Anda di halaman 1dari 22

Rabithah MURSYID

Pengertian Rabithah
Rabithah dalam pengertian bahasa(lugat) artinya bertali, berkait atau berhubungan.
Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan
ruhaniah guru dengan cara menghadirkan rupa / wajah guru mursyid atau syaikh ke hati sanubari murid
ketika berdzikir atau beramal guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan murid menuju Allah
atau terkabuknya do’a. Hal ini dilakukan karena pada ruhaniah Syekh Mursyid itu terdapat Arwahul
Muqaddasah Rasulullah Saw atau Nur Muhammad. Syaikh Mursyid adalah Khalifah Allah dan
Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau pengantar menuju Allah. Jadi tujuan merobith adalah
memperoleh wasilah.
Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru
dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian
terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari
gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Persambungan
antara mereka itu lazim disebut dengan rabithah.
Kalau rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge, yakni
mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of
spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalautransfer
of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan
tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid.
Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat guru mursyid
atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa menjadi guru mursyid. Seorang mursyid
adalah seorang yang ruhaninya sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih
Allah yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya. Hal iniseperti
dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan
bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat
yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa yang
disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi
petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17)

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping itu juga sebagai
orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala yang dilarangnya. Dengan
demikian seorang murid merasa takut manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar
larangan agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru mursyid
manakala dia berbuat demikian.
Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut dan enggan ketika
hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi
Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha (Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa
yang akan diperbuatnya.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf
pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Dasar-Dasar Rabithah Mursyid


Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah firman Allah Swt.
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu
beruntung (sukses). (QS. Ali Imran : 200).

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari sekedar makna
lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting dalam situasi peperangan, agar musuh
tidak menerobos. Kalau perang fisik, seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-
musuh dari orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di wilayah hati agar
syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut. Itulah yang menjadi dasar-
dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat. Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu
memperoleh wasilah menuju Allah. Firman Allah Swt.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah
dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid
secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh
kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka
rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah
Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran :
31)

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab “mengikut” itu
menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara
nyata (konkret) dan ada kalanya melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang
dimaksud dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut. Allah Swt
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119)

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang
diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua:
Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari
orang-orang yang shiddiq.
Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan dengan rabithah.

Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid terus-menerus
me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan
karunia dari Allah Swt. Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyidtidak
memberi bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan Allah Swt
sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk
men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt. Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-
pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-
wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi: 1994, hlm. 448).
Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini
Hadits Bukhari menyatakan:
َّ‫َّ َع ْنهََّّ َحتىَّ َّفى‬.‫ى َّ َعدَ ََّم َّا ْنفكاَكه‬
َِّّ ‫ىَّهللا َّ َع ْنهََّّشكا َّللنب‬ ِّ َّ َّ‫أَنَّ َّا َ َباَّ َب ْكر‬
ََّ ‫الصدِّيْقَّ َرض‬
َّ‫ْال َخالَء‬
Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah
lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC.

Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut


ََّ ‫شيْخهَّ َّ ْالم ْرشدَّ َّل َيك ْو‬
َّ‫ن َّ َرف ْيقَهَّ َّفىَّ َّالس ْيِر‬ َ ‫ار‬
َ ‫ض‬ ََّ ‫لى َّذَل‬
َ ‫ك َّا ْست َم‬ َ ‫َويضمَّ َّأ َ ْي‬
ََّ ‫ضا إ‬
‫لىَّهللاَّت َ َعالَى‬
ََّ ‫إ‬
Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya yang memberi
petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al
Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107).

Pendapat Para Imam Tasawuf Tentang Rabithah


a. Imam Sya’rani dalam Nafahatu Adabidz Dzikri mengatakan, “Dianjurkannya kepada orang
banyak supaya mereka mengamalkan adab dzikir yang 20 perkara itu. Dinyatakan adab yang ke-4:
hendaklah sejak permulaan dzikir, himmah syaikhnya terus-menerus berada dalam kalbunya. Ke-
5: dia menganggap bahwa limpahan dari gurunya itu pada hakikatnya adalah pancaran dari Nabi
Saw karena syaikhlah merupakan wasilah murid dengan Nabi Saw. Dihayalkan rupa guru di depan
matanya, inilah maksud rabithah, tidak lebih.
b. Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi dalam Risalah-nya, menyatakan bahwa apabila seseorang telah
selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia mengambil wudhuk, lalu masuk ke tempat
khalwatnya. Sesudah duduk, pertama-tama dia harus menghadirkan rupa guru.
c. Syaikh Abdul Ghani an Nablusi dalam komentarnya tentang Risalah Syaikh Tajuddin an
Naqsyabandi itu menyatakan bahwa itulah cara yang paling sempurna, sebab syaikh adalah
merupakan pintunya ke hadirat Allah dan wasilah kepada-Nya. seperti Firman Allah dalam surat at
Taubah ayat 119 di atas. Firman Allah dibawah ini menunjukkan bahwa rabithah mursyid adalah
termasuk dzikir kepada Allah Swt yang maha rahman. Dzikir demikian itu mampu mengusir
syetan. Bilamana orang enggan melakukan demikian, (dzikir dengan rabithah) maka Allah akan
menyertakan orang tersebut dengan syetan yang selalu membelokkannya ke jalan yang lurus.
Tetapi anehnya orang tersebut merasa mendapatkan petunjuk. Rasanya jauh api dengan panggang.
Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al Qur’an), kami
adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan
benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. az Zukhruf : 36 – 37)

d. Syaikh Ubaidullah al Ahrar menyatakan bahwa maksud surat at Taubah ayat 119, yang artinya :
Wahai orang-orang mukmin takutlah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang
benar. Di sini kita diperintahkan supaya berada bersama-sama dengan orang-orang yang benar,
baik dari segi rupa maupun dari segi makna.
Namun demikian, walaupun rabithah merupakan faktor terpenting dalam thareqat, kalangan ulama di
luar tasawuf masih menganggapnya sebagai bid’ah bahkan divonisnya sebagai perbuatan isyrak
(menyerikatkan Allah) dengan guru atau syaikh. Dan permasalahan rabithah sampai kini masih tetap
belum ada titik temu. Paham Wahabisme yang dijadikan ideologi Arab Saudi (sebagai negara Islam
dan pusat peradaban Islam), sangat keras menentang rabithah, bahkan tidak hanya rabithah melainkan
dzikir-dzikir dalam thareqat juga dianggap sebagai bid’ah.
Pengertian Tata Cara Rabitah Dalam Tarekat

