PENCATATAN PERKAWINAN
Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Perbandingan Munakahat
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Ardi Himawan Admaja (12120112135)
Ibnu Mas’ud (12120110668)
Yulanda Putra Handika (12020117375)
1445 H/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Pencatatan Perkawinan..
Adapun tujuan dan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Kemas Muhammad Gemilang, S.HI., MH, pada mata kuliah Fikih
Perbandingan Munakahat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga para penulis.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi yang
berguna bagi para pembacanya, baik bagi teman-teman mahasiswa maupun
masyarakat pada umumnya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Penulis
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan ...........................................................................................................3
A. Kesimpulan .................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dewasa ini. Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan
berlaku.
undangan yang berlaku. Bila kedua ayat dalam Pasal 2 UU 1/1974 dihubungkan
1
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1
2
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses
Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara (Bandung:
Mizan, 1997), h. 91-96
1
satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan
bagian integral yang menentukan pula kesahan suatu perkawinan, selain mengikuti
aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.
perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi
jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan
yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak
mendapat kepastian hukum.3 Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan
memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para
3
Marbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan Dituntut oleh
Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dakwah Agama Islam,
(Banjarmasin: Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan, 1977/1978), h. 8
4
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978), h. 16
2
hukum.5 Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan, maka perkawinan yang
dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai
suatu perkawinan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
5
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2012), h. 142
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dari perspektif Fikih sebagai salah satu sumber Hukum Islam, bahwa ada
beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak
diberi perhatian yang serius oleh Fikih walaupun ada ayat Al-Quran yang
menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama,
larangan untuk menulis sesuatu selain Al-Quran. Akibatnya kultur tulis tidak begitu
berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari
yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya
mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk
dilakukan. Ketiga, transaksi walimat al-urusy walaupun dengan seekor kambing
merupakan saksi di samping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada
kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi
antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu
berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu wilayah yang
sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.6
6
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai
Kompilasi Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PrenadaMedia, 2019), h. 97
4
Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus
belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.
Walaupun demikian, pada masa awal Islam, sudah ada tradisi i`lan al nikah
(mengumumkan suatu perkawinan di tengah masyarakat setempat). Praktek i`lan
al nikah pada masa awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan
sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadits yang
menyatakan demikian, diantaranya : Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa
Rasulullah SAW bersabda : "Umumkanlah pernikahan itu".
َ َ َ َ ُ َْ
النكاح
ِ أع ِلنوا هذا: قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: عن عائشة قالت
ُ ُّ ََْ ُ ْ َ ْ ُ اج َع ُل
ْ َ
. وف َ وه في ال َم
ِ اج ِد واض ِربوا علي ِه ِبالدف
ِ س ِ و
Salah satu bentuk i’lan al-nikah adalah walimah al’urusy (resepsi pernikahan.
Dalam sebuah hadits. Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya,
walaupun secara sederhana :
َ
َ ََْ ْ ْ
.ـاة
ٍ أو ِلم ولو ِبش: قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم
5
sebelumnya, bahwa tradisi walimah al `urusy yang merupakan salah satu bentuk
i`lan al nikah dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, di
samping adanya saksi syar`i.
Lebih lanjut, terkait dengan hal ini, menurut Atho` Mudzhar dalam bukunya
Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, pencatatan perkawinan
yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan
pernikahan (i`lan al nikah). Lebih jauh lagi, menurutnya, pencatatan perkawinan
ini dianggap lebih maslahat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.7
7
M. Atho’ Mudzar, “Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) h. 135
8
Abu Yazid Adnan Quthny, dkk, Pencatatan Pernikahan Perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam, vol. 8, No. 1, (2022),
h. 28.
6
masif di masyarakat. Banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari
perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah.9
Dari sini tampak jelas bahwa negara tidak tegas dengan aturan yang ada.
Penjelasan tersebut juga menunjukkan pelanggaran terhadap pelanggaran
pencatatan perkawinan tidak mengakibatkan tidak sahnya perkawinan.
9
Itsnatul Lathifah, “Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat Indonesia
terhadap Pencatatan Perkawinan”, Al-Mazahib, Vol.3, No.1, (2015), h. 47-48
7
perkawinan. Ketiga, apabila isi Pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (Pasal 13 s/d
21) dan ba IV (Pasal 22 s/d 28) UU No.1 Tahun 1974, bahwa pencegahan dan
batalnya perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur pendaftaran atau
pencatatannya ditempuh sebagaimana diatur oleh PP No.9 Tahun 1974.10
10
Itsnatul Lathifah , Ibid, h.50
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern, Jurnal Bimas
Islam Vol.9. No.II, (2016), h. 274
12
Ahmad Tholabi Kharlie , Ibid, h. 274-275
8
Jika dicermati, peraturan yang mengharuskan pencatatan perkawinan di
Malaysia berfungsi sebagai syarat administrasi, dan tidak ada kaitannya dengan sah
atau tidaknya akad nikah.
2. Brunei Darussalam
(1) Dalam jangka waktu 7 hari setelah melakukan akad nikah para pihak
diharuskan melapor perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau
wali.
(2) Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan sudah
terpenuhi sebelum melakukan pencatatan.
3. Singapura
13
Tahir Mahmood, Family Law Reform in Thge Muslim World (New Delhi: The Indian
Law Institute, 1972, h. 207
9
yang melanggar ketentuan ini dapat dikenakan sanksi yang sama atau penjara 6
bulan (pasal 133).14
4. Filipina
5. Lebanon
6. Pakistan
“Setiap pekawinan dalam lingkup hukum Islam harus dicatatkan sesuai dengan
peraturan yang berlaku”.
14
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 275
15
Ahmad Tholabi Kharlie, Ibid, h. 276
16
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.
17
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 258
18
Tahir Mahmood, Loc.Cit.
10
“Untuk tujuan pencatatan perkawinan menurut ordonansi ini, Majelis Keluarga
(The Union Council) akan memberikan surat izin kepada seseorang atau beberapa
orang, yang disebut sebagai Pegawai Pencatat Nikah (Nikâh Registrar), tetapi
dalam suatu kasus tidak diizinkan lebih dari satu orang Pencatat Nikah untuk satu
daerah tertentu.”
Pada ayat (3), dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang tidak dilaksanakan
oleh Petugas Pencatat Nikah harus dilaporkan kepada pegawai tersebut oleh orang
yang melangsungkan perkawinan tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (pelanggaran). Lebih jelas dapat
dikemukakan seksi 5 ayat (3)19:
“Setiap perkawinan yang tidak dihadiri oleh Petugas Pencatat Nikah, yang
dimaksudkan untuk dicatatkan berdasarkan ordonansi ini, maka yang
bersangkutan harus melaporkan peristiwa tersebut kepada petugas.”
Dalam seksi ini juga dijelaskan, bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan
tidaklah dianggap batal, tetap sah. Hanya saja, pihak-pihak yang berakad dan saksi-
saksi yang melanggar ketentuan tersebut mendapat sanksi karena tidak mencatatkan
perkawinan tersebut.
Secara tegas pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tertera dalam ayat (4)
seksi 5 menjelaskan bahwa20:
19
Tahir Mahmood, Loc.Cit.
20
Tahir Mahmood, Loc.Cit.
11
“Barang siapa yang tidak mengindahkan ketentuan dalam ayat (3) akan dihukum
dengan kurungan penjara ringan paling lama tiga bulan, atau denda setinggi-
tingginya seribu rupee, atau dengan kedua-duanya.”
Ketentuan hukum dengan memberikan sanksi seperti itu sama sekali tidak
bertentangan dengan asas-asas pemikiran pidana Islam yang justru memberi hak
kepada penguasa untuk memberikan takzir bila diperlukan guna mempertahankan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh Syarak.
7. Yordania
8. Mesir
21
Supani, Pencatatan Perkawinan Dalam Teks Perundang-Undangan Perkawinan Di
Beberapa Negara Islam Perspektif Ushul Fiqh, Al-Manahij, Jurnal Kajian Hukum Islam, vol. 5, No.
1, (2011), h. 86
12
sebuah perundang-undangan. Ditegaskan dalam UU ini, bahwa pemberitahuan
suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hanya
saja, pembuktian ini boleh (cukup) dengan oral yang diketahui secara umum oleh
para pihak yang berperkara. Ketentuan ini kemudian diperluas dalam perundang-
undangan tahun 1909-1910, dan diubah tahun 1913, dimana pada pasal 101
disebutkan, perdebatan seputar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah
satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang
meyakinkan kebenarannya.
9. Libya
10. Yaman
22
Supani, Loc.Cit.
23
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 279
13
Pasal 14 Undang-undang Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 mengharuskan
pencatatan perkawinan. Mereka yang tidak mencatatkannya, paling lambat 7 hari
setelah dilangsungkannya akad nikah, dapat diancam dengan sanksi penjara.24
11. Aljazair
12. Tunisia
13. Maroko
24
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 279
25
Supani, Op.Cit., h. 87
26
Supani, Loc.Cit.
14
dan salinan bagi suami, selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Hal ini diatur
dalam The Code of Personal Status Tahun 1957/1958, pasal 42 ayat (6)27
14. Syiria
Aturan menarik dapat ditemukan dalam UU Syiria No. 34 Tahun 1975 pasal
40 ayat (1), yang menetapkan formulir perkawinan harus disampaikan kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan, yang salah satu aspek dari formulir tersebut adalah
keterangan dari dokter bahwa yang bersangkutan tidak sedang mengidap penyakit
menular. Selanjutnya, perkawinan harus dilakukan di pengadilan, meskipun
dimungkinkan terjadinya perkawinan di luar pengadilan28
15. Irak
27
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 280
28
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.
29
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
17