khusus yang disebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan, maka
ditetapkanlah ketentuan yang sifatnya bathiniyyah dengan melalui cara atau
metode, setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah maqam. Perjalanan sufi
tidak akan berakhir hingga ia berhasil melintasi seluruh tahapan yang membuat
dirinya sempurna dalam satu tahap ketahap berikutnya 2[2].
Haqiqah diartikan sebagai kebenaran ,haqiqah menurut sufi merupakan
rahasia yang paling dalam dari segala Amal dan merupakan inti ajaran syariah.
Haqiqah diperoleh sebagai nikmat dan anugrah Tuhan berkat latihan yang
dilakukan sufi, dengan sesampainya sufi ketingkat haqiqah maka terbukalah
baginya rahasia yang ada dalam syariah3[3].
Ma’rifah adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui qalbu atau hati
sanubari. Pengetahuan tersebut sedemikian lengkapnya sehingga jiwa seorang sufi
sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya.
B. Pokok Pembahasan
Adapun masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :
II. PEMBAHASAN
2[2] Disadur dari buku: Reynold A. Nicgolson, My Myistics of Islam diterjemahkan oleh Tim
Penerjamah BA,dengan judul Mistik Dalam Islam ( Cet I. Jakarta : Bumi Aksara, 1998)h,.22-23
3[3] Lihat Ayatullah Husyain Taba’tabai’ The Light In Within diterjemahkan oleh M.Khairul
Anam dengan judul Perjalanan Rohani para kekasih Allah (Cet .I Depok : Inisiasi Peress, 2005)h,.22
4[4] Terdapat perbedaan Nama “Al-Gazali” kadang-kadang di ucapkan Al-Ghazzali yang diambil dari
kata Ghazzal artinya tukang pemintal benang karena Ayahnya tukang pemintal benang. Sedang Al-Ghazali di
ambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahiran Al-Ghazali sebutan inilah yang banyak dipakai. Lihat A.
Hanafi, pengantar filsafat Islam, (Cet. 5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991)h. 135
lahir di Thus, wilayah khurasan (sekarang Iran), pada tahun 450 H/1058 M, dan
termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul’ Islam
(bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).5[5]
Ayahnya seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool. Ia meninggal sewaktu
anaknya itu masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Ghazali dan
saudaranya, Ahmad pada seorang sufi lain untuk mendapat pendidikan dan
bimbingan6[6].
Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini ia belajar
ilmu fiqh pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani.
Setelah itu, ia belajar di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis
suatu ulasan dalam ilmu fiqh.
Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal,
Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab
fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya.
Dan setelah Imam Al-Juwaini meninggal tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan
Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nizhamu’I-Muluk Perdana
Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di sebelah Kota Naisabur
dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali
diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya
dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah7[7].
Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada
tahun 484 H/1090 M. Untuk mengajar pada madrasah Nizdhamiyah di kota itu. Ia
melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu
memadati halqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di kawasan itu karena
berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia mulai berpikir
dan menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam dan juga kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhadap aliran-aliran Batiniyyah, Ismailiyyah dan falsafah8[8].
Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M.
Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang
5[5] Lihat Margareth Smith, Al-Ghazali the Mistic diterjemahkan oleh Drs Amrouni M.Ag
dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000)h,.1 dan Lihat
juga Dr. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali ,(Cet I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset 1996)h,.63
7[7] Lihat Imam Al-Ghazali , Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Cet I. Bandung IKAPI
Pustaka Hidayah, 1999)h,.12
9[9] Lihat Ahmad Daudy,Kuliah Filsafat Islam (Cet.3 Jakarta PT.Bulan Bintang 1992)h,.97-99
maka dikira dia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika
menunjukkan bahwa bintang tersebut lebih besar dari pada bumi.10[10]
10[10] Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Op. Cit. h. 138
melainkan dengan penuh pengertian akan makna-makna dan rahasianya yang tidak
didapati dalam buku-buku fiqh.11[11]
Sebagai contoh ketika ia membicarakan arti bersuci (taharah), ia mengatakan
sebagai berikut :
Thahara bukan hanya berarti membersihkan badan, dengan menuangkan air,
sedang batinnya hancur dan terisi kotoran. Tetapi thahara mempunyai empat
tingkatan yaitu12[12]:
1. Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadas dan kekotoran-kekotoran.