Rabithah dalam pengertian bahasa(lughat) artinya bertali, berkait atau


berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah
menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru,Guna mendapatkan
wasilah dalam rangka perjalanan menuju Allah. Syaikh Mursyid adalah
Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau
pengantar menuju Allah. Jadi tujuan murobith adalah memperoleh
wasilah.Rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of
knowledge , yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid
dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-
masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of
knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang
jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa
guru mursyid.

Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat


guru mursyid atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa
menjadi guru mursyid. Seorang mursyid adalah seorang yang ruhaninya
sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih Allah
yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya.
Hal ini seperti dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.

‫ت‬ ِ ‫ات ْال َي ِم‬


ْ َ‫ين َو ِإ َذا غ ََرب‬ َ ‫ت ت َزَ َاو ُر َع ْن َك ْه ِف ِه ْم َذ‬ ْ ‫طلَ َع‬
َ ‫س ِإ َذا‬ َ ‫ش ْم‬َّ ‫َوت َ َرى ال‬
َّ ‫َّللا ۗ َم ْن يَ ْه ِد‬
ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ت‬ ِ ‫الش َما ِل َو ُه ْم ِفي فَ ْج َو ٍة ِم ْنهُ ۚ َٰ َذ ِل َك ِم ْن آ َيا‬
ِ ‫ات‬ َ ‫ض ُه ْم َذ‬ ُ ‫ت َ ْق ِر‬
ْ ُ‫فَ ُه َو ْال ُم ْهت َ ِد ۖ َو َم ْن ي‬
‫ض ِل ْل فَلَ ْن ت َ ِج َد لَهُ َو ِليًّا ُم ْر ِشدًا‬

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri
sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa
yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang
pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17)

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping
itu juga sebagai orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi
segala yang dilarangnya. Dengan demikian seorang murid merasa takut
manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar larangan
agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru
mursyid manakala dia berbuat demikian.

Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut
dan enggan ketika hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah
oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha
(Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa yang akan
diperbuatnya.
َ ْ‫ع ْنهُ السُّو َء َو ْالفَح‬
‫شا َء ۚ إِنَّهُ ِم ْن ِعبَا ِدنَا‬ َ ‫ف‬ ْ َ‫ت بِ ِه ۖ َو َه َّم بِ َها لَ ْو ََل أ َ ْن َرأ َ َٰى ب ُْرهَانَ َربِ ِه ۚ َك َٰذَلِكَ ِلن‬
َ ‫ص ِر‬ ْ ‫َولَقَ ْد َه َّم‬
َ‫صين‬ ِ ‫ْال ُم ْخ َل‬

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan


Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)
Dasar-Dasar Rabithah Mursyid

Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah


firman Allah Swt.
َ‫َّللا لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ُ ‫صابِ ُروا َو َرا ِب‬
َ َّ ‫طوا َواتَّقُوا‬ ْ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا‬
َ ‫ص ِب ُروا َو‬

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu beruntung (sukses). (QS.
Ali Imran : 200).

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari
sekedar makna lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting
dalam situasi peperangan, agar musuh tidak menerobos. Kalau perang fisik,
seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-musuh dari
orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di
wilayah hati agar syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut.
Itulah yang menjadi dasar-dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat.
Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah
menuju Allah. Firman Allah Swt.
َ ‫َّللا َوا ْبتَغُوا ِإلَ ْي ِه ْال َو ِسيلَةَ َو َجا ِهدُوا فِي‬
َ‫س ِبي ِل ِه َل َع َّل ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ َ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah


wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat
umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan
bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal
yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli
thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah,
maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain.
Firman Allah
ُ َّ ‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم ۗ َو‬
ٌ ُ‫َّللا َغف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َ َّ َ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬
َّ ‫َّللا فَات َّ ِبعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم‬
Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun
Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab


“mengikut” ‫ فَات َّ ِبعُو ِني‬itu menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang
diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara nyata (konkret) dan ada kalanya
melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang dimaksud
dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut.
Allah Swt berfirman:

َ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬


َّ ‫َّللا َو ُكونُوا َم َع ال‬
َ‫صا ِدقِين‬

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119)

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang


yang benar, yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua:

· Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan


keberuntungan dari orang-orang yang shiddiq.

· Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan


dengan rabithah.

Dalam hadist qudsi Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau/ memuat akan zat-Ku
(yang membawa Asma-Ku / Kalimah-Ku), melainkan yang dapat
menjangkaunya / memuatnya ialah Hati Hamba-Ku Yang Mukmin / suci, lunak
dan tenang.” (Hadis Qudsi R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Dalam Sebuah Hadist Rasulullah SAW Bersabda :


‫اصلُكَ ا ََِّلَ هللا‬ َ ‫ف اِلَى ْمت َ ُك ْن َم َع هللا فَ ُك ْن َم َع َم ْن َم َع هللا‬
ِ ‫ف اِنَّهُ ي ُْو‬ َ ‫ُك ْن َم َع هللا‬
" Kun ma'allah faiilam takun ma'allah fakun ma'a man ma'allah fainnahu
yuushiluka ilallah " ( HR. Abu daud )

“Jadilah ( Ruhani ) kalian Bersama Allah , Jika ( ruhani ) Kalian Belum Bisa
Bersama Allah, Maka Jadilah Kalian Bersama Dengan Orang Yang (
Ruhaninya ) telah Bersama ALLAH, Sesungguhnya Mereka Akan
menghantarkan ( Ruhani ) kamu Kepada Allah.”

Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid


terus-menerus me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya
yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah Swt. Karunia yang
didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi
bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan
Allah Swt sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan
tidak ada yang dapat berbuat untuk men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt.
Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-pintu atau corong-
corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para
wali-wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi:
1994, hlm. 448).

Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irdibiy Rhm. mengatakan:

“Sesungguhnya rasa dekat dengan Syekh Mursyid bukan dikarenakan dekat


zatnya, dan bukan pula karena mencari sesuatu dari pribadinya, tetapi karena
mencari hal-hal yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya (kedudukan yang
telah dilimpahkan Allah atasnya) dengan mengi’tiqadkan (meyakini) bahwa
yang membuat dan yang berbekas hanya semata-mata karena Allah Ta’ala
seperti orang faqir berdiri di depan pintu orang kaya dengan tujuan meminta
sesuatu yang dimilikinya sambil mengi’tiqadkan bahwa yang mengasihi dan
memberi nikmat hanya Allah yang mempunyai gudang langit dan bumi, serta
tidak ada yang menciptakan selain dari-Nya. Alasan ia berdiri di depan pintu
rumah orang kaya itu karena ia meyakini bahwa di sana ada salah satu pintu
nikmat Allah yang mungkin Allah memberikan nikmat itu melalui sebab orang
kaya itu”. (Tanwirul Qulub : 527)

Dalam kitab Mafaahiim Yajiibu an Tus-haha karangan Syekh Muhammad


‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani bahwa Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan:

“Sesungguhnya syi’ar kaum muslimin dalam peperangan Yamamah adalah:


‘Wahai Muhammad! (tolonglah kami)”.

Rasulullah SAW bersabda:

“Jika telah menyesatkan akan kamu sesuatu atau ingin minta pertolongan,
sedangkan dia berada di satu bumi yang tidak ada padanya kawan, maka
hendaklah dia berkata: ‘Wahai hamba Allah, tolonglah aku!’ Maka
sesungguhnya bagi Allah itu ada hamba-hamba yang tidak dapat dilihat. Dan
sungguh terbuktilah yang demikian itu”. (HR. Thabrani)

Dan lagi sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat selain Hafazhah yang menulis apa-


apa yang jatuh dari pohon. Maka apabila menimpa kepincangan di bumi yang
luas, hendaklah dia menyeru: ‘Tolong aku, wahai hamba Allah”. (HR.
Thabrani)

Dikisahkan ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha


mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan
memohon kepada Ya’qub As.
ِ ‫قَالُوا يَا أَبَانَا ا ْستَ ْغ ِف ْر لَنَا ذُنُوبَنَا ِإنَّا ُكنَّا خ‬
َ‫َاطئِين‬

‫الر ِحيم‬ ُ ُ‫ف أ َ ْست َ ْغ ِف ُر لَ ُك ْم َربِي ۖ إِنَّهُ ه َُو ْالغَف‬


َّ ‫ور‬ َ ‫قَا َل‬
َ ‫س ْو‬

“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub
berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.
Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh
hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98).

Inilah salah satu bukti bahwa permohonan do’a ampunan tidak hanya
dilakukan si pemohon, tapi dapat dimintakan tolong kepada seseorang yang
dianggap shaleh atau dekat kepada Allah SWT.

Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini

Hadits Bukhari menyatakan:


‫ى ِفى ْال َخالَ ِء‬
َّ ‫ َع ْنهُ َحت‬.‫ى هللا َع ْنهُ شكا ِللنَّ ِب ِى َع َد َم ا ْن ِفكا َ ِك ِه‬
َ ‫ض‬ ِ ‫أ َ َّن ا َ َبا َب ْك ِر‬
ِ ‫الص ِديْق َر‬

Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw


bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke
dalam WC.

Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut


‫لى هللا تَعَالَى‬
َ ِ‫سيِر إ‬ ِ ُ‫شي ِْخ ِه ْال ُم ْر ِش ِد ِليَ ُك ْونَ َرفِ ْيقَه‬
َّ ‫فى ال‬ َ ‫ار‬
َ ‫ض‬َ ‫لى ذَلِكَ ا ْستِ َم‬ َ ‫ُض ُّم أ َ ْي‬
َ ِ‫ضا إ‬ ِ ‫َوي‬

Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya
yang memberi petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju
kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107).

Pendapat Para Imam Tasawuf Tentang Rabithah

a. Imam Sya’rani dalam Nafahatu Adabidz Dzikri mengatakan, “Dianjurkannya


kepada orang banyak supaya mereka mengamalkan adab dzikir yang 20
perkara itu. Dinyatakan adab yang ke-4: hendaklah sejak permulaan dzikir,
himmah syaikhnya terus-menerus berada dalam kalbunya. Ke-5: dia
menganggap bahwa limpahan dari gurunya itu pada hakikatnya adalah
pancaran dari Nabi Saw karena syaikhlah merupakan wasilah murid dengan
Nabi Saw. Dihayalkan rupa guru di depan matanya, inilah maksud rabithah,
tidak lebih.

b. Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi dalam Risalah-nya, menyatakan bahwa


apabila seseorang telah selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia
mengambil wudhuk, lalu masuk ke tempat khalwatnya. Sesudah duduk,
pertama-tama dia harus menghadirkan rupa guru.

c. Syaikh Abdul Ghani an Nablusi dalam komentarnya tentang Risalah Syaikh


Tajuddin an Naqsyabandi itu menyatakan bahwa itulah cara yang paling
sempurna, sebab syaikh adalah merupakan pintunya ke hadirat Allah dan
wasilah kepada-Nya. seperti Firman Allah dalam surat at Taubah ayat 119 di
atas. Firman Allah dibawah ini menunjukkan bahwa rabithah mursyid adalah
termasuk dzikir kepada Allah Swt yang maha rahman. Dzikir demikian itu
mampu mengusir syetan. Bilamana orang enggan melakukan demikian,
(dzikir dengan rabithah) maka Allah akan menyertakan orang tersebut dengan
syetan yang selalu membelokkannya ke jalan yang lurus. Tetapi anehnya
orang tersebut merasa mendapatkan petunjuk. Rasanya jauh api dengan
panggang.

Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al
Qur’an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya
syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan benar dan
mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. az Zukhruf : 36
– 37)

d. Syaikh Ubaidullah al Ahrar menyatakan bahwa maksud surat at Taubah


ayat 119, yang artinya:

Wahai orang-orang mukmin takutlah kepada Allah dan jadilah kalian bersama
orang-orang yang benar. Di sini kita diperintahkan supaya berada bersama-
sama dengan orang-orang yang benar, baik dari segi rupa maupun dari segi
makna.

Namun demikian, walaupun rabithah merupakan faktor terpenting dalam


thareqat, kalangan ulama di luar tasawuf masih menganggapnya sebagai
bid’ah bahkan divonisnya sebagai perbuatan isyrak (menyerikatkan Allah)
dengan guru atau syaikh. Dan permasalahan rabithah sampai kini masih tetap
belum ada titik temu. Paham Wahabisme yang dijadikan ideologi Arab Saudi
(sebagai negara Islam dan pusat peradaban Islam), sangat keras menentang
rabithah, bahkan tidak hanya rabithah melainkan dzikir-dzikir dalam thareqat
juga dianggap sebagai bid’ah.

TATA CARA RABITHAH

Rabithah artinya ikatan atau berhubungan, yang berarti proses terjadinya


hubungan atau ikatan ruhaniyah antara seorang murid dengan Guru
Mursyidnya. Mengikat atau menghubungkan diri dengan Manajemen Vertikal
(Ilahiyah) seperti yang diungkapkan Al-Quran:
َ‫َّللا لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ُ ِ‫صابِ ُروا َو َراب‬
َ َّ ‫طوا َواتَّقُوا‬ ْ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا‬
َ ‫صبِ ُروا َو‬

“Wahai orang-orang yang memiliki iman, bersabarlah! jadikanlah kesabaran


atasmu, berabithahlah (agar diteguhkan), dan takutlah kepada Allah, mudah-
mudahan engkau termasuk orang-orang beruntung”. (QS. Ali Imran[3]: 200)

Melakukan rabithah mengandung makna menghadirkan/ membayangkan


rupa Syekh atau Guru Mursyidnya yang Kamilah di dalam fikiran ketika
hendak melaksanakan ibadah, lebih khusus ketika berdzikir kepada Allah
Ta’ala.

Menurut beberapa Ulama shufi, berabithah itu lebih utama daripada dzikirnya
seorang Salik. Melaksanakan rabithah bagi seorang murid lebih berguna dan
lebih pantas daripada dzikirnya, karena Guru itu sebagai perantara dalam
wushul ke hadirat Allah Jalla wa ‘Alaa bagi seorang murid. Apabila bertambah
rasa dekat dengan gurunya itu, maka akan semakin bertambah pula
hubungan batinnya, dan akan segera sampai kepada yang dimaksud, yakni
makrifat. Dan seyogyanya bagi seorang murid harus Fana dahulu kepada
Guru Mursyidnya, sehingga akan mencapai Fana dengan Allah Ta’ala”.[1]

Menurut Syekh Muhammad bin Abdulah Al-Khani Al-Khalidi dalam kitabnya


Al-Bahjatus Saniyyah hal. 43, berabithah itu dilakukan dengan 6 (enam) cara:
1. Menghadirkannya di depan mata dengan sempurna.

2. Membayangkan di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada


ruhaniyahnya sampai terjadi sesuatu yang ghaib. Apabila ruhaniyah Mursyid
yang dijadikan rabithah itu tidak lenyap, maka murid dapat menghadapi
peristiwa yang akan terjadi. Tetapi jika gambarannya lenyap maka murid
harus berhubungan kembali dengan ruhaniyah Guru, sampai peristiwa yang
dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu, muncul kembali.
Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana dan menyaksikan
peristiwa ghaib tanda Kebesaran Allah. Dengan berabithah, Guru Mursyidnya
menghubungkannya kepada Allah, dan murid diasuh dan dibimbingnya,
meskipun jarak keduanya berjauhan, seorang di barat dan lainnya di timur.
Selain itu akan membentenginya dari pikiran-pikiran yang menyesatkan
sehingga memicu pintu ruhani yang batil memasuki dirinya (baik ruhani-ruhani
ataupun i’tikad-i’tikad yang batil),

3. Menghayalkan rupa Guru di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di


tengah-tengah dahi itu, menurut kalangan ahli Thariqat lebih kuat dapat
menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah
Ta’ala.

4. Menghadirkan rupa Guru di tengah-tengah hati.

5. Menghayalkan rupa Guru di kening kemudian menurunkannya ke tengah


hati. Menghadirkan rupa Syekh dalam bentuk keempat ini agak sukar
dilakukan, tetapi lebih berkesan dari cara-cara sebelumnya.

6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan mentsabitkan (menetapkan)


keberadaan Guru. Cara ini lebih kuat menangkis aneka ragam ujian dan
gangguan-gangguan.

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, karangan Sayyid Abdurrahman bin


Muhammad disebutkan: “Perkataan seorang mukmin yang menyeru ‘Wahai
Fulan’ ketika di dalam kesusahan, termasuk dalam tawasul yang diseru
kepada Allah. Dan yang diseru itu hanya bersifat majaz bukan hakikat. Makna
‘Wahai Fulan! Aku minta dengan sebabmu pada Tuhanku, agar Dia
melepaskan kesusahanku atau mengembalikan barangku yang hilang dariku,
yang diminta dari Allah SWT. Adapun yang diucapkan kepada Nabi/Wali
menjadi sebagai majaz (kiasan) dan penghubung, maka niat meminta kepada
Nabi/Wali hanyalah sebagai sebab saja.

