Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunianya
berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah. Tidak lupa sholawat beserta salam tercurahkan kepada
baginda nabi besar Muhammad SAW semoga kita dapat syafaatnya di hari akhir
kelak.
Makalah yang berjudul “Hukum Perkawinan Di Indonesia”. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat membantu kita untuk menambah ilmu dan wawasan
tentang Hukum Perkawinan di Indonesia. Dengan kerendahan hati, kami
memohon maaf kepada para pembaca apabila terdapat banyak kesalahan dalam
penulisan dan kekurangan. Oleh karena itu kami berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami berupaya untuk mengikuti aturan dan kaidah
penulisan makalah dengan baik, maka kami yakin penulisan makalah ini layak
dipresentasikan dalam kelas. Apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini kami
membutuhkan masukannya untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan....................................................3
B. Syarat Melangsungkan Perkawinan di Indonesia..........................................6
C. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam..................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................12
A. KESIMPULAN............................................................................................12
B. SARAN........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................14
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan makhluk-
makhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan
berkasih sayang untuk meneruskan keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial
yang beradab, menjadikan makna “hidup berdampingan” sebagai suami dan isteri
dalam suatu perkawinan yang diikat oleh hukum, agar menjadi sah dan disertai
dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang wanita yang memasuki
kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam
kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga sakidah, mawaddah dan
warahmah.
Berdasarkan hukum nasional menjelaskan bahwa "Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Hukum perkawinan merupakan bagian dari Hukum Islam yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan
prosedur menuju terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara
menyelenggarakan akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara
ikatan lahir batin yang telah di ikrarkan. Dalam akad perkawinan sebagai akibat
yuridis dari adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang
mengancam ikatan lahir dan batin suami isteri, bagaimana proses dan prosedur
berakhirnya ikatan perkawinan, serta akibat yuridis dari berakhirnya perkawinan,
baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami isteri, anak-anak
mereka dan harta mereka.
Dasar-dasar hukum perkawinan terdapat di dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Berdasarkan apa yang telah
diuraikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 dapat diketahui bahwa tujuan dan cita-cita negara
1
Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraaan rakyatnya dengan memberikan
hak kepada setiap rakyatnya untuk mempertahankan kehidupannya yang berarti
mempunyai hak untuk melanjutkan keturunan, dan setiap orang mempunyai hak
untuk membentuk sebuah keluarga dan hal tersebut merupakan hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi.
Perkawinan adalah perintah dari Allah dan Rasulnya, karena perkawinan
merupakan sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi
manusia. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak dibolehkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika akad
perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan
menjadi diperbolehkan. Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya
perintah Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia
atau hawa nafsunya saja karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia
telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan dasar hukum perkawinan?
2. Apa saja syarat melangsungkan perkawinan di Indonesia?
3. Apa saja rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam?
C. TUJUAN PENULISAN
BAB II PEMBAHASAN
2
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
3
sebagai suami isteri yang memenuhi rukun dan syarat peraturan hukum
perkawinan. Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam
pembentukan keluarga. Perkawinan harus dilakukan manusia untuk mencapai
tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.
Kata kawin menurut istilah hukum Islam sama dengan kata Nikah atau kata
Zawaj. Kemudian, yang dinamakan nikah menurut Syara’ ialah Akad (ijab qabul)
antara wali calon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapanucapan tertentu dan
memenuhi rukun dan syaratnya. Menurut Hukum Islam, perkawinan atau
pernikahan adalah “ Suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk
berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuanketentuan Hukum Syari’at
Islam.”
Perkawinan menurut Fiqih yaitu akad antara calon suami dengan wali
nikah yang menjadi halalnya bersetubuh antara isteri dan suaminya dengan
kalimat nikah.
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut Nikah adalah “ Melakukan suatu
aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar
sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
caracara yang diridhoi oleh Allah SWT.”3
Pengertian perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 2
yang menyebutkan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Ikatan perkawinan ditandai
dengan sebuah aqad (perjanjian) yang kuat (mitsaqon gholiidhan). Aqad nikah
adalah perjanjian yang melibatkan Allah, jadi bukan sekedar perjanjian biasa.
Aqad merupakan perjanjian istimewa karena mengahalalkan hubungan kelamin
4
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya tidak
diperbolehkan menjadi diperbolehkan.
Dasar hukum perkawinan terdapat di dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang Dasar Perkawinan yang terdiri dari
5 Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Di dalam Pasal 1
UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai perngertian
perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“ Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Selain di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dasar
hukum perkawinan juga terdapat di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 10
Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”
Di dalam hukum Islam, dasar-dasar mengenai perkawinan dapat kita lihat di
dalam Al-Quran dan Hadist. Didalam Al-Quran, dasar-dasar perkawinan
diantaranya sebagai berikut :
Surat Ar-Rum ayat 21, disebutkan bahwa :
“Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, yaitu bahwa ia telah menciptakan
untukmu istri-istri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang yang berfikir.”