2. Membersihkan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
3. Membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, dan
4. Membersihkan pribadi dari selain allah.
B. Konsep Ma’rifah Dalam Ajaran Tasawuf
1. Pengertian Ma’rifah
Istilah ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka
istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah dan melihatnya dengan penglihatan
hati ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf13[13].
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf ,
antara lain : 14[14]
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan :
“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib A-Samiriy yang mengatakan :
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) …dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi….”
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan :
12[12] Lihat Imam Al-Ghazali Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Prof TK.H. Ismail Yakub
dengan judul Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama. Ed baru. Jilid.I.Singapura : Pustaka Nasional PTE
LTD h,.450
13[13] Lihat Labib MZ dan Mahtuh Ahnan, Kuliah Makrifat Mencapai Hidup Bahagia
Sepanjang Masa, CV Bintang Pelajar .T.thn .h.48
14[14] Lihat H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf,( Cet. 2, Bandung. CV. Pustaka Setia, 1999) h. 251-256.
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat
ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
d. Imam Al-Gazali mengatakan :
Ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturannya.15[15]
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-
Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan bathin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan
TuhanNya.
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran Tasawuf adalah mencapai
penghayatan ma’rifah pada Dzatullah. Ma’rifah ini dalam Tasawuf adalah
penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati
Dzat Allah bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Oleh karena
itu dalam ajaran Tasawuf hati atau qalbu ini merupakan organ yang amat penting
karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada
dalam alam ghaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifah pada Dzatullah.
Imam Al-Gazali berkata “kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi
segala makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifah pada Allah yang di
15[15] Lihat, Rasihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Cet 1. Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000).h. 115.
16[16] Di sadur dari buku Sudirman Tebba, Kecerdasan sufistik Jembatan Menuju Makrifat,(
Ed. I. Jakarta : Kencana 2004)h,.85
dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaannya dan di akhirat
merupakan harta kekayaan dan simpanannya adapun alat untuk mencapai
penghayatan tersebut adalah qalbu atau hati, maka hati itulah yang Alim terhadap
Allah dan dia pula yang bertaqaruub (ibadah) pada Allah, dan hati pula yang
membuka tabir untuk menghayati Alam ghaib yang berada disisi Allah. Adapun
anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, maka
hati akan diterimah Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah dan hati itu akan
terdinding dari Allah apabila tertimbun apa yang selain Allah, maka hati yang
disuruh yang mencari Tuhan, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah padanya
serta mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan
celakalah bila hatinya kotor dan tersesat, bila manusia kenal padanya pasti kenal
akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya pasti kenal akan TuhanNya dan
sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tak kenal pada dirinya
dan bila tak kenal akan dirinya pasti tak kenal akan Tuhannya.17[17]
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran Tasawuf
sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
17[17] Lihat, Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Cet. 2. Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1997). h. 122-123
18[18] Lihat K. Permadi Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet I. Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1997). h 18-19
19[19] Takhalli adalah membersihkan atau mengosongkan diri dosa dan sifat-sift yang tercela
sedangkan Tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang
diperintahkan Allah selanjutnya lihat Drs Romdan, MA.Tasawuf dan Aliran Kebathinan (Cet 2.
Yogyakarta, Lembaga Study Filsafat Islam 1993)h,.32-33
3. Tahapan-Tahapan yang harus dilalui sufi (Maqam)
Perjalanan dari satu estafe ke estafe berikutnya adalah perjalanan yang berat
dan sulit, oleh karenanya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut
Mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah atau hal-hal yang bersifat
pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek bathiniyyah atau hakikat,
mempertinggi mutu pengetahuan dan pengamalannya,melenyepkan sikap-sikap
yang tidak baik da mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Adapun tahapan –
tahapan yang harus dilalui adalah20[20] :
a) Taubat
Menurut sufi,yang menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa,sebab
dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang
suci. Oleh karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepadaNya
maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam
pengertian taubat yang sebenar-benarnya.
b) Az-Zuhud
Menurut pandangan sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah
sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan
kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa oleh karenanya seorang calon
sufi harus lebih dulu zuhud atau asketis yaitu mengabaikan kehidupan yang bersifat
duniawi. Buah zuhud sebenarnya yang deikehendaki adalah merasa cukup dengan
ada adanyua untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup 21[21]
c) Al-Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ ada;ah menghindari apa saja yang tidak baik. Tapi
sufi memiliki pengertian lain dimana mereka mengartikan Wara’ adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak jelas hukumnya baik yang menyangkut makanan,
pakaian, maupun persoalan. Menurut Ibrahim bin Adham wara’ adalah
meninggalkan sesuatu yang masih diragukan22[22].
d) Al-Faqr
Al-Faqr mempunyai interpretassi yang berbeda diantara para sufi tetapi bagaimana
pun konotasi yang diberikan sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat
20[20] Lihat Harun Nasution Falsafat dan Mistimisme dalam islam,(Cet.10,Jakarta :Bulan
Bintang 1999)h,.65-67 .Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Study Tasawuf (Ed.2 Cet 2. Jakarta PT
Raja Grafindo Persada 2002)h,.109-131.Dan Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam. (Cet I,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2002)h,. 49-97
21[21] Lihat Imam Ghazali Teosofia al-Qur’an (Cet. I. Surabay ; Risalah Gusti ,1996 )h,. 226
22[22] Lihat Sri Muryanto, Ajaran Manunggali kawula Gusti, (Cet . I. Yogyakarta : Kreasi
Wacana 2004)h,.152
didalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang
diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak
punya apa-apa atau merasa cukup dengan apa adanya.
e) As-Sabr
Sabar artinya konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah,
berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan . Sabar erat kaitannya pada
pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan
mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f) Tawakkal
Secara umum penegrtian tawakkal itu adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Kita tidakk boleh bersikap a posteriori
terhadap rencana yang telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan kepada
Allah, kita hanya bias bererncana dan berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan
segalanya23[23].
g) Ar-Ridha’
Kata Dzu Nun al-Mishri ridha’ adalah menerima tawakkal dengan kerelaan
hati,tanda-tanda orang yang sudah ridha’ adalah mempercayakan hasil usahanya
sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan
cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.
Menurut sufi al-Ahwal adalah jamak dari al-hal dalam bahasa Inggrisnya
disebut state24[24] adalah situasi kejiwaan yang dipengaruhi oleh sufi sebagai
karunia dari Allah. Datangnya situasi atau kondisi psikis itu tidak menentu,
terkadang datang dan perginya berlansung cepat yang disebut lawai ada pula yang
datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama
disebut bawadih . Apabila mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian maka
itulah yang disebut al-hal25[25]. Menurut Al-Qusyairi al-hal selalu bergerak naik
setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani.
Apabila diperhatika dari isi al-hal itu sebenarnya merupakan manifestasi dari
maqam yang mereka lalui sebelumnya . Artinya bahwa kondisi mental yang
23[23] Tawakkal merupakan kondisi rohani yang lahir dari tauhid dan pengaruhnya terwujud
dalam Amal yang nyata selanjurtnya lihat Imam Al-Ghazali , Teosofia al-Qur’an …Op Cit,. h.271
24[24] Lihat Drs Meindar FM dan Dra Ekayani Arifiana, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-
Indonesia Inggris (Cet.I Surabaya : Dua Putra Press, 203)h,.243
25[25] Lihat Prof H. A Rivay Siregar , Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Cet .2
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2000)h,.131-132
digambarkan dengan al-hal itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang
mereka lakukan.
Sebagaimana halnya dengan al-maqamat dalam jumlah dan formasi al-hal juga
terddapat banyak perbedaan pendapat dikalangan sufi, tapi pendapat yang
manyoritas adalah al-Muraqabah, al- khauf al- Raja’, al-Musyahadah, al-
Thuma’ninah, dan al-Yakin.26[26]
26[26] Lihat Ibid,.h 133-136 lalu Bandingkan dengan pengertian Syariat menurut Ilmu Fiqhi ,
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 1997 )h,. 5
27[27] Lihat Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Cet. 2. Jakarta PT. Raja
Grafindo Persada 1993) h. 103 Bandingkan dengan pengertian Syariat menurut Ilmu Ushul Fiqh , Hasbi Ash-
Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqhi, ( Semarang : PT. Rizki Putra 19977)h,.5
30[30]Lihat Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Op. Cit, h. 168-169
1. Mereka yang berlaga sufi seperti sufi sungguhan baik cara berpakaian
ataupun berprilaku padahal mereka sama sekali tidak perna membersihkan
bathinnya dari noda dan dosa.