Dan diucapkan pada syara’ dan adat, contohnya adalah seperti permintaan
tolong kita kepada orang lain: ‘tolong ambilkan barang itu’. Maka apa yang
sebenarnya adalah kita meminta tolong dengan sebab orang tadi, hakikatnya
Tuhan Yang Kuasa atas segala sesuatunya. Apabila kita meyakini orang itu
mengambil sendiri secara hakikatnya, maka barulah boleh dikatakan syirik.
Maka begitu pulalah berabithah itu sebagai sebab yang menyampaikan bukan
tujuan.

Berbicara mengenai sebab, telah banyak ayat Al-Quran dan Hadits Qudsi
yang menyatakan bahwa segala perkara yang dibutuhkan manusia dan
makhlukNya didapat dan dikaruniakan oleh Allah Yang Kuasa, apakah itu
makanan, minuman, pakaian, rizki, kesembuhan, dan sebagainya. Maka
untuk kesemuanya itu perlu adanya sebab yang menyampaikan.
Penyampaiannya bisa cepat atau lambat. Dan seseorang yang menerima
rizki dari seseorang lainnya, sepantasnyalah berterimakasih kepadanya
sebagai adab atas penyampaian rizkinya itu. Begitu pulalah seseorang
meminta akan sesuatu hanya kepada sahabat atau lainnya, tentu ada adab-
adab atau tatacara tertentu yang harus dilakukan, agar hajatnya itu terpenuhi
sesuai dengan kehendaknya. Dan tidak hanya lahiriyyah saja, perkara-
perkara ruhaniyah memiliki adab atau tatacaranya, agar tercapai
penyampaian maksudnya ke Hadhirat Allah Yang Suci.

Maka penyampaian kehendak seseorang hamba kepada lainnya, yakni yang


membutuhkan sesuatu selain Allah adalah suatu bentuk majaz bukan hakikat.
Kalau ia beri’tiqad memohon secara hakikat, maka jadilah syirik yang
menyekutukan Tuhannya.
Wasilah dan Rabithah
Posted on July 1, 2008 by admin
A. Pengertian
1). Pengertian Wasilah
Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan rabitah dalam suatu tarikat pada waktu
melaksanakan zikir dan ibadat, menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarikat
pasti bermursyid, berwasilah dan merabitahkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadat.
Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan
(sukses) (Q.S. Al Maidah 5 : 35).
Dalam kamus “Al Munjid” dikatakan,
Artinya : “Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain”.
Ibnu Abbas menegaskan,
Artinya : “Wasilah adalah suatu pendekatan”.
Dalam tafsir Ibnu Katsir II : 52-53 pada waktu menafsirkan Q.S. 16 Al Maidah 5 : 35menyatakan:
Artinya : “wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”.
Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan Q.S. Al Maidah 5: 35 menyatakan,
Artinya : “Pengertian umum dari wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada
suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai
kepada Allah SWT, kemudian kepada penerus-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai
kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa.” (Sulaiman Zuhdi,1288 H : 3).
Dalam Ilmu Balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal” ( ) artinya menyebut wadah, sedangkan
sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai Wasilah, tetapi
yang dimaksud sebenarnya adalah nuurun ala nuurin ( ) yang ada pada rohaniah Rasulullah SAW.
Syekh Muhammad Amin Al Kurdi menyatakan :
Artinya : “Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan ke Hadirat Allah SWT” (Amin Al Kurdi, 1994 :
447).
Prof. Dr. H. Syekh Kadirun Yahya menyatakan bahwa wasilah itu adalah suatu channel, saluran atau
frekuensi yang tak terhingga ( ) yang langsung membawa kita kehadirat Allah SWT.
Wasilah itu ialah,
Artinya : “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki” (Q.S. An Nur 24 : 35).
Wasilah itu telah ditanamkan kedalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang
merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan umatnya menuju kehadirat Allah SWT.
Para sahabat dan umat Rasulullah harus mendapatkan wasilah ini disamping menerima warisan Al
Qur’an dan As Sunnah. (Kadirun Yahya 1989 : 12).
2). Pengertian Rabitah
Rabitah artinya bertali, berkait atau berhubungan. Dalam pengertian tarikat, rabitah itu
menghubungkan rohaniah murid dengan rohaniah guru, guna mendapatkan wasilah yang ada pada
rohaniah Syekh Mursyid, di mana rohaniah Syekh Mursyid telah berhubungan, berhampiran dengan
rohaniah Syekh-Syekh Mursyid sebelumnya, sampai dengan rohaniah Arwahul
Muqaddasah Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, supaya kamu
beruntung (sukses)” (Q.S. Ali Imran 3 : 200).
Kalimat warabithu ( ) dalam ayat ini dengan mengambil arti hakikinya, itulah yang menjadi dasar
rabitah oleh para pakar tasawuf tarikat seperti tersebut di atas. Syekh Amin Al Kurdi
menjadikan rabitah kubur sebagai kaifiat kedelapan dan rabitah mursyid sebagai kaifiat kesembilan
dalam berzikir (Amin Al Kurdi 1994 : 443 – 444).
Firman Allah SWT,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar” (Q.S. At Taubah 9 : 119).
Asy-Syekh Ubaidullah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang
diperintahkan oleh Allah SWT dalam ayat itu terbagi dua :
a. Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang-
orang yang shidiqin itu.
b. Bersama-sama maknawiah, yaitu bersama-sama rohaniah yang diartikan dengan rabitah.
As Syekh Muhammmad Amin Al Kurdi menyatakan wajiblah seorang murid terus menerus
merabitahkan rohaniahnya kepada rohaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia
dari Allah SWT.
Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas, yang
memberi bekas yang hakiki, yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah SWT. Yang memberi
kurnia dan memberi nikmat hanya Allah SWT, sebab ditangan Allah SWT sajalah seluruh
perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk
mentasarufkannya kecuali Allah SWT. Hanya saja Allah SWT mentasarufkannya itu, melalui pintu-
pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya atau menjadi Sunnah-Nya, antara lain melalui para
kekasih-Nya, para wali-wali Allah SWT yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin Al
Kurdi,1994 : .448)..
Ini pulalah yang dimaksud dengan sabda Rasululah SAW, “Besertalah kamu dengan Allah SWT, jika
kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan
orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau
(rohanimu) kepada Allah SWT “ (Amin Al Kurdi, 1994 : 447-448)..
As Syekh Al Imam Al Ghazali dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin” pada waktu menerangkan,
penjelasan tentang perincian sesuatu yang seyogyanya untuk dihadirkan di dalam hati pada setiap
rukun dan syarat dari amal-amal shalat, mengatakan, “Adapun tasyahhud, apabila kamu duduk
untuknya maka duduklah dengan sopan dan jelaskanlah bahwa seluruh shalawat dan kebaikan-
kebaikan yaitu akhlak yang suci adalah bagi Allah. Demikian juga kerajaan itu bagi Allah. Itulah
makna Attahiyyat(penghormatan).
Dan hadirkanlah Nabi SAW di dalam hatimu dan sosok tubuhnya yang mulia, dan katakanlah,
Artinya : “Semoga kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah SWT atasmu wahai Nabi”.
Dan benarkanlah angan-anganmu, bahwasanya salam itu sampai kepada beliau dan beliau membalas
atasmu dengan sesuatu yang lebih sempurna daripadanya.
Kemudian ucapkanlah salam atas dirimu dan seluruh hamba Allah SWT yang shalih. Kemudian angan-
angankanlah bahwasanya Allah Yang Maha Suci membalasmu dengan salam yang sempurna dengan
sejumlah hamba-hamba Allah SWT yang shalih.” (Al Ghazali I, 1990 : 541,555-556).
Seorang murid dalam rabitah hendaklah menghadirkan gurunya yang mursyid ke dalam hati
sanubarinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan untuk mendapatkan khusuk dalam shalat, kita
menghadirkan Nabi Muhammad SAW dalam hati dan kepribadiannya yang mulia pada waktu kita
bertasyahhud.
Demikian pulalah dalam menghadirkan guru yang Mursyid, pada waktu berzikir dan beribadat
menurut Tarikat Naqsyabandiyah yang ditegaskan oleh Syekh Amin Al Kurdi dalam
bukunya Tanwirul Qulub. (Amin Al Kurdi, 1994 : 448).
B. Dalil dan Pembahasan
Membahas tentang wasilah dan rabitah, sesungguhnya juga membahas tentang Rohaniah. Masalah
rohaniah atau masalah roh adalah masalah yang amat sangat halus dan oleh sebab itu pengkajiannya
adalah amat tinggi dan dalam, tapi dia merupakan kunci, merupakan power, merupakan kekuatan
dalam beramal. Dia adalah sumber keikhlasan, yang merupakan kunci dari diterimanya amal ibadat.
Dia menimbulkan khusuk dalam shalat, membuahkan taqwa dalam puasa, menghasilkan mabrur dalam
haji. Sebab wasilah dan rabitah ini, langsung sampai dan kembali datang kepada manusia dari
sumbernya yang maha tak terhingga ( ) yaitu Allah SWT.
Itulah sebabnya kita melihat keberhasilan para wali-wali Allah SWT yang saleh, mengaktualisasikan
isi kandungan Al Qur’an dan As Sunnah. Ketika membaca Al Quran, Kalamullah yang telah menzahir
dalam bentuk kalamullah yang berbahasa Arab, bila pada waktu membacanya memakai
metode, channel, wasilah yang benar; maka Kalamullah Yang Azali, yang tak berhuruf dan tak
bersuara, langsung datang kembali dari Allah SWT dan kondisi Kalamullah yang demikianlah yang
dapat memberi bekas dan menjelma menjadi realita kenyataan.
Dengan demikian pengertian Wasilah bukanlah perantara, tetapi dia adalah sarana penghubung, ia
