Anda di halaman 1dari 5

Pemikiran Tauhid Imam Ghozali

Artikel ini ditulis untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Ilmu Tauhid oleh;
Dosen pengampu ; Qowim Musthofa, M.Hum
Muhammad Zuhdi Nadzif ( 20211937 )

A. Pendahuluan
a. Biografi Imam Ghozali
b. Teologi Pemikiran Tauhid Imam Ghozali
B. Biografi
Al-Ghozali nama aslinya Muhammad Ibn Muhammad Ath-Thusi, dengan nama kecil
Abu Hamid, dan mempunyai gelar Zainuddin (Pengikut Agama). Ia lahir di Iran di Desa Thus
pada 450/1058 M. Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh dan ia tergolong orang yang
tekun dalam mengikuti majelis para Ulama’ dan pecinta Ilmu. Ayahnya meninggal dunia
Ketika Imam Ghozali dan Ahmad, saudaranya masih kecil. Sesaat sebelum meninggal
ayahnya berwasiat kepada sahabatnya agar memberikan sahabat nya yang sufi untuk
memberikan Pendidikan kepada kedua anak nya Ahmad dan Ghozali. Kesempatan emas ini
dimanfaatkan oleh Al-Ghozali untuk memperoleh Pendidikan yang setinggi-tingginya. Al-
Ghozali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasr Ismaili. Setelah menamatkan
pendidikannya di Thus dan Jurjan, al-Ghazali kemudian melanjutkan Pendidikan nya ke
Naisabur dan bermukim disana. Dan kemudian ia mengaji kepada al-Juwainy, yang dikenal
sebagai Imamul Haromain. Kepadanyalah al Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul,
madzhab fiqh, retorika, logika, tasawuf, dan filsafat.
Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak kecil. Intelektualnya
sudah mulai berkembang, ia cenderung memahami, mengetahui dan mendalami masalah-
masalah yang hakiki. Al-Ghazali berkata sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibn
Rusn :”Kehausan untuk menggali hakekat persoalan telah menjadi kebiasaanku semenjak aku
mud abelia. Dan hal itu merupakan tabiat dan fithrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam
kejadianku, bukan karena usahaku”. Setelah gurunya wafat kemudian ia melanjutkan
pengembaraan ilmunya ke daerah Ma’askar dan ia menetap disana kurang lebih 5 tahun.
Adapun kegiatan pokok al-Ghazali sebelum ia terjun menjadi guru besar di Nidhamiyah,
adalah mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh perdana Menteri Nizham
al-Mulk.
Melihat kehebatan al-Ghazali dalam menghadapi cerdik ,Nizham al Mulk sangat takjub
dengan pemikiran al-Ghozali dan diangkat menjadi guru besar di perguruan tinggi
Nizhamiyah. Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rector di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu
ia mengalami krisis Rohani, merasa hampa jiwanya. Dan ia meninggalkan jabatannya dan
kemabali ke Syam untuk mrncari ketenangan batin dengan cara berkhalwat.
Selama hampir 2 tahun dia berkhalwat dan menjadi hamba Allah yang benar-benar
mampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat
dan I’tikaf disebuah masjid di Damaskus. Kemudian, al Ghazali pergi ke Baitul Maqdis dari
sinilah hatinya tergugah untuk melaksanakan ibadah Haji. Dengan segera ia pergi ke Makkah,
Madinah dan setelah ziarah ke makam Rasulullah SAW serta makam nabi Ibrahim a.s.
ditinggalah kedua kota suci itu dan menuju Hijaz.
Al-Ghazali Kembali lagi ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di
Universitas Nidhamiyah. Kali ini al-Ghazali tampil sebagai tokoh Pendidikan yang benar
mewarisi dan mengarifi ajaran Rasulullah. Ia tampil bukan sebagai guru agama semata, tapi
juga sebagai Sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali telah melepaskan
motivasi kepentingan diri dalam menjalankan misinya.
Taklama kemudian ia setelah tinggal di Naisabur ,ia Kembali ke tempat kelahirannya di
Thus Iran. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca al-Qur’an dan Hadits serta
mengasuh sebuah Khanaqah (Semacam Pesantren sufi). Pada tahun 505 H, al-Ghazali wafat
di Desa Thabaran dekat Thus dalam usia kurang lebih 55 Tahun. Tepatnya Al-Ghazali wafat
pada tanggal 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H/18 Desember 1111 M dan dimakamkan di
sebelah tempat ia berkhalwat atau khanaqahnya.