2. Mereka yang mengaku sudah memperoleh makrifat langsung dari Tuhan
yang diketahui dari kata-kata yang keluar dari mulutnya padahal kata-kata
tersebut hanyalah kata-kata klise dari perjalanan para sufi lalu mereka
hapalkan dan akibat dari presepsi ini dia menganggap hina para ahli ibadah
3. Mereka yang katanya mementinkan hati lalu mereka membiarkan anggota
badannya berbuat maksiat, karena menurutnya hal itu tidak diperhitungkan
Tuhan yang dinilai adalah gera hati yang katanya tak perna absent dari
dzikrullah.
III. KESIMPULAN
33[33] Disadur dari buku . Dr HM Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali…Op Cit. h,.214-215
DAFTAR PUSTAKA
Ansary, Muhammad Abdul haq , Antara Sufisme dan Syariah , Cet . 2 Jakarta PT Raja
Grafindo Persada, 1993.
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Cet I , Bandung CV, Pustaka Setia, 2000.
As, Asmaran, Ilmu Pengantar Study Tasawuf , Ed. 2. Cet.2 Jakarta PT Raja Grafindo Persada
2002.
Daudy, Ahmad , Kuliah Filsafat Islam, Cet 3 Jakarta : PT Bulan Bintang 1992
Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Prof TK. H Ismail Yakub dengan judul
Mengembangkan Ilmu –ilmu Agama Ed. Baru Jilid I Singapura : Pustaka Nasional PTE
LTD .
Ghazali Imam , Menyingkap hati menghampiri Ilahi, Cet I. Bandung IKAPI ,Pustaka Hidayah,
1999.
Hanafi, Ahmad , Pengantar Filsafat Islam, Cet 5, Jakarta : PT Bulan Bintang 1991.
Jahja, Zurkani,HM Dr. Teologi Al-Ghazali , Cet I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset , 1996.
Kalsum , Ummu, Ilmu Tasawuf, Makassar Yayasan Fatiya , 2003.
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Cet.I. Bandung Pustaka Setia, 2002.
Muryanto Sri , Ajaran Manunggali kawula Gusti, Cet. I. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005.
Meindar FM, Drs dan Dra. Ekayani Arifiana, Kamus lengkap Inggris Indonesia- Indonesia
Inggris,Cet. I Surabaya : Dua Putra Press, 2003
MZ, Labib dan Maftuh Ahnan , Kuliah Makrifat Mencapai Hidup Bahagia Sepanjang Masa, CV .
Bintang Pelajar . t.thn
Nasution, Harun Falsafat dan Mistimisme dalam Islam, Cet. 10 Jakarta : Bulan Bintang, 1999.
Permadi, K , Pengantar Ilmu Tasawuf, Cet. I , Jakarta PT Rineka Cipta, 1997.
Romdon, Drs, Tasawuf dan Aliran Kebathinan, Cet. 2 Yogyakarta ; Lembaga Study Filsafat
Islam, 1993.
Simuh, Tasawuf dan Peekembangannya dalam Islam , Cet. 2 Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1997.
Siregar, H. A. Rivay, Prof, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Cet 2 Jakarata : PT.
Raja Grafindo Persada 2000.
Smith, Margareth, Al-Ghazali The Mistic, diterjemahkan oleh Drs Amrouni, M.Ag. dengan
judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali Cet. I Jakarta : Riova Cipta, 2000.
Taba’tabai, Ayatullah Husyain , The In Within, diterjemahkan oleh M. Khirul Anam dengan
judul Perjalanan Rohani Para Kekasih Allah , Cet I. Depok : Inisiasi Press 2005.
Tebba, Sudirman , Kecerdasan sufistik Jembatan Menuju Makrifat , Ed. I. Jakarta Kencana,
2004