adalah saluran atau channel, untuk sampai kepada Allah SWT. Karena itu dia bukanlah jasmani
seseorang, bukan pula jasmani mursyid, apalagi gambar mursyid. Dia bukan rohani seseorang dan
bukan pula rohani mursyid, tapi sesuatu yang ditanamkan oleh Allah SWT ke dalam rohani Arwahul
Muqaddasah Rasulullah SAW. Jadi Rasulullah pun bukan wasilah, tapi Rasulullah SAW
adalah corong wasilah, hamilul wasilah, pembawa wasilah atau wasilah carrier. Begitu pulalah
halnya fungsi Mursyidyang berstatus sebagai pewaris Nabi pada tiap-tiap zamannya. Jadi seseorang
beramal dan berwasilah bukanlah beramal dengan perantara, tapi beramal langsung menurut
salurannya. Demikian Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menjelaskan dalam beberapa buku
beliau.
Sebagai ilustrasi dari beliau dapat dijelaskan perbedaan antara hubungan langsung dan tidak langsung
adalah misalnya : seseorang yang menyapu lantai, maka hubungan antara dia dengan proses
pembersihan lantai adalah langsung. Kalau pengertian sapu tersebut sebagai perantara yang artinya
merupakan hubungan tidak langsung maka orang tersebut memerintahkan kepada sapu untuk
menyapu, kemudian si sapu bergerak sendiri membersihkan lantai sedangkan orang tersebut tidak
melakukan apa-apa. Contoh lain tentang hubungan langsung adalah siaran Olimpiade di Barcelona
yang diterima oleh TV di rumah. Meskipun melalui satelit dan setasiun bumi/relay, hubungan
yangditerima adalah tetap hubungan langsung, sehingga siaran tersebut dinamakan siaran langsung dan
satelit tersebut bukan dinamakan perantara. Para ahli Fisika dan ahli Elektro khususnya akan
membenarkan dan sepakat serta tidak membantah dengan pernyataan ini.
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya lebih lanjut menegaskan bahwa dalam ayat-ayat Al Qur’an
dan Sunnah Rasul banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari dan meriset
ayat atau firman kitabi itu, supaya disinkronisasikan dan dikonfirmasikan dengan
firman Afaqi (tekhnologi alam semesta) dan firman Nafsani (diri jasadi dan diri rohani manusia).
Karena itu dalam mempelajari channel, saluran, gelombang, frekuensi tak terhingga ( ), dapat
disinkronisasikan dan dikomfirmasikan kajiannya dengan masalah listrik umpamanyapada sentral
listrik PLTA, PLTU, atau PLTD yang merupakan sentral atau sumber dari strum aliran listrik.
Dari sentral listrik umpamanya bermuatan + 170.000 KVA yang dimasukkan ke dalam sebuah Travo,
guna menurunkan kapasitasnya, sehingga sesuai dengan apa yang diperlukan guna pemakaian di
rumah-rumah, maka semua rumah yang berhubungan dengan Travo tersebut, dinamakan langsung
berhubungan dengan sentral listrik itu sendiri. Bukan perantara Travo, hanya via/melalui/lewat
Travo.Bentuk si listrik yang ada pada kawat, pada saat si listrik berada dalam kawat, adalah
persis sama dengan bentuk si kawat.
Perhatikan gambar berikut ini,
D = Dinamo
A = Ampere
V = Voltage
S.C = Stop Contact
Keterangan Gambar :
Jika hubungan (kontak) dengan Induk Dinamo telah terlaksana dengan realita / dengan baik, maka di
mana saja diukur Volt-nya akan ditemukan tinggi voltasenya di mana saja serupa tingginya ! Dengan
perkataan lain, voltage dalam induk dinamo sama dengan voltage yang berada pada tiap-tiap
pesawat yang berada dalam kesatuan lingkaran listrik yang berhubungan dengan induk dinamo.
Begitu pulalah keadaannya dengan wasilah yang telah ditanamkan pada arwahul muqaddasah
Rasulullah SAW, yang berfrekwensi tak terhingga ( ) yang datangnya dari Allah SWT, wasilah itu
pulalah yang ada pada arwahul muqaddasah para Syekh Mursyid atau ahli silsilah, yang sambung
bersambung sampai dengan Syekh Mursyid sekarang ini (Kadirun Yahya, 1989 : 25- 29).
Sebagai catatan bahwa mengibaratkan wasilah yang sumbernya dari Allah SWT dengan setrum listrik
yang strumnya bersumber dari sentral dinamo listrik, bukanlah dimaksudkan menyamakan hakikat
fisiknya, tetapi sebenarnya untuk memudahkan umat Islam memahami pengertian wasilah. Allah SWT
yang tidak sesuatu apapun yang serupa dengannya ( ) tentunya tidak mungkin pula disamakan dengan
setrum listrik yang ada pada kabel yang berasal dari dinamo. Untuk menjelaskan alam ghaib seringkali
dinjumpai pada ayat-ayat Al Qur’an yang mengambil contoh pada alam fisika/dzahir.
Untuk menjelaskan hubungan wasilah yang ada pada Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW, yang
diteruskan oleh para wali-wali Allah SWT, kalau disinkronisasikan dan konfirmasikan dengan listrik
tadi maka berikut ini akan disampaikan beberapa dalil naqli sebagai berikut :
Firman Allah SWT,
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (Q.S. Al Anbiya 21 : 107).
Q.S.Al Anbiya 21 : 107 menjelaskan bahwa rahmat itu adalah kepunyaan Allah SWT, sedangkan
Rasul membawa rahmat itu ke seluruh alam langsung dari Allah SWT. Kesimpulannya Wasilah itu
berisi rahmat.
Firman Allah SWT :
Artinya :“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar” (Q.S. Al Anfal 8 : 17).
Q.S. Al Anfal 8 : 17 menjelaskan bahwa hakikatnya Allah-lah yang melempar sehingga musuh hancur
berantakan, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah melaksanakan secara
syari’atnya. Kesimpulannya Wasilah itu berisi Qudrat Allah.
Firman Allah SWT,
Artinya : “Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku” (Q.S. Al Baqarah 2 : 152).
Q.S. Al Baqarah 2 : 152 menjelaskan bahwa zikir dan syukur kita berbalas langsung dari Allah SWT
dan memberi bekas. Kesimpulannnya Wasilah itu berisi Zikir dan Syukur.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : “Bahwasanya Al Qur’an ini satu ujungnya di tangan Allah SWT dan satu lagi di tangan kamu
(Muhammad), maka peganglah kuat-kuat akan dia” (H.R. Abu Syuraih Al Khuja’i).
H.R. Abu Syuraih Al Khuja’i menjelaskan bahwa Al Qur’an dengan segala isi kandungan dan
mukjizatnya baru bisa mendapatkan Kalamullahi Al Azali yang memberi bekas melalui wasilah yang
tertanam pada arwahul muqaddasah Rasulullah SAW. Kesimpulannya Wasilah itu berisi
Kalamullah Al Azali.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau/ memuat akan zat-Ku (yang membawa Asma-
Ku / Kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuatnya ialah Hati Hamba-Ku Yang
Mukmin / suci, lunak dan tenang.” (Hadis Qudsi R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih).
Hadis Qudsi menjelaskan bahwa hati hamba seorang mukmin yang suci, lunak dan tenang dapat
menjadi saluran wasilah dari Allah SWT.
Kesimpulannya Wasilah itu berisi saluran melalui Arwahul Muqaddasah.
Dari penjelasan tersebut di atas, yang memberi bekas adalah wasilah (yang bersumber langsung dari
Allah SWT) yang berisi rahmat, qudrat Allah, zikir dan syukur, kalamullah al azali, saluran melalui
Arwahul Muqaddasah, yang langsung datang dari Allah SWT. Sebagaimana halnya yang memberi
bekas pada listrik adalah setrum listrik itu, yang langsung datang dari sentralnya. Jadi yang memberi
bekas bukan kabelnya, tapi adalah strumnya. Yang memberi bekas bukan para Nabi-Nabi Allah SWT,
bukan juga wali-wali Allah SWT, tetapi wasilah yang merupakan frekuensi yang tak terhingga ( ) yang
datang dari Allah SWT.
Kalau setrum listrik dengan suatu metode tertentu dapat dimanfaatkan oleh manusia
untuk digunakan pada alat-alat elektronik berupa TV, radio, kulkas, rice cooker,
setrika, mesin cuci, lampu, dan sebagainya; maka wasilah yang datang dari Allah
SWT dapat dimanfaatkan untuk mendapat rahmat- Nya seperti mendapatkan
manisnya ibadat ( ), shalat yang khusuk, puasa yang membuahkan takwa, haji yang
mabrur, ketenangan dan keberkatan dalam berumah tangga, kemakmuran dalam
berbangsa dan bernegara, dan dapat pula menolak bala, melawan musuh, baik yang
datang dari luar maupun yang datangnya
RABITHAH ATAU BERWASILAH
ALYWAFA TAJUL ARIFIN07.37

Segala puji bagi Allah, Zat Wajibal Wujud.

Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAWW.


Berkah dan ridho yang mengalir melalui para masyaikh ahli silsilah dan
Sayyidil Mursyidin yang kita harapkan.

Rabithah di dalam bersyahadah merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan,


karena jika tidak melakukan rabithah maka tentu saja suatu ibadah yang
dilakukan bisa saja tidak mencapai tujuan yaitu kepada Allah SWT.

Menurut apa yang telah kita ketahui bersama, ketika kita membahas tentang
rabithah, maka tak lepas dari pembahasan tentang wasilah. Rabithah dan
wasilah adalah perintah Allah SWT.

Secara makna bahasa, Rabithah memiliki arti ikatan atau berhubungan.


Fungsi dari rabithah atau senantiasa berhubungan, adalah untuk berwasilah.

Sedangkan wasilah sendiri bermakna sebagai segala sesuatu yang dapat


menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad
SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT. Dan
untuk mecapai kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW maka kita perlu
mengikatkan diri atau berhubungan dengan para penerus silsilah yang tidak
terputus, sampai kepada Rasulullah SAW yang akan menyambungkan
pada Allah SWT.

Ikatan atau berhubungan dalam konteks rabithah adalah menghubungkan


"hati" atau qolbu. Yang dihubungkan adalah qolbu murid kepada Mursyid,
bersambung kepada kakek guru, kakek kakek guru dan seterusnya sampailah
kepada Rasulullah SAW. Dengan itu akan terbentuk suatu ikatan/hubungan
dari nur ke nur yang akan bermuara pada Nur Allah.

Setelah diri murid terhubung melalui tali silsilah yang jelas, tidak terputus,
maka melalui "saluran" itulah rahmat dan keberkatan Allah SWT mengalir
kepada sang murid. Dari "saluran" yang terbentuk itulah petunjuk, ilmu, dan
beragam hal yang positif akan diterima.

Dalil Perintah berwasilah

Surat Al Maidah ayat 35 :

َ‫س ِبي ِل ِهۦ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ۟ ‫ٱَّلل َوٱ ْبتَغُ ٓو ۟ا ِإلَ ْي ِه ْٱل َو ِسيلَةَ َو َٰ َج ِهد‬
َ ‫ُوا ِفى‬ َ َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫َٰ َٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
۟ ُ‫وا ٱتَّق‬

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berwasilah


untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan bersungguh-sungguhlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Dalil Perintah untuk Rabithah

Surat Ali Imron ayat 200 :

َ‫ٱَّلل لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ۟ ُ‫وا َوٱتَّق‬


َ َّ ‫وا‬ ۟ ‫ط‬ ۟ ‫صابِ ُر‬
ُ ِ‫وا َو َراب‬ ۟ ‫صبِ ُر‬
َ ‫وا َو‬ ۟ ُ‫َٰ ٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا ٱ‬

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan ber rabithah dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung.

Dari kedua ayat tersebut, Allah SWT telah menegaskan bahwa kalau kedua
hal itu (rabithah dan berwasilah) dikerjakan, maka kita akan menjadi orang
yang beruntung.

Dalam ayat lain, perintah untuk senantiasa berkekalan dengan orang-orang


yang tak pernah terputus dalam mengingat dan menyebut Allah juga dapat
dijadikan dasar dalam melakukan rabithah.

Surat Al Kahfi ayat 28 :

ِ‫سكَ َم َع ٱلَّذِينَ يَ ْدعُونَ َربَّ ُهم ِب ْٱلغَ َد َٰوةِ َو ْٱل َع ِش ِى ي ُِريدُونَ َوجْ َههُۥ َو ََل ت َ ْع ُد َع ْينَاكَ َع ْن ُه ْم ت ُ ِري ُد ِزينَةَ ْٱل َحيَ َٰوة‬
َ ‫ص ِب ْر نَ ْف‬
ْ ‫َوٱ‬
ً‫عن ِذ ْك ِرنَا َوٱتَّبَ َع ه ََو َٰىهُ َو َكانَ أَ ْم ُرهُۥ فُ ُرطا‬ ْ ْ َ
َ ‫ٱل ُّد ْنيَا َو ََل ت ُ ِط ْع َم ْن أ ْغفَلنَا قَلبَهُۥ‬

Dan sabarkanlah jiwa kamu bersama-sama dengan orang-orang yang


menyebut Tuhannya di waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-
Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Begitu pula perintah untuk melakukan ikatan/hubungan kepada ahli silsilah


juga diriwayatkan dalam suatu hadis :

Besertalah kamu dengan Allah SWT, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu
beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang
telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang
menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah SWT

(Kitab Tanwirul Qulub - Syech Amin Al Kurdi)

Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai bagaimana cara pelaksanaan


rabithah dan wasilah silakan bertanya pada halaqah2 zikir atau majelis
thoriqoh yang bersanad mu'tabaroh. Atau dapat menghubungi kami melalui
kontak form yang tersedia atau melalui chat.

Anda mungkin juga menyukai