Anda di halaman 1dari 14

URGENSI AKTA NIKAH DALAM PERNIKAHAN ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Fikih Munakahat dan
Mawaris
Dosen Pengampu Maulidi Al-Hasani, MA.
Kelas: 4 PAI A

Disusun oleh :
Durotul Iqomatin Nimah (19101609)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYYAH
INSTITUT ILMU AL QUR’AN AN NUR
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan kenikmatan yang tiada terhingga terutama nikmat iman, nikmat
islam dan nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Fikih
Munakahat dan Mawaris dengan judul “Urgensi Akta Nikah dalam Pernikahan Islam”
ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Kami ucapkan terimakasih kepada semua
pihak terutama kepada Bapak Maulidi Al-Hasany, M.A.. selaku dosen pengampu Fikih
Munakahat dan Mawaris ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, dapat menambah wawasan dan
pengetahuan serta memberikan kontribusi positif dan bermakna untuk kita. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu kami mengharap dan menerima kritik serta saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bantul, 30 Juli 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................4
C. Tujuan.................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Konsep Akta Nikah Menurut Hukum Islam.......................................................5
B. Fungsi dan Manfaat Akta Nikah dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam.....8
BAB III............................................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................................13
Kesimpulan..................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi umat Islam, perkawinan sudah dinyatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum perkawinan Islam. Suatu akad perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat
perkawinan, yaitu adanya calon mempelai wanita dan laki-laki, wali, dua orang saksi
dan ijab qobul. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan haruslah dicatat. Pencatatan perkawinan ini akan dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah yang kemudian diberi akta nikah sebagai bukti adanya perkawinan.
Namun tampaknya sebagian masyarakat muslim masih ada yang belum
memahami pentingnya pencatatan pernikahan dan aktanya. Menurut pemahaman
masyarakat yang seperti ini, perkawinan telah cukup jika syarat dan rukunnya sudah
terpenuhi, tanpa pembuatan akta. Padahal hal ini cukup bermasalah jika terdapat oknum
yang memanfaatkan peluang seperti ini untuk mencari keuntungan pribadi tanpa
memikirkan keadilan sebuah pernikahan, seperti poligami tanpa izin istri pertama
ataupun Pengadilan Agama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep pencatatan perkawinan dan aktanya menurut hukum
Islam?
2. Bagaimanakah fungsi dan manfaat pencatatan perkawinan dan aktanya
dalam perkawinan menurut hukum Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep akta nikah menurut hukum Islam.
2. Untuk menggetahui fungsi dan manfaat akta nikah dalam perkawinan
menurut hukum Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Akta Nikah Menurut Hukum Islam


Akta menurut Kamus Hukum Kontemporer berarti surat tanda pengesahan
atau pengakuan (tentang kelahiran, kepemilikan, dan sebagainya). 1 Akta merupakan
suatu tulisan yang dibuat untuk dijadikan sebagai bukti tentang suatu peristiwa yang
sudah ditandatangani oleh pembuatnya. Akta perkawinan ini adalah produk tindakan
administrasi negara yang berupa penetapan yang merupakan bukti tertulis
keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum, tidak ada
larangan pernikahan antara keduanya dan telah memenuhi syarat dan rukun
pernikahan.
Akta nikah atau akta perkawinan merupakan dokumen atau daftar yang di
dalamnya memuat peristiwa perkawinan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan dalam Kantor Urusan Agama (KUA). Pencatatan pernikahan yang
dimaksud di sini adalah setiap pernikahan yang dilangsungkan di bawah
pengawasan serta dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, agar pernikahan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.2
Pencatatan perkawinan terkuak dalam Undang Undang Perkawinan yang
terkuak pada Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Khusus bagi yang beragama Islam
pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintahan
Nomor 9 Tahun 1975, sedangkan mengenai Pencatatan Perkawinan yang
dibuktikan dengan Akta Nikah diatur dalam pasal 11 s.d 13 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, selanjutnya lebih rinci lagi diatur dalam kompilasi Hukum
Islam Buku I, Bab II, Pasal 5 s.d 7 ayat (1), sebagai berikut:

1
M. Arif Ulumudin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fungsi Akta Nikah, skripsi Fakultas
Syariah IAIN Metro Lampung , hal. 11
2
Nunung Rodiyah, Pencatatan Pernikahan dan Akta Nikah sebagai Legalitas Pernikahan
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Pranata Hukum, Volume 8 Nomor 1 Januari 2013, Universitas
Lampung hal. 26
Pasal 5:
1) Agar terjaminnya ketertiban pernikahan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
2) Pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 32 ahun 1954.
Pasal 6:
1) Memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilakukan dan
diadakan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7:
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dimuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.3
Pencatatan Perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam
keluarga. Selain itu, pencatattan perkawinan dan pembuatan akta merupakan upaya
perlindungan terhadap istri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga
seperti hak waris dan lain-lain. Pencatatan perkawinan dan aktanya ini ditentukan
dalam Al-Qur’an, kaidah hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan tersebut dalam Al-Qur’an ditegaskan pada Q.S. Al-Baqoroh (2):
282, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).

3
Ibid, hal.27
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”4
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwasannya pencatatan lebih
didahulukan daripada kesaksian, yang di dalam perkawinan menjadi salah satu
rukun perkawinan. Dalam kaitannya dengan upaya pemerintah yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikan dengan akta pernikahan adalah
sumber dari ijtihad yang telah dilakukan oleh para ahli hukum Islam dengan tetap
berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis. Salah satu metode Ijtihad yang digunakan
adalah metode istilah dan Maslahat Mursalah. 5 Hal ini disebabkan perintah adanya
pencatatan perkawinan dan aktanya, kandungan maslahatnya sejalan dengan syara’
yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Islam sendiri memerintahkan agar pernikahan dilakukan secara terbuka dan
tidak ditutup-tutupi. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah yang dijelaskan tadi dapat
dipahami bahwa pencatatan merupakan bukti tertulis. Meskipun perintah pencatatan
pada ayat tersebut adalah terkait dengan perikatan yang bersifat umum, namun
berlaku juga untuk masalah pernikahan. Dengan pertimbangan ini, maka persyaratan
kewajiban mencatatkan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah dalam UU
Perkawinan untuk kepentingan bersama tujuannya untuk menjaga kemaslahatan
rakyatnya adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan
4
Q.S. Al-Baqarah (2): 282, Qur’an in Ms Word.
5
Nunung Rodiyah, Pencatatan Pernikahan dan Akta Nikah.., hal. 27
sangat dianjurkan karena akan membawa manfaat kepada semua pihak terutama
pada pihak kedua pasangan dan keturunannya nanti.

B. Fungsi dan Manfaat Akta Nikah dalam Perkawinan Menurut Hukum


Islam

Terkait makna perkawinan, perlu dipahami dalam pasal 1 UU Perkawinan


bahwasannya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
merupakan hal penting dalam kehidupan setiap manusia. Sesuatu yang penting
biasanya akan diabadikan melalui tulisan atau gambar sebagai bukti atas
pelaksanaan telah diadakannya peristiwa tersebut. Dalam hal ini cara
pembuktiannya yaitu melalui pencatatan perkawinan yang berbentuk akta nikah.
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) pada tahun 2012, 25
persen masyarakat di Indonesia melakukan perkawinan siri dan secara adat, serta
tidak melakukan pencatat perkawinan.6 Namun pada saat yang terjadi adalah
naiknya angka perkawinan yang juga diimbangi dengan naiknya angka perceraian.
Hal ini terbukti bahwa banyak usia pernikahan yang tidak bertahan lama. Dari hal
ini juga menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan sesuatu hal yang
penting dan tidak dapat dikesampingkan karena hal ini menyangkut kepentingan
orang banyak. Jadi pencatatan bukan merupakan persyaratan administratif semata,
akan tetapi merupakan upaya untuk semua pihak agar tercipta suatu keadilan yang
tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
Perkawinan yang tidak dicatatkan akan menimbulkan kerugian bagi pihak-
pihak tertentu. Akibat yang ditimbulkan karena tidak tercatatnya pernikahan dalam
negara di antaranya7: Pertama, pasangan suami istri tersebut tidak memiliki bukti

6
Dyah Ochtorina Susanti dan Siti Nur Shoimah, Urgensi Pencatatan Perkawinan (Prespektif
Utilities), Jurnal, Rechtidee, Vol.11. No. 2, Desember 2016, hal. 174
7
Ibid, hal.176
otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya,
dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum. Terkait itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi
oleh hukum, dan bahkan dianggap tidak pernah ada. Negara tidak dapat memberikan
perlindungan mengenai status perkawinan, harta waris, dan hak-hak lain yang
timbul dari perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak istri harus
dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara istri dengan suaminya.
Kedua, pada saat terjadinya wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka
menyebabkan peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka bebas sesuka hati
suami atau istri, tanpa adanya akibat hukum apapun, sehingga hampir semua kasus
berdampak pada wanita yang kemudian akan berakibat buruk kepada anak-anaknya.
Kasus ini seperti adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga,
fenomena kawin kontrak, fenomena istri simpanan, dan termasuk praktik poligami
yang tidak resmi.
Ketiga, akibat dari perkawinan yang tidak dicatat adalah terjadinya
pelanggaran terhadap tujuan hukum Islam yang salah satu tujuannya adalah menjaga
keturunan (jiwa). Pada saat perkawinan tidak dicatat memungkinkan terjadinya
beberapa perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki, maka dapat
dikhawatirkan bahwa keturunan dari perkawinan pertama, kedua, dan seterusnya,
dikemudian hari akan melakukan perkawinan tanpa mengetahui bahwa ayah mereka
sama.
Keempat, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat,
akan mengalami kesulitan dalam mengurus akta kelahiran. Dan pada tataran
selanjutnya anak akan kesulitan dalam hal-hal yang memerlukan dengan pencatatan
kependudukan, seperti mengurus pendaftaran sekolah, mengurus tunjangan
keluarga, dan lain-lain. Pada hukum positif Indonesia, anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat seringkali mengalami kerugian terutama dalam
bidang hak waris.8
Di era hukum tertulis dengan kodifikasi hukum dimana asas legalitas
merupakan ciri utama, mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh

8
Ibid, hal. 178
petugas yang berwenang sebagaimana yang diatur di dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 1
Tahun 1974 serta dalam pasl 5 ayat 1 dan Kompilasi Hukum Islam. Semua undang-
undang perkawinan Islam mengamanatkan arti pentingnya dari pencatatan setiap
perkawinan:
1. Berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga
negara yang melakukan perkawinan.
2. Mempermudah para pihak terkait dalam melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan undang-undang perkawinan di sebuah negara.
3. Mempunyai nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian
pencatatan perkawinan akan turut menentukan sah atau tidaknya sebuah
akad nikah yang dilangsungkan oleh sepasang laki-laki dan perempuan
dalam suatu negara.
4. Dengan asas legalisasi (pencatatan perkawinan) diharapkan bisa menekan
adanya perkawinan di bawah tangan (niksh siri)9
Selanjutnya dalam kompilasi hukum Islam, mengenai urgensi dari
pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam:
Pasal 5 (1): Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
Pasal 6 (1): Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan dibawa pengawasan pegawai pencatat
nikah.
Pasal 6 (2): Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 (1): Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.10
Adapun dalam kaitannya dengan fungsi pencatatan perkawinan dan akta nikah
dalam perkawinan, adalah sebagai berikut:
a. Pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti adanya perkawinan.

9
Shofiyah, Nikah Siri dan Urgensi Pencatatan Perkawinan, Madinah: Jurnal Studi Islam, Vol. 1
No. 2 Desember 2014, hal, 113
10
Ibid, hal. 114
b. Pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai dasar tuntutan perkawinan
dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila perkawinan tersebut
telah dicatat dan dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Kantor Urusan
Agama (KUA) melalui Pegawai Pencatat Nikah.
c. Pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai dasar bukti keabsahan anak.
d. Pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai dasar dan bukti untuk
pencantuman istri dalam gaji suami.
e. Pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagi dasar untuk mengajukan upaya
hukum ke Pengadilan di dalam hal perceraian.11
Tujuan adanya pencatatan perkawinan dan aktanya dalam perkawinan itu sejalan
dengan ketentuan perintah Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 282 yang
menganjurkan untuk mencatat semua hubungan muamalah atau hubungan sesama
manusia, dalam hal ini dengan mengqiyaskan hubungan perkawinan yang hanya dapat
dibuktikan melalui adanya akta nikah yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan atau
kebaikan bagi manusia. Kemudian manfaat pencatatan perkawinan adalah:
a. Menghilangkan rasa khawatir terutama bagi istri, tentang status perkawinan.
b. Mempermudah suami dan istri dalam mengurus masalah surat-menyurat yang
berhubungan dengan pemerintah.
c. Pembuktian secara tertulis tentang perkawinannya jika sewaktu-waktu terdapat
permasalahan tentang status perkawinannya di dalam masyarakat.
d. Menentukan status hukum seseorang sebagai syarat untuk:
1) Mengurus akta kelahiran
2) Mengurus pengakuan dan pengesahan anak
3) Mengurus pengangkatan anak
4) Mengurus kartu keluarga baru
5) Mengurus penatapan ahli waris
6) Mengurus klaim asuransi
7) Mengurus kewarganegaraan.12
Dari fungsi dan manfaat dari pencatatan pernikahan dan akta nikah
tersebut terlihat bahwa betapa pentingnya akta nikah. Akta nikah bukanlah hal
11
Nunung Rodiyah, Pencatatan Pernikahan.., hal. 30-31
12
M. Arif Ulumudin, Tinjauan Hukum Islam.., hal. 18
biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti yang disebutkan dalam
Q.S. Al-Baqarah (2): 282. Sehingga ketika akad hutang piutang atau hubungan
kerja yang lain harus dicatatkan, maka semestinya akad nikah yang merupakan
perjanjian kuat, luhur dan mempunyai tujuan yang jelas dan mulia serta sakral
mestinya lebih utama lagi untuk dicatatkan.
M. Quraish Shihab juga mengemukakan pendapat bahwa perkawinan
yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan
karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Bagi pemeluk agama
Islam, jika tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah,
dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah)
kepada Pengadilan Agama sebagaimana telah diatur dalam pasal 7 KHI.
Pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian)
hanya dimungkinkan, jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat
berwenang.
Isbat nikah yang dapat diajukan kepada Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelenggaraan perceraian;
2) Hilangnya akta nikah;
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah stu syarat perkawinan;
4) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.13
Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami atas
istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan atas pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.

13
Nunung Rodiyah, Pencatatan Pernikahan.., hal. 32
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pencatatan perkawinan merupakan sesuatu yang urgent di zaman sekarang ini.


Banyaknya kasus penelantaran anak, perceraian, pernikahan kontrak, salah satunya
disebabkan karena tidak dicatatkannya perkawinan. Mengatasi hal ini, pemerintah telah
memberikan solusi hukum yang terdapat pada pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 Tentang
Pencatatan Nikah Talak, dan Rujuk.
Kompilasi Hukum Islam, sebagai upaya perlindungan dari negara terhadap
masyarakat. Manfaat yang timbul karena adanya pencatatan perkawinan, di antaranya:
1) Terjamin kepastian hukum status suami atau istri serta anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut; 2) Terjamin kelangsungan (proses) pengurusan akta kelahiran
bagi anak, dengan mencantumkan nama kedua orang tua secara lengkap; 3) Terjamin
hak-hak waris dari suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Diharapkan pada masyarakat untuk kedepannya agar lebih
memahami arti penting pencatatan perkawinan yang mampu memberikan perlindungan
dan kepastian hukum bagi para pihak yang terkait di dalam perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA

Ulumudin, M. Arif. 2019. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fungsi Akta Nikah. Skripsi
Fakultas Syariah IAIN Metro Lampung.
Rodiyah, Nunung. Januari 2013. Pencatatan Pernikahan dan Akta Nikah sebagai
Legalitas Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Pranata Hukum.
Volume 8 Nomor 1. Universitas Lampung.
Susanti, Dyah Ochtorina dan Siti Nur Shoimah. Desember 2016. Urgensi Pencatatan
Perkawinan (Prespektif Utilities). Jurnal Rechtidee Vol.11. No. 2.
Shofiyah. Desember 2014. Nikah Siri dan Urgensi Pencatatan Perkawinan. Madinah:
Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 .

Anda mungkin juga menyukai