Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENCATATAN PERKAWINAN

Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Perbandingan Munakahat

Dosen Pengampu :

Kemas Muhammad Gemilang, S.HI., MH

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Ardi Himawan Admaja (12120112135)
Ibnu Mas’ud (12120110668)
Yulanda Putra Handika (12020117375)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (S1)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1445 H/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Puji syukur kehadiran Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Pencatatan Perkawinan..

Adapun tujuan dan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Kemas Muhammad Gemilang, S.HI., MH, pada mata kuliah Fikih
Perbandingan Munakahat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga para penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak, selaku dosen mata kuliah


Fikih Perbandingan Munakahat yang telah memberikan tugas ini sehingga kami
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi yang
berguna bagi para pembacanya, baik bagi teman-teman mahasiswa maupun
masyarakat pada umumnya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pekanbaru, 15 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................3

C. Tujuan ...........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................4

A. Pencatatan Perkawinan Dalam Islam ............................................................4

B. Pencatatan Perkawinan Di Indonesia ............................................................6

C. Pencatatan Perkawinan Di Berbagai Negara Muslim ...................................8

BAB III PENUTUP ...............................................................................................16

A. Kesimpulan .................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak awal

dibentuknya Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) tahun 19731 yang

menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019; untuk selanjutnya disebut UU 1/1974) hingga

dewasa ini. Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan

perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.2 Ketentuan

pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU 1/1974 yang menyatakan:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing

agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dari ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 jelas, setiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap perkawinan

harus diikuti dengan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Bila kedua ayat dalam Pasal 2 UU 1/1974 dihubungkan

1
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1
2
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses
Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara (Bandung:
Mizan, 1997), h. 91-96

1
satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan

bagian integral yang menentukan pula kesahan suatu perkawinan, selain mengikuti

ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu.

Sementara lainnya berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan

syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya sebagai syarat kelengkapan

administrasi perkawinan. Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan

aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.

Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu

perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa

perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi

jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan

yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak

mendapat kepastian hukum.3 Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan

tidak dicatat itu.4

Tujuan pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan

perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga

memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para

pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan

3
Marbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan Dituntut oleh
Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dakwah Agama Islam,
(Banjarmasin: Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan, 1977/1978), h. 8
4
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978), h. 16

2
hukum.5 Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan, maka perkawinan yang

dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai

suatu perkawinan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pencatatan Perkawinan Dalam Islam?


2. Bagaimana Pencatatan Perkawinan Di Indonesia?
3. Bagaimana Pencatatan Perkawinan Di Negara Muslim Dunia?

C. Tujuan

1. Mengetahui pencatatan perkawinan dalam Islam.


2. Mengetahui pencatatan perkawinan di Indonesia.
3. Mengetahui pencatatan perkawinan di berbagai negara muslim dunia.

5
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2012), h. 142

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pencatatan Perkawinan Dalam Islam

Pada dasarnya, konsep pencatatan perkawinan merupakan suatu bentuk


pembaruan yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam. Hal ini
disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al
Qur`an dan sunnah. Pada zaman Rasullullah SAW, kewajiban untuk mencatatkan
pernikahan memang tidak ada. Semua itu dikarenakan belum terbentuknya
infrastruktur pemerintahan yang lengkap seperti sekarang ini. Atas dasar inilah,
para ulama fiqh juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan
perkawinan.

Dari perspektif Fikih sebagai salah satu sumber Hukum Islam, bahwa ada
beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak
diberi perhatian yang serius oleh Fikih walaupun ada ayat Al-Quran yang
menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama,
larangan untuk menulis sesuatu selain Al-Quran. Akibatnya kultur tulis tidak begitu
berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari
yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya
mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk
dilakukan. Ketiga, transaksi walimat al-urusy walaupun dengan seekor kambing
merupakan saksi di samping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada
kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi
antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu
berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu wilayah yang
sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.6

6
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai
Kompilasi Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PrenadaMedia, 2019), h. 97

4
Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus
belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.

Walaupun demikian, pada masa awal Islam, sudah ada tradisi i`lan al nikah
(mengumumkan suatu perkawinan di tengah masyarakat setempat). Praktek i`lan
al nikah pada masa awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan
sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadits yang
menyatakan demikian, diantaranya : Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa
Rasulullah SAW bersabda : "Umumkanlah pernikahan itu".

Dalam hadits lain dinyatakan :

َ َ َ َ ُ َْ
‫النكاح‬
ِ ‫ أع ِلنوا هذا‬: ‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬: ‫عن عائشة قالت‬
ُ ُّ ََْ ُ ْ َ ْ ُ ‫اج َع ُل‬
ْ َ
. ‫وف‬ َ ‫وه في ال َم‬
ِ ‫اج ِد واض ِربوا علي ِه ِبالدف‬
ِ ‫س‬ ِ ‫و‬

Artinya : “Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Umumkanlah


pernikahan itu dan jadikanlah tempat mengumumkannya di masjid-masjid dan
tabuhlah rebana-rebana”

Salah satu bentuk i’lan al-nikah adalah walimah al’urusy (resepsi pernikahan.
Dalam sebuah hadits. Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya,
walaupun secara sederhana :
َ
َ ََْ ْ ْ
.‫ـاة‬
ٍ ‫ أو ِلم ولو ِبش‬: ‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬

Artinya: Rasulullah SAW bersabda : “Adakanlah walimah walaupun hanya


dengan seekor kambing”

Dari beberapa hadits yang telah dikemukakan, terlihat bahwa walaupun


pencatatan perkawinan belum dilakukan pada masa itu, namun, spirit dan substansi
yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan telah dimanifestasikan, meskipun
dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana yang telah dikemukakan

5
sebelumnya, bahwa tradisi walimah al `urusy yang merupakan salah satu bentuk
i`lan al nikah dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, di
samping adanya saksi syar`i.

Lebih lanjut, terkait dengan hal ini, menurut Atho` Mudzhar dalam bukunya
Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, pencatatan perkawinan
yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan
pernikahan (i`lan al nikah). Lebih jauh lagi, menurutnya, pencatatan perkawinan
ini dianggap lebih maslahat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.7

B. Pencatatan Perkawinan Di Indonesia

Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa hukum


lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan
yang telah disediakan. Di Indonesia, ketentuan tentang pencatatan perkawinan
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
yang berbunyi:

“(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaan itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”8.

Pasal 2 menjelaskan tentang sahnya pernikahan harus dilakukan sesuai


keyakinan masing-masing dan pasal kedua menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan
harus dicatatkan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memiliki alasan tersendiri.


Undang-Undang ini merupakan respons dari masalah sosial yang terjadi di
masyarakat. Banyaknya praktik perkawinan di bawah tangan (pernikahan yang
tidak dicatatkan) atau pernikahan siri ternyata menimbulkan permasalahan yang

7
M. Atho’ Mudzar, “Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) h. 135
8
Abu Yazid Adnan Quthny, dkk, Pencatatan Pernikahan Perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam, vol. 8, No. 1, (2022),
h. 28.

6
masif di masyarakat. Banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari
perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah.9

Akan tetapi sayangnya, aturan tentang keharusan melakukan pencatatan


perkawinan tidak disertai dengan sanksi yang bisa membuat pihak yang melanggar
peraturan itu menjadi jera. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan
sebagai pelaksanaan tata cara perkawinan, yaitu PP No. 9 Tahun 1975, khususnya
pasal 45, disebutkan bahwa hukuman terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan
hanya dikenai hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus
rupiah).

Dari sini tampak jelas bahwa negara tidak tegas dengan aturan yang ada.
Penjelasan tersebut juga menunjukkan pelanggaran terhadap pelanggaran
pencatatan perkawinan tidak mengakibatkan tidak sahnya perkawinan.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan


bagian dari syarat sah perkawinan. Mereka ini umumnya adalah para sarjana dan
ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan
hukum perdata, dan ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia, yang dengan adanya
akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan adalah setelah
pendaftaran/pencatatan perkawinan. Terkait dengan hal ini, mereka
mengemukakan berbagai alasan : pertama, keharusan melakukan pencatatan
perkawian didukung oleh praktek hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal
perundang-undangan pelaksanaan UUP (PP No.9 tahun 1975), serta di dukung oleh
jiwa dan hakekat UUP itu sendiri. Keduda, ayat yang terdapat dalam pasal 2 UU
No.1 Tahun 1974 sebagai satu kesatuan. Artinya, perkawinan yang telah memebuhi
syarat kegamaan dan/atau kepercayaannya itu harus segera disusul dengan
pendaftaran atau pencatatan, karena sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 KUH
Perdata dan Pasal 34 Peraturan Perkawinan Kristen Indonesia, Kristen Jawa,
Minahasa dan Ambon bahwa akte perkawinan adalah bukti satu-satunya dari suatu

9
Itsnatul Lathifah, “Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat Indonesia
terhadap Pencatatan Perkawinan”, Al-Mazahib, Vol.3, No.1, (2015), h. 47-48

7
perkawinan. Ketiga, apabila isi Pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (Pasal 13 s/d
21) dan ba IV (Pasal 22 s/d 28) UU No.1 Tahun 1974, bahwa pencegahan dan
batalnya perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur pendaftaran atau
pencatatannya ditempuh sebagaimana diatur oleh PP No.9 Tahun 1974.10

C. Pencatatan Perkawinan Di Berbagai Negara Muslim


1. Malaysia

Sebagaimana halnya di Indonesia, hukum perkawinan negara Malaysia juga


mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Di antara undang-
undang yang mengatur (di samping berbagai perundangan yang sama berdasarkan
wilayah) adalah Undang-undang Pinang tahun 1985 pasal 25 yang berbunyi:11

“Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang bermastautin


dalam Negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap orang yang tinggal di luar
negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulau Pinang hendaklah didaftarkan
mengikuti Enakmen ini.”

Secara prinsipil, proses pencatatan perkawinan dilakukan setelah selesai akad


nikah. Hanya saja dalam tahap operasionalnya proses pencatatan ada tiga jenis. (1)
untuk orang-orang yang tinggal di negara masing-masing pencatatan dilakukan
segera setelah akad, kecuali Kelantan yang menetapkan 7 hari setelah akad nikah;
(2) orang asli Malaysia yang menikah di kedutaan Malaysia di luar negeri sama
dengan yang tinggal di negeri sendiri. Perbedaannya terletak pada petugas yang
melakukan pencatatan; (3) orang Malaysia yang menikah di luar negeri tapi bukan
di kedutaannya, maka rentang waktu pendaftaran adalah enam bulan pasca akad
kepada petugas yang ditunjuk kedutaan. Jika pulang ke Malaysia masih dalam
tenggang waktu tersebut dapat mendaftar di Malaysia.12

10
Itsnatul Lathifah , Ibid, h.50
11
Ahmad Tholabi Kharlie, Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern, Jurnal Bimas
Islam Vol.9. No.II, (2016), h. 274
12
Ahmad Tholabi Kharlie , Ibid, h. 274-275

8
Jika dicermati, peraturan yang mengharuskan pencatatan perkawinan di
Malaysia berfungsi sebagai syarat administrasi, dan tidak ada kaitannya dengan sah
atau tidaknya akad nikah.

2. Brunei Darussalam

Negara Brunei Darussalam juga mengharuskan adanya pendaftaran


(pencatatan) perkawinan, meskipun dilakukan setelah dilangsungkannya akad
nikah. Dan lewat pendaftaran inilah Pegawai Pendaftar memeriksa kelengkapan
administrasi pendaftaran. Hal ini diatur dalam Religious Council and Kadis Courts
pasal 143 ayat (1) dan (2):13

(1) Dalam jangka waktu 7 hari setelah melakukan akad nikah para pihak
diharuskan melapor perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau
wali.
(2) Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan sudah
terpenuhi sebelum melakukan pencatatan.

Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang tidak mendaftarkan perkawinannya,


maka dapat dikenakan sanksi kurungan atau denda. Ketentuan ini diatur dalam pada
pasal 180 ayat (1), “Seorang yang seharusnya tapi tidak melaporkan perkawinan
atau perceraian kepada Pegawai Pencatat adalah satu pelanggaran yang dapat
mengakibatkan dihukum dengan hukuman penjara atau denda $ 200.”

3. Singapura

Sebagaimana halnya Brunei, Singapura menerapkan ketentuan yang


mengharuskan pencatatan perkawinan (pasal 102) dan menganggap tindak
melanggar hukum bagi mereka yang tidak mau mencatatkannya (pasal 130) dan
diancam dengan hukuman denda $ 500. Demikian juga bagi para pihak atau petugas

13
Tahir Mahmood, Family Law Reform in Thge Muslim World (New Delhi: The Indian
Law Institute, 1972, h. 207

9
yang melanggar ketentuan ini dapat dikenakan sanksi yang sama atau penjara 6
bulan (pasal 133).14

4. Filipina

Pasal 81 Code of Muslim Personal Laws of The Philippines Tahun 1977


mengharuskan warga Filipina untuk mencatatkan perkawinan mereka yang
fungsinya sebagai data administrasi.15 Tetapi sejauh ini tidak dijelaskan tentang
status dan akibat hukum bagi perkawinan yang tidak dicatatkan.

5. Lebanon

Dalam undang-undang Lebanon (The Law of The Right of The Family of 16


July 1962) hanya disebutkan, seharusnya pegawai yang berwenang hadir dan
mencatatkan perkawinan (akad nikah).16 Sebaliknya, tidak ada penjelasan tentang
status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai dengan prosedur ini.

6. Pakistan

Pencatatan perkawinan di negara Pakistan merupakan salah satu ketentuan


yang sangat penting dalam pelaksanaan perkawinan, sebagaimana halnya di
Indonesia. Pemerintah Pakistan mewajibkan setiap perkawinan untuk dicatatkan.
Ketentuan mengenai wajibnya pencatatan perkawinan ini termuat dalam Ordonansi
Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (The Muslim Family Laws Ordonance, 1961)
seksi 5 ayat (1)17:

“Setiap pekawinan dalam lingkup hukum Islam harus dicatatkan sesuai dengan
peraturan yang berlaku”.

Selanjutnya dalam seksi 5 ayat (2) dinyatakan18:

14
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 275
15
Ahmad Tholabi Kharlie, Ibid, h. 276
16
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.
17
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 258
18
Tahir Mahmood, Loc.Cit.

10
“Untuk tujuan pencatatan perkawinan menurut ordonansi ini, Majelis Keluarga
(The Union Council) akan memberikan surat izin kepada seseorang atau beberapa
orang, yang disebut sebagai Pegawai Pencatat Nikah (Nikâh Registrar), tetapi
dalam suatu kasus tidak diizinkan lebih dari satu orang Pencatat Nikah untuk satu
daerah tertentu.”

Berdasarkan ketentuan di atas, Majelis Keluargalah yang berhak mencatat


Pegawai Pencatat Nikah yang akan melakukan pencatatan akad nikah, dan majelis
itu memberikan izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang
saja pada setiap daerah tertentu.

Pada ayat (3), dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang tidak dilaksanakan
oleh Petugas Pencatat Nikah harus dilaporkan kepada pegawai tersebut oleh orang
yang melangsungkan perkawinan tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (pelanggaran). Lebih jelas dapat
dikemukakan seksi 5 ayat (3)19:

“Setiap perkawinan yang tidak dihadiri oleh Petugas Pencatat Nikah, yang
dimaksudkan untuk dicatatkan berdasarkan ordonansi ini, maka yang
bersangkutan harus melaporkan peristiwa tersebut kepada petugas.”

Dalam seksi ini juga dijelaskan, bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan
tidaklah dianggap batal, tetap sah. Hanya saja, pihak-pihak yang berakad dan saksi-
saksi yang melanggar ketentuan tersebut mendapat sanksi karena tidak mencatatkan
perkawinan tersebut.

Secara tegas pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tertera dalam ayat (4)
seksi 5 menjelaskan bahwa20:

19
Tahir Mahmood, Loc.Cit.
20
Tahir Mahmood, Loc.Cit.

11
“Barang siapa yang tidak mengindahkan ketentuan dalam ayat (3) akan dihukum
dengan kurungan penjara ringan paling lama tiga bulan, atau denda setinggi-
tingginya seribu rupee, atau dengan kedua-duanya.”

Ketentuan hukum dengan memberikan sanksi seperti itu sama sekali tidak
bertentangan dengan asas-asas pemikiran pidana Islam yang justru memberi hak
kepada penguasa untuk memberikan takzir bila diperlukan guna mempertahankan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh Syarak.