Karya-karya al-Ghazali ;
Al-Ghazali ialah ilmuan yang begitu kaya akan pengetahuannya. Karya yang dimiliki
tidaklah sedikit pada bidang-bidang ilmu yang beliau miliki. Menurut beberapa tokoh al
Ghazali telah menghasilkan 300 karya. Beliau mulai mengarang Ketika umur 25 tahun,
sewaktu masih di Naisabur. Ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dan setiap
tahunnya beliau menghasilkan 10 kitab besar dan kecil. Berikut karya al-Imam Ghozali ;
1.) Bidang Fiqih dan Ushul Fiqih
a.) Al-Basith fii al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Imam al-Haromain;
b.) Al-Wasith al-Muhith bi Itqar al-Basith;
c.) Al-Wajiz fii al-Furu’;
d.) Asrar al-Hajj, dalam fiqih syafi’I;
e.) Al-Musthafa fii ‘ilm ushul;
f.) Al-Mankhul fii ‘ilm al Ushul;
2.) Bidang Tafsir
a.) Jawahir al-Qur’an;
b.) Yaqut al-Ta’wil fii Tafsir al-Tanzil;
3.) Bidang Aqidah
a.) Al-Iqthishad fii Al-I’tiqod, terbit di Mesir;
b.) Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fii al-masail al-Ukhrawiyyah;
c.) Iljamu al-Awam’an ‘ilm Kalam;
d.) ‘Aqidah Ahl as Sunnah;
e.) Al-Qitash al-Mustaqim;
4.) Bidang Filsafat dan logika
a.) Misykah al-anwar;
b.) Tahafut al-falasifah;
c.) Risalah at-Thair;
d.) Al-muthal fii ‘Ilm Jidal;
5.) Bidang tasawuf
a.) Adab as-Shufiyah;
b.) Ikhya’ Ulumuddin;
c.) Al-Adab fii al Din;
d.) Ayyuhal walad;
e.) Mizan al-Amal;
C. Pemikiran Tauhid

Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dari berbagi aliran, buku-buku


yang berkaitan dengan itu ia kaji dengan kritis, sehingga jelas dasar-dasar akidah yang
dijadikan argumen masing-masing aliran, tak lain tujuannya adalah untuk memelihara aqidah
ahlussunah dan mempertahankan nya dari kaum bid’ah. Seperti aliran Mu’tazilah oleh Washil
bin atho’ yang mendapat pengaruh kuat dari orang-orang yahudi dan nashrani. Mereka aliran
Mu’tazilah untuk mempertahankan pendapat mereka para tokoh aliran ini dengan tekun
mempelajari Filsafat Yunani. Beliau al-Ghazali berusaha mengembalikan Aqidah umat islam
kepada aqidah yang dianut dan diajarkan oleh Rasulullah SAW, sehingga al-Ghazali
mendapat julukan Mujaddid al-Khamis(pembaru ke lima)dalam islam.
Al-Ghazali berkata sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibn Rusn :
“Aku tidak ragu atas keberhasilan mutakallimin dalam mengadakan pembaharuan yang hanya
dapat diterima oleh sebagian kelompok. Tetapi perlu diingat, bahwa keberhasilan itu sudah
sedemikian kaburnya dan telah bercampur aduk dengan taqlid”.
Sikap al-Ghazali mampu menengahi literalisme tradisional (para pengikut Hanbali) dan
liberalisme rasional (para pengikut Mu’tazilah).

Tauhid Menurut Imam Al-Ghazali


Tauhid mengajarkan manusia bahwa Tuhan itu satu. Dalam hal ini berarti mengharuskan
manusia harus memiliki dan memahami bahwa Allah sajalah Tuhan pencipta segala sesuatu,
tidak ada yang serupa dengannya, dan hanya kepada Allah segalanya kembali.