Jelas bahwa Islam mensariatkan adanya perkawinan yang diriwayatkan dari
Abdullah ibn Mas’ud RA yang berbunyi:
“Dari Abdullah Ibn Mas’ud berkata: Rasululah telah bersabda kepada kami;
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka
menkahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan.
5
Dan barangsiapayang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa
dapat menekan hawa nafsu” (Muttafaqun ‘Alaih).
Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam adalah perkawinan yang dalam pelaksanannya sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing, yang berarti di dalam Islam adalah yang
memenuhi segala rukun dan syarat dalam perkawinan. Suatu perkawinan baru
dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatat menurut
peraturan perundang-undangan.4
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun
1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6
s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
7
Untuk melaksanakan perkawinan yang sah, dalam KUHPerdata
diharuskan untuk memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, yaitu:
1. Kedua pihak telah berumur sesuai dengan yang ditetapkan dalam
UndangUndang, yaitu seorang laki-laki 18 tahun dan 15 tahun untuk
perempuan. Namun secara khusus usia perkawinan sekarang harus berusia
19 tahun baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan, sesuai dengan
UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan
perkawinan.
3. Bila seorang perempuan sebelumnya sudah pernah kawin, maka harus
lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan.
4. Tidak ada larangan dalam Undang-Undang bagi kedua belah pihak untuk
melaksanakan perkawinan pertama.
5. Bagi pihak yang masih dibawah umur, harus memiliki izin dari orangtua
atau walinya.
Rukun merupakan sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu perbuatan tersebut dan sesuatu tersebut termasuk dalam rangkaian pekerjaan
seperti adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan. Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang harus dipenuhi untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan
itu, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti calon
mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan harus beragama Islam. Dalam
suatu perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, karena tidak sah apabila
rukun dan syarat tersebut tidak ada atau tidak lengkap.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan rukun perkawinan adalah
keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan beserta segala
unsurnya. Sehingga rukun perkawinan adalah segala hal yang harus terwujud
dalam suatu perkawinan. Di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang
8
rukun perkawinan dalam Pasal 14 yaitu dalam perkawinan harus ada calon
mempelai lakilaki, calon mempelai perempuan, adanya wali dan dua orang saksi,
dan Ijab Qabul.
c. Wali
6 Muhammad Abdul Tihami, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009, hlm.13
9
Wali dalam perkawinan merupakan pihak yang menjadi orang yang
memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan,
karena
itu wali menjadi salah satu rukun dalam perkawinan. Wali nikah hanya ditetapkan
bagi pihak calon mempelai perempuan. Wali nikah sebagai orang yang bertindak
melakukan upacara penyerahan (Ijab) calon mempelai perempuan kepada calon
mempelai laki-laki. Adapun syarat-syarat untuk wali nikah yaitu:7
1) Beragama Islam
2) Balig ( Sudah berumur 15 tahun )
3) Berakal
4) Merdeka
5) Seoranglaki-laki
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang ihram
d. Saksi
Saksi dalam akad nikah merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi
di dalam perkawinan. Akad nikah tanpa saksi maka pernikahannya tidak sah,
karena tujuan adanya saksi adalah untuk berhati-hati jika suatu hari ada salah satu
pasangan suami istri yang menolak dan tidak mengakui perkawinan tersebut.
Saksi dalam akad nikah harus 2 orang. Adapun syarat-syarat untuk saksi dalam
perkawinan yakni :
1) Beragama Islam
2) Balig ( Sudah berumur 15 tahun )
3) Berakal
4) Merdeka
5) Seoranglaki-laki
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang ihram
10
e. Ijab dan Qabul
Ijab dalam akad nikah adalah pernyataan yang keluar dari salah satu pihak
yang mengadakan akad, baik berupa kata-kata, tulisan atau isyarat yang
mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad baik salah satunya dari pihak
suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari
pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan
persetujuan dan ridhonya. Adapun beberapa syarat Ijab dan Qabul yakni:
1) Sighat akad ( lafal akad) berbentuk kata kerja (fi’il)
2) Lafal yang jelas maknanya
3) Adanya persamaan Ijab dan Qabul
4) Ketersambungan Qabul dengan Ijab
5) Tidak meralat Ijab sebelum Qabul
6) Sighat akad ringkas
7) Sighat akad untuk selamanya.
11
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
12
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat lebih
mengerti dan memahami mengenai Hukum Perkawinan di Indonesia. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami
menerima saran maupun kritik yang membangun dari para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
13
14