7. Yordania

Di dalam Pasal 17 ayat (a dan b) UU No. 61 Tahun 1976 mengharuskan


adanya pencatatan perkawinan, dan bagi yang melanggar, baik bagi mempelai
maupun pegawai pencatat nikah, akan mendapatkan hukuman. Pasal 17 ayat (a)
menyatakan21 :

"Mempelai laki-laki harus memohon kepada hakim atau wakilnya untuk


mengadakan akad nikah, (b) Akad nikah harus dilakukan Pegawai Nikah yang
bertanggung jawab kepada hakim sesuai dengan catatan (dokumen) resmi. Hakim
mungkin mengambil alih tugas ini untuk kasus-kasus tertentu dan dengan izin
ketua Pengadilan"

Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang


mengadakan upacara perkawinan (kedua mempelai) dan saksi-saksi dapat
dikenakan hukuman berdasarkan “Jordanian Penal Code” dan denda lebih dari 100
dinar.

8. Mesir

Egyptian Code of Organization and Procedure for Syaria Courts of 1897


adalah UU Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun
1897, dimana ketentuan tentang pencatatan perkawinan pertama kali diatur dalam

21
Supani, Pencatatan Perkawinan Dalam Teks Perundang-Undangan Perkawinan Di
Beberapa Negara Islam Perspektif Ushul Fiqh, Al-Manahij, Jurnal Kajian Hukum Islam, vol. 5, No.
1, (2011), h. 86

12
sebuah perundang-undangan. Ditegaskan dalam UU ini, bahwa pemberitahuan
suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hanya
saja, pembuktian ini boleh (cukup) dengan oral yang diketahui secara umum oleh
para pihak yang berperkara. Ketentuan ini kemudian diperluas dalam perundang-
undangan tahun 1909-1910, dan diubah tahun 1913, dimana pada pasal 101
disebutkan, perdebatan seputar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah
satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang
meyakinkan kebenarannya.

Menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengan catatan resmi


pemerintah (official document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang
yang sudah meninggal. Dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan
kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah (official certificate).22

Tampak bahwa persoalan pencatatan perkawinan di Mesir menjadi bagian


penting. Hal ini dapat diamati dari keberadaan bukti resmi pemerintah (akta) dalam
persoalan administrasi perkawinan.

9. Libya

Di negara Libya, ketentuan yang menunjuk adanya keharusan pencatatan


perkawinan terdapat dalam pasal 5 Hukum Nomor 10 Tahun 1984 hal mana secara
khusus berkaitan langsung dengan persoalan perkawinan, perceraian, dan
konsekuensi yang menyertainya23:

“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan dokumen resmi pemerintah atau


pengadilan.”

Ketentuan ini menunjukkan bahwa perkawinan dianggap absah jika


mendapat legitimasi dari pemerintah dan badan peradilan yang berwenang.

10. Yaman

22
Supani, Loc.Cit.
23
Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 279

13
Pasal 14 Undang-undang Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 mengharuskan
pencatatan perkawinan. Mereka yang tidak mencatatkannya, paling lambat 7 hari
setelah dilangsungkannya akad nikah, dapat diancam dengan sanksi penjara.24

11. Aljazair

Sedangkan Al-Jazair hanya menetapkan bahwa akad nikah boleh dilakukan


Setelah mendapat pengesahan dari pegawai berwenang. Dalam perundang-
undangan Al-Jazair tidak ditemukan penjelasan tentang status pencatatan
perkawinan. Pasal 18 UU Al-Jazair No. 84-11 Tahun 1984 menyatakan:

"Akad nikah dilakukan setelah mendapat pengesahan dari pegawai yang


berwenang sesai dengan pasal 9 UU ini"25

Sebaliknya, tidak ada aturan atau penjelasan tentang status pencatatan


perkawinan.

12. Tunisia

Tunisia menetapkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan. dengan catatan


resmi dari pemerintah (official document). Dalam pasal 4 UU Tunisia No. 40 tahun
1957 dinyatakan26:

"Perkawinan seharusnya dibuktikan dengan catatan resmi. Perkawinan yang


dilakukan di luar pengadilan seharusnya dibuktikan dengan cara yang berlaku di
Tunisia, yakni sesuai dengan peraturan tentang akad nikah".

13. Maroko

Maroko mensyaratkan tanda tangan dua notaris untuk absahnya suatu


perkawinan. Selanjutnya, catatan asli harus dibawa ke pengadilan, dan salinannya
dikirim ke Direktoral Pencatatan Sipil. Demikian halnya istri mendapat catatan asli

24
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 279
25
Supani, Op.Cit., h. 87
26
Supani, Loc.Cit.

14
dan salinan bagi suami, selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Hal ini diatur
dalam The Code of Personal Status Tahun 1957/1958, pasal 42 ayat (6)27

Namun UU Maroko tidak menjelaskan status perkawinan tanpa pencatatan


dan ancaman bagi orang yang tidak melakukan pencatatan perkawinan.

14. Syiria

Aturan menarik dapat ditemukan dalam UU Syiria No. 34 Tahun 1975 pasal
40 ayat (1), yang menetapkan formulir perkawinan harus disampaikan kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan, yang salah satu aspek dari formulir tersebut adalah
keterangan dari dokter bahwa yang bersangkutan tidak sedang mengidap penyakit
menular. Selanjutnya, perkawinan harus dilakukan di pengadilan, meskipun
dimungkinkan terjadinya perkawinan di luar pengadilan28

15. Irak

Selaras dengan Syiria, UU Irak pasal 11 ayat (1), di samping mengharuskan


pencatatan, dalam catatan juga harus dilampirkan surat keterangan dokter bahwa
yang bersangkutan tidak sedang mengidap penyakit menular. Bersamaan dengan
itu, sanksi bagi yang melanggar aturan pencatatan dibedakan antara yang sudah
pernah menikah dengan yang belum. Yakni minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun
penjara atau denda minimal 300 dinar dan maksimal 1000 dinar bagi yang belum
pernah menikah. Serta minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun penjara bagi yang
sudah menikah29

Dengan demikian, secara umum undang-undang perkawinan muslim


kontemporer mengharuskan pencatatan perkawinan, kecuali Aljazair yang tidak
mencantumkan aturan tentang pencatatan perkawinan.

27
Ahmad Tholabi Kharlie, Op.Cit., h. 280
28
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.
29
Ahmad Tholabi Kharlie, Loc.Cit.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pencatatan perkawinan merupakan pembaharuan yang terjadi dalam bidang


hukum keluarga Islam. Pencatatan perkawinan dilakukan agar suatu pernikahan
yang dilakukan ada bukti keabsahan seseorang tersebut telah menikah dan juga
mempermudah pemerintah dalam mendata masyarakat. Di indonesia pencatatan
perkawinan di atur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Selain
di Indonesia pencatatan perkawinan dilakukan di berbagai negara muslim lainnya,
sesuai peraturan di setiap negara dan juga merujuk pada kebutuhan masyrakat di
negara muslim tersebut.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan ini adalah


suatu yang serius yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam terutama di
Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

Djubaidah, Neng 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat


Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika)
Kharlie, Ahmad Tholabi, 2016, Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern,
Jurnal Bimas Islam Vol. 9. No. II
Lathifah, Itsnatul, 2015, “Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat
Indonesia terhadap Pencatatan Perkawinan”, Al-Mazahib, Vol. 3, No.1
Mahmood, Tahir, 1972, Family Law Reform in Thge Muslim World (New Delhi:
The Indian Law Institute
Marbuddin, 1977/1978, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan
Dituntut oleh Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan,
Bimbingan dan Dakwah Agama Islam, (Banjarmasin : Kanwil Departemen
Agama Provinsi Kalimantan Selatan)
Mardjono, Hartono, 1997, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks
Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum,
Politik, dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan)
Mudzar, M. Atho’, 1998, “membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan
Liberasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Quthny, Abu Yazid Adnan, dkk, 2022, Pencatatan Pernikahan Perspektif Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Asy-Syari`ah: Jurnal
Hukum Islam, vol. 8, No. 1
Supani, 2011, Pencatatan Perkawinan Dalam Teks Perundang-Undangan
Perkawinan Di Beberapa Negara Islam Perspektif Ushul Fiqh, Al-Manahij,
Jurnal Kajian Hukum Islam, vol. 5, No. 1
Syahrani, Abdurrahman dan Riduan, 1986, Masalah-masalah Hukum Perkawinan
di Indonesia, (Alumni: Bandung)
Tarigan, Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, 2019, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, cet. 7,
(Jakarta: PrenadaMedia)
Witanto, D.Y., 2012, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan,
(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher)

17

Anda mungkin juga menyukai