Tingkatan Tauhid Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ikhya’ Ulumuddin :


1. Tingkatan pertama, Seorang mengucapkan Laa Ilaha illallah dengan lisannya, namun
hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang
munafiq.
2. Tingkatan kedua, seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya
sebagaimana umumnya kaum muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-
orang awam.
3. Tingkatan ketiga, Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf
(penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allah ‘Azza Wa Jall. Ini adalah tingkatan
muqorrobin (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu dengan melihat benda-
benda yang banyak, disertai dengan semuanya itu muncul dari suatu zat yang maha
mulia.
Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena tidak
menyaksikannya kecuali (bersumber) dari perbuatan satu dzat dan tidak melihat satu pun
perbuatan secara hakiki (bersumber) dari yang satu.
4. Tingkatan keempat, Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu
hakikatnya adalah satu. Ini yang disaksikan oleh Shiddiqin. Para pengikut tasawuf
menamainya dengan fana (melebur) dalam tauhid. Dan ini puncak tertinggi dalam
Tauhid.
Ketika al-Ghazali menyebutkan tingkat ke empat dari tauhid tersebut beliau
mengatakan “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seorang tidak melihat
kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi seluruh benda yang dapat dijangkau oleh
panca indera dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak
tersebut sebagai sesuatu yang satu.
Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang
mengherankan , dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang ‘alim (berilmu)
terhadap syariat Allah, beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan “Hal itu
seperti pada setiap insan , ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari runya,jasadnya,
anggota badanya, urat-uratnya, tulang-tulangnya dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari
sisi lainnya, Ia bisa juga bisa dikatakan sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang
melihat orang lain, namun tidak terlintas didalam benaknya tentang banyaknya usus orang
itu, urat-uratnya ,anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya demikian pula anggota
tubuh nya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ad aini dari sang Khaliq (Zat
yang maha pencipta) dan seluruh makhluk ciptaannya memiliki sisi penyaksian yang
berbeda-beda dan beraneka ragam. Maka ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa
dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang banyak ,sebagiannya lebih banyak lagi dari Sebagian yang lain. Al-Ghazali
dalam pernyataannya tadi memberi isyarat bahwa untuk sampai pada tauhid sebenarnya
membutuhkan proses yang sulit seperti dalam Al-qur’an :

َ‫ب ٱلنَّاسُ أَن يُ ْت َر ُك ٓو ۟ا أَن يَقُولُ ٓو ۟ا َءا َمنَّا َوهُ ْم اَل يُ ْفتَنُون‬
َ ‫أَ َح ِس‬

“Apakah Manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami
telah beriman,” dan mereka tidak diuji. (Q.S.Al-Ankabut:2)”

Tauhid Harus terus dilakukan secara terus menerus sampai menemukan hakikat Tauhid
yang sebenarnya yaitu tidak ada yang wujud selain Allah. Dan hal ini hanya bisa
dilakukan jika seseorang telah mencapai fana(melebur) dirinya kedalam kekuasaan-Nya.

Kesimpulan :

Tauhid mengajarkan manusia bahwa Tuhan itu satu. Dalam hal ini berarti mengharuskan
manusia harus memiliki dan memahami bahwa Allah sajalah Tuhan pencipta segala sesuatu,
tidak ada yang serupa dengannya, dan hanya kepada Allah segalanya kembali.

Tingkatan Tauhid Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ikhya’ Ulumuddin :


- Tingkatan pertama, Seorang mengucapkan Laa Ilaha illallah dengan lisannya, namun
hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafiq.
- Tingkatan kedua, seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya
sebagaimana umumnya kaum muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-
orang awam.
- Tingkatan ketiga, Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf
(penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allah ‘Azza Wa Jall. Ini adalah tingkatan
muqorrobin (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu dengan melihat benda-
benda yang banyak, disertai dengan semuanya itu muncul dari suatu zat yang maha mulia.
- Tingkatan keempat, Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu
hakikatnya adalah satu. Ini yang disaksikan oleh Shiddiqin. Para pengikut tasawuf
menamainya dengan fana (melebur) dalam tauhid. Dan ini puncak tertinggi dalam Tauhid.
- Tauhid Harus terus dilakukan secara terus menerus sampai menemukan hakikat Tauhid
yang sebenarnya yaitu tidak ada yang wujud selain Allah. Dan hal ini hanya bisa
dilakukan jika seseorang telah mencapai fana(melebur) dirinya kedalam kekuasaan-Nya.
Daftar Pustaka

Ulfiyani. Model Pendidikan Tauhid Studi Komparasi Pemikiran al-Ghozali dan syed M.
Naquib al-Attas. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidyatullah, 2018.

http://www.digilib.uinsby.ac.id. Diakses 3 Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai